Anik Iftitah
Fakultas Hukum Universitas Islam Blitar

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

PELAKSANAAN PASAL 4 AYAT (1) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DI KABUPATEN BLITAR Anik Iftitah
Jurnal Supremasi Volume 7 Nomor 1 Tahun 2017
Publisher : Universitas Islam Balitar, Blitar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (624.965 KB) | DOI: 10.35457/supremasi.v7i1.373

Abstract

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP 11/2010) dibentuk guna menyelesaikan persoalan penelantaran tanah di Indonesia. Namun, justru Perkebunan Kismo Handayani di Kabupaten Blitar sebagai tanah yang masuk database tanah terindikasi terlantar, justru mengalami puncak konflik pasca pelaksanaan PP 11/2010. Hal tersebut melatarbelakangi peneliti untuk meneliti pelaksanaan dan akibat pelaksanaan Pasal 4 Ayat (1) PP 11/2010 di Kabupaten Blitar. Penelitian hukum empiris di Perkebunan Kismo Handayani di Desa Soso Kecamantan Gandusari Kabupaten Blitar menggunakan teori sistem hukum, menunjukkan bahwa pelaksanaan Pasal 4 Ayat (1) PP 11/2010 di Kabupaten Blitar, menjadikan tanah sengketa sebagai indikator tanah terindikasi terlantar (suatu pengindikasian tanah terindikasi terlantar yang tidak sesuai dengan substansi PP 11/2010), berakibat terhentinya pelaksanaan PP 11/2010 pada tahap identifikasi dan penelitian, tidak ada satupun hak atas tanah di Kabupaten Blitar yang ditetapkan oleh Kepala BPN-RI sebagai tanah terlantar, ketidakjelasan status hukum hak atas tanah Perkebunan Kismo Handayani selama ± 6 tahun ( 2011-2016 ), dan memuncaknya ekskalasi konflik di area eks-HGU Perkebunan Kismo Handayani pada rentang waktu Tahun 2011-2016 yang pada akhirnya diatasi dengan redistribusi dan penerbitan sertifikat HGU atas nama Kismo Handayani pada tahun 2017. Hasil penelitian ini patut dijadikan bahan refleksi. Tertib maupun konflik, merupakan akibat pelaksanaan (substansi) hukum yang sangat bergantung pada pelaksana hukum  yang akan berimplikasi pada wujud budaya hukum masyarakat.
PERANAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA DALAM PERWUJUDAN CITA PEMBANGUNAN HUKUM TENAGA KERJA DI INDONESIA Anik Iftitah
Jurnal Supremasi Volume 7 Nomor 2 Tahun 2017
Publisher : Universitas Islam Balitar, Blitar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (289.138 KB) | DOI: 10.35457/supremasi.v7i2.377

Abstract

Tenaga kerja merupakan salah satu pelaku utama pembangunan untuk meningkatkan produktifitas nasional dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun kemampuan bekerja dan penghasilan tenaga kerja dapat berkurang atau hilang karena berbagai resiko seperti sakit, kecelakaan, cacat, hari tua atau meninggal dunia. Oleh karenanya, pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang memberikan perlindungan bagi tenaga kerja. Persoalannya kemudian adalah apa peran pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya sebagai cita pembangunan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Penelitian yuridis normatif peranan jaminan sosial tenaga kerja dalam perwujudan cita pembangunan hukum tenaga kerja di Indonesia menunjukkan bahwa peran jaminan sosial tenaga kerja dalam perwujudan cita pembangunan hukum ketenagakerjaan di Indonesia adalah sebagai manifestasi kepastian hukum guna menciptakan keseimbangan hubungan kerja yang mewujudkan keadilan, sebagai perwujudan penerapan nilai-nilai hukum (law in action) dan sebagai satu teknik dalam perwujudan cita hukum ketenagakerjaan di Indonesia.
MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI KELAS I B BLITAR Christina Simanullang; Anik Iftitah
Jurnal Supremasi Volume 7 Nomor 2 Tahun 2017
Publisher : Universitas Islam Balitar, Blitar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (238.073 KB) | DOI: 10.35457/supremasi.v7i2.379

Abstract

Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam rangka reformasi birokrasi, menjadikan mediasi sebagai salah satu elemen pendukung untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan. Cita tersebut belum terimplementasi secara optimal di Pengadilan Negeri Kelas I B Blitar, karena pengguna mediasi yang minim. Penelitian hukum empiris di Pengadilan Negeri Kelas I B Blitar dengan teori sistem hukum menunjukkan bahwa pelaksanaan prosedur mediasi di Pengadilan Negeri Kelas I B Blitar sesuai dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, perkara yang berhasil mencapai perdamaian melalui mediasi di Pengadilan Negeri Kelas I B Blitar sangat minim, dipengaruhi oleh faktor minimnya jumlah hakim bersertifikat mediator yang hanya berjumlah 1 (satu), rendahnya kemauan untuk berdamai dari para pihak, kesulitan mengakses informasi penyelenggaraan sertifikasi mediator, belum jelasnya kriteria keberhasilan mediasi, ketidakjelasan insentif hakim dan non hakim yang berhasil sebagai mediator, dan budaya hukum para pihak berperkara yang masih memilih jalur litigasi.
BENTUK-BENTUK PELANGGARAN HUKUM DALAM PELAKSANAAN JABATAN NOTARIS Ahmad Rifa’i; Anik Iftitah
Jurnal Supremasi Volume 8 Nomor 2 Tahun 2018
Publisher : Universitas Islam Balitar, Blitar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (415.797 KB) | DOI: 10.35457/supremasi.v8i2.486

Abstract

Sebagai pejabat umum pembuat akta autentik yang bertugas melayani kepentingan umum, Notaris dimungkinkan melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugas jabatannya.Persoalannya kemudian adalah bagaimanabentuk-bentuk pelanggaran hukum dalam pelaksanaan jabatan Notaris dan tanggung jawab Notaris yang melakukan perbuatan melawanhukum.Penelitian yuridis normatif bentuk-bentuk pelanggaran hukum dalam pelaksanaan jabatan notarismenunjukkan bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang Notaris dapat mencakup bidang perdata, administrasi, kode etik profesi dan pidana dengan konsekuensi sanksi sesuai lingkup bidang perbuatannya.
Pelaksanaan Pasal 280 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum: Pelanggaran Kampanye Pemilu 2019 di Kabupaten Blitar Abdul Hakam Sholahuddin; Anik Iftitah; Uun Dewi Mahmudah
Jurnal Supremasi Volume 9 Nomor 2 Tahun 2019
Publisher : Universitas Islam Balitar, Blitar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (375.967 KB) | DOI: 10.35457/supremasi.v9i2.793

Abstract

Potential for Election violations is prone to occur in the campaign stage as a moment for the Election Contestants in the 2019 Election to introduce themselves to the public to be elected. Considering this, the empirical legal research "Implementation of Article 280 of the Law of the Republic of Indonesia Number 7 of 2017 concerning General Elections" with research sites in Blitar Regency becomes urgent to be examined as a reflection of the quality of the implementation of Indonesian Elections in the regions. The discovery of thousands of campaign props in prohibited places in the implementation of the campaign stages in Blitar Regency should be regulated following statutory regulations
Kewenangan Bawaslu dalam Pilkada 2020 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVII/2019 M. Taufan Perdana; Moh. Alfaris; Anik Iftitah
Jurnal Supremasi Volume 10 Nomor 1 Tahun 2020
Publisher : Universitas Islam Balitar, Blitar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (220.011 KB) | DOI: 10.35457/supremasi.v10i1.940

Abstract

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2020 sebagai proses kedaulatan rakyat di tingkat lokal untuk mewujudkan negara yang demokratif di tingkat daerah, menuntut penyelenggaraan pemilihan yang profesional dan dapat dipertanggungjawabkan, membutuhkan keintegritasan lembaga pengawasan penyelenggaraan pemilihan (Bawaslu), guna menjamin transparansi dan efisiensi penyelenggaraan. Namun, ada perbedaan kelembagaan Bawaslu di tingkat kabupaten/kota dalam UU Pilkada dan UU Pemilu sehingga timbul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XVII/2019 tentang Pengujian UU Pilkada terhadap UUD NRI 1945. Melalui penelitian hukum normatif, diketahui bahwa pasca putusan MK 48/PUU-XVII/2019, kewenangan pembentukan dan penetapan Panwas Kabupaten/Kota, bukan dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi, melainkan oleh Bawaslu (Pusat); nomenklatur Panwas Kabupaten/Kota dalam UU Pilkada harus dipahami pula sebagai Bawaslu Kabupaten/Kota; sifat kelembagaannya di tingkat kabupaten/kota menjadi permanen, bukan lagi ad hoc, dengan jumlah anggota sesuai UU Pemilu.
Perlindungan Hukum dari Paparan Asap Rokok di Kota Blitar Weppy Susetiyo; M. Taufan Perdana; Anik Iftitah
Jurnal Supremasi Volume 10 Nomor 2 Tahun 2020
Publisher : Universitas Islam Balitar, Blitar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35457/supremasi.v10i2.1176

Abstract

Melalui penelitian yuridis normatif guna meneliti perwujudan perlindungan hukum pemerintah di tingkat daerah di Kota Blitar secara preventif dan represif terhadap aktifitas merokok di Kota Blitar, diketahui bahwa regulasi Perda KTR Kota Blitar yang mengandung sanksi administratif bagi pihak terkait yang tidak melaksanakan kewajiban dan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pelanggaran, memperbolehkan smoking area di tempat kerja, dan melarang smoking area di kawasan fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah dan angkutan umum.
Peranan dan Tanggungjawab Pemerintah dalam Pelayanan Kesehatan Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja Weppy Susetiyo; Anik Iftitah
Jurnal Supremasi Volume 11 Nomor 2 Tahun 2021
Publisher : Universitas Islam Balitar, Blitar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35457/supremasi.v11i2.1648

Abstract

Ada lima undang-undang bidang kesehatan yang diubah pasca pemberlakuan UU Cipta Kerja. Mengingat dampak pemberlakuan UU Cipta Kerja yang luar biasa mengubah peraturan perundang-undangan di sektor kesehatan, menjadi sangat penting untuk menganalisis peranan dan tanggungjawab pemerintah dalam pelayanan kesehatan pasca berlakunya UU Cipta Kerja sebagai bagian pemberlakuan Omnibus Law di Indonesia. Melalui penelitian yuridis normatif, dihasilkan penelitian bahwa pemerintah sebagai penanggungjawab terhadap perencanaan, pengaturan, penyelenggaraan, pembinaan, dan pengawasan penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat, melalui UU Ciptaker mengubah aturan di bidang kesehatan seperti penyederhanaan pasal-pasal dalam UU Kesehatan dan UU Rumah Sakit, jasa pelayanan kesehatan medis tidak dikenakan PPN, pemberian jasa pelayanan kesehatan medis tidak hanya pada tenaga kesehatan dan asisten tenaga kesehatan, dan mengharuskan rumah sakit melakukan akreditasi setiap tiga tahun sekali. Terkait hal tersebut, pemerintah berperan mengatur praktik pelayanan kesehatan di rumah sakit berupa pembinaan dan pengawasan terhadap rumah sakit, meminimalisir pembuatan kebijakan yang merugikan kepentingan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit, dan memastikan masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai ketentuan pelayanan publik, kompetensi, dan standar operasional prosedur.
EFFECTIVENESS IN IMPLEMENTING SUPREME COURT REGULATION OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 2 YEAR 2015 ON PROCEDURES SETTLEMENT OF SIMPLE LAWSUIT IN SETTLING THE CIVIL CASES Wiryatmo Lukito Totok; Anik Iftitah
JARES (Journal of Academic Research and Sciences) Vol 2 No 1 (2017): March 2017
Publisher : Universitas Islam Balitar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (489.203 KB) | DOI: 10.35457/jares.v2i1.406

Abstract

President Regulation of the Republic of Indonesia Number 2 Year 2015 on the National Medium Term Development Plan 2015-2019 mandates to carry out Reformation of the Civil Code system which is easy and fast, in an effort to improve the competitiveness of national economy. Related to this, the Supreme Court answered the vacancy of a simple lawsuit by issuing Regulation of the Supreme Court of the Republic of Indonesia (PERMA) Number 2 Year 2015 on procedures for settlement of simple suit in settling civil cases. The empirical juridical research in the Court of Kediri showed that the implementation of Regulation of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 2 Year 2015 made the lawsuit procedure simpler and very effective and in accordance with the principle of simple, fast and light cost. Effectiveness Index of Regulation of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 2 year 2015 at Kediri District Court Class I B was in the "good" category, influenced by substance rule of the law, legal culture, structure of the law, and community knowledge. Keywords: Effectiveness, Simple Lawsuit Received: 07 January, 2017; Accepter: 15 March, 2017
Kepastian Hukum Undang-Undang Cipta Kerja Bidang Kesehatan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 Weppy Susetiyo; Muhammad Zainul Ichwan; Anik Iftitah; Tasya Imelda Dievar
Jurnal Supremasi Volume 12 Nomor 2 Tahun 2022
Publisher : Universitas Islam Balitar, Blitar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35457/supremasi.v12i2.2315

Abstract

The enactment of the extraordinary job creation law changes the legislation in the health sector. However, the status of the Job Creation Law became unconstitutional or conditionally unconstitutional after the decision of the Constitutional Court 91/PUU-XVIII/2020 which granted part of the formal review of the Job Creation Law. Through normative legal research, research is produced that; even though Law 13/2022 has been promulgated on the Formation of Legislation which accommodates the preparation of laws and regulations using the omnibus law method; implementation of the law on: simplification of the articles in the Health Law and Hospital Law, medical health services that are not subject to VAT, providing medical health services not only for health workers and assistants for health workers, and implementing hospital accreditation every three years; remain valid and for two (2) years there may be no other related (new) regulations, for the sake of realizing benefits, certainty, justice, and the greater interest of many.