Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

AKIBAT HUKUMPUTUSAN DKPPTERHADAP PENYELENGGARA PEMILU (STUDI PELAKSANAN PUTUSAN NOMOR:317-PKE-DKPP/X/2019) Surawijaya .; Galang Asmara; Rr. Cahyowati
Jurnal Education and Development Vol 10 No 1 (2022): Vol.10. No.1 2022
Publisher : Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (449.623 KB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan/atau mengetahui serta memahami makna final dan mengikat putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Putusan Nomor : 317-PKE-DKPP/X/2019, untuk mengetahui dan memahami akibat hukum putusan DKPP bersifat final dan mengikat Putusan Nomor : 317-PKE-DKPP/X/2019 dan untuk mengetahui serta memahami pelaksanaan putusan DKPP bersifat final dan mengikat pada Putusan Nomor : 317-PKE-DKPP/X/2019. Adapun metode yang digunakan adalah Penelitian Normatif, dengan Pendekatan Undang-Undang (Statute Approac), Pendekatan kasus (Case Approach), Pendekatan konseptual (conceptual approach), Pendekatan historis (historical approach) dan Pendekatan komparatif (comparative approach). Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan dari rumusan masalah yakni makna final dan mengikat Putusan DKPP pada Putusan Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 adalah final dan mengikat bagi organ Tata Usaha Negara, final artinya Putusan DKPP tidak dapat diajukkan upaya hukum atas putusan etik, sedangkan mengikat artinya Putusan DKPP mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu untuk melaksanakan putusan DKPP. Akibat hukum putusan final dan mengikat Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019, yakni secara yuridis tidak memiliki kepastian hukum. Putusan DKPP bersifat final dan mengikat pada Putusan Nomor 317-PKE/X/2019, merupakan Putusan lembaga Etik penyelenggara pemilu yang tidak dapat dilaksanakan sebagaimana Putusan Pengadilan Mahkamah Konstitusi dan/atau lembaga Peradilan pada umumnya, akan tetapi dilaksanakan sebagai Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara.
KEWENANGAN CAMAT DAN KEPALA DESA SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) SETELAH BERLAKUNYA UUJN RR. Cahyowati; Djumardin Djumardin
NOTARIIL Jurnal Kenotariatan Vol. 2 No. 2 (2017): November 2017
Publisher : Warmadewa Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/jn.2.2.349.84-100

Abstract

Abstrak Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, bahwa notaris diberi kewenangan membuat segala akta otentik yang berkaitan dengan tanah. Sementara secara historis Kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) baik sebelum maupun setelah berlakunya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, kaitannya dengan pembuatan akta otentik dibidang pertanahan adalah membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah. Secara yuridis bahwa dasar hukum PPAT adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sebagai pelaksana dari Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 (UUPA). Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa dalam dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Terkait dengan akta otentik berdasarkan ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana disebutkan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang, oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat. Dengan demikian secara yuridis normatif Akta PPAT bukan merupakan akta otentik karena (1) PPAT bukan Pejabat Umum; (2) Bentuk akta PPAT tidak ditentukan undang-undang, melainkan ditentukan Peraturan Menteri; oleh karena itu untuk menghindari terjadinya perbedaaan persepsi antara noratis sebagai PPAT dengan BPN atau pejabat lainnya sebagai PPAT dalam pembutan Akta PPAT maka perlu dilakukan singkronisasi antara berbagai produk hukum yang terkait dengan PPAT, terutama setelah berlakunya UUJN. Kata kunci : Kewenangan, Akta PPA
Pelaksanaan Perjanjian Franchise (Waralaba) Di Kota Mataram Aris Munandar; Lalu Muhammad Hayyanul Haq; RR. Cahyowati
Jurnal Risalah Kenotariatan Vol. 2 No. 1 (2021): Jurnal Risalah Kenotariatan
Publisher : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/risalahkenotariatan.v2i1.50

Abstract

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimanakah penerapan aspek-aspek hukum franchise dalam pelaksanaan perjanjian franchise (waralaba) di Kota Mataram dan Bagaimanakah Pelaksanaan perjanjian franchise (Waralaba) di Kota Mataram. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris dengan pendekatan konseptual, perundang-undangan dan pendekatan sosiologis. Perjanjian franchise (waralaba) pada dasarnya bukan hanya merupakan suatu perjanjian kerjasama dalam bidang bisnis penjualan (distribusi) barang.namun terdapat beberapa aspek hukum yang terkaityakni: Perjanjian tentang penggunaan merk dagang; Penggunaan Paten Perjanjian pemberian izin penggunaan Hak cipta Perjanian unruk merahasiakan sistem perdagangan sesuai Perjanjian franchise di Kota Mataram di dominasi oleh distribusi barang (Alfamart dan Indomart). Jika dilihat dari jenis produk usaha franchise (waralaba), maka jenis produk yang mendominasi perjanjian franchise (waralaba) di kota Mataram adalah produk makanan dan minuman. Pelaksanaan perjanjian franchise (waralaba) di Kota Mataram berjalan secara baik, para pihak sudah melaksanakan apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka dalam perjanjian franchise sebagaimana mestinya, sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian, meskipun masih terdapat beberapa kekurangan dimana pihak franchisor tidak (belum) melaksanakan semua/seluruh kewajibannya sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian, tetapi dapat diselesaiakan secara baik dengan musyawarah/mufakat diantara ke dua belah pihak franchisee dan franchisor.
Pengawasan Badan Permusyawaratan Desa Terhadap Kinerja Pemerintah Desa di Desa Soro Barat Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu M. Saleh; Abdul Khair; Kafrawi Kafrawi; RR. Cahyowati
Jurnal Kompilasi Hukum Vol. 7 No. 2 (2022): Jurnal Kompilasi Hukum
Publisher : Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jkh.v7i2.100

Abstract

Tujuan pengabdian ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang Pengawasan Badan Permusyawaratan Desa Terhadap Kinerja Pemerintah Desa Di Desa Soro Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologis dengan cara tatap muka secara langsung dengan masyarakat dalam bentuk ceramah dan diskusi atau tanya jawab atau diskusi terhadap materi yang disampaikan oleh penyuluh. Kegiatan penyuluhan ini dilakukan di Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu . Kegiatan penyuluhan ini dihadiri oleh seluruh BPD dan Kepala Desa beserta seluruh jajaran staf Desa, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan lembaga swadaya masyarakat. Penyuluhan ini ditekankan pada aspek penguatan pemahaman akan fungsi dan peran BPD sebagai mitra kerja kepala Desa dalam membangun Desa.
Efektivitas Kebijakan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan Di Desa Pulau Maringkik-Kabupaten Lombok Timur-Provinsi NTB RR. Cahyowati; Galang Asma; Gatot Dwi Hendro Wibowo
Jurnal Kompilasi Hukum Vol. 8 No. 2 (2023): Jurnal Kompilasi Hukum
Publisher : Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/jkh.v8i2.140

Abstract

Pengembangan pariwisata di Indonesia merupakan perwujudan dari tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu kesejahteraan umum, dalam pengembangan pariwisata yang ideal dilakukan secara berkelanjutan. Metode penelitian, Jenis penelitian ini adalah penelitian socio-legal, dengan pendekatan Undang-Undang, pendekatan konseptual, dan pendekatan sosiologis dilakukan dengan menelaah kondisi di lapangan, melakukan observasi, wawancara mendalam (indepth intervew), dan diskusi secara terarah (FGD). Simpulan, kebijakan pembangunan pariwisata Berkelanjutan Di Desa Pulau Maringkik-Kabupaten Lombok Timur-Provinsi NTB, masih kurang efektif, hal ini terkait dengan kendala yang dihadapi, belum ada Peraturan Desa tentang pungutan terkait dengan pariwisata, masyarakat belum terbuka dengan wisatawan terutama wisatawan mancanegara-menganggap mereka dapat mendatangkan musibah bagi desa karena dianggap cenderung bebas, kesadaran masyarakat akan potensi pariwisata masih kurang, pasokan air bersih terbatas, belum adanya penanganan dan pengelolaan sampah, dan belum tersedianya penginapan. Solusi yang ditawarkan, adalah, Pemerintah Desa Pulau Maringkik, segera membuat Perdes tentang Pungutan terkait dengan potensi wisata, perlu adanya pembinaan yang terus menerus dan pendampingan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, memberikan penyuluhan tentang potensi pariwisa Desa Pulau Maringkik kepada masyarakat, mendatangkan investor atau bantuan dari pemerintah untuk menunjang pembangunan pariwisata Desa Pulau Maringkik, sinergi bersama masyarakat Desa Pulau Maringkik, bekerja sama dengan para pelaku bisnis perjalanan untuk mempromosikan Desa Pulau Maringkik