Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Bentuk Fasade Gereja Protestan di Kota Bandung Nova Chandra Aditya; Jhon Walter Purba; Salmon Priaji Martana
Waca Cipta Ruang Vol 6 No 1 (2020): Vol 6 no.1 (2020) : Waca Cipta Ruang
Publisher : Program Studi Desain Interior Unikom

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34010/wcr.v6i1.4196

Abstract

Gereja merupakan tempat peribadatan umat kristiani, di mana pada awalnya umat Kristen mengadakan pertemuan-pertemuan di rumah ibadah yang dikenal sebagai gereja rumah. Seiring dengan perkembangan zaman pada akhirnya dibuatlah bangunan gereja formal. Gereja tradisional berbeda dengan gereja modern, di mana gereja tradisional cenderung memiliki bentuk menyerupai salib dengan beratapkan kubah dan adanya menara, sementra itu seiring berkembangnya ilmu arsitektur, bentuk gereja menjadi lebih beragam di era modern sesuai dengan jamannya. Hal ini membangkitkan ciri gereja melalui corak fisiknya, yang senantiasa menjadi ciri penampilannya sesuai dengan masa perkembangannya. Gereja dibuat oleh masyarakat Kristiani Indonesia melalui karyanya di dalam melaksanakan ajaran Kristus. Dari observasi sumber primer dan sekunder, di Kota Bandung terdapat enam gereja yang memiliki bentuk beraneka ragam sesuai dengan lokasi gereja tersebut. Meskipun gereja merupakan tempat beribadah secara umum, tidak dipungkiri setiap gereja memiliki ciri khas. Ada gereja yang memiliki fasade modern, ada pula yang memiliki fasade yang mengacu pada adat istiadat penganutnya. Melalui metode survai arsitektural, penelitian ini berusaha menunjukkan wujud dan variasi dari fasade tersebut sesuai dengan latar belakangnya. Pada akhirnya, ditemukan bahwa selain aspek dogmatis, faktor alam lingkungan, iklim, kenyamanan dan beberapa faktor lain juga berperan dalam keputusan desain para perancang mewujudkan karya fasade gereja di Bandung.
TERITORI RUANG BERMAIN ANAK PADA FASILITAS PRASEKOLAH DI KOTA BANDUNG Lisda Triantini Nurazizah; Dhini Dewiyanti; Tri Widianti Natalia; Nova Chandra Aditya
Vitruvian : Jurnal Arsitektur, Bangunan dan Lingkungan Vol 12, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Mercu Buana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22441/vitruvian.2022.v12i1.001

Abstract

Teritori merupakan perwujudan dari bentuk rasa aman yang dimiliki oleh seseorang, sehingga dengan perasaan aman yang dimilikinya, maka kepercayaan dirinya untuk melakukan sesuatu menjadi lebih nyaman.  Anak dalam kategori usia tertentu, masih memiliki kecenderungan untuk selalu berada dalam lingkungan dengan orang-orang yang dikenal secara dekat agar dirinya merasa aman. Ketika masuk usia preschool sebagai awal perkenalan dirinya dengan dunia luar, anak harus belajar untuk mampu beraktivitas secara mandiri. Memahami aspek teritorialitas pada anak usia preschool diyakini sebagai sebuah upaya untuk memahami anak dengan hubungannya terhadap ruang yang dianggap sebagai tempat aman. Ruang yang dianggap aman oleh anak, mampu memberikan stimulus sehingga mampu untuk melakukan kegiatan secara mandiri maupun berkelompok. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi teritori ruang bermain anak pada kegiatan preschool di Growing Tree Kota Bandung, sebagai upaya untuk memahami ruang yang dianggap aman oleh anak. Penelitian ini digali melalui pengamatan dan pemetaan terhadap perilaku pengguna ruang yang dilakukan selama 1 bulan pada Mei 2022. Hasil dari penelitian mengungkapkan teritori dapat berbeda berdasarkan: 1). Gender; 2). Aktivitas; 3). Fasilitas; 4). Usia. Teritori yang dibentuk dan dianggap aman oleh anak berdasarkan penelitian diantaranya: 1). Teritori berkelompok melalui perilaku bermain dan lokasi dengan kegiatan tematik yang ditentukan pendamping dan kegiatan bermain bebas selama 30 menit. 2). Anak laki-laki cenderung membentuk sebuah teritori dengan segala jenis permainan khususnya permainan yang lebih menantang selain itu juga dapat membentuk teritori bersama anak perempuan. Sedangkan anak perempuan akan cenderung membentuk sebuah teritori jika permainan yang dianggapnya aman baik itu sesama perempuan atau bersama laki-laki. 3). Teritori pada ruang bermain menjadi fasilitas favorit anak dikarenakan anak usia dini pada dasarnya hal yang dilakukannya adalah bermain sehingga ruang tersebut dianggap aman oleh anak. Territory is an embodiment of a person's sense of security, so that with the feeling of security they have, their confidence to do something becomes more comfortable. Children in a certain age category still have a tendency to always be in an environment with people they know closely so that they feel safe. When entering preschool age as an initial introduction to the outside world, children must learn to be able to move independently. Understanding aspects of territoriality in preschool age children is believed to be an effort to understand children and their relationship to space that is considered a safe place. The space that is considered safe by children, is able to provide a stimulus so that they are able to carry out activities independently or in groups. The purpose of the study was to identify the territory of the children's playroom in preschool activities at Growing Tree Bandung, as an effort to understand the space that is considered safe by children. This research was explored through observations and mapping of the behavior of space users which was carried out for 1 month in May 2022. The results of the study revealed that territories could differ based on: 1). Gender; 2). Activity; 3). Facility; 4). Age. Territories that are formed and considered safe by children based on research include: 1). Group territory through play behavior and location with thematic activities determined by the companion and free play activities for 30 minutes. 2). Boys tend to form a territory with all kinds of games, especially games that are more challenging and can also form territory with girls. Meanwhile, girls will tend to form a territory if the game they think is safe is either with women or with men. 3). The territory in the playroom is a favorite facility for children because early childhood basically does what they do, so that the space is considered safe by children.
Re-Connecting Community Collective Memory with the Change of Life Culture and the Cultural Resistance in Paku Alam Village, Sumedang, West Java, Indonesia Dhini Dewiyanti; Tri Widianti Natalia; Nova Chandra Aditya
Built Environment Studies Vol 2 No 1 (2021)
Publisher : Department of Architecture and Planning, Faculty of Engineering, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/best.v2i1.999

Abstract

Development can be described as two sides of a coin, the first side provides benefits, but on the other side it turns out to have to sacrifice for some people. Jatigede Dam, located in Sumedang Regency, West Java Province, was built in 1998 and its construction resulted in 28 submerged villages. The communities whose areas are submerged must create new villages and switch professions that used to have a livelihood as an agrarian society must switch professions to become aquatic culture communities. This paper discusses experiences in the proposed (re)structuring activities of the Paku Alam Village area in Darmaraja District around the dam. The activity is carried out through the method of recalling the community collective memory, which is brought together with the context of changes in the livelihood culture and ritual culture that is still owned by the village community so that the changing area can be accepted as a "new village" for the community. The data is obtained through searching sites that are considered important by the community, ritual activities that are usually carried out, people's daily lives, and the bad memories of drowned villages, reconciled with the present and future context as part of the region's arrangement. The result is a regional proposal that is expected to meet people's expectations.