T A Soetiarso
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Pengaruh Varietas dan Sistem Tanam Cabai Merah terhadap Penekanan Populasi Hama Kutu Kebul Setiawati, W; Udiarto, B K; Soetiarso, T A
Jurnal Hortikultura Vol 18, No 1 (2008): Maret 2008
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK. Kutu kebul, Bemisia tabaci merupakan hama penting pada tanaman cabai merah di Indonesia. Penggunaan varietas tahan dan sistem tanam merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi serangan B. tabaci. Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh berbagai varietas cabai merah dan sistem tanam terhadap serangan B. tabaci pada tanaman cabai merah. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran dari bulan Juli 2004-Maret 2005. Rancangan penelitian yang digunakan adalah petak terpisah dengan 4 ulangan. Sebagai plot utama adalah varietas cabai merah (Taro, TM-99, Hot Beauty, Hot Chili, Keriting Lembang, dan Tanjung-2). Sebagai anak petak adalah sistem tanam (monokutur, tumpangsari cabai dan kubis, dan tumpangsari cabai dan tomat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas cabai merah yang paling disukai oleh B. tabaci adalah varietas Taro dan yang kurang disukai adalah varietas Hot Chili. Tumpangsari antara cabai merah dengan kubis dan tumpangsari antara cabai merah dengan tomat ternyata dapat menekan populasi B. tabaci, masing-masing sebesar 60,72 dan 25,24% dibandingkan dengan sistem tanam monokultur. Pada varietas tanaman yang disukai (Taro) kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh B. tabaci dapat mencapai 29,51% pada sistem tumpangsari, sedangkan pada sistem tanam monokultur dapat mencapai 30,18%. Hasil panen monokultur lebih tinggi dibandingkan dengan tumpangsari. Hasil panen tertinggi didapat oleh varietas Hot Chili (16,86 t/ha) dan yang terendah adalah Keriting Lembang (6,35 t/ha). Varietas Hot Chili mempunyai produksi tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya dan merupakan varietas terbaik bila ditumpangsarikan dengan kubis ataupun tomat dan kurang disukai oleh B. tabaci.ABSTRACT. Setiawati, W., B.K. Udiarto, and T.A. Soetiarso. 2008 Effect of Varieties and Cropping System Against the Tobacco Whitefly on Hot Pepper. The ect of Varieties and Cropping System Against the Tobacco Whitefly on Hot Pepper. The tobacco whitefly, B. tabaci is an important insect affecting hot pepper production in Indonesia. The use of resistant varieties and cropping system are alternative to minimize this pest. The studies was designed to find out the difference in performance among 6 selected hot pepper varieties against B. tabaci and to assess the effect of cropping system against B. tabaci population. This research purposes were to examine fundamental component of any IPM program, the interaction between the crop cultivar, the pest, and the control strategies. The study was conducted at the field of Indonesian Vegetable Research Institute from July 2004 to March 2005. Split plot design with 4 replications was used in this experiment. Varieties was used as a main plot, while cropping system was used as a subplot. The results showed that Taro variety was the most preferred by B. tabaci, while Hot Chili was the least preferred. Multiple cropping between hot pepper-cabbage, and hot pepper-tomatoes can reduced population of B. tabaci on hot pepper at rate of 60.72 and 25,24% respectively compare to monoculture. Damage caused by B. tabaci was the highest on Taro variety, i.e. 29.51% on multiple cropping and 30.18% on monoculture. The yield was higher in monoculture than multiple cropping. The highest yield was obtained from Hot Chili (16. 86 t/ha) while Keriting Lembang gave the lowest yield (6.35 t/ha). The use of tolerant varieties and adoption of proper cultural practices can reduce population of B. tabaci. Hot Chili variety also gave the highest yield in the multiple cropping, either with tomato or cabbge.
Interaksi Komponen dalam Sistem Usahatani Tanaman-Ternak Pada Ekosistem Dataran Tinggi di Jawa Barat Adiyoga, Witono; Soetiarso, T A; Ameriana, M
Jurnal Hortikultura Vol 18, No 2 (2008): Juni 2008
Publisher : Indonesian Center for Horticultural Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK. Kegiatan penelitian dilaksanakan di daerah dataran tinggi Jawa Barat (Lembang: Desa Cibodas dan Suntenjaya, Pangalengan: Desa Pulosari dan Margamulya, dan Ciwidey: Desa Lebakmuncang dan Panundaan) pada bulan Juni-Oktober 2004. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui interaksi antarkomponen dalam sistem usahatani tanaman-ternak pada ekosistem dataran tinggi. Responden di setiap lokasi ditentukan berdasarkan kriteria bahwa responden bersangkutan melakukan usahatani tanaman-ternak. Rincian jumlah responden di masing-masing lokasi adalah: Lembang 40 orang, Pangalengan 45 orang, dan Ciwidey 44 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem usahatani tanaman-ternak dataran tinggi di Jawa Barat merupakan sistem usahatani campuran terdiversifikasi, bukan sistem yang terintegrasi. Komponen sayuran dan sapi perah bersama-sama diusahakan, tetapi cenderung saling berdiri sendiri. Kombinasi 2 jenis usaha ini lebih bersifat saling mereduksi risiko, namun interaksi di antara keduanya cenderung minimal. Aliran hara bersifat linear, karena aktivitas daur ulang sumberdaya yang terjadi cenderung rendah. Interaksi antarkomponen juga bersifat minimal yang tercermin dari kontribusi kuantitatif subsistem ternak sapi perah terhadap kebutuhan total tenaga kerja untuk pengelolaan tanaman sayuran sebesar 0%, kontribusi subsistem ternak terhadap kebutuhan total pupuk kandang untuk pengelolaan tanaman sayuran hanya berkisar antara 0-25%, dan kontribusi limbah sayuran, atau produk sampingan dari sayuran yang diusahakan terhadap kebutuhan total pakan ternak hanya berkisar antara 0-10%. Berkaitan dengan penggunaan sumberdaya, kompetisi penggunaan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja keluarga, misalnya, antara tenaga kerja untuk penyiangan/penyemprotan pestisida/pemupukan dengan tenaga kerja untuk keperluan menyabit rumput, sudah dirasakan sangat tinggi/ketat oleh petani. Dampak positif sistem tanaman-ternak yang dianggap nyata terhadap kelestarian lingkungan adalah penanaman rumput pakan ternak di pinggiran terasan (mengurangi erosi tanah) serta penggunaan pupuk kandang (memperbaiki struktur dan kesuburan tanah). Sementara itu, dampak negatif dari sistem tanaman-ternak berupa polusi, gangguan terhadap keseimbangan lingkungan, serta kesehatan manusia akibat pengendalian hama penyakit (tanaman dan hewan) secara kimiawi mulai dianggap nyata dan harus mulai mendapat perhatian lebih besar untuk dicarikan pemecahannya.ABSTRACT. Adiyoga, W., T. A. Soetiarso, and M. Ameriana. 2008. Component Interactions in Crop-livestock System in West Java Highland Ecosystem. This study was carried out in West Java highland areas (Lembang – Cibodas and Suntenjaya village, Pangalengan-Pulosari and Margamulya village, and Ciwidey – Lebakmuncang and Panundaan village) from June to October 2004. The objective of this study was to examine the component interactions of crop-livestock system in highland ecosystem. Respondents surveyed were those who grew vegetables and raised livestock simultaneously. Number of respondents selected were as follows: Lembang 40 respondents, Pangalengan 45 respondents, and Ciwidey 44 respondents. The results showed that crop livestock system (CLS) in West Java highland can be classified as diversified mixed farming systems, not integrated, consist of components such as crops and livestock that co-exist rather independently from each other (minimum interactions). In this case the mixing of vegetable crops and dairy-cows primarily serves to minimize risk and not to recycle resources. Nutrient flows tend to be linear, since the activity of resource-recycling is not significant. Minimum interactions between components were also reflected from zero contribution of labor from dairy-cow subsystem to the total labor requirement for vegetable cultivation; 0-25% contribution of manure from dairy-cow subsystem to the total organic fertilizer requirement for vegetable cultivation, and 0-10% contribution of crop wastes or by-products from vegetable farming to the total feed requirement for dairy-cows farming. Regarding resource utilization, there was high competition in labor-use, especially family labor, between vegetable and dairy-cows farming. Positive impacts of CLS perceived to be significant were the use of leys containing grasses and legumes to reduce erosion and use of manure to improve soil structure and fertility. Meanwhile, the negative impacts of CLS, such as pollution; environmental disruption and health hazards from disease and pest chemical control measures were beginning to be perceived as slightly significant and need more attention for finding the problem solution.
Pengaruh Varietas dan Sistem Tanam Cabai Merah terhadap Penekanan Populasi Hama Kutu Kebul W Setiawati; B K Udiarto; T A Soetiarso
Jurnal Hortikultura Vol 18, No 1 (2008): Maret 2008
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v18n1.2008.p%p

Abstract

ABSTRAK. Kutu kebul, Bemisia tabaci merupakan hama penting pada tanaman cabai merah di Indonesia. Penggunaan varietas tahan dan sistem tanam merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi serangan B. tabaci. Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh berbagai varietas cabai merah dan sistem tanam terhadap serangan B. tabaci pada tanaman cabai merah. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran dari bulan Juli 2004-Maret 2005. Rancangan penelitian yang digunakan adalah petak terpisah dengan 4 ulangan. Sebagai plot utama adalah varietas cabai merah (Taro, TM-99, Hot Beauty, Hot Chili, Keriting Lembang, dan Tanjung-2). Sebagai anak petak adalah sistem tanam (monokutur, tumpangsari cabai dan kubis, dan tumpangsari cabai dan tomat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas cabai merah yang paling disukai oleh B. tabaci adalah varietas Taro dan yang kurang disukai adalah varietas Hot Chili. Tumpangsari antara cabai merah dengan kubis dan tumpangsari antara cabai merah dengan tomat ternyata dapat menekan populasi B. tabaci, masing-masing sebesar 60,72 dan 25,24% dibandingkan dengan sistem tanam monokultur. Pada varietas tanaman yang disukai (Taro) kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh B. tabaci dapat mencapai 29,51% pada sistem tumpangsari, sedangkan pada sistem tanam monokultur dapat mencapai 30,18%. Hasil panen monokultur lebih tinggi dibandingkan dengan tumpangsari. Hasil panen tertinggi didapat oleh varietas Hot Chili (16,86 t/ha) dan yang terendah adalah Keriting Lembang (6,35 t/ha). Varietas Hot Chili mempunyai produksi tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya dan merupakan varietas terbaik bila ditumpangsarikan dengan kubis ataupun tomat dan kurang disukai oleh B. tabaci.ABSTRACT. Setiawati, W., B.K. Udiarto, and T.A. Soetiarso. 2008 Effect of Varieties and Cropping System Against the Tobacco Whitefly on Hot Pepper. The ect of Varieties and Cropping System Against the Tobacco Whitefly on Hot Pepper. The tobacco whitefly, B. tabaci is an important insect affecting hot pepper production in Indonesia. The use of resistant varieties and cropping system are alternative to minimize this pest. The studies was designed to find out the difference in performance among 6 selected hot pepper varieties against B. tabaci and to assess the effect of cropping system against B. tabaci population. This research purposes were to examine fundamental component of any IPM program, the interaction between the crop cultivar, the pest, and the control strategies. The study was conducted at the field of Indonesian Vegetable Research Institute from July 2004 to March 2005. Split plot design with 4 replications was used in this experiment. Varieties was used as a main plot, while cropping system was used as a subplot. The results showed that Taro variety was the most preferred by B. tabaci, while Hot Chili was the least preferred. Multiple cropping between hot pepper-cabbage, and hot pepper-tomatoes can reduced population of B. tabaci on hot pepper at rate of 60.72 and 25,24% respectively compare to monoculture. Damage caused by B. tabaci was the highest on Taro variety, i.e. 29.51% on multiple cropping and 30.18% on monoculture. The yield was higher in monoculture than multiple cropping. The highest yield was obtained from Hot Chili (16. 86 t/ha) while Keriting Lembang gave the lowest yield (6.35 t/ha). The use of tolerant varieties and adoption of proper cultural practices can reduce population of B. tabaci. Hot Chili variety also gave the highest yield in the multiple cropping, either with tomato or cabbge.
Interaksi Komponen dalam Sistem Usahatani Tanaman-Ternak Pada Ekosistem Dataran Tinggi di Jawa Barat Witono Adiyoga; T A Soetiarso; M Ameriana
Jurnal Hortikultura Vol 18, No 2 (2008): Juni 2008
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v18n2.2008.p%p

Abstract

ABSTRAK. Kegiatan penelitian dilaksanakan di daerah dataran tinggi Jawa Barat (Lembang: Desa Cibodas dan Suntenjaya, Pangalengan: Desa Pulosari dan Margamulya, dan Ciwidey: Desa Lebakmuncang dan Panundaan) pada bulan Juni-Oktober 2004. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui interaksi antarkomponen dalam sistem usahatani tanaman-ternak pada ekosistem dataran tinggi. Responden di setiap lokasi ditentukan berdasarkan kriteria bahwa responden bersangkutan melakukan usahatani tanaman-ternak. Rincian jumlah responden di masing-masing lokasi adalah: Lembang 40 orang, Pangalengan 45 orang, dan Ciwidey 44 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem usahatani tanaman-ternak dataran tinggi di Jawa Barat merupakan sistem usahatani campuran terdiversifikasi, bukan sistem yang terintegrasi. Komponen sayuran dan sapi perah bersama-sama diusahakan, tetapi cenderung saling berdiri sendiri. Kombinasi 2 jenis usaha ini lebih bersifat saling mereduksi risiko, namun interaksi di antara keduanya cenderung minimal. Aliran hara bersifat linear, karena aktivitas daur ulang sumberdaya yang terjadi cenderung rendah. Interaksi antarkomponen juga bersifat minimal yang tercermin dari kontribusi kuantitatif subsistem ternak sapi perah terhadap kebutuhan total tenaga kerja untuk pengelolaan tanaman sayuran sebesar 0%, kontribusi subsistem ternak terhadap kebutuhan total pupuk kandang untuk pengelolaan tanaman sayuran hanya berkisar antara 0-25%, dan kontribusi limbah sayuran, atau produk sampingan dari sayuran yang diusahakan terhadap kebutuhan total pakan ternak hanya berkisar antara 0-10%. Berkaitan dengan penggunaan sumberdaya, kompetisi penggunaan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja keluarga, misalnya, antara tenaga kerja untuk penyiangan/penyemprotan pestisida/pemupukan dengan tenaga kerja untuk keperluan menyabit rumput, sudah dirasakan sangat tinggi/ketat oleh petani. Dampak positif sistem tanaman-ternak yang dianggap nyata terhadap kelestarian lingkungan adalah penanaman rumput pakan ternak di pinggiran terasan (mengurangi erosi tanah) serta penggunaan pupuk kandang (memperbaiki struktur dan kesuburan tanah). Sementara itu, dampak negatif dari sistem tanaman-ternak berupa polusi, gangguan terhadap keseimbangan lingkungan, serta kesehatan manusia akibat pengendalian hama penyakit (tanaman dan hewan) secara kimiawi mulai dianggap nyata dan harus mulai mendapat perhatian lebih besar untuk dicarikan pemecahannya.ABSTRACT. Adiyoga, W., T. A. Soetiarso, and M. Ameriana. 2008. Component Interactions in Crop-livestock System in West Java Highland Ecosystem. This study was carried out in West Java highland areas (Lembang – Cibodas and Suntenjaya village, Pangalengan-Pulosari and Margamulya village, and Ciwidey – Lebakmuncang and Panundaan village) from June to October 2004. The objective of this study was to examine the component interactions of crop-livestock system in highland ecosystem. Respondents surveyed were those who grew vegetables and raised livestock simultaneously. Number of respondents selected were as follows: Lembang 40 respondents, Pangalengan 45 respondents, and Ciwidey 44 respondents. The results showed that crop livestock system (CLS) in West Java highland can be classified as diversified mixed farming systems, not integrated, consist of components such as crops and livestock that co-exist rather independently from each other (minimum interactions). In this case the mixing of vegetable crops and dairy-cows primarily serves to minimize risk and not to recycle resources. Nutrient flows tend to be linear, since the activity of resource-recycling is not significant. Minimum interactions between components were also reflected from zero contribution of labor from dairy-cow subsystem to the total labor requirement for vegetable cultivation; 0-25% contribution of manure from dairy-cow subsystem to the total organic fertilizer requirement for vegetable cultivation, and 0-10% contribution of crop wastes or by-products from vegetable farming to the total feed requirement for dairy-cows farming. Regarding resource utilization, there was high competition in labor-use, especially family labor, between vegetable and dairy-cows farming. Positive impacts of CLS perceived to be significant were the use of leys containing grasses and legumes to reduce erosion and use of manure to improve soil structure and fertility. Meanwhile, the negative impacts of CLS, such as pollution; environmental disruption and health hazards from disease and pest chemical control measures were beginning to be perceived as slightly significant and need more attention for finding the problem solution.