p-Index From 2019 - 2024
0.778
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Jurnal Hortikultura
Witono Adiyoga
Unknown Affiliation

Published : 16 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Segmentasi Pasar dan Pemetaan Persepsi Atribut Produk Beberapa Jenis Sayuran Minor (Under-utilized) Witono Adiyoga; Mieke Ameriana; Thomas Agus Soetiarso
Jurnal Hortikultura Vol 18, No 4 (2008): Desember 2008
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v18n4.2008.p%p

Abstract

Kegiatan penelitian survai konsumen dilaksanakan di Kelurahan Sukasari dan Lembang, Bandung, Jawa Barat pada bulan Agustus-November 2004. Responden dipilih menggunakan metode multistage cluster sampling. Responden ibu rumah tangga sebanyak 50 orang dipilih secara acak dan proporsional dari kedua kelurahan tersebut. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Pada studi awal ini komoditas sayuran minor (under-utilized) yang dipilih adalah koro/roay jengkol, katuk, kecipir, dan labu siam. Untuk keperluan mempelajari posisi sayuran minor tersebut dipilih pula 4 komoditas lain yang dapat dianggap sebagai padanan atau substitusi, yaitu kacang jogo, bayam, kacang panjang, dan zukini. Atribut produk yang dipelajari meliputi (a) kandungan gizi tinggi, (b) berfungsi juga sebagai obat, (c) rasa enak, (d) tahan simpan, (e) harga mahal, dan (f) mudah diperoleh di pasar. Penelitian ini diarahkan untuk mengidentifikasi segmentasi pasar dan memetakan persepsi konsumen menyangkut beberapa atribut produk sayuran minor. Hasil penelitian mengidentifikasi 2 klaster atau segmen konsumen untuk setiap komoditas dengan karakteristik yang berbeda. Jumlah anggota klaster 1 secara konsisten selalu lebih besar dibandingkan klaster 2 untuk semua komoditas, sehingga upaya perbaikan untuk semua komoditas sayuran minor disarankan lebih diarahkan ke segmen konsumen yang pertama. Sementara itu, berdasarkan perbandingannya dengan komoditas padanan/substitusi (kacang jogo, bayam, zukini, dan kacang panjang), atribut produk yang perlu diperbaiki adalah atribut rasa enak dan gizi tinggi (kacang koro/roay), fungsi sebagai obat dan ketahanan simpan (labu siam), serta ketersediaan (kacang koro/roay, katuk, dan kecipir).ABSTRACT. Adiyoga, W., M. Ameriana, and T. A. Soetiarso. 2008. Market Segmentation and Perceptual Mapping of Product Attributes of Some Minor/under-utilized Vegetables. Consumer surveys were carried out in Sukasari and Lembang Subdistrict, Bandung, West Java from August to November 2004. This study was aimed to identify market segmentation and consumer’s perceptual mapping regarding product attributes of some minor (under-utilized) vegetables. Multi-stage cluster sampling was used to select 50 respondents who were proportionally and randomly drawn from those 2 subdistricts. Data were gathered through interviews by using a structured questionnaire. In this preliminary study, 4 minor vegetables were chosen; those were lima bean, stragooseberry, winged bean, and chayote. For the purpose of examining the product positioning of these 4 minor vegetables, 4 other vegetables that were considered as their substitute (bean, spinach, yard-long bean, and zucchini) were also involved. Product attributes examined were (a) high nutrient content, (b) medicinal purpose, (c) taste good/delicious, (d) long shelf-life, (e) price/expensive, and (f) availability. Results have identified 2 clusters or 2 market segments with different characteristics for each commodity. Number of cases/respondents in cluster 1 was consistently larger than that in cluster 2 for all commodities. Hence, the effort for improvements was suggested to be more focus to cluster 1 or consumer segment 1. Meanwhile, based on the comparison with their substitutes, some attributes that should be considered for improvement were taste and nutrient content (for lima bean), medicinal purpose, and shelf-life (for chayote), and availability (for lima bean, stragooseberry, and winged bean).
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Paprika yang Ditanam pada Dua Tipe Konstruksi Rumah Plastik dan Dua Jenis Media Tanam Tonny Koestoni Moekasan; A Everaars; H de Putter; - Subhan; Witono Adiyoga; N Gunadi
Jurnal Hortikultura Vol 18, No 3 (2008): September 2008
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v18n3.2008.p%p

Abstract

ABSTRAK. Percobaan untuk mengetahui pertumbuhan dan hasil tanaman paprika yang ditanam pada 2 tipe konstruksi rumah plastik dan 2 jenis media tanam, dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang (1.250 m dpl.), Jawa Barat dari bulan Mei 2004 sampai Februari 2005. Tanaman paprika ditanam pada 2 tipe konstruksi rumah plastik, yaitu (1) rumah plastik bambu dan (2) rumah plastik tipe kayu-metal. Jarak tanam yang digunakan pada masing-masing rumah plastik adalah 1,20x0,50 m. Dua jenis media tanam yaitu perlite dan arang sekam juga diteliti sebagai faktor perlakuan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah acak kelompok dan masing-masing kombinasi perlakuan diulang 6 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe konstruksi rumah plastik berpengaruh terhadap intensitas cahaya matahari yang dapat diintersepsi di rumah plastik dan rumah plastik tipe kayu-metal dapat mengintersepsi cahaya matahari 12,6% lebih tinggi daripada rumah plastik bambu. Bobot dan jumlah buah per tanaman dari tanaman paprika yang ditanam di rumah plastik tipe kayu-metal lebih tinggi daripada tanaman paprika yang ditanam di rumah plastik bambu. Tanaman paprika yang ditanam di media tanam arang sekam memberikan bobot dan jumlah buah per tanaman paprika lebih tinggi daripada media tanam perlite. Untuk mengatasi temperatur terlalu tinggi di rumah plastik tipe kayu-metal dapat dilakukan dengan membuat ventilasi di atap dan dengan cara menambah populasi tanaman.ABSTRACT. Gunadi, N., T.K. Moekasan, A. Everaarts, H. de Putter, Subhan, and W. Adiyoga. 2008. The Growth and Yield of Sweet Pepper Planted on Two Types of Plastichouse Construction and Two Kinds of Growing Media. An experiment to determine the growth and yield of sweet pepper grown in 2 different plastichouse constructions and 2 growing media was conducted at the field experiment of Indonesian Vegetable Research Institute, Lembang (1,250 m asl.), West Java from May 2004 to February 2005. Sweet pepper plants were grown at 2 different plastichouse constructions i.e. (1) bamboo plastichouse and (2) wood-metal type plastichouse. Plant spacing in each plastichouse was 1.20x0.50 m. Two planting media i.e. perlite and rice husk were also evaluated as the treatment factor. The experiment was arranged in a randomized complete block design and each treatment combination was replicated 6 times. The results indicated that plastichouse construction affected the light intensity intercepted in each plastichouse and the wood-metal type plastichouse intercepted light 12.6% higher than that in the bamboo plastichouse. Fruit weight and fruit number per plant of sweet pepper grown at the wood-metal type plastichouse were higher than those of grown at the bamboo plastichouse. Sweet pepper plant grown in rice husk growing media gave higher either fruit weight or fruit number per plant than those grown in perlite. In order to reduce the high temperature occurred in the wood-metal type plastichouse, ventilation could be provided on the roof or increasing the plant population.
Pengaruh Jumlah Cabang per Tanaman terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Paprika Nikardi Gunadi; R Maaswinkel; Tonny Koestani Moekasan; Laksminiwati Prabaningrum; - Subhan; Witono Adiyoga
Jurnal Hortikultura Vol 21, No 2 (2011): JUNI 2011
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v21n2.2011.p124-134

Abstract

Di Indonesia, penelitian tentang pengaruh jumlah cabang per tanaman sangat terbatas dan baru dilakukan pada satu varietas paprika, yaitu cv. Ferrari. Dalam rangka meningkatkan pilihan petani terhadap varietas yang dibudidayakan, penelitian tentang pengaruh jumlah cabang per tanaman pada pertumbuhan dan hasil tiga varietas paprika perlu dilakukan. Penelitian dilaksanakan di Rumah Plastik kayu-metal, Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang (1.250 m dpl.), Jawa Barat dari bulan Juni 2007 sampai dengan Februari 2008. Penelitian menguji dua faktor perlakuan, yaitu (1) jumlah cabang per tanaman dengan dua taraf, yaitu dua dan tiga cabang per tanaman serta (2) varietas dengan tiga taraf yaitu varietas Spider, Chang, dan Athena. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah cabang per tanaman berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil paprika. Tanaman paprika dengan sistem tiga cabang menunjukkan pertumbuhan yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan sistem dua cabang terutama pada  umur 11 minggu setelah tanam. Tanaman paprika dengan sistem tiga cabang memberikan hasil total dan hasil kelas buah >200 g berturut-turut lebih tinggi  yaitu sebesar 9,3 dan 9,1% daripada tanaman paprika dengan dua cabang. Total hasil varietas Athena dan Spider lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan varietas Chang, tetapi varietas Chang menghasilkan jumlah buah yang lebih banyak dibandingkan dengan dua varietas lainnya. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk pemilihan varietas dan teknik budidaya paprika dalam kondisi rumah plastik di Indonesia.In Indonesia, research on the effect of stem number per plant is very limited and it was conducted only in one sweet pepper variety namely Ferrari. In order to increase the possibility of farmers to choose good cultivated varieties, an experiment needs to be conducted to determine the effect of stem number per plant on the growth and yields of three sweet pepper varieties. This experiment was carried out in the wood-metal plastichouse at the experimental field of the Indonesian Vegetable Research Institute (IVEGRI), Lembang (1,250 m asl.), West Java from June 2007 to February 2008. Two factor treatments tested were (1) number of stem per plant with two levels i.e. two stems and three stems per plant and (2) varieties of sweet pepper i.e. Spider, Chang, and Athena. The treatment combinations were arranged in a completely randomized block design with three replications. The results indicated that number of stem per plant significantly affected the growth and yield of sweet pepper. The plant height of sweet pepper plants grown with three stems were significantly higher than those with two stems, especially after 11 weeks after planting. The plants grown with three stems per plant gave higher total yield and yield of class >200 g up to 9.3 and 9.1%, respectively than the ones grown with two stems per plant. The total yield and yield of class > 200 g of Athena and Spider were significantly higher than those of Chang. However, Chang yielded more number of fruits compared to Athena and Spider. The results can be used as a recommendation in variety selection and cultivation of sweet pepper grown under plastichouse  conditions in Indonesia.
Karakteristik Teknis Sistem Pertanaman Polikultur Sayuran Dataran Tinggi Witono Adiyoga; Rachman Suherman; Nikardi Gunadi; A. Hidayat
Jurnal Hortikultura Vol 14, No 4 (2004): Desember 2004
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v14n4.2004.p287-301

Abstract

Penelitian ini dilaksanakan di sentra produksi sayuran dataran tinggi Pangalengan, Jawa Barat pada bulan No vem ber2001. Observasi lapang dan survai for mal melalui wawancara dengan 23 orang petani responden diarahkan untukmemperoleh data/informasi dasar mencakup karakteristik teknis sistem pertanaman polikultur pada komunitassayuran dataran tinggi. Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari penggunaansistem pertanaman polikultur. Kombinasi tanaman yang pal ing sering dipilih petani adalah cabai + petsai, kemudiandiikuti oleh tomat + petsai, cabai + siampo, kubis + petsai, dan cabai + kentang + petsai. Secara umum, pemilihan jenissayuran yang dikombinasikan telah sejalan dengan prinsip dasar polikultur yang mengisyaratkan maksimisasisinergisme dan minimisasi kompetisi antartanaman. Petani pada umumnya memilih tanaman kombinasi yangcenderung berumur lebih pendek dan memiliki kanopi lebih sempit dibandingkan dengan tanaman utama.Pengalaman petani mengindikasikan bahwa (a) tomat+petsai dikategorikan memiliki hubungan kompetitif, (b)cabai+petsai dikategorikan tidak saja memiliki hubungan komplementer, tetapi juga hubungan suplementer, (c)tomat+cabai, kentang+tomat, tomat+siampo, dikategorikan memiliki hubungan komplementer/kompetitif, dan (d)cabai+tomat dikategorikan memiliki hubungan suplementer/kompetitif. Kemungkinan kekurangan air ataukekeringan dipersepsi memiliki bobot pengaruh terpenting terhadap keberhasilan sistem pertanaman polikultur.Berdasarkan urutan kepentingannya, bobot pengaruh tersebut diikuti oleh curah hujan per tahun, efek naungan daritanaman lain yang dapat mengurangi radiasi sinar matahari, to tal kebutuhan air, curah hujan efektif per tahun dan efeklindungan. Dukungan hasil penelitian hulu yang bersifat teknis mencakup optimasi penataan spasial dan tem po ral(waktu tanam), optimasi kombinasi tanaman berdasarkan potensi sinergi dan kompetisi, seleksi, dan pemuliaantanaman spesifik untuk tumpangsari, aplikasi pemupukan dan pemulsaan, serta pengendalian hama penyakit secarabiologis, masih sangat diperlukan agar diperoleh suatu acuan atau bahan pembanding yang dapat digunakan untukmelakukan evaluasi, konfirmasi, dan pengembangan sistem polikultur lebih lanjut.Kata kunci: Polikultur; Sayuran dataran tinggi; Sinergisme; KompetisiAB STRACT. Adiyoga, W., R. Suherman, N. Gunadi, and A. Hidayat. 2004. Tech ni cal char ac ter is tics ofpolyculture sys tem of high land vegetables. This study was car ried out in No vem ber 2001, in the high land veg e ta blepro duc tion cen ter, Pangalengan, West Jawa. Field ob ser va tion and for mal sur vey to in ter view 23 re spon dents wereaimed to ob tain data tech ni cal char ac ter is tics of veg e ta ble mul ti plecrop ping sys tems in the high land. Re sults sug gestthat there is an in creas ing trend the use of multiplecropping by veg e ta ble farm ers. The most fre quent crop com bi na tioncho sen by farm ers is hot pep per + chi nese cab bage, fol lowed by to mato + chi nese cab bage, hot pep per + chi nese mus -tard, cab bage + chi nese cab bage, and hot pep per + po tato + chi nese cab bage. In gen eral, the choice of crop com bi na -tion has been in agree ment with the ba sic re quire ment of multiplecropping that is max i miz ing syn er gism, whilemin i miz ing com pe ti tion be tween crops. Farm ers usu ally choose a com pan ion crop that is early ma tur ing and haslower/smaller can opy than the main crop. Farm ers’ ex pe ri ence sug gests that (a) to mato+chi nese cab bage tends to havea com pet i tive re la tion ship, (b) hot pep per+chi nese cab bage, not only has a com ple men tary, but also a sup ple men taryre la tion ship, (c) to mato+hot pep per; po tato+to mato; and to mato+chi nese mus tard have a com ple men tary/com pet i tivere la tion ship, and (d) hot pep per+to mato has a sup ple men tary/com pet i tive re la tion ship. The pos si bil ity of wa ter short -age is per ceived to be the most sig nif i cant fac tor that may af fect the suc cess of multiplecropping sys tems. This is fol -lowed by other fac tors, such as rain fall per year, shad ing ef fect, to tal wa ter re quire ment, ef fec tive rain fall per year, andshel ter ef fect. The sup port of tech ni cal ba sic re search that in cludes the op ti mi za tion of spa tial and tem po ral ar range -ments, op ti mi za tion of crop com bi na tion that con sid ers syn er gism and com pe ti tion as pects, se lec tion of and breed ingof crop va ri et ies which are par tic u larly suited to mul ti ple crop ping, fer til iza tion and mulch ap pli ca tion, and biologicalpest and disease control, is still needed to establish a guidance for evaluating, con firm ing, and further developing theadvantages of multiplecropping sys tem.
Back Mather Witono Adiyoga
Jurnal Hortikultura Vol 31, No 2 (2021): Desember 2021
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kelayakan Teknis dan Ekonomis Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu pada Sistem Tanam Tumpanggilir Bawang Merah dan Cabai Tony Koestony Moekasan; Euis Suryaningsih; Ineu Sulastri; Nikardi Gunadi; Witono Adiyoga; A. Hendra; M. A. Martono; - Karsum
Jurnal Hortikultura Vol 14, No 3 (2004): September 2004
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v14n3.2004.p188-203

Abstract

Percobaan lapangan menggunakan metode perbandingan perlakuan berpasangan telah dilaksanakan di Desa BojongNagara, Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (± 5 m dpl), dari bulan Juni sampai Desember 2002.Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan teknis dan ekonomis penerapan teknologi pengendalian hamaterpadu (PHT) yang dihasilkan oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran dibandingkan dengan teknologi yang umumdigunakan oleh petani. Tiap perlakuan diulang empat kali, dengan ukuran petak perlakuan adalah 5 x 20 m = 100 m2.Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan rakitan komponen teknologi PHT pada bawang merah dan cabai yangdihasilkan oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran secara ekonomi lebih menguntungkan dibandingkan dengansistem petani, karena nilai nisbah R/C di petak PHT sebesar 1,47 sedangkan nilai nisbah R/C di petak petani sebesar0,84. Secara ekologi, penerapan PHT pada sistem tanam tumpanggilir bawang merah dan cabai lebih menguntungkankarena dapat menekan penggunaan insektisida dan fungisida masing-masing sebesar 61,53 dan 100% pada tanamanbawang merah dan 72,72 dan 90,90% pada tanaman cabai, sehingga residu insektisida di dalam tanah menurunsebesar 23,06% inhibisi dan fungisida menurun sebesar 50,72% inhibisi, sedangkan di petak petani residu insektisidadi dalam tanah meningkat sebesar 8,14% inhibisi dan fungisida menurun sebesar 20,37% inhibisi. Sementara populasipred a tor di petak PHT lebih tinggi (11,54-55,55%) dibandingkan dengan populasinya di petak petani. Populasi agenshayati, yakni Bacillus sp. dan Trichoderma sp. pada petak PHT lebih tinggi, masing-masing sebesar 35,31 dan 58,35%dibandingkan populasi di petak petani. Residu insektisida dan fungisida pada hasil panen bawang merah dan cabai dipetak PHT masih di bawah ambang batas yang diijinkan, sedangkan residu pada hasil panen bawang merah dan cabaipada petak petani berada di atas ambang batas yang diijinkan.AB STRACT. Moekasan, T.K., E. Suryaningsih, I. Sulastrini, N. Gunadi, W. Adiyoga, A. Hen dra, M.A.Martono, and Karsum. 2004. Tech ni cal and eco nom i cal fea si bil ity of in te grated pest man age ment tech nol ogyon intercropping sys tem of shal lot and hot pep per. A field ex per i ment us ing a paired treat ment com par i son methodwas con ducted at Bojong Nagara vil lage, Ciledug sub dis trict, Cirebon dis trict, West Jawa (±5 m asl) from June un tilDe cem ber 2002. The pur pose of this study was to com pare the tech nique and eco nomic fea si bil ity of in te grated pestman age ment (IPM) tech nol ogy found by In do ne sian Veg e ta bles Re search In sti tute with farmer’s sys tem on shal lotand hot pep per in re lay plant ing sys tem. The ex per i ment used com par i son de sign with four rep li ca tions. The plot sizewas 100 m2. The re sults on shal lot showed that IPM im ple men ta tion gave more eco nom i cally ad van tages than thefarmer’s sys tem, be cause R/C ra tio on IPM plot was 1.47 and R/C ra tio on farmer’s plot was 0.84 re spec tively. On hotpep per, the plant dam age in IPM plot was lower that the dam age in farmer’s plot, but the yield on IPM plot was lowerthan the yield on farmer’s plot. Implementation of IPM could sup press the use of in sec ti cides and fun gi cides ca. 61.53and 100% re spec tively on shal lot and 72.72 and 90.90% re spec tively on hot pep per. In IPM plot, in sec ti cide and fun gi -cide res i due in the soil de creased ca. 23.06% in hi bi tion and 50.72% in hi bi tion re spec tively. In the other hand, the in -sec ti cide res i due in the soil in farmer’s plot in creased ca. 8.14% in hi bi tion, but the fun gi cide res i due de creased ca.20.37% in hi bi tion. Di ver sity of fauna in the plan ta tion in IPM plot was higher (22.03%) than the di ver sity in farmer’splot. Pred a tors pop u la tion in IPM plot was higher (11.54-55.55%) than the pop u la tion in farmer’s plot. Pop u la tion ofBa cil lus sp. and Trichoderma sp. in IPM plot higher (35.31 and 58.35% re spec tively) than the pop u la tion in farmer’splot. Pes ti cide res i due in shal lot bulbs and hot pep per fruits in IPM plot was at the lower level than thresh old level, butthe res i due in farmer’s plot sur passed the thresh old level.
Interaksi Komponen dalam Sistem Usahatani Tanaman-Ternak Pada Ekosistem Dataran Tinggi di Jawa Barat Witono Adiyoga; T A Soetiarso; M Ameriana
Jurnal Hortikultura Vol 18, No 2 (2008): Juni 2008
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v18n2.2008.p%p

Abstract

ABSTRAK. Kegiatan penelitian dilaksanakan di daerah dataran tinggi Jawa Barat (Lembang: Desa Cibodas dan Suntenjaya, Pangalengan: Desa Pulosari dan Margamulya, dan Ciwidey: Desa Lebakmuncang dan Panundaan) pada bulan Juni-Oktober 2004. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui interaksi antarkomponen dalam sistem usahatani tanaman-ternak pada ekosistem dataran tinggi. Responden di setiap lokasi ditentukan berdasarkan kriteria bahwa responden bersangkutan melakukan usahatani tanaman-ternak. Rincian jumlah responden di masing-masing lokasi adalah: Lembang 40 orang, Pangalengan 45 orang, dan Ciwidey 44 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem usahatani tanaman-ternak dataran tinggi di Jawa Barat merupakan sistem usahatani campuran terdiversifikasi, bukan sistem yang terintegrasi. Komponen sayuran dan sapi perah bersama-sama diusahakan, tetapi cenderung saling berdiri sendiri. Kombinasi 2 jenis usaha ini lebih bersifat saling mereduksi risiko, namun interaksi di antara keduanya cenderung minimal. Aliran hara bersifat linear, karena aktivitas daur ulang sumberdaya yang terjadi cenderung rendah. Interaksi antarkomponen juga bersifat minimal yang tercermin dari kontribusi kuantitatif subsistem ternak sapi perah terhadap kebutuhan total tenaga kerja untuk pengelolaan tanaman sayuran sebesar 0%, kontribusi subsistem ternak terhadap kebutuhan total pupuk kandang untuk pengelolaan tanaman sayuran hanya berkisar antara 0-25%, dan kontribusi limbah sayuran, atau produk sampingan dari sayuran yang diusahakan terhadap kebutuhan total pakan ternak hanya berkisar antara 0-10%. Berkaitan dengan penggunaan sumberdaya, kompetisi penggunaan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja keluarga, misalnya, antara tenaga kerja untuk penyiangan/penyemprotan pestisida/pemupukan dengan tenaga kerja untuk keperluan menyabit rumput, sudah dirasakan sangat tinggi/ketat oleh petani. Dampak positif sistem tanaman-ternak yang dianggap nyata terhadap kelestarian lingkungan adalah penanaman rumput pakan ternak di pinggiran terasan (mengurangi erosi tanah) serta penggunaan pupuk kandang (memperbaiki struktur dan kesuburan tanah). Sementara itu, dampak negatif dari sistem tanaman-ternak berupa polusi, gangguan terhadap keseimbangan lingkungan, serta kesehatan manusia akibat pengendalian hama penyakit (tanaman dan hewan) secara kimiawi mulai dianggap nyata dan harus mulai mendapat perhatian lebih besar untuk dicarikan pemecahannya.ABSTRACT. Adiyoga, W., T. A. Soetiarso, and M. Ameriana. 2008. Component Interactions in Crop-livestock System in West Java Highland Ecosystem. This study was carried out in West Java highland areas (Lembang – Cibodas and Suntenjaya village, Pangalengan-Pulosari and Margamulya village, and Ciwidey – Lebakmuncang and Panundaan village) from June to October 2004. The objective of this study was to examine the component interactions of crop-livestock system in highland ecosystem. Respondents surveyed were those who grew vegetables and raised livestock simultaneously. Number of respondents selected were as follows: Lembang 40 respondents, Pangalengan 45 respondents, and Ciwidey 44 respondents. The results showed that crop livestock system (CLS) in West Java highland can be classified as diversified mixed farming systems, not integrated, consist of components such as crops and livestock that co-exist rather independently from each other (minimum interactions). In this case the mixing of vegetable crops and dairy-cows primarily serves to minimize risk and not to recycle resources. Nutrient flows tend to be linear, since the activity of resource-recycling is not significant. Minimum interactions between components were also reflected from zero contribution of labor from dairy-cow subsystem to the total labor requirement for vegetable cultivation; 0-25% contribution of manure from dairy-cow subsystem to the total organic fertilizer requirement for vegetable cultivation, and 0-10% contribution of crop wastes or by-products from vegetable farming to the total feed requirement for dairy-cows farming. Regarding resource utilization, there was high competition in labor-use, especially family labor, between vegetable and dairy-cows farming. Positive impacts of CLS perceived to be significant were the use of leys containing grasses and legumes to reduce erosion and use of manure to improve soil structure and fertility. Meanwhile, the negative impacts of CLS, such as pollution; environmental disruption and health hazards from disease and pest chemical control measures were beginning to be perceived as slightly significant and need more attention for finding the problem solution.
Analisis Trend Hasil Per Satuan Luas Tanaman Sayuran Tahun 1969-2006 di Indonesia Witono Adiyoga
Jurnal Hortikultura Vol 19, No 4 (2009): Desember 2009
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v19n4.2009.p%p

Abstract

Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Juni 2008 menggunakan data sekunder tahunan produksi danareal panen sayuran mencakup periode 1969-2006. Jenis sayuran yang dianalisis adalah buncis, bawang daun, bawangmerah, bawang putih, cabai merah, kentang, kubis, lobak, mentimun, petsai, terung, tomat, dan wortel. Penelitianbertujuan menganalisis pola temporal produksi dan hasil per satuan luas sayuran di Indonesia menggunakan (a)analisis trend hasil per satuan luas, (b) analisis trend pertumbuhan produksi, areal panen, dan hasil per satuan luas,serta (c) analisis trend stabilitas hasil per satuan luas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis trend jangkapanjang 1969-2006 tidak menunjukkan indikasi adanya perlambatan hasil per satuan luas. Namun, pada analisis trendper sepuluh-tahunan, indikasi perlambatan hasil per satuan luas ditunjukkan oleh buncis, bawang merah, bawangputih, cabai merah, lobak, dan petsai pada periode-periode tertentu. Selama periode 1969-2006, tingkat pertumbuhanproduksi rerata tahunan terendah diperlihatkan oleh bawang putih (–6,3%), sedangkan tertinggi ditunjukkan olehwortel (8,5%). Pertumbuhan areal panen terendah ditunjukkan oleh bawang putih (–7,5%), sedangkan tertinggi olehtomat dan wortel (6,6%). Sementara itu, pertumbuhan hasil per satuan luas rerata tahunan berkisar antara –2,5%(cabai merah) sampai 6,8% (buncis). Sumber dominan peningkatan produksi bawang merah, cabai merah, kentang,lobak, mentimun, petsai, tomat, dan wortel selama periode 1969-2006 adalah peningkatan areal panen. Peningkatanhasil per satuan luas merupakan sumber dominan bagi pertumbuhan produksi buncis, bawang daun, bawang putih,kubis, dan terung. Selama periode 1969-2006, variabilitas absolut hasil per satuan luas lobak meningkat, sedangkanmentimun dan petsai menurun. Dalam jangka panjang, stabilitas relatif hasil per satuan luas buncis, bawang daun,bawang merah, bawang putih, cabai merah, mentimun, petsai, terung, tomat, dan wortel terhadap trend pertumbuhannyadapat dikategorikan lebih stabil. Secara agregat dalam kurun waktu 1969-2006, koefisien variasi hasil per satuan luasterendah ditunjukkan oleh petsai, sedangkan tertinggi diperlihatkan oleh cabai merah. Upaya peningkatan produksibawang daun, bawang putih, kentang, kubis, petsai, dan wortel perlu diawali dengan identifikasi penyebab ketidakstabilanareal panen, terutama berkaitan dengan profitabilitas komoditas sayuran tersebut. Sementara itu, upayapeningkatan produksi buncis, bawang merah, cabai merah, lobak, mentimun, terung, dan tomat perlu ditempuhmelalui identifikasi penyebab ketidak-stabilan hasil per satuan luas dari sisi penelitian, penyuluhan, maupun kebijakan.Merespons indikasi perlambatan hasil per satuan luas untuk beberapa jenis sayuran, kegiatan penelitian pemuliaanberorientasi peningkatan daya hasil masih perlu mendapat prioritas. Orientasi penelitian pemuliaan yang memberipenekanan ketahanan terhadap hama penyakit serta cekaman lingkungan juga perlu mendapat perhatian lebih besarberkaitan dengan potensinya untuk mengurangi variabilitas hasil per satuan luas.ABSTRACT. Adiyoga, W. 2009. Yield Trend Analysis of Vegetable Crops in Indonesia 1969-2006. The study wascarried out in April to June 2008 by utilizing secondary data of annual vegetable production and harvested area that coveredthe period of 1969-2006. Vegetable crops included in this study were kidney bean, bunching onion, shallots, garlic, hotpepper, potato, cabbage, chinese radish, cucumber, chinese cabbage, eggplant, tomato, and carrot. The objective ofthis study was to analyze the temporal trend of vegetable production and yield in Indonesia using yield trend, growthtrend, and yield stability trend analysis. The results indicated that long-term trend analysis of 1969-2006 period did notshow any slowing yield growth for all vegetable crops studied. However, the ten-years periods trend analysis suggeststhe trend of slowing yield growth for kidney bean, shallots, garlic, hot pepper, chinese radish, and chinese cabbage incertain ten-year periods. During the period of 1969-2006, the lowest average annual production growth was shownon garlic (-6.3%), and the highest was on carrot (8.5%). The lowest annual growth in harvested area was shown bygarlic (-7.5%), while the highest was indicated by tomato and carrot (6.6%). The lowest annual yield growth was foundon hot pepper (-2.5%), while the highest was on kidney bean (6.8%). The production growth of shallots, hot pepper,potato, chinese radish, cucumber, chinese cabbage, tomato, and carrot in 1969-2006 has been dominantly harvestedarea-led. Meanwhile, yield growth has been a dominant source of kidney bean, bunching onion, garlic, cabbage, andeggplant production growth. During 1969-2006, absolute yield variability for chinese radish was increasing, while forcucumber and chinese cabbage was decreasing. Furthermore, a decreasing relative yield variability, i.e. more stableyield, was indicated for kidney bean, bunching onion, shallots, garlic, hot pepper, cucumber, chinese cabbage, eggplant,tomato, and carrot. The lowest yield coefficient of variation was shown by chinese cabbage, while the highest wasshown by hot pepper. The effort for increasing bunching onion, garlic, potato, cabbage, chinese cabbage, and carrotproduction should be initiated by identifying the causes of harvested area variability that have to be sorted in terms offactors such as relative profitability and other constraints. Meanwhile, since a greater contribution of yield variabilityto production variability was identified, the effort for increasing kidney bean, shallots, hot pepper, chinese radish, cucumber, eggplant, and tomato production suggests the need for identifying the causes of yield variability in termsof research, extension, and policy measures. Responding to a slowing yield trend for some vegetable crops, breedingresearch activities that are increasing yield frontier-oriented still need to be prioritized. Moreover, breeding researchactivities that are generating reduction in yield variability, such as disease and pest resistance and environmentalstressedtolerance should also be emphasized.
Studi Pendasaran Sistem Usahatani Tanaman-Ternak pada Ekosistem Dataran Tinggi di Jawa Barat Witono Adiyoga; R Suherman
Jurnal Hortikultura Vol 18, No 1 (2008): Maret 2008
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v18n1.2008.p%p

Abstract

ABSTRAK. Kegiatan penelitian ini merupakan studi pendasaran yang dilaksanakan di daerah dataran tinggi Jawa Barat (Lembang: Desa Cibodas dan Suntenjaya, Pangalengan: Desa Pulosari dan Margamulya, dan Ciwidey: Desa Lebakmuncang dan Panundaan) pada bulan Mei-Oktober 2003. Responden di setiap lokasi ditentukan berdasarkan kriteria bahwa responden bersangkutan melakukan usahatani tanaman-ternak. Rincian jumlah responden di masing-masing lokasi adalah sebagai berikut. Lembang 40 orang, Pangalengan 45 orang, dan Ciwidey 44 orang. Hasil penelitian menunjukkan adanya beberapa komoditas sayuran yang sama diusahakan hampir di semua lokasi, misalnya kubis, tomat, dan kentang. Jika pada waktu tertentu terjadi kelebihan pasokan untuk komoditas tersebut akibat tidak adanya koordinasi pengaturan produksi, maka harga akan turun secara drastis. Informasi pola tanam setahun menunjukkan dominasi pemilihan sistem pertanaman monokultur. Kisaran produktivitas minimal dan maksimal yang cukup lebar secara tidak langsung tidak saja memberikan gambaran adanya keragaman intensitas penggunaan input, tetapi juga inefisiensi penggunaan input antarusahatani. Fluktuasi harga dan insiden hama penyakit dipersepsi sebagai 2 kendala terpenting usahatani sayuran. Jenis ternak yang dominan diusahakan adalah sapi perah. Sebagian responden juga mengusahakan ternak yang dikategorikan sebagai komoditas ternak sekunder, misalnya domba dan kelinci. Estimasi produktivitas sapi perah di ketiga sentra menunjukkan bahwa produktivitas sapi perah di Pangalengan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas sapi perah di Lembang dan Ciwidey. Penghitungan kelayakan finansial memberikan gambaran bahwa pengusahaan 3 ekor sapi perah usia pedet dan 2 ekor sapi perah usia danten dikategorikan layak secara finansial. Peternak responden menganggap kualitas pakan, insiden penyakit, dan ketersediaan modal merupakan 3 kendala utama usaha ternak. Indikator kontribusi memberikan gambaran bahwa pengusahaan ternak memberikan kontribusi yang lebih dominan terhadap pendapatan rumah tangga tani di Lembang dan Ciwidey. Sementara itu, pengusahaan sayuran memberikan kontribusi yang lebih dominan terhadap pendapatan rumah tangga tani di Pangalengan. Petani mengusulkan perbaikan metode pengendalian hama penyakit, cara dan dosis pemupukan, serta pemilihan/penggunaan benih berkualitas untuk semua komoditas sayuran utama. Petani menghendaki adanya pemutakhiran teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas usahatani secara nyata. Untuk sapi perah, perbaikan komponen teknologi yang diusulkan petani adalah komponen teknologi peningkatan produksi dan kualitas susu, pembuatan pakan, sanitasi kandang, dan pengendalian penyakit.ABSTRACT. Adiyoga, W. and R. Suherman. 2008. A Baseline Study of Crop-livestock System in West Java Highland Ecosystem. A baseline study was carried out in West Java highland areas (Lembang: Cibodas and Suntenjaya Village, Pangalengan: Pulosari and Margamulya Village, and Ciwidey: Lebakmuncang and Panundaan Village) from May to October 2003. Respondents were those who grew vegetables and raised livestock simultaneously. Number of respondents selected were as follow: Lembang 40 respondents, Pangalengan 45 respondents, and Ciwidey 44 respondents. The results showed that some major vegetables, such as cabbage, potato, and tomato were grown in all production centers. Without any production regulation, the probability of excess supply that may decrease the price drastically was quite high. Yearly cropping pattern showed the domination of monocropping system. Wide gap between minimum and maximum yield provide an indirect indication that there was not only caused by wide variation in input-use intensity, but also inefficiency in input allocation among vegetable farms. Price fluctuation and pest and disease incidence were the most 2 important constraints in vegetable farming. Livestock dominantly raised in highland areas were dairy cow. Some respondents also raised goats and rabbits as secondary livestock. Productivity of dairy cows in Pangalengan was slightly higher than that in Lembang and Ciwidey. Feasibility analysis indicated that raising 3 cows (less than 18 months old) and 2 cows (more than 18 months old) was financially viable. Respondents perceived that feed quality, disease incidence and capital availability were the most 3 important constrains in dairy cows farming. Some indicators suggest that dairy cows farming contributed more dominantly to the household income in Lembang and Ciwidey. Meanwhile, the vegetable farming provided a more dominant contribution to the household income in Pangalengan. Farmers proposed the need for some improvements in pest and disease control, fertilization and selection or use of good quality seeds for all important vegetables. Implicitly, farmers asked for the most updated technology to increase their farm productivity significantly. For dairy cows, some improvements needed were techniques to increase milk production and quality, to prepare feeds, to improve cage sanitation, and to control disease.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku dan Keputusan Konsumen untuk Membeli Kentang, Bawang Merah, dan Cabai Merah Witono Adiyoga
Jurnal Hortikultura Vol 21, No 3 (2011): SEPTEMBER 2011
Publisher : Indonesian Center for Horticulture Research and Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jhort.v21n3.2011.p280-294

Abstract

Penelitian ini diarahkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi perilaku dan keputusan konsumen dalam membeli kentang, bawang merah, dan cabai merah. Penelitian survai dilaksanakan di tiga kota besar konsumen utama sayuran, yaitu Jakarta (DKI Jaya), Bandung (Jawa Barat), dan Padang (Sumatera Barat) pada bulan April sampai dengan Juni 2007. Responden konsumen ialah 462 pengambil keputusan pembelian sayuran yang dipilih secara acak. Alat analisis yang digunakan ialah statistika deskriptif, analisis faktor, dan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara berturut-turut 93,1 dan 80,7% responden menggunakan bawang merah dan cabai merah hampir setiap hari, sedangkan untuk komoditas kentang, 67,1% responden menyatakan mengonsumsinya 1-2 kali seminggu. Pasar tradisional merupakan pilihan terpopuler tempat pembelian sayuran, kemudian diikuti oleh supermarket, pedagang keliling, dan toko/warung. Komoditas yang menurut responden tren konsumsinya dapat meningkat antara 25-75% dalam 5 tahun ke depan secara berturut-turut ialah: kentang, bawang merah, dan cabai merah. Kentang dikategorikan ke dalam kelompok question marks karena secara relatif memiliki tren pertumbuhan tinggi dan penetrasi pasar rendah. Komoditas ini membutuhkan dukungan kapital tinggi (net cash absorber) untuk mempertahankan posisi pasarnya. Bawang merah dan cabai merah tergolong ke dalam kategori cash cows. Kedua komoditas ini berada di dalam pasar yang cenderung sudah mantap, sehingga dapat dikategorikan sebagai komoditas net cash generator. Keputusan pembelian kentang dipengaruhi oleh faktor-faktor  properti produk 1 (tidak ada tanda busuk, nilai gizi, kesegaran, dan minimal residu pestisida), properti produk 2 (aroma, warna daging, dan harga), sikap konsumen (komponen afektif, kognitif, dan konatif), situasi konsumen (pengetahuan harga, pengetahuan cara pengolahan, dan persepsi kualitas), serta indikator sosial ekonomi (jumlah anggota keluarga dan pengeluaran total per bulan). Keputusan pembelian bawang merah dipengaruhi oleh faktor-faktor properti produk 2 (minimal residu pestisida, tidak ada tanda busuk, kesegaran, dan penampakan visual), situasi konsumen (pengetahuan harga, pengetahuan cara pengolahan, dan persepsi kualitas), serta indikator sosial ekonomi (jumlah anggota keluarga dan pengeluaran total per bulan). Keputusan pembelian cabai merah dipengaruhi oleh faktor-faktor properti produk (warna, tidak ada tanda busuk, harga, minimal residu pestisida, dan kesegaran), sikap konsumen (komponen afektif, kognitif, dan konatif), serta persepsi kualitas produk.This study was aimed to identify factors affecting consumer behavior and purchasing decision on potatoes, shallots, and hot peppers. Consumer surveys were carried out in three big cities in Indonesia (Jakarta-DKI Jaya, Bandung-West Java, and Padang-West Sumatera) from April to June 2007. Respondents of these surveys were 462 vegetable purchasing decision makers who were randomly selected. Descriptive statistics, factor analysis and multiple regression analysis, were used for data elaboration. Results showed that 93.1 and 80.7% of respondents consume shallots and hot peppers almost everyday. Meanwhile, 67.1% of respondents consume potatoes once or twice a week. Traditional market is still the most frequently chosen place to buy vegetables, and then followed by supermarket, small vendor, and small grocery store. Crops perceived by consumers will have 25-75% increasing consumption trend in the next 5 years are consecutively potatoes, shallots, and hot peppers. Potatoes were in the  question marks category given their strong growth trend and relatively low market penetration. Potatoes require large amounts of cash (net cash absorber) to sustain their position in the market and to maintain the momentum of market growth. Shallots and hot peppers were in the cash cow category given their high market shares in low growth markets. These crops were in a mature market that requires lower cash hence they tend to be net cash generators. Factors affecting potato purchase are product property 1 (no blemishes, nutrition value, freshness, and minimum pesticide residue); product property-2 (aroma, flesh color, and price), consumer attitude (affective, cognitive, and conative), consumer situation (price knowledge, processing knowledge, and quality perception), and socio-economic indicators (number of family members and total monthly expenditure). Shallots purchase decision was influenced by some factors, such as product property 2 (minimum pesticide residue, no blemishes, freshness, and visual appearance), consumer situation (price knowledge, processing knowledge, and quality perception), and socio-economic indicators (number of family members and total monthly expenditure). The decision to purchase hot peppers was affected by factors, such as product properties (color, no blemishes, price, minimum pesticide residue, and freshness), consumer attitude (affective, cognitive, and conative), and product quality perception.