Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : Forum Penelitian Agro Ekonomi

Mewujudkan Keunggulan Komparatif Menjadi Keunggulan Kompetitif Melalui Pengembangan Kemitraan Usaha Hortikultura nFN Saptana; nFN Sunarsih; Kurnia Suci Indraningsih
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 24, No 1 (2006): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v24n1.2006.61-76

Abstract

EnglishChanges in strategic environment indicated by trade liberalization, regional autonomy, consumer preference, and environmental sustainability, require conduct adjustment of horticulture agribusiness partnership institutions. This review focuses: (1) the concept of competitiveness and importance of partnership; (2) status of competitiveness of some Indonesian horticultural commodities; (3) formulating critical nodes of competitive business partnership; (4) efforts to realize comparative advantage into competitive advantage through business partnership.  In general, horticultural commodities have both comparative and competitive advantages, but its comparative advantage parameters are less than those competitive advantage. It indicates that horticulture farmers pay higher costs of inputs or receive lower price of their outputs than they have to. The fact shows that domestic horticulture products get difficulty in penetrating Singapore and Malaysia’ markets due to low quality, irregular supply, significant losses during transportation, and unfavorable domestic political circumstance. Strategy of horticulture agribusiness partnership institutions through satisfactory social process based on mutual interest will change comparative advantage into competitive advantage. IndonesianPerubahan lingkungan strategis seperti liberalisasi perdagangan, otonomi daerah, perubahan  preferensi konsumen, dan tuntutan terhadap kelestarian lingkungan, menuntut adanya perubahan cara beroperasinya kelembagaan kemitraan usaha agribisnis hortikultura. Tulisan ini membahas: (1) Konsep daya saing dan pentingnya kemitraan usaha; (2) Status daya saing komoditas hortikultura di beberapa sentra produksi di Indonesia; (3) Rumusan simpul-simpul kritis pengembangan kelembagaan kemitraan usaha yang berdaya saing; dan (4) Upaya untuk mewujudkan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif melalui strategi kemitraan usaha. Secara umum komoditas hortikultura memiliki keunggulan komparatif dan sekaligus keunggulan kompetitif, namun parameter keunggulan komparatif lebih rendah dibandingkan keunggulan kompetitifnya.  Hal ini mengandung makna bahwa petani hortikultura membayar harga input produksi lebih tinggi dari yang seharusnya dan atau menerima harga output lebih rendah dari yang seharusnya.  Faktanya dewasa ini produk hortikultura tetap mengalami kesulitan untuk dapat bersaing dan akses terhadap pasar Singapura dan Malaysia karena masalah kualitas, kontinuitas pasokan, tingginya kerusakan dalam pengangkutan, serta kondisi sosial politik dalam negeri yang belum kondusif.  Srategi pengembangan kelembagaan kemitraan usaha agribisnis hortikultura melalui proses sosial yang matang dengan dasar saling percaya mempercayai di antara pelaku agribisnis diharapkan dapat membantu mewujudkan keunggulan komparatif yang dimiliki menjadi keunggulan bersaing.
Dinamika Program dan Kebijakan Peningkatan Produksi Padi Sri Wahyuni; Kurnia Suci Indraningsih
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 21, No 2 (2003): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v21n2.2003.143-156

Abstract

EnglishRice Production Enhancement Programs (P4) is consistently carried out by the government to meet domestic demand for rice. This paper describes dynamics of P4 implementation, namely their strengths and weaknesses. There were 11 programs launched, beginning with Central Rice Program (Padi Sentra) in 1958 up to Special Intensification (Insus) in 1979 with highest achievement of rice self sufficiency in 1984. Insus was improved in 1987 and it was then called as Supra Insus. In 1990 rice production was stagnant and rice import tended to enlarge. Rice Based Farming System with Agribusiness Orientation (SUTPA), Agribusiness Oriented Intensification (Inbis), and Self Reliance Movement on Rice, Corn, and Soybean (Gema Palagung) programs were introduced to anticipate changing domestic and international circumstances. El Nino took place when the programs were carried out triggering delay of harvest seasons and low production. At last, paradigm of agricultural development was improved through system development and agribusiness oriented, namely corporate farming as the starting point of on-going Integrated Crops and Resources Management (PTT) program. To induce the farmers nationwide to adopt technologies immediately the government copes with many constraints. It is suggested that the generated technologies are packed in sociodrama before disseminated intensively through various mass media, especially television.IndonesianUntuk mencukupi kebutuhan beras, pemerintah terus mengupayakan program peningkatan produksi padi (P4) melalui berbagai kebijakan. Tulisan ini mengemukakan dinamika P4 yang telah diimplementasikan dengan menganalisis kelemahan dan kekuatan suatu program. Tujuan penulisan untuk memperoleh opsi kebijakan P4 mendatang. Ada sebelas program yang telah diluncurkan, diawali dengan Program Padi Sentra (1958) hingga lahir Intensivikasi Khusus (1979) yang berhasil meraih swasembada beras (1984). Tahun 1987 Insus disempurnakan menjadi Supra Insus. Tahun 1990 produksi padi cenderung stagnan, import beras terus meningkat. Untuk merespon berbagai perubahan lingkungan internasional dan domesik diimplementasikan program Sistem Usahatani Berbasis Padi Berorientasi Agribisnis (SUTPA), Intensifikasi yang Berwawasan Agribisnis (Inbis) dan Gema Palagung. Saat program dalam implementasi terjadi El-Nino yang menyebabkan panen mundur dan produksi rendah. Akhirnya dilakukan pembenahan paradigma dalam pengembangan pertanian yaitu mutlak berbasis pengembangan sistem dan berorientasi agribisnis, yaitu usahatani korporasi yang selanjutnya menjadi dasar dalam program Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) yang sedang diuji. Selalu ditemukan kendala dalam menyebarluaskan teknologi yang telah dihasilkan dalam skala luas agar cepat diadopsi petani. Diusulkan agar teknologi yang telah dihasilkan dikemas dalam sosiodrama kemudian disebarluaskan secara intensif melalui berbagai media terutama televisi.
Revitalisasi Sistem Penyuluhan Pertanian dalam Perspektif Membangun Industrialisasi Pertanian Perdesaan Kurnia Suci Indraningsih; Tri Pranadji; nFN Sunarsih
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 31, No 2 (2013): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v31n2.2013.89-110

Abstract

EnglishExtension is an integral part of agricultural development in rural areas. Rural farming system is the basis of economic activity for improving rural community life. On the other hand, the existing agricultural system does not support the competitive rural economy.  Rural agriculture industrialization considers agricultural system as an integrated unity of agricultural industry business with high-value added outputs. This paper describes the factors as prerequisites for agricultural extension system revitalization. There are three prerequisites for the revitalization, namely: (i) extension institution and organization, (ii) extension implementation, and (ii) extension workers. In the Extension System Revitalization program implemented by the government is not aimed to support agricultural industry in rural areas. This program is focused on improving extension internal institution and not specifically aimed to enhance extension material disseminated to the farmers. Transformation towards rural agricultural industry is not achieved through the improvement of internal extension institution only, but also through innovation topics specifically designed for extension. It is necessary to improve agricultural extension institution aiming at establishing rural agriculture industry. IndonesianPenyuluhan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan pembangunan pertanian di perdesaan. Sistem pertanian perdesaan diposisikan sebagai basis kegiatan ekonomi untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat perdesaan. Sistem pertanian yang sedang berjalan belum menjamin terbangunnya perekonomian perdesaan yang berdaya saing tinggi. Industrialisasi pertanian perdesaan, melihat sistem pertanian di perdesaan sebagai satu kesatuan utuh dari sistem yang mencerminkan usaha industri pertanian, dengan keluaran (output) berupa produk akhir yang bernilai tambah tinggi, diharapkan dapat memperbaiki kondisi tersebut.  Tulisan ini memaparkan faktor-faktor yang menjadi prasyarat agar revitalisasi sistem penyuluhan pertanian  mampu  membangun industrialisasi pertanian perdesaan.  Terdapat tiga prasyarat agar revitalisasi sistem penyuluhan pertanian  mampu  membangun industrialisasi pertanian perdesaan: (1) Kelembagaan dan organisasi penyuluhan, (2)  Penyelenggaraan penyuluhan, dan (3)  Ketenagaan penyuluh. Dalam program Revitalisasi Sistem Penyuluhan yang dilaksanakan penyuluhan pertanian pemerintah belum secara tegas diarahkan untuk mendukung industri pertanian di perdesaan. Program ini masih menekankan pada perbaikan kelembagaan internal penyuluhan, dan belum secara khusus difokuskan untuk memperbaiki materi penyuluhan untuk petani. Transformasi ke arah industri pertanian perdesaan tidak semata-mata dapat ditempuh hanya melalui perbaikan kelembagaan internal penyuluhan, melainkan juga materi  inovasi (teknologi dan kelembagaan) yang seharusnya dirancang secara khusus. Untuk itu perlu perbaikan kelembagaan penyuluhan pertanian yang berorientasi pada terwujudnya sistem industri pertanian di perdesaan.
Profil dan Masalah Pengembangan Perikanan Laut Skala Kecil di Jawa Timur dan Maluku Victor T. Manurung; Kurnia Suci Indraningsih
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 13, No 1 (1995): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v13n1.1995.71-83

Abstract

IndonesianJawa Timur dan Maluku merupakan sentra produksi ikan di Indonesia yang kondisinya berbeda. Jawa Timur merupakan sentra produksi, dimana sumberdaya perikanan telah dieksploitasi secara intensif, sedangkan Maluku merupakan sentra produksi yang sumberdayanya lebih tinggi dan belum dieksploitasi secara intensif. Dalam periode 1987 - 1992 laju pertumbuhan produktivitas nelayan di Maluku lebih tinggi daripada di Jawa Timur. Di Jawa Timur, sebagian besar produksi diolah secara tradisional, sedangkan di Maluku, sebagian besar dijual dalam bentuk segar. Daerah pemasaran produksi perikanan di Jawa Timur jauh lebih luas daripada produk Maluku. Pemasaran merupakan kendala utama perkembangan perikanan di daerah Maluku. Perkembangan perikanan rakyat berjalan dengan lambat dan tidak seimbang antar subsistem yang terkait. Oleh sebab itu, pembangunan perikanan dengan pendekatan terintegrasi merupakan keharusan, tentu dengan penggunaan teknologi yang lebih maju.