Komang Pradnyana Sudibya
Fakultas Hukum Universitas Udayana

Published : 28 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search
Journal : Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum

Dinamika Pelaksanaan Putusan Klausul Bersyarat Pada Pengujian Undang–Undang Terhadap UUD 1945 Ida Ayu Mas Wulandari; Komang Pradnyana Sudibya
Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 5 (2020)
Publisher : Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Tujuan studi atau penelitian ini yakni mencari tahu adanya suatu dinamika terhadap pelaksanaan putusan dengan klausul bersyarat pada pengujian UU terhadap UUD 1945. Mengingat MK memiliki beragam tipe putusan, salah satunya yakni putusan dengan klausul bersyarat. Dalam penerapannya putusan klausul bersyarat ini dibedakan atas dua macam, yaitu putusan konstitusional bersyarat serta putusan inkonstitusional bersyarat. Penelitian ini menggunakan model penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual, pendekatan undang-undang, dan juga pendekatan analitis. Hasil penelitian yang didapatkan yakni gap antara putusan konstitusional bersyarat dengan inkonstitusional bersyarat yaitu putusan konstitusional bersyarat dimana norma pada undang-undang dilihat konstitusional dengan kata lain tak bertolak belakang dengan konstitusi apabila diinterpretasikan seperti yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sedangkan putusan inkonstitusional bersyarat bahwa pasal yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian, disebut bertolak belakang secara bersyarat dengan UUD 1945. Hal ini berarti, pasal yang diharapkan diujikan itu bersifat inkonstitusional apabila persyaratan yang diatur Mahkamah Konstitusi tak terpenuhi. Maka dari itu, pasal yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian itu ketika putusan dibacakan merupakan inkonstitusional serta dapat diubah jadi konstitusional hanya jika persyaratan telah terpenuhi oleh addresaat putusan Mahkamah Konstitusi. Kata Kunci : Norma, Konstitusional Bersyarat, Inkonstitusional Bersyarat. ABSTRACT The research aimed to observe the dynamics of conditional clause on a statute examination towards constitution acts of 1945. Considering there were various models of verdict by Constitutional Supreme Court, which one of them using conditional clause. According to the implementation, onditional clause based verdict can be distinguished into two different models, namely conditional constitutional verdict and conditional inconstitutional verdict. The method of this normative legal research are using by conceptual approach, legal approach and analytical approach. The result shows the difference between conditional constitutional verdict and conditional inconstitutional verdict is where constitutional verdict regarded a statute is valid when the norms in a statute is accordance to Constitutional Supreme Court regulation. On the other hand, conditional inconstitutional verdict regarded when a statute is submitted to be examined on constitutional trial, it is automatically defined as contrary acts towards the constitution of 1945. Thus, the statute article that is submitted to be examined on constitutional trial when the verdict is being read regarded as inconstitutional, and will become constitutional when the specified conditions of Constitutional Supreme Court is fulfilled by Constitutional Supreme Court addressat. Keywords : Norm , Conditional Constitutional, Conditional Unconstitutional.
PENGATURAN PETISI ONLINE DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Suci Oktaviani; Komang Pradnyana Sudibya
Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum Vol 7 No 8 (2019)
Publisher : Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (161.487 KB)

Abstract

Change.org merupakan salah satu situs yang berkembang di media sosial saat ini yang dapat menjadi sebuah wadah bagi penggunanya untuk memulai suatu petisi terhadap suatu kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Dengan yang terjadi saat ini belum adanya suatu aturan khusus yang mengatur mengenai petisi. Dengan tidak adanya aturan khusus ini mengakibatkan pemerintah tidak wajib menjawab atau merespon petisi yang dibuat. Berbeda dengan negara lain, contohnya di Amerika Serikat petisi diatur oleh Amandemen Pertama Konstitusi AS dan jelas ada yang menampung dan menjawab petisi tersebut yakni oleh Gedung Putih. Tujuan penulisan dari jurnal ilmiah ini adalah untuk memahami dan menganalisis terkait dengan pengaturan petisi online dalam perundang-undangan. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif melalui pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep hukum. Maka dalam jurnal ilmiah ini, penulis mengangkat 2 rumusan masalah yakni bagaimana kekuatan hukum sebuah petisi online di Indonesia dan bagaimanakah kekuatan hukum mengikat di negara Amerika Serikat dan Korea Selatan. Hasil penulisan ini menunjukan bahwa belum adanya aturan yang mengatur secara khusus mengenai petisi berbasis online ini. Selama ini petisi online hanya berisi tanda tangan yang diisi oleh pengguna situs change.org dan tidak wajib dijawab oleh pemerintah. Berdasarkan hasil analisis bahwa ada kasus-kasus dengan isu-isu tertentu yang digubris oleh pemerintah, artinya ada kesadaran pada pemerintah untuk mendengarkan aspirasi lewat petisi online tersebut. Namun petisi online harus didukung oleh kajian-kajian dan aksi agar tidak sekedar tanda tangan secara online saja. Namun disinilah seharusnya ada aturan khusus yang mengatur mengenai prosedur atau alur untuk mengajukan petisi serta jelas siapa yang wajib menampung dan menjawab petisi yang dibuat. Walaupun memang secara implisit dijamin didalam Pasal 28 UUD NRI 1945 tentang kebebasan berpendapat dimuka umum petisi ini. Kata Kunci : Pengaturan, Petisi Online
ANALISIS YURIDIS HAK IMUNITAS DPR DITINJAU DARI PRESPEKTIF PRINSIP NEGARA HUKUM A. A. Sagung Istri Agung Andryani; Komang Pradnyana Sudibya
Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum Vol. 06, No. 02, Maret 2018
Publisher : Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (290.291 KB)

Abstract

Untuk mempertahankan tujuan dari bangsa yaitu menjaga kesatuan bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia, Negara membangun sebuah instrumen untuk menjalankan sebuah demokrasi. Maka dari itu lahirlah DPR sebagai instrumen demokrasi yang melakukan sebuah perwujudan kehendak dalam sebuah Negara kesatuan juga rakyat dalam keikutsertaan untuk m enentukan arah kebijakan-kebijakan dari sebuah Negara melalui peraturan perundang-undangan sebagai gambaran dalam kedaulatan rakyat. DPR dalam melaksanakan suatu fungsinya, dilengkapi oleh hak, wewenang dan tugas yang diatur secara jelas dalam UUMD3 No.17 Thn.2014. Bukan hanya fungsi, wewenang dan tugas, DPR juga memiliki Hak Imunitas. Penelitian hukum normatif yang digunakan dalam penulisan jurnal ini yang bertujuan mengkaji dan membahas mengenai bagaimana landasan yuridis Hak Imunitas hukum DPR dalam konteks kedudukan sebagai pejabat negara prinsip Hak Imunitas bagi pejabat negara ketika diujikan keberlakuannya dihadapan negara hukum yaitu prinsip equality before the law. Hasil pembahasan menunjukkan pengaturan mengenai Hak Imunitas termuat secara tertulis di dalam Pasal 20A Ayat 3 yang dipaparkan jelas pada UUD RI Thn.1945 bahwa DPR memiliki Hak Imunitas sebagai salah satu hak selain hak menyampaikan usul, serta mengajukan pertanyaan dan pendapat. Kelanjutan dari sebuah penjabaran dari keberadaan pengaturan Hak Imunirtas anggota DPR secara legalitas tertuang dalam pasal 224 UUMD3 No.17 Thn.2014. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini bahwa imunitas hukum bagi anggota parlemen merupakan suatu yang mutlak untuk disematkan bagi personal anggota DPR dalam menjalankan tugasnya dikarenakan mengingat prinsip equality before the law dalam kenyataan memaksa Hak Imunitas hukum bagi DPR atau anggota parlemen untuk diberlakukan secara terbatas. diberlakukan secara terbatas dapat dilihat dari subtansi pasal 224 UUDMD3, kemudian kehadiran pasal 224 UUMD3, harus mendapatkan penjabaran lanjutan dalam ketentuan normatif dibawah Undang-Undang dengan memperhatikan keberadaan Pasal 27 Ayat 1 UUD RI Thn.1945 untuk memberi batas-batas keberlakuan dari Hak Imunitas tersebut. Kata Kunci: Negara, DPR RI, Hak Imunitas, dan Equality before the law
Praktik Kawin Tangkap Di Sumba Ditinjau Dari Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Alexander Theodore Duka Tagukawi; Komang Pradnyana Sudibya
Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 9 (2021)
Publisher : Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Kawin adat di Sumba dianggap sebagai satu hal biasa bagi masyarakat Sumba jika kita kasi lewat perpektif kebiasaan masyarakat, namun sesungguhnya jika dipandang dari perspektif hak asasi manusia maka bisa terjadi benturan. Tujuan studi ini untuk mengkaji praktik kawin tangkap dari perspektif hak asasi manusia dan peran pemerintah dalam mengatur praktik-praktik serupa. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan komparatif. Hasil studi menunjukkan bahwa praktik kawin tangkap pada dasarnya tidak melanggar hak asasi manusia sejauh hal itu dilakukan sesuai dengan nilai-nilai adat yang semestinya dan juga peran pemerintah sangat diperlukan dalam hal menjamin hak asasi manusia tetap dilindungi dan dihormati dalam proses perwakinan adat serupa dengan kawin tangkap. Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Kawin Tangkap, Peran Pemerintah. ABSTRACT Traditional marriage in Sumba is considered a normal thing for the people of Sumba if we give it from the perspective of community habits, but in fact when viewed from a human rights perspective, there can be conflicts. The aim of this study is to examine the practice of kawin tangkap from a human rights perspective and the role of the government in regulating such practices. This study uses normative legal research methods with statutory and comparative approaches. The results of the study suggest that the practice of kawin tangkap does not basically violate human rights as long as it is done in accordance with customary values ??that should be and also the role of the government is very much needed in terms of ensuring that human rights are protected and respected in the process of customary representation similar to that of kawin tangkap. Keywords: Human Rights, Kawin Tangkap, Government Role
Harmonisasi Hak Atas Kebebasan Berpendapat Dan Berekspresi Serta Hak Individu Atas Reputasi Dalam Perspektif HAM Kirana Apsari; Komang Pradnyana Sudibya
Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 10 (2021)
Publisher : Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang berupaya dalam melindungi hak individu terhadap kebebasan mengemukakan pendapat dan ekspresi serta melindungi hak individu atas reputasinya, selain itu penulisan ini bertujuan mengetahui solusi dalam menyelaraskan hak individu dalam mengemukakan pendapat dan ekspresi dengan hak individu atas reputasi melalui perspektif HAM. Dalam rangka mencapai tujuan a quo, penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktriner. Sehingga diperoleh hasil penelitian bahwa Negara Indonesia dalam melindungi hak individu untuk mengeluarkan pendapat dan ekspresi termuat pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, sedangkan kebijakan yang berupaya dalam melindungi hak individu atas reputasi diatur dalam Pasal 310 hingga Pasal 321 KUHP. Kemudian dalam rangka menyeleraskan hak individu dalam mengemukakan pendapat dan ekspresi dengan hak individu atas reputasi diatur pada Pasal 28J UUD 1945 yakni mengenai pembatasan hak dan kebebasan dengan maksud menjamin hak dan kebebasan orang lain sehingga tercapai ketertiban umum, hal ini sebagai dasar bahwa hak dan kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi terdapat batasan untuk melindungi pula hak indvidu atas reputasi sebagaimana kemudian diatur dalam KUHP dan UU ITE. Kata Kunci: HAM, Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, Hak Individu Atas Reputasi ABSTRACT The purpose of this paper is to find out the policies that seek to protect individual rights to freedom of expression and expression as well as protect individual rights to their reputations, however this paper aims to find solutions in aligning individual rights in expressing opinions and expressions with individual rights to reputation through human rights perspective. In order to achieve the a quo goal, this paper uses normative legal research methods or doctrinal legal research. So that the results of the research show that the Indonesian State in protecting the rights of individuals to express opinions and expressions is contained in Article 28E paragraph (3) of the 1945 Constitution, while policies that seek to protect individual rights to reputation are regulated in Articles 310 to Article 321 of the Criminal Code. Then in order to harmonize individual rights in expressing opinions and expressions with individual rights to reputation, it is regulated in Article 28J of the 1945 Constitution concerning the limitation of rights and freedoms with the aim of guaranteeing the rights and freedoms of others so that public order is achieved, this is the basis that the rights and freedoms to In opinion and expression there are limits to protect individual rights to reputation as later regulated in the Criminal Code and the ITE Law. Key Words: Human Rights, Right to Freedom of Opinion and Expression, Individual Rights to Reputation.
POLITIK HUKUM UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 35/PUU-X/2012 Bagus Hermanto; Dewa Gde Rudy; Komang Pradnyana Sudibya
Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum Vol. 06, No. 02, Maret 2018
Publisher : Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (356.314 KB)

Abstract

Pasal 18 B Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjadi kebijakan makro politik hukum perlindungan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, telah diakomodir dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, namun demikian pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, jaminan hak konstitusional tersebut telah dipertegas sebagai akibat inkonsistensi rumusan pasal-pasal pada Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tersebut. Adapun tujuan utama tulisan ini adalah menganalisis aspek politik hukum perlindungan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dalam Undang-undang tersebut pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Tulisan ini dibuat dalam penelitian hukum normatif menggunakan pendekatan studi kasus dan pendekatan perundang-undangan. Kata Kunci : Politik Hukum, Undang-undang Kehutanan, Putusan Mahkamah Konstitusi, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
PROBLEMATIKA PERTIMBANGAN KOMISI PEMILIHAN UMUM DALAM PENETAPAN DAFTAR CALON TETAP DEWAN PERWAKILAN DAERAH TAHUN 2019 Laila Zai Nur Azizah; Komang Pradnyana Sudibya
Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum Vol 7 No 8 (2019)
Publisher : Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (184.462 KB)

Abstract

Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah diformulasikan mengenai sistem pemilihan Anggota Dewan Peradilan Daerah dimana dalam pemilihannya dapat dipilih melalui jalur perseorangan dimaksudkan untuk mencegah kepentingan partai politik, kelompok ataupun kepentingan pribadi masuk didalamnya. Dalam rangka menyelenggarakan Pemilu, KPU telah mengeluarkan SK KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 terkait Penetapan Daftar Calon Tetap Anggota Dewan Perwakilan Daerah dimana dalam penetapnnya menuai pro kontra diantaranya dianggap telah lalai diantaranya dengan memasukan Oesman Sapta Odang yang belum menyerahkan surat pernyataan perihal pengunduran dirinya dari kepengurusan parpol. Putusan tersebut dianggap tidak sejalan dengan putusan MK mengenai suatu keharusan agar mengundurkan diri dalam kepengurusan parpol serta memberikan pemahaman akan hak istimewa dalam penetapan Dartar Calon Tetap (DCT) dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tindak lanjut putusan MK tersebut, KPU kemudian mencoret nama Oesman Sapta Odang. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis problematika pertimbangan atas keluarnya SK KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan DCT Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 serta mengetahui perbedaan pertimbangan dua lembaga peradilan dalam memutus hak politik warganegara dalam pencalonan sebagai calon anggota DPD. Penelitian ini disusun mengunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan fakta dan pendekatan analisis. Adapun kesimpulan adalah dalam hal putusan oleh kedua lembaga negara tersebut bersifat final dan tetap, tetapi dalam pengimplementasian putusan tersebut kembali kepada para pihak yang bersangkutan untuk melaksanakannya. Kata Kunci : Problematika, Komisi Pemilhan Umum, Daftar Calon Tetap.
URGENSI PEMBENTUKAN BADAN PERADILAN KHUSUS PILKADA Dati Amaliyah; Komang Pradnyana Sudibya
Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum Vol 10 No 7 (2022)
Publisher : Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji urgensi pembentukan badan peradilan khusus pilkada saat ini serta faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam pembentukan badan peradilan khusus pilkada saat ini. Dalam studi ini metode penelitian yang digunakan adalah merupakan hukum normatif dengan pendekatan Perundang-Undangan dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder serta dengan menggunakan teknik deskripsi. Hasil studi menunjukkan bahwa pembentukan badan peradilan khusus pilkada ini memanglah merupakan amanat daripada undang-undang. Akan tetapi hingga sampai dengan saat ini pembentukan badan peradilan khusus pilkada masih belum terealisasi, yang dikarenakan terdapat beberapa faktor yang menjadi penghambat terbentuknya lembaga tersebut. Terlebih lagi, dengan dikeluarkannya pula putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 85/PUU-XX/2022 yang secara tidak langsung menghilangkan sifat kesementaraan yang diatur dalam UU No. 8 tahun 2015 atas kewenangan Mahkamah Kontitusi dalam menangani sengketa terkait dengan perselisihan hasil pemilihan umum termasuk didalamnya sengketa atas pilkada tersebut. Kata Kunci : Pilkada, Badan Peradilan Khusus, Sengketa, Pelanggaran ABSTRACT The purpose of this study is to examine the urgency of establishing a special judicial body for the current election and the factors that are obstacles in the formation of a special judicial body for the current election. In this study the research method used is normative law with a statutory approach and a legal concept analysis approach using primary and secondary legal materials and using descriptive techniques. The results of the study show that the formation of a special judiciary body for regional elections is indeed a mandate rather than a law. However, until now the formation of a special election court body has not been realized, which is due to several factors that have become obstacles to the formation of this institution. What's more, with the issuance of the decision of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia Number 85/PUU-XX/2022 which indirectly eliminates the temporary nature regulated in Law no. 8 of 2015 on the authority of the Constitutional Court in handling disputes related to disputes over the general election results including disputes over the local elections. Keywords: Regional Head Election, Special Judicial Body, Dispute, Violation
JAMINAN PERLINDUNGAN ANAK KORBAN PERUNDUNGAN DALAM PERSPEKTIF KEADILAN RESTORATIF Crownabe Argentum; Komang Pradnyana Sudibya
Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum Vol 11 No 5 (2023)
Publisher : Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Children are a state's future and should be treated as such by being safeguarded, protected, and guaranteed to get their rights to life in order to ensure their success as future leaders and contributors to society. Of course, some kids can actually act in ways that disrupt the lives of others their age and even put their lives in danger. As a general rule, this constitutes criminal behavior. Naturally, the resolution of crimes committed by adults and those committed by minors are handled in different ways. Law 11 of 2011 pertaining to the Criminal Justice System for Children addresses the punishment of minors specifically. When dealing with juvenile offenders, restorative justice is used to restore harmony between the juvenile offender and any juvenile victims for the greater good. This, of course, depends on the kindness and cooperation of young victims in diverting criminal cases involving children away from the court system. According to Law Number 11 of 2011 concerning the Criminal Justice System A. - son, this journal discusses the guarantee of protection obtained by child victims in cases of bullying when resolving criminal cases outside of court, or commonly called diversion.