Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

FIKIH BEKERJA Fachri Fachrudin
Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 1, No 01 (2013)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hidayah Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (452.136 KB) | DOI: 10.30868/am.v1i01.109

Abstract

Islam bukanlah agama yang hanya berdimensi vertikal antara seorang hamba denganRabbnya, ia  adalah way of life yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusaia termasuk hubungan antara seorang manusia dengan manusia yang lainnya. Termasuk di dalamnya Islam mengatur bagaimana seorang manusia menjaga eksistensi kehidupannya di dunia. Di antara tujuan utama Islam adalah hifdz al-mal yaitu menjaga harta menjadi hak setiap manusia. Dari sini Islam memberikan kebebasan bagi manusia untuk mencari harta sebagi alat untuk memenuhi kehidupannya. Islam memberikan apresiasi yang sangat tinggi dalam bekerja.  Prinsip  yang  mendasar  dalam  Islam  adalah  melakukan  suatu  pekerjaan  yang bernilai dan bermanfaat, begitu pula sebaliknya pekerjaan yang sia-sia dan membawa kemudharatan dinyatakan sebagai pekerjaan yang terlarang bahkan di anggap sekutu setan. Juga hal ini terlihat pada banyaknya ayat al Qur’an dan Hadist yang menyerukan kepada seorang muslim untuk berkerja.Ayat Al-Qur’an yang mengatur tentang etika dalam bekerja adalah firman Allah ta’ala dalam QS. Al-Anfaal : 27 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. Dalam ayat ini disebutkan bahwa di antara etika yang ahrus diperhatikan bagi orang-orang yang bekerja adalah bersikap amanah  dan  professional  yaitu  melaksanakan  tugas  yang  telah  dibebankan  kepadanya dengan penuh tanggung jawab. Selain itu hadits-hadits Nabi yang memerintahkan agar bekerja dengan cara yang halal dan menjauhi segala bentuk yang haram sangat banyak jumlahnya, diantaranya adalah sabda beliau “Tanda munafik ada tiga; apabila berbicara berdusta, apabila berjanji ia mungkir dan apabila diberi amanat dia berkhianat”. Kata Kunci: Fikih, Bekerja
FILOSOFI LABA DALAM PERSPEKTIF FIQH MU’AMALAH DAN EKONOMI KONVENSIONAL Fachri Fachrudin
Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 3, No 06 (2015)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hidayah Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (898.162 KB) | DOI: 10.30868/am.v3i06.146

Abstract

Islam agama sempurna yang mengatur aspek kehidupanmanusia, tidak terkecuali aspek mu’amalah. Hukum asal mu’āmalah, segala sesuatu dapat dilakukan selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Untuk itu setiap orang bebas berusaha untuk mendapatkan harta dan mengembangkannya. Salah satunya memperoleh keuntungan merupakan tujuan dasar dari suatu praktek jual beli. Akan tetapi cara yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan tersebut seringkali tidak diiringi dengan ketentuan islam yang ada, baik dari mekanisme transaksi jual beli tersebut maupun dari komoditi yang di perjualbelikan. Paradigma konvensional dalam transaksi bisnis masih menjadi mainstream dan orientasi kebanyakan orang. Fokus masalah dalam penulisan ini adalah kajian teori laba transaksi jual beli menurut fiqh mu’āmalah yang dapat direalisasikan dan digunakan oleh masyarakat. Kajian mendalam dalam fiqh mu’amalah terkait laba yang diperoleh dalam transaksi jual beli memberikan konsep dasar penting yang dapat menuntun masyarakat untuk lebih beretika dalam berbisnis. Teori laba dalam islam menyatakan bisnis adalah ibadah, motivasi laba yang dituntut adalah laba dunia akhirat atau profit benefit, mekanisme transaksi dan komoditas yang dikembangkan adalah cerminan maqāshidu asy syarī’ah,  serta bisnis merupakan pengejewantahan dari Islamic man.Sedangkan konvensional, motivasi dasar laba adalah profit oreinted, laba sebagai equivalent proses produksi yang bunga menjadi salah satu komponen di dalamnya, mencerminkan rasionality economic man, dan bisnis adalah semata-mata pemuas kebutuhan. Melihat pada realita perolehan laba dalam transaksi konvensional, tulisan ini mendorong untuk lebih memberikan perhatian besar kepada model transaksi bisnis yang telah digariskan oleh syari’ah. Keywords: Laba;Fiqh Mu’āmalah; Transaksi: Jual Beli
DAKWAH DAN LEGISLASI PENYIARAN Fachri Fachrudin
Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 4, No 08 (2016)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hidayah Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30868/am.v4i08.161

Abstract

Seperti   diketahui   bahwa   dakwah   Islam   di   masyarakat   seringkali dihadapkan pada dua kesenjangan: pertama, kesenjangan yang berasal dari cara memberikan tradisi dakwah di Indonesia. Kesenjangan ini melihat bahwa masyarakat  kita  masih sering  menganggap  dakwah  sebagai  tabligh/penyiaran agama/penerangan agama. Dakwah dalam konteks ini hanya sibuk berkutat di wilayah pinggir dari sebuah sistem kepribadian dan sosial. Ia tidak mampu memberikan perubahan sosial secara mendasar. Perubahan yang tampak boleh jadi lebih bersifat superficial alias dangkal. Kedua, kesenjangan yang disebabkan tiadanya   kerangka   keilmuan   tentang   dakwah   yang   mampu   memberikan penjelasan tentang kenyataan dakwah Islam yang berarti merupakan kesenjangan antara teori dan praktik (realitas).Hubungan timbal balik antara kehidupan yang terjadi di dunia ini dengan media massa sudah berlangsung sejak lama. Komunikasi dakwah memiliki unsur- unsur di dalamnya yaitu sumber komunikasi, kominikator, pesan komunikasi, media komunikasi, komunikan, tujuan, dan akibat. Media komunikasi dapat bersifat maknawi ataupun materi, penyiaran salah satunya menjadi media komunikasi massa. Dengan adanya perkembangan teknologi dalam berkomunikasi mempermudah penyampaian informasi dari satu tempat ke tempat lain di berbagai belahan dunia. Kemajuan dan kemunduran media komunikasi pun mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia seperti sosial, politik, ekonomi dan ketahanan suatu negara. Tulisan  ini  bermaksud  hendak  mengupas  proses  Transformasi  prinsip-prinsip dakwah ke dalam Undang-Undang Penyiaran No.32 Tahun 2002 tentunya menjadi satu hal yang absolut dan relevan, mengingat penduduk Indonesia yang beragama Islam dalam catatan statistik merupakan kelompok mayoritas.  Keywords; dakwah, penyiaran, legislasi, undang-undang penyiaran
PRINSIP-PRINSIP SYARI’AT PADA BIDANG JINĀYAT Fachri Fachrudin
Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 6, No 02 (2018)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hidayah Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1711.088 KB) | DOI: 10.30868/am.v6i02.304

Abstract

Penelitian ini membahas tentang prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang mengatur hukuman dan balasan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi akibat dari dampak interaksi manusia (hukum pidana/ Jināyat). Sebagaimana diketahui, bahwa interaksi sosial tidak hanya bisa melahirkan integrasi, kooperasi, tetapi juga dapat melahirkan kompetisi dan konflik. Dan setiap orang yang berkompetisi, tabiat alaminya adalah selalu pasti ingin menang. Oleh karena kemenangan atau keberhasilan adalah hal yang dicari dalam berkompetisi, maka seseorang bisa saja menggunakan berbagai cara dalam rangka meraih kemenangannya. Dalam kondisi-kondisi seperti ini, tidak mustahil ada pihak-pihak yang bertindak melanggar  atau bahkan merampas hak-hak orang lain. Untuk itulah diperlukan norma atau aturan-aturan yang mengatur hubungan interakasi dan tata pergaulan hidup antar sesama manusia. Norma tersebut memiliki sifat memaksa yang menuntut orang untuk taat dan patuh terhadapnya. Norma ini sering kita kenal dengan istilah hukum. Berdasarkan deskripsi dan analisis pembahasan tersebut di atas terkait dengan prinsip-prinsip syari’at dalam bidang Jināyat didapati bahwa Jināyat merupakan salah satu bidang hukum yang ada dalam syari’at. Jināyat  menjadi salah satu produk yang dihasilkan syari’at sebagai bentuk dari pengejewantahan tujuan ditetapkannya syari’at. Untuk itu prinsip-prinsip syari’at menjadi satu hal yang inhern, serta menjadi landasan berpijak dalam ketetapan-ketepan yang berlaku di dalamnya. Keyword; Fiqh, Fiqh Jinayah, Hukum Pidana Islam
KONSEP AL-THAWA BIT DAN AL-MUTAGHAYYIRAT DALAM PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM Fachri Fachrudin
Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 4, No 07 (2016)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hidayah Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (970.428 KB) | DOI: 10.30868/am.v4i07.153

Abstract

Universalitas dan eternalitas adalah merupakan karakteristik hokum Islam   dalam pemberlakuan hukum. Meskipun syari’at Islam adalah hukum yang suci, namun tidak berarti irasional. Hukum islam tidak dibentuk oleh proses yang tidak rasional, tetapi oleh metode penafsiran yang rasional. Hukum islam atau syari’at Islam adalah bimbingan Allah Ta’ala untuk mengarahkan atau merekayasa masyarakat. Dengan kata lain, tidak sekedar mengatur, tetapi juga menafikan kemafsadatan dan menciptakan kemashlahatan dalam masyarakat.Melalui pendekatan  library research ditemukan  bahwa hukum Islam mengandung   dua  dimensi,  yakni:  pertama,dimensi  yang  berakar  pada  nas{qat{’i>  yang bersifat universal, berlaku sepanjang zaman, kedua, dimensi yang berakar pada nas}z}anni>, yang  merupakan  wilayah  ijtihadi  dan  memberikan  kemungkinan  epistemologis  hukum bahwa  setiap  wilayah  yang  dihuni  oleh  umat  Islam  dapat  menerapkan  hukum  Islam secara beragam, lantaran faktor sosiologis, situasi dan kondisi yangberbeda-beda.Persepsi yang tepat terhadap teori konstanitas dan fleksibelitas dalam fiqh Islam diharapkan dapat menutup celah yang dihadapi dua kubu yang bertentangan di antara kaum muslimin pada masa kontemporerkini.  Keywords;al-Thawa>bit, al-Mutaghayyira>t ,Hukum Islam, Pembentukan Hukum,
TAQNĪN AL-AHKĀM DALAM LINTAS SEJARAH Lutfi Lukman Hakim; Fachri Fachrudin
Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 5, No 09 (2017)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hidayah Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (775.534 KB) | DOI: 10.30868/am.v5i09.188

Abstract

Dalam istilah Umar Sulaiman al-Asyqar1 disebut fase taqlîd dan jumud. Bahwa telah terjadi dekadensi pemahaman syariah menjadi teks-teks dan pendapat fuqahabukan lagi al-Qur‟an dan Hadits, sehingga yang menjadi kekuatan adalah „sabda‟para imam madzhab, sekalipun menjadi mujtahid hanya dalam kapasitas mujtahidmadzhab dan bukan mujtahid mutlak. Realitas ini terjadi secara masif untukseluruh pengikut madzhab fîqh tanpa terkecuali dan muncul sebagai kelanjutandari periode sebelumnya. Sebagai fase paling lama, periode ini membentangsekitar sembilan abad dan menyaksikan keruntuhan dinasti Abasiyyah dankekaisaran Utsmani, ekspansi kekuatan militer dan politik Barat, dan revolusiindustri serta dominasi kolonial atas wilayah-wilayah muslim oleh Eropa.Kekuasaan kolonial menyebarkan doktrin dan kode hukum mereka sendiri dihampir semua wilayah hukum. Akibatnya fiqh kehilangan sentuhan denganrealitas sosial dan menjalani satu periode stagnasi yang tanpa henti.Keyword: taqnin, madzhab
Fikih Bekerja Fachri Fachrudin
JURNAL ALAMIAH Vol 1 No 1 (2020): Januari 2020
Publisher : Institut Agama Islam Sahid Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (76.182 KB) | DOI: 10.56406/alamiahjurnalmuamalahdanekonomisyariah.v1i1.48

Abstract

Islam is not a religion that only has a vertical dimension between a servant and his Lord, it is a way of life that regulates all aspects of human life, including the relationship between a human being and another human being. Including Islam regulates how a human being maintains the existence of his life in the world. One of the main goals of Islam is hifdz al-mal, which is to protect property, which is the right of every human being. From here Islam gives freedom for humans to seek wealth as a tool to fulfill their lives. Islam gives a very high appreciation in work. The basic principle in Islam is to do a job that is valuable and useful, and vice versa, work that is useless and brings harm is declared as a forbidden job and even considered an ally of Satan. This can also be seen in the many verses of the Qur'an and Hadith that call on a Muslim to work.The verse of the Qur'an that regulates ethics in work is the word of Allah ta'ala in QS. Al-Anfaal: 27 "O you who believe, do not betray Allah and the Messenger (Muhammad) and (also) do not betray the mandates entrusted to you, while you know". In this verse it is stated that among the ethics that must be considered for people who work are being trustworthy and professional, namely carrying out the tasks that have been assigned to them with full responsibility. In addition, the hadiths of the Prophet which commanded to work in a lawful way and stay away from all forms of unlawful things are very numerous, including his words, "There are three signs of hypocrisy; when he speaks he lies, when he makes a promise he breaks it, and when he is given a message he betrays."