Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Penggabungan Iddah Wanita Hamil dan Kematian Suami (Analisis Terhadap Pendapat Mazhab Syafi'i) Jamhuri, Jamhuri; Juliara, Izzudin
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 1, No 1 (2017)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v1i1.1581

Abstract

Konsep hukum mengenai iddah pada prinsipnya telah diatur secara rinci dalam al-Qur'an dan hadis. Namun demikian, ulama berbeda pendapat tentang masalah katika terjadi kondisi dimana wanita yang sedang hamil kemudian di saat itu pula suami meninggal dunia. Dalam hal ini, ada ulama yang menyatakan diambil iddah yang paling lama dari dua masa iddah tersebut, dan ada pula yang berpendapat iddah wanita itu hingga melahirkan anak. Terkait permasalahan tersebut, masalah yang ingin dianalisa dan diteliti adalah bagaimana konsep hukum iddah wanita yang hamil dan ditinggal mati suami menurut mazhab Syafi'i, dan bagaimana dalil dan metode istinbah yang digunakan Imam Syafi'i. Dalam tulisan ini, digunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dan dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analisis. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut Imam Syafi'i, masing-masing dari konsep iddah wanita yang hamil dan iddah wanita ditinggal mati suami telah dijelaskan dalam al-Qur'an, yaitu dalam surat surat at-Thalaq ayat 4 dan surat al-Baqarah ayat 234. Sedangkan iddah wanita yang berada dalam dua kondisi antara hamil dan kematian suami, maka iddahnya adalah sampai melahirkan, meskipun kelahiran tersebut tidak lama setelah suami meninggal dunia. Dalil hukum yang digunakan Imam Syafi'i yaitu al-Qur'an surat at-Thalaq ayat 4 dan surat al-Baqarah ayat 234. Kemudian hadis Rasulullah, yang intinya menghalalkan wanita yang ditinggal mati untuk menikah setelah kelahiran anak.
PENYELASAIAN PELAKU SANTET DENGAN HUKUM ADAT DITINJAU MELALUI HUKUM ISLAM DI KECAMATAN GAJAH PUTIH Jamhuri Jamhuri; Zuhaini Nopitasari
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 7, No 1 (2018)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v7i1.3966

Abstract

Santet sihir adalah perbuatan gaib yang dilakukan dengan pesona guna-guna, mantera, jimat, dan mengikut sertakan syaitan. Yang dapat memberikan pengaruh terhadap badan yang disihir, atau hatinya, akalnya, tanpa harus menyentuhnya. Sihir juga dapat menyebabkan kematian, sakit, seorang suami tidak bisa mengauli istrinya, perceraian antara suami dan istri, menimbulkan kebencian, atau rasa cinta diantara dua insan.Dalam masyarakat Gayo istilah santet lebih populer dengan sebutan Tube atau Jung, yang sering digunakan masyarakat Gayo untuk melukai orang disebabkan karena iri hati, dendam. Istilah Tube berbeda dengan jung, Tube diberikan kepada orang yang akan menjadi korbannya melalui makanan dan minuman. Sedangkan Jung ada dua yaitu gayong api dan gayong angin, biasanya dilakukan dengan cara salaman, menepuk bahu, dan memandangi korban.Hukuman yang diberikat kepada pelaku santet menurut hukum adat yang berlaku di kampung Timang Gajah ada dua yaitu membayar denda dan berjanti tidak akan mengulangi lagi perbuatannya, di usir dari kampung tersebut. Para ulam fiqih, ahli mazhab, berslisih pendapat tetang hukumannya. seseorang ahli sihir harus dibunuh ( di hukum mati, bila diketahui bahwa ia mngajarkan sihir, dalam hal ini ia tidak diterima taubatnya. Adapun Asy-syafi’i, berpendapat: “seorang ahli sihir tidak kafir karena sihirnya. Apabila ia membunuh orang dengan sihirnya, dan ia berkata: sihirku dapat membunuh orang seperti itu, dan aku telah sengaja melakukan pembunuhan itu (dengan sihir ku), maka ia harus dibunuh berdasarkan hukum qisas. Akat tetapi apabila ia berkata: sihirku dapat membunuh, dapat pula luput, tidak mengenai sasaran, maka ia tidak dibunuh, tetapi dikenakan diat atas dirinya. Imam Ahmad (Imam Hambal) berpendapat:”ahli sihir kafir karena sihirnya, baik ia dengan sihirnya itu membunuh, maupun tidak membunuh. Berdasarkan hasil penelitian penulis mengunakan metode interview yaitu penulis turun ke lapangan untuk wawanvara kepada masyarakat kampung Timang Gajah.bagaimana cara penyelasaian pelaku santet dalam masyarakat Gayo.
MEMBUAT GAMBAR DALAM PERSFEKTIP HUKUM ISLAM (Studi Perbandingan antara Yusuf Qarᾱḍawi dan Muhammad Ali Al-Ṣabuni) Tarmizi Tarmizi; Jamhuri Jamhuri
Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 9, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/dusturiyah.v9i1.4758

Abstract

Islamic studies terms, images are called ṣurah, and making pictures is called taṣwir. The scholars differed about the law of images, whether it was creating them or owning them. Yusuf Qarᾱḍawi argues that what is haram is taṣwir which has a physical form and a shadow. As for taṣwir that is painted on paper, walls and so on, where the taṣwir has no shadow and is physical, it is permissible. Meanwhile, according to Muhammad Ali al-Ṣabuni taṣwir that is forbidden is that which is hand-painted which is an imitation of animate beings and also taṣwir that has a physical form and has a shadow, namely a statue. According to Yusuf Qarᾱḍawi, the permissibility and prohibition of the image depends on the object being drawn and whether or not there are illat prohibitions contained in the hadith in the image. Al-Qarᾱḍawi also said that a photo is permissible if the object is halal, and it is not an image that is included in the hadith of the Prophet. Meanwhile, Muhammad Ali al-Ṣabuni forbids images of animate beings that are intact but allows images of inanimate beings and inanimate creatures. Al-Ṣabuni also categorizes photographic images into images that are prohibited in the Prophet's hadith, this is based on the generality of the Prophet's hadith regarding images and the punishment for the image maker. Thus, basically the traditions about taṣwir have legal illat, but besides that there are other things that need to be considered in making pictures and photographs. If the image or photo violates the law, it must be prohibited to make it.
TRADITIONAL SANCTIONS FOR PHYSICAL VIOLENCE DOER BASED ON ISLAMIC CRIMINAL LAW: A STUDY OF TRADITIONS IN TAMAN FIRDAUS VILLAGE Abdul Rahman; Jamhuri; Irwansyah
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 3 No 2 (2018)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3933.053 KB) | DOI: 10.22373/petita.v3i2.49

Abstract

Physical abuse is an act causing pain and injury to one's body. Today, there is a customary criminal law regulating the sanctions for the perpetrators of physical abuse, namely in Kampung Taman Firdaus. However, the customary sanctions are significantly different from the penalties stipulated in Islamic law and positive law. The differences in the type and the rate of sanctions will have consequences on the purpose of a law formation. Therefore, this study examined the regulations of criminal sanctions for the perpetrators of physical abuse in Kampung Taman Firdaus. The results of this study concluded that the customary sanctions of physical abuse in Kampung Taman Firdaus were the fine of one goat for head injuries with blood flowing, and the penalty of one chicken for head injuries without blood flowing. On the other hand, for the physical abuse other than on the head and face, the customary sanction is only to pay medical expenses until the victim is healed, and this sanction is not in line with Islamic criminal law. Abstrak: Kekerasan fisik adalah suatu tindakan yang mengakibatkan rasa sakit dan terluka pada tubuh seseorang. Dewasa ini terdapat sebuah hukum pidana Adat yang mengatur sanksi bagi pelaku kekerasan fisik yaitu di Kampung Taman Firdaus. Namun pada sanksi Adat tersebut terdapat perbedaan yang signifikan terhadap hukuman yang diatur dalam hukum Islam dan hukum positif, dengan perbedaan dari jenis sanksi serta bobot sanksi tersebut akan berkonsekuensi pada tujuan dibentuknya suatu hukum. Oleh karena itu penelitian ini ingin melihat bagaimana ketentuan sanksi pidana bagi pelaku kekerasan fisik dalam Adat Kampung Taman Firdaus. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sanksi adat Kampung Taman Firdaus mengenai kekerasan fisik yaitu denda satu ekor kambing untuk luka di kepala yang darahnya mengalir, dan denda satu ekor ayam untuk luka di kepala yang darahnya keluar tidak mengalir. Sedangkan kekerasan fisik dengan objek selain kepala dan wajah sanksi adatnya ialah hanya membayar biaya pengobatan saja sampai sembuh, dan sanksi adat pada bagian ini tidak sesuai dengan hukum pidana Islam. Kata kunci : Sanksi Adat, kekerasan fisik, dan Hukum Pidana Islam.
Perempuan Dewasa dan Tanggung Jawab Nafkah dalam Pemahaman Ulama Fikih Jamhuri Jamhuri
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 4, No 2 (2021): El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v4i2.10618

Abstract

Artikel ini mengkaji tentang persoalan tentang konsep perempuan dewasa dan tanggung jawab nafkah dalam pemahaman ulama fikih. Masalah utama yang dibahas adalah pengertian perempuan dan tanggung jawab nafkah, kecakapan bertindak, maḥkūm ‘alaih/subjek hukum dalam ushul fikih, keahliahan perempuan tentang harta. Dalam membahas pernsoalan ini penulis menggunakan riset pustaka dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di antara istilah dalam bahasa al-Qur’an yang digunakan untuk perempuan adalah al-nisa’/ النساء, al-Mar’ah/المرأة, al-Unsa / الأنثى,. Kata an-nisa’ mempunyai arti sama dengan al-mar’ah yang menunjukkan kepada perempuan yang sudah matang atau dewasa, berbeda dengan kata الأنثى   berarti jenis kelamin perempuan secara umum, dari yang masih bayi sampai yang sudah berusia lanjut, perempuan memiliki ahliyah wujub dan ahliyah ada’  maka perempuan memiliki prosedur kepemilikan terhadap harta sebagaimana halnya laki-laki, maka berusaha untuk memenuhi haknya dan menggunakan haknya sebagaimana halnya laki-laki  selama perempuan mempunyai ahliayah secara sempurna. Apabila terdapat yang menghalangi ahliyah, seperti gila dan sapih maka ahliyahnya hilang atau berkurang demikian juga dengan laki-laki, perempuan boleh berwasiat dan ahli waris harus melaksanakan wasiatnya sebelum membagikan harta waisan, ini sebagai bukti kebolehan perempuan menggunakan harta untuk sebuah transaksi.
Pengabaian Nafkah dalam Proses Perceraian di Kecamatan Pintu Rime Gayo Kabupaten Bener Meriah Jamhuri Ungel; Rispalman Rispalman; Taufiq Hidayat
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 3, No 2 (2020): El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v3i2.7678

Abstract

Penelitian ini dilatar belakangi oleh sebuah permasalahan rumah tangga dimana suami tidak menunaikan kewajibannya memberi nafkah kepada istri selama proses perceraian berlangsung hingga istri terhalang untuk mendapatkan hak yang semestinya diterimanya. Seharusnya, nafkah harus terus diberikan oleh suami kepada istrinya hingga resmi putusnya perceraian di depan Pengadilan. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua persoalan pokok, yaitu apa saja yang menjadi faktor pengabaian nafkah dalam proses perceraian dan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pengabaian nafkah dalam proeses perceraian. Untuk memperoleh jawaban dari persoalan tersebut, Peneliti menggunakan metode penelitian lapangan (field research), dengan pendekatan kualitatif dan dianalisis menggunakan analisis deskriftif. Berdasarkan kajian dan penelaahan yang peneliti lakukan, setidaknya ada 5 faktor yang menjadi penyebab terjadinya pengabaian nafkah dalam proses perceraian, diantaranya adalah faktor kurangnnya pemahaman agama, faktor kurangnya tanggung jawab suami terhadap istri, faktor ekonomi, faktor tidak ada keserasian antara suami istri dan faktor kejenuhan antara suami istri. Hukum Islam memandang bahwa semua faktor yang menjadi alasan pengabaian nafkah dalam proses perceraian tidaklah dibenarkan. Perihal ketidakmampuan suami untuk memberikan nafkah karena faktor ekonomi menjadi sebuah pengecualian karena tidak dibebankan kepada seseorang sebuah kewajiban melainkan atas kesanggupannya. Suami yang tidak memberikan nafkah selama masa perceraian dapat menjadi hutang baginya dan harus dibayarkan. Namun apabila istri merelakan hutang tersebut tidak dibayarkan oleh suaminya, maka suaminya terbebas dari hutang.
Konsep Talak Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (Analisis Waktu Dan Jumlah Penjatuhan Talak) Jamhuri Jamhuri; Zuhra zuhra
Media Syari'ah Vol 20, No 1 (2018)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v20i1.6503

Abstract

Talak merupakan hukum yang disyariatkan bagi satu pasangan yang tidak mungkin lagi membina hubungan keluarga dengan baik. Peluang talak ini dapat dipilih oleh suami dengan memperhatikan tata cara dan prosedur yang sesuai dengan hukum Islam. Terdapat beberapa hukum yang ulama tidak padu dan berbeda pendapat, khususnya mengenai konsep talak dilihat dari sisi waktu dan jumlah penjatuhannya. Penelitian ini henda mengkaji pendapat Ibn Qayyim. Masalah yang didalami adalah bagaimana pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah terhadap konsep dan pengaruh hukum talak syar’i dilihat dari segi waktu dan jumlah penjatuhan talak, dan bagaimana metode istinbaṭ yang ia gunakan. Penelitian ini termasuk penelitian pustaka, data yang terkumpul dianalisis dengan cara analisis-deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, konsep talak secara umum ada dua bentuk, yaitu talak dari segi waktu dan dari segi jumlah. Dari segi waktu, talak dilakukan saat isteri suci dan tidak digauli saat suci tersebut. Pengaruh suami yang menceraikan isteri saat haid dan telah digauli, itu diharamkan dan talak tidak jatuh. Dari segi jumlah, hak talak suami hanya ada tiga. Tiga jumlah hak talak tersebut digunakan secara bertahap, tidak bisa digunakan sekaligus. Pengaruh suami yang menceraikan isteri dengan talak dua atau tiga sekaligus, talak yang jatuh hanya dipandang satu kali. Adapun dalil yang digunakan Ibn Qayyim yaitu QS. al-Ṭalāq ayat 1, QS. al-Baqarah ayat 229, QS. al-Baqarah ayat 230, dan QS. al-Nūr ayat 6. Adapun riwayat hadis di antaranya hadis dari Nafi’ riwayat Abī Dāwud, dari Sa’di bin Ibrahim riwayat Muslim, dari Abdullah bin Ali bin Sa’ib riwayat Abī Dāwud, dan dari Ibn Wahab riwayat HR. Nasā’i. Metode yang digunakan Ibn Qayyim yaitu bayanī dan metode istiṣlāḥī. Talak is a law prescribed to one spouse that is no longer likely to foster family relationships well. The chance of this Talak can be chosen by the husband taking into account the ordinances and procedures according to Islamic law. There are some laws that scholars do not mix and differ, especially regarding the concept of Talak seen from the time and number of the allotment. This study has studied Ibn Qayyim's opinion. The issue in the matter is how Ibn Qayyim al-Jauziyyah's view of the concept and influence of the law is seen in terms of time and the number of a bailout, and how the Istinbaṭ method he used. This research includes the research of libraries, the collected data is analyzed in a descriptive-analysis way. The results showed that according to Ibn Qayyim al-Jauziyyah, the concept of Talak, in general, there are two forms, namely Talak in terms of time and in terms of number. In terms of time, the Talak was performed during the Holy Wife and not in the holy moment. The influence of the husband who divorced the wife during menstruation and has been held, it is haraam and the Talak does not fall. In terms of numbers, the right to the husband is only three. The three total rights of the Board are used gradually, not to be used at once. The influence of the husband who divorced the wife with a two or three talak at once, a talak that fell only considered one time. The evidence that Ibn Qayyim used is QS.  al-Ṭalāq verse 1,  Qs. Al-Baqarah verses 229,  Qs. Al-Baqarah verses 230, and  Qs. Al-Nūr verse 6. The history of Hadith includes hadith from  Nafi ' History of Abī Dāwud,  from Sa'di bin Ibrahim  Muslim history, from Abdullah bin Ali bin Sa'ib  abī dāwud history, and Ibn Wahab narrated by the history of the Christian. The method used Ibn Qayyim was bayanī and the method Istiṣlāḥī. 
Kedudukan Wali Nanggroe di Pemerintahan Aceh Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Lembaga Wali Nanggroe Aulia Rahma; Jamhuri Ungel; Rispalman Rispalman
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 7, No 2 (2022)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/justisia.v7i2.15607

Abstract

AbstrackLembaga Wali Nanggroe was formed with its function as a unifying forum for Aceh people. Undang-undang Pemerintah Aceh No 11 Tahun 2006 explains the existence to acknowledge this institution. Lembaga Wali Nanggroe is a non-governmental institution which means it is neither an executive nor a legislative body. The authority stated in Undang Undang No 10 Tahun 2019 also includes executive and legislative branches so that the position of Lembaga Wali Nanggroe in the Aceh government is questionable. This study uses legal research methods. The position of the Wali Nanggroe in Indonesian government is limited to a costumary issues, Lembaga Wali Nanggroe is not allowed to take care of non customary issues such as politics. The authority of the Wali Nanggroe in the Aceh governance system is a customary institution that takes care of all Acehnese customary and specific interests, including providing input to the Aceh government because state life ini Aceh is inseparable from customary issues, including land, mining, accelerating development and related matters with the community that included in adat so Lembaga Wali Nanggroe takes care of the problem as parts of its authority.Keywords : Position, Lembaga Wali Nanggroe, Authority AbstrakLembaga Wali Nanggroe dibentuk dengan fungsinya sebagai wadah pemersatu masyarakat Aceh. Untuk mengakui keberadaan lembaga wali nanggore ini maka Undang- undang Pemerintah Aceh No 11 Tahun 2006 menjelaskan keberadaan lembaga ini. Lembaga Wali Nanggroe merupakan lembaga non pemerintahan yang berarti bukan lembaga eksekutif maupun legislatif. Tapi kewenangannya yang disebutkan dalam UU No.10 Tahun 2019 juga mencakup kewenangan pihak eksekutif dan legislatif, sehingga sehingga yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana kedudukan lembaga wali nanggroe di pemerintahan Aceh? Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normative. Kedudukan Wali Nanggroe dalam pemerintahan Indonesia hanya sebatas lembaga adat yang mengurus permasalahan adat istiadat sehingga lembaga wali nanggroe tidak dibenarkan mengurus selain yang bukan masalah adat seperti politik. Kewenangan Wali Nanggroe dalam sistem pemerintahan Aceh adalah lembaga adat yang mengurus segala kepentingan adat dan kekhususan Aceh, termasuk memberi masukan kepada pemerintah Aceh karena kehidupan bernegara di Aceh tidak terlepas dari permasalahan adat, termasuk pertanahan, pertambangan, dan percepatan pembangunan dan hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat, itu dimasukkan dalam adat sehingga lembaga wali nanggroe mengurus permasalahan itu sebagai suatu kewenangannya.Kata kunci: Kedudukan, Lembaga Wali Nanggoe, Kewenangan.