Tatang Bisri
Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran Bandung, Indonesia

Published : 15 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Tata Kelola Edem Paru Neurogenik Riyadh Firdaus; Syafruddin Gaus; Bambang J. Oetoro; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 1 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (261.446 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i1.23

Abstract

Edem paru neurogenik merupakan salah satu komplikasi pernafasan yang dapat muncul setelah cedera/trauma susunan saraf pusat. Bervariasinya laporan epidemiologi dan patofisiologi edem paru neurogenik dapat menyebabkan misdiagnosis yang dapat memperburuk prognosis pada pasien yang mengalami edem paru neurogenik. Patofisiologi edem paru neurogenik diduga dimulai dari kerusakan pada persarafan autonom pembuluh darah pulmonal dan stimulasi berlebihan dari pusat vasomotor susunan saraf pusat, yang kemudian menyebabkan berbagai perubahan yang terjadi pada pembuluh darah pulmonal hingga disfungsi jantung. Investigasi klinis harus dilakukan hati-hati karena manifestasi klinis yang dapat menyerupai edem paru kardiogenik dan non-kardiogenik lainnya, hasil pemeriksaan yang tidak spesifik, dan tidak adanya kriteria diagnosis. Saat ini belum ada pedoman tata kelola edem paru neurogenik yang dapat diterima secara luas, namun berbagai studi dan literatur menyebutkan tata kelola edem paru neurogenik berupa tata kelola suportif airway, breathing, circulation, di samping tata kelola penyebab cedera/trauma susunan saraf pusat memiliki prognosis yang baik, oleh karena itu identifikasi, investigasi, dan tata kelola edem paru neurogenik harus dilakukan secepatnya. Edem paru neurogenik dapat beresolusi dengan baik dalam 48–72 jam setelah mendapatkan tata kelola yang adekuat.Management of Neurogenic Pulmonary EdemaNeurogenic pulmonary edema is one of respiration complication caused by injury of central nervous system. Due to the vary of neurogenic pulmonary edema epidemiology and pathophysiology leads to misdiagnosed of neurogenic pulmonary edema, which could worsen the clinical condition patients. The pathophysiology of neurogenic pulmonary edema is believed caused by lesion on the autonomic central of vascular pulmonary bed and overactivation of central vasomotor system, which leads to alteration of vascular pulmonary conditions and cardiac dysfunction. Clinical investigation should be done carefully, because the clinical manifestations of neurogenic pulmonary edema mimicking the cardiogenic and non-cardiogenic pulmonary edema, non-spesific diagnostic modalities, and none diagnostic criteria in neurogenic pulmonary edema. Although nowadays none of management guidelines of neurogenic pulmonary edema accepted widely, many study reported the good outcome of supportive management of airway, breathing, and circulation besides the primary management of central nervous system injury. Hence, clinical identifications, investigations, and management of neurogenic pulmonary edema should be done immediately, because of good clinical outcome in 48 – 72 hours with adequate management.
Penggunaan Obat Anti Epilepsi untuk Terapi Profilaksis Bangkitan pada Cedera Otak Traumatik Rovina Ruslami; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 1 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3260.66 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i1.60

Abstract

Cedera otak traumatik (COT) merupakan salah satu penyebab bangkitan dan epilepsi. Bangkitan pasca COT (post traumatic seizure/PTS) didefinisikan sebagai bangkitan dini (early PTS) jika terjadi dalam 7 hari pasca COT, atau sebagai bangkitan lanjut (late PTS) bila terjadi sesudah 7 hari pasca COT. Sampai saat ini tidak cukup data yang mendukung rekomendasi level I untuk terapi profilaksis PTS. Kejadian early PTS tidak berhubungan dengan luaran terapi yang lebih buruk. Namun karena insidensinya cukup tinggi, terapi profilaksis dapat menurunkan insidensi early PTS, dan sebagian epilepsi berhubungan dengan cedera kepala sebelumnya, maka terapi profilaksis dapat dipertimbangkan. Terapi profilaksis diindikasikan hanya untuk mencegah early PTS pada kasus COT berat (GCS 8). Terapi profilaksis tidak direkomendasikan untuk mencegah late PTS karena belum ada bukti yang mendukung. Fenitoin (phenytoin=PHT) merupakan obat yang paling banyak diteliti dan digunakan untuk mencegah early PTS, diberikan segera selama 1 minggu. PHT memiliki profil farmakokinetik yang rumit, berbagai efek samping yang memerlukan pemantauan klinis yang ketat dan pemeriksaan kadar obat dalam darah. Obat anti epilepsi (OAE) lain seperti valproat, karbamazepin, dan fenobarbital masih sangat terbatas datanya, memiliki isu keamanan dan farmakokinetik, sehingga saat ini tidak direkomendasikan untuk terapi profilaksis bangkitan pada COT. Levetiracetam (LEV) merupakan OAE yang lebih baru dengan profil farmakokinetik yang lebih “bersahabat”, namun data terkait efikasi dan keamanan masih terbatas. Diperlukan studi lebih lanjut untuk memperlihatkan jika LEV dapat menggantikan PHT dalam terapi profilaksis bangkitan pasca COT.The Use of Antiepileptic Drugs for Posttraumatic Seizure Prophylaxis after Traumatic Brain Injury Traumatic brain injury (TBI) is one of the cause of seizure and epilepy. Post traumatic seizure (PTS) is classified as early PTS if occurs within 7 days after injury, and as late PTS if occurs after 7 days following injury. The incidence of PTS is rather high, and seizure prophylaxis could decrease the incidence of early PTS. Furthermore, part of epilepsy are thought to be the result of previous head trauma. Therefore, prophylaxis therapy can be considered. Currently, there are insufficient data to support a Level I reccomendation for seizure prophylaxis after TBI. Early PTS is not associated with worse outcome. It is only indicated for preveting early PST in severe TBI (GCS 8), and not recommended for preventing late PTS due to lack of evidence to support it. Phenytoin (PHT) has been extensively studied and used for prophylaxis of PTS; it is administered during the first seven days after TBI. PHT has numoerus side effects and drug interactions, has complex non-linear pharmacokinetics that require therapeutic drug monitoring. Data from other AEDs like valproate, carbamazepine, and phenobarbital are very limited. They also have sevral safety and pharmackinetics issues. Therefore they are not recommended for preventing PTS. Levetiracetam (LEV) is a newer AED with a more friedly characteristics. However the data regarding the efficacy and safety is limited. Further investigations is needed to evaluate if LEV is a reasonable alternative to PHT for preventing PTS in patients with TBI.
Hubungan antara Volume Residu Gaster dan Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Pasien Cedera Otak Traumatik Sedang dan Berat Cindy Giovanni; Dewi Yulianti Bisri; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 1 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (233.585 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i1.27

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Cedera Otak Traumatik (COT) berhubungan dengan disfungsi gastrointestinal berupa perlambatan pengosongan lambung. Belum jelas adakah hubungan antara skor Glasgow Coma Scale (GCS) dan derajat gangguan pengosongan lambung yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan volume residu gaster pada pasien COT sedang dan berat serta mengkaji hubungan antara skor GCS dan volume residu gaster pada pasien COT. Subjek dan Metode: Penelitian observasional analitik cross-sectional ini dilakukan pada 42 pasien COT sedang dan berat yang dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin dari bulan Desember 2016 hingga Juni 2017. Pengukuran volume residu gaster, skor GCS, dan tanda vital dilakukan tiap 6 jam selama 48 jam. Data hasil penelitian diuji dengan uji t tidak berpasangan, Chi Square, dan uji korelasi Pearson. Hasil: Hasil penelitian menyatakan bahwa rerata volume residu gaster pada kelompok COT sedang dan berat adalah 10,83 ± 8,15 ml dan 50,59 ± 18,23 ml (p 0,000). Korelasi antara skor GCS dan volume residu gaster menunjukkan adanya korelasi negatif yang bermakna dan sangat kuat (r=-0,745 hingga -,974;p=0,000).Simpulan: Volume residu gaster pada COT berat lebih banyak dari COT sedang dan terdapat hubungan antara skor GCS dan volume residu gaster pada pasien COT.Correlation between Gastric Residual Volume and Glasgow Coma Scale (GCS) Score in Patient with Moderate and Severe Traumatic Brain InjuryBackground and Objective: Traumatic Brain Injury (TBI) is associated with gastrointestinal dysfunction in the form of delayed gastric emptying. It is not clear whether there is a relationship between Glasgow Coma Scale (GCS) score and the degree of gastric emptying that occurs. This study aimed to compare gastric residual volume in moderate and severe TBI patients and to examine the relationship between GCS score and gastric residual volume in TBI patients.Subject and Methods: This cross-sectional analytical observational study was conducted on 42 moderate and severe TBI patients who were admitted to Dr. Hasan Sadikin from December 2016 to June 2017. Measurement of gastric residual volume, GCS score, and vital signs were performed every 6 hours for 48 hours. The result data were tested with unpaired t-test, Chi Square, and Pearson correlation test. Results: The results showed that the mean gastric residual volume in moderate and severe TBI groups was 10.83 ± 8.15 ml and 50.59 ± 18.23 ml (p 0.000). The correlation between GCS and gastric residual volume showed a very strong negative correlation (r=-0,745 to -,974;p=0,000).Conclusion: Gastric residual volume in patient with severe TBI is more than gastric residual volume in moderate TBI and there was a relationship between GCS score and gastric residual volume in TBI patients.
Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik Berat dengan Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Agus Junaidi; S Suwarman; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 2 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2108.356 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i2.65

Abstract

Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan salah satu komplikasi dari cedera otak traumatik (COT) berat, dapat disebabkan karena neurogenic pulmonary edema (NPE), pneumonia, aspirasi, dan emboli paru. Penelitian ini untuk mengetahui korelasi skor GCS pada cedera otak traumatik berat dengan kejadian dan derajat ARDS. Penelitian observasional prospektif cross sectional pada 32 orang pasien COT derajat berat di rumah sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung sejak Mei 2015 sampai September 2015. Pengambilan data dilakukan secara consecutive sampling. Parameter yang dicatat dalam penelitian ini antara lain usia, jenis kelamin, berat badan, GCS, rentang waktu, diagnosis, kejadian ARDS, dan derajat ARDS. Analisis korelasi linear dua variabel dihitung berdasarkan analisis korelasi Spearman dan korelasi ETA. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara skor GCS pada COT berat dengan kejadian ARDS dengan kekuatan korelasi searah, moderat, (r=0,402), bermakna (p0.05) dan derajat beratnya ARDS dengan kekuatan korelasi searah, kecil (r=0,389), bermakna (p0,05). Simpulan dari penelitian ini adalah semakin rendah skor GCS pada COT berat maka akan semakin besar kejadian ARDS dan semakin berat derajat ARDS.Correlation Glasgow Coma Scale (GCS) Score on Severe Head Injury with the Insidence and Degree of Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)Acute respiratory distress syndrome (ARDS) is one of the complications of severe traumatic brain injury (TBI), it can be caused by neurogenic pulmonary edema (NPE), pneumonia, aspiration, and pulmonary embolism. This study was determine the correlation glasgow coma scale score on severe head injury with insidence and degree of acute respiratory distress syndrome. This study was using prospective observational cross-sectional method in 32 patients with severe TBI at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung on May 2015 untill September 2015. Data collection was performed by consecutive sampling. Parameters were recorded in this study include age, gender, weight, GCS, time scales, diagnosis, incidence and degrees of ARDS. Linear correlation analysis was calculated based on two variables Spearman correlation analysis and correlation ETA. The results showed a correlation between GCS score on severe COT with the incidence of ARDS with the strength of the correlation moderate (r=0.402), significantly (p0.05), one direction and degrees of ARDS with the strength of the correlation small (r=0.389), significantly (p0.05), one direction. The conclusions of this study is the lower the GCS score on severe COT will lead to greater the incidence and the degree of ARDS.
Ambang Hemoglobin pada Cedera Otak Traumatik Dewi Yulianti Bisri; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 3 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2059.871 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i3.73

Abstract

WHO mendefinisikan anemia bila konsentrasi Hb12g/dL pada wanita dan 13 g/dL pada laki-laki. Anemia merupakan salah satu komplikasi medikal yang paling sering pada pasien sakit kritis, termasuk pasien dengan kelainan neurologik. Kira-kira 2/3 pasien mempunyai kadar Hb12 g/dL pada saat masuk ke ICU, dan kemudian terjadi penurunan 0,5 g/dl/hari. Transfusi PRC memelihara hematokrit dan kapasitas pembawa oksigen, tapi dihubungkan dengan peningkatan resiko infeksi, gagal multiorgan termasuk gagal nafas, kejadian tromboembolik, dan kematian. Penelitian telah menunjukkan bahwa untuk kebanyakan pasien sakit kritis, tidak ada keuntungan untuk mempertahankan konsentrasi hemogloblin yang lebih tinggi.Disamping penemuan pada pasien sakit kritis, diketahui bahwa konsentrasi Hb serendah 7 g/dL tidak dapat ditolerir pada pasien dengan cedera otak traumatik berat maka indikasi transfusi bila Hb7g/dL. Penelitian telah menunjukkan tidak ada perbedaan dalam mortalitas atau mendukung suatu hubungan antara transfusi dengan lebih buruknya outcome. Mempertahankan konsentrasi Hb sekitar 9-10g/dL adalah suatu strategi terapi yang telah lama dilakukan untuk memperbaiki oksigenasi otak pada pasien dengan cedera otak traumatik. Kemungkinan efek menguntungkan lain dari mempertahankan konsentrasi Hb yang lebih tinggi adalah untuk menghindari peningkatan tekanan intrakranial yang dipicu oleh anemia dan untuk memberikan tekanan darah yang lebih tinggi serta tekanan perfusi otak yang lebih baik. Simpulan adalah anemia berat dan transfusi RBC bisa mempunyai pengaruh pada outcome klinis, transfusi restriksif aman dan sering dianjurkan, indikasi transfusi bukan dari kadar Hb tapi dari sinyal otak misalnya brain tissue oxygen tension dan regional cerebral oxygen saturation. Hemogloblin Treshold in Traumatic Brain InjuryWHO defined anemia as a Hb concentration 12 gr/dL in women and 13 g/dL in men. Anemia is one of the most common medical complication in critically ill patient, including patient with neurologic disorder. About 2/3 patient have Hb concentration 12 g/dL at the time of ICU admission with subsequent decrement of about 0.5 g/dL per day. PRC transfusion improve hematocrit and oxygen carrying capacity, but have correlation with increase infection risk, multiorgan failure including respiratory failure, thromboembolic event and death. The study show that for common critically ill patient, no benefit to keep Hb concentration in higher level. Beside in critically ill patient, Hb concentratrion as low as 7 g/dL can be tolerir in severe traumatic brain injury and indication for transfusion if Hb7g/dL. Study show that no different in mortality or support a relation between transfusion and worst outcome. Keeping Hb concentration arround 9–10g/dL is a strategy therapy to improve brain oxygenation in traumatic brain injury patient. The possibility othe advantageus in higher Hb concentration is to avoid increase ICP cause by anemia and to increase blood pressure and better cerebral perfusion pressure.The conclusion is severe anemia and RBC transfusion have some effect in clinical outcome, restrictive transfusion safe and advisable, transfusion indication not only from Hb level but from brain signaling ec brain tissue oxygen tension and regional cerebral oxygen saturation.