Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Tanggung Jawab Negara Terhadap Terpidana Anak Korban Salah Tangkap Maulana Habibie; Madiasa; Marlina; Edy Ikhsan
Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum Vol 1 No 1 (2021): Desember
Publisher : LOCUS MEDIA PUBLISHING

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (234.835 KB) | DOI: 10.56128/jkih.v1i1.12

Abstract

Negara memiliki tanggungjawab terhadap terpidana anak korban salah tangkap dan sangat erat kaitannya. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 95 dan pasal 97 Kitab Undang-undang no 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Bentuk tanggungjawab negara terhadap terpidana anak korban salah tangkap. Tanggungjawabnya berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maka ada dua bentuk tanggungjawabnya yaitu ganti rugi dan rehabilitasi. Analisis terhadap putusan Mahkamah Agung No 131/PK/Pid.Sus/2015. Berdasarkan pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam menjatuhkan Putusannya yaitu menyatakan terdakwa keempat pengamen terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan secara bersama-sama dalam Pasal 338 jo 55 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan dikuatkan kembali oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dalam hal ini keputusan hakim tidaklah tepat karena hakim hanya bersandar pada bukti-bukti yang ada pada proses penyidikan dikepolisian.  Sementara itu pada Tingkat Mahkamah Agung berdasarkan Penijauan kembali yang diajukan terpidana anak pengamen yang memuat putusan bebas kepada terpidana anak tersebut. Berdasarkan novoum yang dijadikan alasan menjadi pertimbangan hakim dalam mengabulkan alasan keempat terpidana anak pengamen sehinggah hakim tingkat Mahkamah Agung melalui putusan No 131/PK/Pid.Sus/2015 memutus bebas keempat terpidana anak pengamen. Katakunci: Tanggungjawab Negara, Terpidana Anak, Korban Salah Tangkap Abstract The state has a responsibility to convict child victims of wrongful arrest and is very closely related. This can be seen in Article 95 and Article 97 of the Book of Law No. 8 of 1981 concerning the Criminal Procedure Code. The form of state responsibility towards convict child victims of wrongful arrest. Responsibilities based on the Criminal Procedure Code, there are two forms of responsibility, namely compensation and rehabilitation. Analysis of the Supreme Court's decision No. 131/PK/Pid.Sus/2015. Based on the consideration of the judges of the South Jakarta District Court in passing their verdict, namely stating that the defendants of the four buskers were proven to have committed the crime of murder together in Article 338 jo 55 paragraph (1) of the Criminal Code and reaffirmed byDKI Jakarta High Court. In this case the judge's decision is not right because the judge only relies on the evidence that is in the police investigation process. Meanwhile, at the Supreme Court level, based on a review submitted by the convict child buskers, which contains an acquittal to the convict child. Based on the novoum which was used as the reason for the judge's consideration in granting the reasons for the four convicts of child buskers, the judge at the Supreme Court level through decision No. 131/PK/Pid.Sus/2015 decided to release the four convicts of child buskers. Keywords: State Responsibility, Child Convicts, Victims of Wrong Arrest
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KEKERASAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN (Studi Kasus Putusan Nomor 3/Pid-SusAnak/2020/PN.Pts) Rio Reza Parindra; Marlina; Mustamam
Jurnal Ilmiah METADATA Vol. 4 No. 2 (2022): Edisi Bulan Mei 2022
Publisher : LPPM YPITI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sistem peradilan anak mempunyai kekhususan, dimana terhadap anak sebagai suatu kajian hukum yang khusus, membutuhkan aparat-aparat yang secara khusus diberi wewenang untuk menyelenggarakan proses peradilan pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Rumusan masalah ini adalah bagaimana pengaturan hukum penerapan restorative justice terhadap anak yang melakukan tindak pidana kekerasan yang mengakibatkan kematian, bagaimana penerapan restorative justice terhadap tindak pidana kekerasan yang mengakibatkan korban meninggal yang dilakukan oleh anak, bagaimana pertimbangan hakim dalam dalam penerapan restoratif justice terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan yang mengakibatkan kematian menurut putusan Nomor 3/PID.sus-anak/2020/PN.Pts. Jenis penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka, dimana bahan atau data yang diperoleh akan disusun secara sistematis dan dianalisa dengan menggunakan prosedur logika ilmiah yang sifatnya kualitatis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan hukum restoratif justice terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan diatur dalam UndangUndang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hakim tidak memberikan restorative justice dengan melaksanakan diversi terhadap anak yang melakukan tindak pidana kekerasan terlihat dalam putusan hakim dimana hakimhanya mengacu pada pasal-pasal pelaksanaan diversi dalam UU Nomor 11 Tahun 2012, PERMA Nomor 4 Tahun 2014 dan KUHP. Penerapan restorative justice terhadap tindak pidana kekerasan yang mengakibatkan korban meninggal yang dilakukan oleh anak mendapatkan hambatan dalam penerapannya seperti masih sangat terbatasnya baik sarana fisik bangunan tempat pelaksanaan restorative justice.
KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN PASCA KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUUXIV/2016 (Studi Putusan Nomor 3398/Pid.B/2017/PN.Mdn) Sisworo; Marlina; Danialsyah
Jurnal Ilmiah METADATA Vol. 4 No. 2 (2022): Edisi Bulan Mei 2022
Publisher : LPPM YPITI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tindak pidana pencurian sampai saat ini masih dilematis dan menjadi masalah yang cukup serius serta memerlukan pemecahan. Permasalahan dalam ini adalah bagaimana pengaturan alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia, bagaimana kekuatan pembuktian rekaman CCTV dalam penyelesaian tindak pidana pencurian dengan pemberatan, bagaimana kedudukan hukum rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam tindak pidana pencurian dengan pemberatan berdasarkan Putusan Nomor 3398/Pid.B/2017/PN.Mdn. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif, yaitu penelitian yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan permasalahan yang dikemukakan. Data yang dipergunakan adalah data sekunder dan metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian kepustakaan (library research). Analisis data yang digunakan adalah data kualitatif. Pengaturan alat bukti elektronik berupa CCTV sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana sebagai Alat bukti diatur dalam Pasal 188 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia oleh UU ITE Kekuatan pembuktian rekaman CCTV dalam penyelesaian tindak pidana pencurian dengan pemberatan sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana CCTV dapat dipergunakan sebagai alat bukti petunjuk, jika CCTV tersebut mempunyai keterkaitan antara keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 188 Ayat (2) KUHAP. Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa Kedudukan hukum rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam tindak pidana pencurian dengan pemberatan berdasarkan Putusan Nomor 3398/Pid.B/2017/PN.Mdn menurut Majelis Hakim menjadikan Rekaman CCTV sebagai penguat dari keterangan saksi-saksi yang dihadirkan dalam penyelidikan.
TINDAK PIDANA MENDISTRIBUSIKAN INFORMASI ELEKTRONIK DAN DOKUMEN ELEKRONIK YANG MEMUAT PENGHINAAN DAN PENCEMARAN NAMA BAIK (Studi Putusan Mahkamah Agung RI omor 510 K/Pid.Sus/2020) Nusantara Tarigan; Marzuki; Marlina
Jurnal Meta Hukum Vol. 1 No. 3 (2022): Edisi November 2022
Publisher : LPPM YPITI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (238.705 KB) | DOI: 10.47652/jmh.v1i1.269

Abstract

Pencemaran nama baik dalam informasi elektronik merupakan hal yang membuat kerugian disisi orang yang dirugikan akibat serangan kehormatan di informasi elektronik. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif, yaitu penelitian yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan permasalahan yang dikemukakan. Data yang dipergunakan adalah data sekunder dan metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian kepustakaan (library research). Analisis data yang digunakan adalah data kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa pertimbangan hukum hakim dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 510 K/Pid.Sus/2020 bahwa hakim dalam memutus perkara tersebut menerapkan ketentuan yang terdapat dalam UU ITE dengan pertimbangan bahwa pelaku tindak pidana mendistribusikan informasi elektronik dan dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama baik telah memenuhi unsur-unsur Pasal 45 ayat (3) Jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE sehingga terdakwa dijatuhi dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.
The Problematics of Turning on The Main Light Lettings For Two-Wheeled Motor Vehicle Under The Laws Number 22 Year 2009 on Traffic And Road Transport Juliani Prihartini; Alvi Syahrin; Mahmud Mulyadi; Marlina
Mahadi: Indonesia Journal of Law Vol. 2 No. 1 (2023): Edisi Februari 2023
Publisher : Universitas Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

For two-wheeled vehicles, it is expressly required by Law Number 22 of 2009 Concerning Road Traffic and Transportation to switch on the primary lights during the day. A requirement for vehicle eligibility on the road is the regulation of this obligation. The provisions in the UULLAJ do not yet control the ATPM's accountability for vehicle requirements that ensure the headlights stay on and the availability of an automatic device as a warning when the headlights are damaged. This has ramifications for traffic-related duties performed by the National Police in the area of law enforcement. Only drivers who fail to fulfil their requirements to ensure the specifications of their primary lights throughout the day without touching the ATPM are the targets of law enforcement. Because there was no legal framework for the Police to take action against the ATPM, this law enforcement was not carried out. In reality, considerations of legal certainty, justice, and advantages must be given while establishing a legal norm. Data were collected using interviews as main sources and library research as secondary sources. This study employs a qualitative research methodology and is a descriptive analysis.