Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

PEMBAHARUAN USHUL FIQH ALI JUM’AH MUHAMMAD Muhammad Zainuddin Sunarto; Tutik Hamidah; Abbas Arfan
JURNAL HAKAM Vol 6, No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Agama Islam Universitas Nurul Jadid

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33650/jhi.v6i1.3878

Abstract

The reform of ushul fiqh is perhaps the most significant achievement in the rebirth of Islamic philosophy. Only when people realize the phenomenon of stagnation of traditional fiqh can ushul fiqh be renewed. This awareness can only be built if people realize the need for reform of religious thought and practice it on a large scale. Many scholars propose a reconstruction of ushul fiqh, intending to show that religion can be used to solve everyday problems. Sheikh Ali Jum'ah, Izzudin Ibn Abdus Salam, and Ibn Ashur were prominent figures. Brilliant ideas and practical solutions seem to have entered the paradigm of Indonesian Islamic thought, especially the paradigm of ushul fiqh reform, which is still stagnant. Another weakness of fiqh and ushul fiqh is that there is no dynamic relationship between them and the social sciences, thus losing their relevance to the needs of the people. The mufti of Egypt, Sheikh Ali Jum'ah, also had the same view regarding the reformulation of Usul fiqh produced by previous scholars. So that Usul fiqh can be more developed and adaptive to new problems. Sheikh Ali Jum'ah's tajdid offer, namely: Restoring the old study form of ushul fiqh with an updated structure; Returning several views on several issues and using new opinions on existing problems, as well as reusing aqli in discussing these problems; Returning some views on the application of the rules to this science and in this application sticking to other views; Restoring this scientific structure by the novelty of the illat, and make this renewal according to the character of ushul fiqh according to their respective streams.
KONSEP MAQASID SYARI’AH PERSPEKTIF PEMIKIRAN AL-JUWAINI DAN AL-GHAZALI Fahrur Rozi; Tutik Hamidah; Abbas Arfan
IQTISODINA Vol. 5 No. 1 (2022): JUNI
Publisher : LPPM IAI Nazhatut Thullab

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (823.008 KB)

Abstract

Konsep Maqasid Syari’ah sebenarnya telah dimulai dari masa Al-Juwaini yang terkenal dengan Imam Haramain dan oleh Imam al-Ghazali. Lalu kemudian disusun secara sistematis oleh seorang ahli ushul fikih bermazhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam Al-Shatibi (W. 790 H). Konsep itu ditulis dalam kitabnya yang terkenal, Al-Muwwafaqat Fi Ushul Al-Ahkam, khususnya pada Juz II, yang beliau namakan kitab Al-Maqashid. Menurut al-Syatibi, pada dasarnya Syari’at ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (Mashalih Al-‘Ibad), baik di dunia maupun di akhirat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini Library Research. Dengan ciri khusus yaitu sebagai dasar untuk mengembangkan pengetahuan; penelitian ini dihadapkan dengan data atau teks yang disajikan, penelitian ini berhadapan langsung dengan sumber yang sudah ada di perpustakaan atau data siap digunakan. Al-Juwaini adalah termasuk ulama’ yang menekankan pentingnya memahami Maqasid Shari’ah dalam memahami hukum Islam. Dia menegaskan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum Islam sebelum dia memahami secara utuh tujuan Allah mengeluarkan perintah-perintahnya dan larangan-larangannya. Dan Menurut Al-Ghazali, yang dimaksud dengan maslahat adalah upaya memelihara tujuan hukum Islam (Maqasid Shari’ah), yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara tujuan hukum Islam yang lima tersebut disebut Maslahat. Kebalikannya, setiap hal yang merusak atau menafikan tujuan hukum Islam yang lima tersebut disebut Mafsadat, yang oleh karena itu upaya menolak dan menghindarkannya disebut Maslahat.
Online Gold Dropship in Shopee Application Under Perspective Indonesian Ulama Council of North Sumatera Sartika Khairani Siregar; Abbas Arfan
Journal of Islamic Business Law Vol 1 No 3 (2017): Journal of Islamic Bussiness Law
Publisher : Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The seller in the shopee application is given various features of the dropship feature that can be easily accessed by the dropshipper to run their business by getting items they want to resell on social media. This research was conducted to determine the law of buying and selling gold by dropship in the opinion of the Indonesian Ulama Council (MUI) of North Sumatra province. This research is classified into doctrinal law research type. This research is called field research and sociological law research. The approach used is a sociological juridical approach and conceptual approach. the gold dropship mechanism in the shopee application has several stages that must be passed by the dropshipper to be able to get the desired gold and directly sent to the buyer by including the dropshipper's identity as the sender and not the identity of the gold owner. There is no relationship between the gold owner in the shopee app and the dropshipper who don't even know each other. Transactions that occur between the two are only buying and selling transactions. According to the Indonesian Ulama Council (MUI) of North Sumatra province, the gold dropship transaction in the shopee application is unlawful. This is because gold is ribawi amwal which has special treatment if it is used as an object of buying and selling. Legitimate buying and selling of gold is done face-to-face and cash.
Implementasi Bagi Hasil Dalam Kerjasama Maroan Perspektif Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah Siti Najihah; Abbas Arfan
Journal of Islamic Business Law Vol 6 No 4 (2022): Journal of Islamic Business Law
Publisher : Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kerjasama yang kerap dilakukan oleh masyarakat di Desa Dahu adalah kerjasama maroan, yaitu bentuk kerjasama bagi hasil pertanian yang dilakukan oleh penggarap dengan pemilik lahan. Kerjasama maroan dilakukan menurut adat istiadat, hal itu karena masyarakat kurang memahami tentang hukum, dan mempertahankan adat istiadat mereka. Pada perjanjian bagi hasil maroan sering terjadinya ketidaksesuaian dengan hasil yang didapatkan oleh pemilik lahan, pemilik lahan hanya menyerahkan lahan saja, sedangkan bibit tanaman dan biaya-biaya operasional lainnya ditanggung oleh penggarap. Dalam kerjasama bagi hasil maroan belum ada peraturan yang mengatur dengan baik, baik secara nash maupun peraturan lain yang setingkat dengan perundang-undangan, kerjasama pengelolaan lahan pertanian terdapat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah yang disebut dengan istilah akad muzara’ah. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan implementasi bagi hasil dalam kerjasama maroan, dan menjelaskan implementasi bagi hasil dalam kerjasama maroan perspektif Kompilsi Hukum Ekonomi Syari’ah. Jenis penelitian ini adalah yuridis empiris dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa (1) perjanjian pada kerjasama maroan dilakukan dalam bentuk lisan. Sistem bagi hasil pada kerjasama maroan adalah 1:1 hasil bersih, yakni setelah dipotong zakat pertanian 10%, buruh 15% serta biaya pupuk dan racun hama 10%. (2) apabila ditinjau dari KHES, kerjasama maroan ini belum dikatakan sempurna karena akad kerjasamanya adalah fasid. Adapun dalam KHES kerjasama pengelolaan lahan pertanian disebut dengan akad muzara’ah. Akan tetapi, memiliki perbedaan dan persamaan konsep. Perbedaannya pada kerjasama maroan penggarap bebas memilih jenis benih yang akan ditanam tanpa campur tangan pemilik lahan. Akan tetapi dalam KHES jenis benih tanaman harus dinyatakan pasti dalam akad. Adapun persamaannya adalah apabila penggrap melakukan penyimpangan maka kerjasama berakhir.