Aufi Imaduddin
Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Konstitusionalitas Perceraian sebab Perselisihan dan Pertengkaran antara Suami Isteri Aufi Imaduddin
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 1 No 1 (2020): April
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (348.467 KB) | DOI: 10.51675/jaksya.v1i1.138

Abstract

Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi, maka segala aturan yang berlaku dalam tatanan negara harus sesuai dengan aturan yang ada seperti perkara perkawinan. Perkawinan di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dijelaskan dalam undang-undang tersebut tentang tata cara pelaksanaan perkawinan hingga tata cara perceraian beserta akibat hukum yang timbul usai perceraian. Terkait dengan perceraian ini dijelaskan di dalam Pasal 39 ayat (2) huruf f UU No 1 Tahun 1974, kemudian dijabarkan kedalam PP No 9 Tahun 1975 dan juga diatur didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam perkembanganya perceraian yang diatur dalam poin “f” di anggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sehingga menimbulkan kerugian hukum bagi sekelompok masyarakat. Kemudian dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, Pasal 39 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam frasa “Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran ...” justru memberikan salah satu jalan keluar ketika suatu perkawinan tidak lagi memberikan kemanfaatan karena perkawinan sudah tidak lagi sejalan dengan maksud perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UU No 1 Tahun 1974 serta tidak memberikan kepastian dan keadilan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Ghosting Pasca Peminangan/Khitbah Menurut Hukum Perdata Indonesia dan Hukum Islam Aufi Imaduddin; Mir’atul Firdausi; Tiyan Iswahyuni
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 2 No 2 (2021): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (488.123 KB) | DOI: 10.51675/jaksya.v2i2.167

Abstract

Abstrak: Ghosting dapat diartikan mengakhiri hubungan secara mendadak dalam percintaan maupun pertemanan. Dalam percintaan para remaja yang menjalin hubungan atau pacaran seringkali mengalami dijanjikan untuk dinikahi tetapi janji tersebut tidak ditepati. Janji menikahi ini berbeda dengan perjanjian perkawinan sebagaimana dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1975 tentang perkawinan, janji menikahi yang dianggap sebagai ghosting ini disampaikan lewat lisan berupa rayuan, bahkan ada yang merayu untuk berhubungan badan dengan janji untuk dinikahi namun kemudian mengingkari janji tersebut dan menghilang begitu saja padahal persiapan pernikahan sudah 90 persen. Kejadian ini sudah banyak terjadi dari dahulu hingga saat ini. Dalam hukum perdata, ghosting yang menyebabkan pembatalan lamaran atau pinangan tidak menimbulkan hak untuk menuntut berlangsungnya perkawinan kepada pengadilan, juga tidak ada hak untuk menuntut ganti rugi biaya akibat tidak dipenuhinya janji menikahi yang dilakukan oleh pelaku, akan tetapi ganti rugi bisa dituntut ketika sudah ada pengumuman tentang perkawinan tersebut dalam tenggang waktu delapan belas bulan terhitung dari pengumuman perkawinan. Sama halnya dalam hukum Islam ghosting yang menyebabkan pembatalan khitbah juga tidak mengikat dan tidak ada konsekuensi apapun sebelum adanya akad nikah, namun pembatalan lamaran atau khitbah harus dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntutan kebiasaan agar bisa saling menjaga kehormatan dan silaturrahim masing-masing.
Kenaikan Batas Usia Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dan Implikasinya Terhadap Kenaikan Angka Perkara Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Pemalang Muhammad Nur Falah; Aufi Imaduddin; Kholisatul Ilmiyah
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 1 No 2 (2020): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (389.025 KB) | DOI: 10.51675/jaksya.v1i2.173

Abstract

Abstrak: Sejak mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Angka perkara dispensasi kawin melonjak. Sebagai contohnya terjadi di Kabupaten Pemalang yaitu sebanyak 951 permohonan. Berdasarkan Undang - Undang No.16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan Pasal 7 Ayat(2) yang berbunyi “Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan denga alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Fokus penelitian ini adalah Kenaikan Batas Usia Perkawinan MenurutUndang- Undang Nomor 16 Tahun 2019 jo.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974tentang Perkawinan dan Implikasinya terhadap Kenaikan Angka Perkara Dispensasi Nikah Di Pengadilan Agama Pemalang. Metode penelitian menggunakan jenis penelitian yuridis empiris. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 merupakan upaya pemerintah dalam mencegah pernikahan dini, sayangnya penetapan ini tidak dibarengi dengan perubahan aturan tentang dispensasi nikah sehingga semakin meningkat angka permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama, hal ini disebabkan karena tidak adanya batasan yang jelas pada saat kapan dan dalam situasi apa pemberian dispensasi oleh pengadilan dan instansi berwenang diberikan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jumlah perkara permohonan dispensasi nikah setelah ditetapkannya revisi Undang-Undang Pernikahan mengalami peningkatan di beberapa kota/kabupaten. Pengadilan Agama Pemalang mengalami kenaikan yang signifikan.
Dilematik Penggunaan Ganja Medis di Indonesia (Tinjuan Analisis Perspektif Konstitusi Hukum di Indonesia dan Hukum Islam) Mir’atul Firdausi; Aufi Imaduddin; Faridatul Ulya
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 3 No 2 (2022): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v3i2.254

Abstract

penggunaan ganja medis
Istilah “Suami Sebagai Kepala Keluarga dan Istri Sebagai Ibu Rumah Tangga” dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Perspektif Feminisme Aufi Imaduddin; Mir’atul Firdausi
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 4 No 2 (2023): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v4i2.576

Abstract

Istilah/klausul “suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga” tertuang dalam pasal 31 ayat 3 undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 dan pasal 79 ayat 1 dalam kompilasi hukum Islam. Istilah kepala keluarga dan ibu rumah tangga menjadi istilah yang membudidaya di Indonesia. Kepala keluarga diartikan sebagai seseorang yang memimpin dan bertanggung jawab kepada keluarga baik dari segi ekonomi, pendidikan maupun dari segi sosial, sedangkan ibu rumah tangga diartikan sebagai seorang istri yang mengurus urusan rumah tangga dari memasak, mencuci, membersihkan rumah, mendidik anak dan biasanya ibu rumah tangga tidak bekerja di ranah publik. Namun, hal tersebut tidak relevan dengan keadaan zaman sekarang, banyak perempuan-perempuan yang bekerja di ranah publik dan juga banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Dan ini menjadi menarik jika dilihat dari sudut pandang feminisme yang menganggap hal tersebut sebagai ketidakadilan gender. Jenis penelitian yang digunakan ialah jenis penelitian hukum normatif dengan mengkaji literatur peraturan perundang-undangan, tafsir-tafsir Al Qur’an klasik dan tafsir feminisme yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data studi pustaka dan juga literatur primer, sekunder dan tersier. Adapun metode analisa data yang digunakan penulis berupa metode analisis data secara yuridis kualitatif yang kemudian informasi tersebut akan dituangkan secara deskriptif. Penulis menyimpulkan, bahwasanya pegiat feminisme menentang istilah “suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga” dengan alasan bahwasanya istilah tersebut merugikan pihak perempuan dari sisi kepemimpinan suami sebagai kepala keluarga dengan dianalisis melalui tafsir feminisme. Feminisme menganggap seorang laki-laki bisa dikatakan sebagai pemimpin hanya jika memenuhi 2 syarat yaitu mampu dan mempunyai pencapaian dalam hal harta, jika tidak memenuhi syarat tersebut maka dia tidak layak dikatakan pemimpin walaupun statusnya sebagai suami.