Mir’atul Firdausi
Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Ghosting Pasca Peminangan/Khitbah Menurut Hukum Perdata Indonesia dan Hukum Islam Aufi Imaduddin; Mir’atul Firdausi; Tiyan Iswahyuni
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 2 No 2 (2021): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (488.123 KB) | DOI: 10.51675/jaksya.v2i2.167

Abstract

Abstrak: Ghosting dapat diartikan mengakhiri hubungan secara mendadak dalam percintaan maupun pertemanan. Dalam percintaan para remaja yang menjalin hubungan atau pacaran seringkali mengalami dijanjikan untuk dinikahi tetapi janji tersebut tidak ditepati. Janji menikahi ini berbeda dengan perjanjian perkawinan sebagaimana dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1975 tentang perkawinan, janji menikahi yang dianggap sebagai ghosting ini disampaikan lewat lisan berupa rayuan, bahkan ada yang merayu untuk berhubungan badan dengan janji untuk dinikahi namun kemudian mengingkari janji tersebut dan menghilang begitu saja padahal persiapan pernikahan sudah 90 persen. Kejadian ini sudah banyak terjadi dari dahulu hingga saat ini. Dalam hukum perdata, ghosting yang menyebabkan pembatalan lamaran atau pinangan tidak menimbulkan hak untuk menuntut berlangsungnya perkawinan kepada pengadilan, juga tidak ada hak untuk menuntut ganti rugi biaya akibat tidak dipenuhinya janji menikahi yang dilakukan oleh pelaku, akan tetapi ganti rugi bisa dituntut ketika sudah ada pengumuman tentang perkawinan tersebut dalam tenggang waktu delapan belas bulan terhitung dari pengumuman perkawinan. Sama halnya dalam hukum Islam ghosting yang menyebabkan pembatalan khitbah juga tidak mengikat dan tidak ada konsekuensi apapun sebelum adanya akad nikah, namun pembatalan lamaran atau khitbah harus dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntutan kebiasaan agar bisa saling menjaga kehormatan dan silaturrahim masing-masing.
Faktor dan Dampak Nikah Paksa Terhadap Putusnya Pernikahan Menurut Kompilasi Hukum Islam Hisdiyatul Izzah; Mir’atul Firdausi; Muhammad Syekh Ikhsan syaifuddin
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 2 No 1 (2021): April
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (450.464 KB) | DOI: 10.51675/jaksya.v2i1.174

Abstract

Abstrak: Tujuan pernikahan adalah untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrohmah. Konsep tersebut sudah di terangkan dalam al-Quranul Karim. Guna terciptanya konsep tersebut maka, didalam rumah tangga harus didasari dengan rasa cinta dan kasih serta kepercayaan antara pasangan. Jadi disini, pernikahan yang terjadi itu harus atas dasar suka sama suka bukan adanya unsur keterpaksaan. Tetapi didalam praktiknya masih banyak sekali masyarakat yang memaksa anaknya atau keluarganya untuk melakukan perikahan tanpa dasar suka sama suka. Sehingga dalam mengarungi behtera rumah tangga akan mudah sekali goyah dan perceraian biasanya merupakan hal yang sering terjadi. Metode penelitian yang digunakan adalah field (penelitian lapangan) yaitu penelitian terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian pada objek yang dibahas yaitu faktor dan dampak nikah paksa terhadap putusnya perkawinan menurut kompilasi hukum islam. Hasilnya penelitian ini adalah; 1) ada tiga faktor yang melatar belakangi putusnya perkawinan; a) faktor ekonomi, b) faktor pendidikan, c) faktor sosial, 2) Dampak negatif pernikahan yang didasarkan oleh kawin paksa; a) Tidak Adanya Rasa Cinta Dan Kasih Sayang, b) Kurangnya rasa tanggung jawab terhadap keluarganya, c) Sering terjadi pertengkaran dalam keluarga.
Dilematik Penggunaan Ganja Medis di Indonesia (Tinjuan Analisis Perspektif Konstitusi Hukum di Indonesia dan Hukum Islam) Mir’atul Firdausi; Aufi Imaduddin; Faridatul Ulya
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 3 No 2 (2022): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v3i2.254

Abstract

penggunaan ganja medis
Istilah “Suami Sebagai Kepala Keluarga dan Istri Sebagai Ibu Rumah Tangga” dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Perspektif Feminisme Aufi Imaduddin; Mir’atul Firdausi
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 4 No 2 (2023): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v4i2.576

Abstract

Istilah/klausul “suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga” tertuang dalam pasal 31 ayat 3 undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 dan pasal 79 ayat 1 dalam kompilasi hukum Islam. Istilah kepala keluarga dan ibu rumah tangga menjadi istilah yang membudidaya di Indonesia. Kepala keluarga diartikan sebagai seseorang yang memimpin dan bertanggung jawab kepada keluarga baik dari segi ekonomi, pendidikan maupun dari segi sosial, sedangkan ibu rumah tangga diartikan sebagai seorang istri yang mengurus urusan rumah tangga dari memasak, mencuci, membersihkan rumah, mendidik anak dan biasanya ibu rumah tangga tidak bekerja di ranah publik. Namun, hal tersebut tidak relevan dengan keadaan zaman sekarang, banyak perempuan-perempuan yang bekerja di ranah publik dan juga banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Dan ini menjadi menarik jika dilihat dari sudut pandang feminisme yang menganggap hal tersebut sebagai ketidakadilan gender. Jenis penelitian yang digunakan ialah jenis penelitian hukum normatif dengan mengkaji literatur peraturan perundang-undangan, tafsir-tafsir Al Qur’an klasik dan tafsir feminisme yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data studi pustaka dan juga literatur primer, sekunder dan tersier. Adapun metode analisa data yang digunakan penulis berupa metode analisis data secara yuridis kualitatif yang kemudian informasi tersebut akan dituangkan secara deskriptif. Penulis menyimpulkan, bahwasanya pegiat feminisme menentang istilah “suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga” dengan alasan bahwasanya istilah tersebut merugikan pihak perempuan dari sisi kepemimpinan suami sebagai kepala keluarga dengan dianalisis melalui tafsir feminisme. Feminisme menganggap seorang laki-laki bisa dikatakan sebagai pemimpin hanya jika memenuhi 2 syarat yaitu mampu dan mempunyai pencapaian dalam hal harta, jika tidak memenuhi syarat tersebut maka dia tidak layak dikatakan pemimpin walaupun statusnya sebagai suami.