Putu Doster Mahayasa
Bagian Obstetri Dan Ginekologi, Fakultas Kedokteraan Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : E-Journal Obstetric

SAKROKOLPOPEKSI DENGAN LAPAROSKOPI UNTUK PENANGANAN PROLAPS ORGAN PANGGUL Mahayasa, Putu Doster
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 3, No 2 (2015)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Prolaps organ panggul merupakan salah satu permasalahan yang cukup sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dimana pasien biasanya datang dengan keluhan penuh pada liang vagina, rasa tidak nyaman, gangguan berkemih, gangguan defekasi, ataupun dispareunia. Untuk mendiagnosa dan menentukan derajat prolaps, ICS (international Continence Society) telah menstandarisasi pengukuran yang dinamakan POP-Q (pelvic Organ Prolapsed Quantification). Tujuan penatalaksanaan dari prolaps organ panggul adalah untuk menghilangkan gejala, mengembalikan fungsi, memperbaiki anatomi, atau bahkan untuk kepentingan kosmetik. Terapi untuk prolaps organ panggul dapat dengan terapi konservatif (non bedah) maupun dengan terapi pembedahan. Pemilihan terapi bergantung kepada jenis, beratnya gejala, umur, keadaan umum penderita, kebutuhan fungsi seksual, fertilitas, maupun faktor resiko kekambuhan. Pada pasien dengan kontraindikasi untuk menjalani pembedahan, pemasangan pesarium dapat mengurangi gejala tanpa resiko pembedahan. Untuk teknik pembedahan, saat ini prolaps organ panggul dapat diterapi dengan berbagai teknik, dengan atau tanpa material sintetis, dengan laparotomi, laparoskopi, maupun pembedahan pervaginam. Pada pembedahan pervaginam, histerektomi adalah tindakan yang paling sering dilakukan, selain itu juga dapat dilakukan fiksasi dari puncak vagina ke ligamentum sakrospinosum. Pada laparotomi dapat dilakukan histerektomi total, histerektomi subtotal, atau dengan mempertahankan uterus, dimana dapat digunakan material sintetik untuk menggantung cervix, uterus, ataupun vagina ke sakrum, yang dikenal dengan teknik abdominal sakrokolpopeksi, dimana teknik tersebut pada saat ini telah menjadi gold standard untuk penanganan prolaps uteri maupun prolaps puncak vagina, karena tingkat keberhasilan yang tinggi dan angka kekambuhan yang rendah. Seiring dengan berkembangnya teknologi dalam bidang kedokteran khususnya pada bidang uroginekologi, para ahli mengembangkan suatu teknik operasi perabdominal tetapi dengan penggunaan laparoskopi, sehingga didapatkan hasil operasi yang maksimal, angka kekambuhan yang rendah, serta waktu pemulihan yang cepat dan rasa ketidak nyamanan pasca operasi yang lebih ringan. Seperti pada komplikasi laparoskopi pada umumnya, komplikasi yang sering terjadi pada sakrokolpopeksi dengan laparoskopi adalah infeksi, hematoma,  perdarahan,  perlukaan pembuluh darah, ureter,  buli-buli, maupun usus. Komplikasi pasca operasi yang cukup sering dijumpai adalah erosi yang disebabkan oleh mesh, insidennya berkisar antara 0-9%. Pengetahuan anatomi yang baik dari dasar panggul maupun keterampilan dalam tindakan laparoskopi dan penjahitan sangat diperlukan untuk mengurangi angka kejadian komplikasi.
TIDAK TERDAPAT PERBEDAAN YANG BERMAKNA ANTARA NILAI ABSOLUT CD4 DAN PERSENTASE CD4 IBU HAMIL TERINFEKSI HIV PADA TRIMESTER II DAN III DI RSUP SANGLAH Doster Mahayasa, Putu
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Transmisi HIV dari ibu ke anak selama kehamilan memiliki nilai yang bervariasi, antara 15-40 % apabila tidak mendapatkan terapi. Sedangkan untuk transmisi melalui ASI diperkirakan dapat mencapai 30-40 %. Seroprevalensi HIV pada kehamilan menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 0.7 % pada tahun 2003–2004 menjadi 0.9 % pada tahun 2005–2006. Nilai persentase CD4 merupakan faktor risiko independen dan dapat digunakan untuk memprediksi risiko terjadinya pertumbuhan janin terhambat (PJT) pada bayi dengan ibu positif HIV, sedangkan studi yang memakai nilai absolut CD4 gagal menunjukkan korelasi tersebut.   Pada kehamilan terjadi hemodilusi sebesar 40-50 % selama kehamilan dengan puncaknya pada usia kehamilan 32-34 minggu. Nilai absolut CD4 diduga dipengaruhi oleh besaran hemodilusi itu sendiri yang berbeda pada setiap Trimester kehamilan. Pengaruh hemodilusi pada persentase CD4 diduga tidak bermakna. Dengan demikian, penelitian tentang perbandingan antara nilai absolut CD4 dengan persentase CD4 Trimester II dan III pada ibu hamil terinfeksi HIV sangat penting dilakukan untuk melihat variasi dari nilai hitung absolut CD4 dan persentase CD4, sehingga dapat menetukan metode pemeriksaan yang tepat untuk untuk menilai status imun ibu hamil dengan HIV.   Penelitian dengan metode kohort dilakukan pada 20 wanita hamil Trimester II dan III dengan infeksi HIV untuk membuktikan pengaruh kehamilan terhadap variasi nilai hitung absolut CD4 dan persentase CD4 pada kehamilan dengan HIV Trimester II dan III. Hasil uji t-paired didapatkan nilai p > 0,05 pada kedua nilai CD4. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada rerata nilai CD4, baik absolut maupun persentase CD4 antara Trimester II dan Trimester III. Hasil uji chi-square dilakukan untuk menilai pengaruh kehamilan terhadap perubahan nilai absolut CD4 dan persentase CD4 pada kehamilan dengan HIV Trimester II dan III menunjukkan hasil yang tidak bermakna (RR = 1,00, IK 95% = 0,43-2,33, p=1,00). Nilai absolut CD4 dan persentase CD4 cenderung tidak mengalami fluktuasi yang bermakna selama kehamilan Trimester II dan III. Dapat dikatakan nilai absolut CD4 merupakan parameter yang dapat dipercaya dalam menilai status imun ibu hamil dengan HIV tanpa perlu melakukan pemeriksaan tambahan persentase CD4. Nilai hitung persentase CD4 kemungkinan memiliki nilai prediktor tersendiri dalam menilai status imun pasien hamil dengan HIV, apabila terdapat faktor lain di luar kehamilan yang dapat mempengaruhi nilai hitung absolut CD4.
SALINE INFUSION SONOHYSTEROGRAPHY PADA KELAINAN ENDOMETRIUM DAN TES PATENSI TUBA Doster Mahayasa, Putu
E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana Vol 2, No 2 (2014)
Publisher : E-Journal Obstetric & Gynecology Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Transvaginal Sonography (TVS) uterus dan tuba telah berkembang menjadi prosedur diagnostik rutin untuk mengevaluasi kelainan – kelainan ginekologi. Telah banyak dibuktikan bahwa TVS sangat akurat dalam menemukan kelainan di kavum uteri dan tuba. Prosedur ini memiliki keuntungan di mana untuk pencitraan normal hampir tidak terdapat perbedaan interpretasi meskipun pemeriksaan dilakukan oleh operator yang berbeda. Namun akurasi diagnostiknya akan menurun jika digunakan untuk kasus abnormalitas dan inkonklusif. Di sisi lain, histeroskopi sering digunakan sebagai metode untuk evaluasi endometrium pada  pasien perdarahan uterus abnormal dan dinilai cukup efektif namun metode ini mahal dan invasif. Hysterosalphingography (HSG) dan Laparoskopi merupakan 2 metode klasik yang digunakan untuk tes patensi tuba, tetapi HSG memiliki kerugian antara lain merupakan prosedur yang tidak nyaman, terekspos terhadap radiasi dan meningkatkan risiko infeksi. Sementara itu Laparoskopi walaupun dapat memberikan gambaran anatomi pelvis lebih baik dari HSG tetapi tetap tidak dapat memberikan gambaran kavum uteri, invasif dan mahal, serta tidak dapat disingkirkan efek dari anestesi umum yang digunakan. Saline Infusion Sonohysterography (SIS) sudah diakui sebagai teknik yang baik dalam mengevaluasi kelainan kavum uteri, bahkan SIS dapat meningkatkan akurasi pemeriksaan TVS pada kasus abnormalitas dan inkonklusif.  Selain untuk mengevaluasi kavum uteri, SIS juga digunakan untuk tes patensi tuba pada kasus infertilitas. SIS memiliki kelebihan antara lain merupakan prosedur yang tidak invasif, sehingga meminimalisasi rasa tidak nyaman pada pasien serta bebas efek anestesi umum.