Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK UNTUK KASUS KORUPSI: Kajian Antara Hukum Positif dan Hukum Islam Yusuf, Y
Episteme: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8, No 1 (2013)
Publisher : Episteme: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisir dan bersifat lintas batas teritorial (transnasional). Salah satu sebabnya karena pemberantasan korupsi sangat sulit diperangi dalam sistem birokrasi yang koruptif sehingga memerlukan instrumen hukum yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya. Perkembangan praktik tersebut memunculkan suatu gagasan dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian korupsi. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian beyond reasonable doubt, yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence). Akan tetapi di sisi lain sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Penerapan pembuktian terbalik mengalami banyak hambatan sehingga teori tersebut hingga kini belum bisa diaplikasikan di Indonesia karena dianggap bertentangan dengan teori dasar pembuktian. Begitu pula dalam hukum Islam, seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara ketika tidak ada bukti.Corruption is one of an organized wickedness and it is territorial boarder crossing (transnational). The one of cause it is hard to eliminate corruption action in the corrupted bureaucracy and it needs law instruments to prevent and to fight against it. The development of the practice stimulates an idea to conduct authentication of corruption. The admitted theory of authentication that has been used so far is the authentication principal beyond reasonable doubt which is in contradiction with presumption of innocence. However, this principal is hard used during the process of authentication of corruption cases. The implementation of reverse authentication undergoes obstacles and it cannot be applied in Indonesia for it is supposed to be in contradiction with the basic theory of authentication. It also occurs in Islamic law in which a judge should not make a decision of a case if no available proof.
Sadd Al-Dzari'ah Sebagai Hukum Islam Kawakib Kawakib; Hafidz Syuhud; Yusuf Yusuf
Al-Bayan: Jurnal Ilmu al-Qur'an dan Hadist Vol 4 No 1 (2021): Januari
Publisher : LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an Wali Songo Situbondo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35132/albayan.v4i1.103

Abstract

Fiqh merupakan hukum produk hasil ijtihad para ulamā sehingga menghasilkan hukum yang sesuai dengan tujuan syariat Islam untuk kemaslahatan umat manusia yang semakin berkembang seiring dengan situasi dan kondisi perubahan zaman. Para Ulamā dituntut untuk selalu peka terhadap problematika sosial di masyarakat. Akan tetapi, perbedaan latar sisial-kultural para fuqaha' menyebabkan perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut tentunya menimbulkan konsekuwensi dalam pembentukan hukum Islam. sebagaimana perbedaan tersebut adalah tentang kehujjahan Sadd al-Dzarî’ah antara Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Hazm. Ibnu al-Qayyim memandang bahwa konsep sadd al-dzarî’ah sebagai hujjah dalam Hukum Islam selain itu, Ibnu al-Qayyim selalu memberi memotivasi selalu berijtihad, karena pintu ijtihad tidak ditutup dan mengecam kepada orang yang melakukan taklid. Berpikiran rasional diutamakan agar tidak terpaku kepada teks. Dengan pemikiran ini beliau lebih longgar dalam menetapkan dasar-dasar hukum meskipun tidak ada nash yang secara rinci mengakui kehujjahan sadd al-dzarî’ah. Berbeda dengan Ibnu Hazm bahwa selama tidak ditemukan nash yang merubah ketentuan hukumnya sehingga kehujjahan sadd al-dzarî’ah tidak bisa diterima. Dengan demikian,Perbedaan pendapat ini berimplikasi kepada beberapa kasus yang tidak sama ketentuan hukumnya antara Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Hazm. Contoh; jual beli secara tempo lalu si penjual membeli lagi barang tersebut secara kontan dengan harga yang lebih murah. Dalam masalah ini, jika di dekati dengan sadd al-dzarî’ah, maka transaksi ini haram karena praktek jual beli ini berorientasi untuk melakukan praktek riba yang diharamkan. Sedangkan menurut Ibnu Hazm, jual beli ini tidak dilarang karena sudah sesuai dengan ketentuan syara'.
PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK UNTUK KASUS KORUPSI: Kajian Antara Hukum Positif dan Hukum Islam Y Yusuf
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 1 (2013)
Publisher : IAIN Tulungagung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.1.207-233

Abstract

Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisir dan bersifat lintas batas teritorial (transnasional). Salah satu sebabnya karena pemberantasan korupsi sangat sulit diperangi dalam sistem birokrasi yang koruptif sehingga memerlukan instrumen hukum yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya. Perkembangan praktik tersebut memunculkan suatu gagasan dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian korupsi. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian beyond reasonable doubt, yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence). Akan tetapi di sisi lain sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Penerapan pembuktian terbalik mengalami banyak hambatan sehingga teori tersebut hingga kini belum bisa diaplikasikan di Indonesia karena dianggap bertentangan dengan teori dasar pembuktian. Begitu pula dalam hukum Islam, seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara ketika tidak ada bukti.Corruption is one of an organized wickedness and it is territorial boarder crossing (transnational). The one of cause it is hard to eliminate corruption action in the corrupted bureaucracy and it needs law instruments to prevent and to fight against it. The development of the practice stimulates an idea to conduct authentication of corruption. The admitted theory of authentication that has been used so far is the authentication principal beyond reasonable doubt which is in contradiction with presumption of innocence. However, this principal is hard used during the process of authentication of corruption cases. The implementation of reverse authentication undergoes obstacles and it cannot be applied in Indonesia for it is supposed to be in contradiction with the basic theory of authentication. It also occurs in Islamic law in which a judge should not make a decision of a case if no available proof.
FATWA SATWA (KAJIAN FIQH DAN HUKUM POSITIF TENTANG PERBURUAN SATWA) Fachrurazi Fachrurazi; Yusuf Yusuf
Al-Maslahah : Jurnal Ilmu Syariah Vol 13, No 1 (2017)
Publisher : Fakultas Syariah (Syari'ah Faculty )

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (138.483 KB) | DOI: 10.24260/almaslahah.v13i1.920

Abstract

Abstract Hunting animals is a strategy of gaining food to survive. This activity is not only done by traditional people but also done by modern ones, yet they have different techniques and tools for hunting. Islam has rules for such activity (ash-shoid) according to Al-Quran, Hadith, Ijma, and Qiyas. Besides, Indonesian government regulates the activity through an act number 5 of 1990 about natural souces and ecosystem conservation. The resuts of reseach show that according to sharia, hunting is intended to fulfil human’s need for food but by avoiding haraam preys in order to obey the alminghty Allah. Meanwhile, Indonesian government regulates hunting activity through an act number 13 of 1994. Even though sharia and the act of hunting have some differences but both rules show that Islam and Indonesian govement have common perceptions in which animals may be hunted for food and other purposes but they must be protected from over exploitation. Therefore, according to Islamic context, human as khalifah fil ardh and as good Indonesian citizen should follow the rules to maintain the balance life cycle.Keywords : Prey, Hunting Place, Hunting Season, Hunter, Hunting Tools. AbstrakBerburu binatang (satwa) merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Aktifitas berburu ini bukan hanya dilakukan oleh manusia zaman dahulu saja, tetapi juga tetap dilakukan hingga zaman sekarang. Yang berbeda hanya cara yang dilakukan, alat dipergunakan, dan berbagai ragam binatang dijadikan buruan. Islam memberikan tata aturan (hukum) yang berhubungan dengan perburuan (ash-shoid) dengan bersumber dari al-Qur`an dan al-Hadis, ditambah dengan Ijma` dan Qiyas (fiqh). Hukum positif Indonesia juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan berburu melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Hukum Islam perlu mengatur perburuan agar manusia mendapatkan yang terbaik dalam hal makanan dan untuk menguji manusia dalam hal ketatan kepada Allah SWT. Demikian juga dalam hukum positif, peraturan Pemerintah No.13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru menjadi dasar hukum dalam kegiatan berburu di Indonesia. Walaupun antara kedua aturan tersebut (hukum Islam dan Hukum Positif) terdapat beberapa perbedaan, namun keduanya juga mempunyai beberapa bentuk persamaan yang menunjukkan bahwa agama (Islam) dan negara ini mempunyai semangat yang sama bahwa satwa merupakan salah satu entitas yang ada di dunia ini yang walaupun dalam beberapa hal boleh dimanfaatkan oleh manusia (makan, menunggangi, dan lain-lain) namun bukan berarti harus dieksploitasi sehingga mengancam eksistensi dan ekosistem dari satwa tersebut. Maka oleh sebab itu lah, dalam konteks Islam manusia sebagai khalifah fil ardh, Islam dengan fiqh-nya dan negara dengan hukumnya, perlu mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perburuan satwa demi menjaga siklus kehidupan di dunia ini bisa berjalan seimbang.Kata Kunci : satwa buru, tempat buru, musim buru, pemburu dan alat berburu
PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK UNTUK KASUS KORUPSI: Kajian Antara Hukum Positif dan Hukum Islam Y Yusuf
Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman Vol 8 No 1 (2013)
Publisher : Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21274/epis.2013.8.1.207-233

Abstract

Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisir dan bersifat lintas batas teritorial (transnasional). Salah satu sebabnya karena pemberantasan korupsi sangat sulit diperangi dalam sistem birokrasi yang koruptif sehingga memerlukan instrumen hukum yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya. Perkembangan praktik tersebut memunculkan suatu gagasan dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian korupsi. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian beyond reasonable doubt, yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence). Akan tetapi di sisi lain sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Penerapan pembuktian terbalik mengalami banyak hambatan sehingga teori tersebut hingga kini belum bisa diaplikasikan di Indonesia karena dianggap bertentangan dengan teori dasar pembuktian. Begitu pula dalam hukum Islam, seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara ketika tidak ada bukti.Corruption is one of an organized wickedness and it is territorial boarder crossing (transnational). The one of cause it is hard to eliminate corruption action in the corrupted bureaucracy and it needs law instruments to prevent and to fight against it. The development of the practice stimulates an idea to conduct authentication of corruption. The admitted theory of authentication that has been used so far is the authentication principal beyond reasonable doubt which is in contradiction with presumption of innocence. However, this principal is hard used during the process of authentication of corruption cases. The implementation of reverse authentication undergoes obstacles and it cannot be applied in Indonesia for it is supposed to be in contradiction with the basic theory of authentication. It also occurs in Islamic law in which a judge should not make a decision of a case if no available proof.