Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

KAJIAN HUKUM TENTANG KEABSAHAN JUAL BELI ONLINE PADA APLIKASI FACEBOOK Stephanie Nathania Maramis; Merry Elisabeth Kalalo; Rudolf Sam Mamengko
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui bagaimana keabsahan jual beli online pada aplikasi facebook menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan untuk mengetahui lebih jauh mengenai akibat hukum apabila sebuah perjanjian jual beli online tidak memenuhi syarat keabsahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perkembangan proses jual beli berjalan seiring dengan perkembangan zaman yang ada, sehingga timbul berbagai cara baru untuk melakukan proses jual beli. Salah satunya adalah melalui sosial media yang sedang marak digunakan yaitu media facebook. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa peraturan yang mengatur mengenai sah atau tidaknya jual beli melalui facebook ini belum begitu jelas sehingga masyarakat mempertanyakan keabsahannya. Dengan diketahui keabsahannya maka suatu pelanggaran aturan yang terjadi dilingkungan jual beli di aplikasi facebook, pasti memiliki akibat hukumnya, sehingga keamanan akan lebih terjamin dan semakin banyak peminat yang akan melakukan aktivitas jual beli melalui aplikasi facebook. Meninjau dari segi keperdataan, perjanjian jual beli online melalui aplikasi facebook ini dapat dinyatakan sah apabila memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yang meliputi kesepakatan, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Suatu perjanjian yang memenuhi syarat memiliki kekuatan hukum, dan mengikat seperti sebuah undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Keempat syarat tersebut dibagi menjadi syarat subjektif dan objektif, yang apabila tidak dipenuhi maka akan menimbulkan akibat hukum yaitu dapat dibatalkan dan batal demi hukum. Keabsahan jual beli online dalam aplikasi Faceook juga turut mengacu pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Suatu transaksi elektronik dapat dikatakan suatu perjanjian jual beli yang sah apabila melalui media elektronik yang terhubung dengan jaringan internet, sehingga jual beli online melalui aplikasi facebook dianggap sah karena dilakukan melalui media elektronik dan menggunakan jaringan internet. Apabila suatu perjanjian sudah memenuhi syarat sah, maka keabsahan daripada perjanjian jual beli online ini menimbulkan suatu aturan yang mengikat apabila perjanjian tidak dipenuhi atau yang disebut wanprestasi. Penyelesaian dari wanprestasi tersebut dapat melalui jalur litigasi maupun non-litigasi. Kata Kunci : Keabsahan, Perjanjian, Jual Beli, Facebook.
TINDAK PIDANA PEMAKSAAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 Juvani Leonardo Fiore Mongkaren; Debby Telly Antow; Rudolf Sam Mamengko
LEX CRIMEN Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan memahami tindak pidana pemaksaan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 dan untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban bagi pelaku pemaksaan perkawinan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif. Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1. Perkawinan adalah Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh negara melalui Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Perkawinan yang sah artinya, telah memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan, baik secara agama maupun menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Pemaksaan perkawinan di Indonesia, termasuk ke dalam salah satu tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana terdapat dalam Pasal 10 Ayat (1) Huruf e UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. 2. Pemaksaan perkawinan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, termasuk ke dalam salah satu jenis Tindak Pidana Seksual (lihat Pasal 4 Ayat (1) Huruf e UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Pemaksaan perkawinan karena termasuk dalam tindak pidana, oleh karena itu harus memenuhi unsur-unsur dimaksud agar dimintakan pertanggungjawaban terhadap para pelakunya. Bentuk pertanggungjawaban pelaku pemaksaan perkawinan, baik itu perkawinan anak, pemaksaan perkawinan mengatasnamakan praktik budaya maupun pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku perkosaan adalah sanksi berupa denda dan/atau penjara sebagaimana ditegaskan Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan ancaman hukuman denda paling banyak dua ratus juta rupiah, denda penjara paling lama Sembilan tahun. Kata Kunci : Pemaksaan Perkawinan
KEKUATAN HUKUM SURAT ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI PERKARA PERDATA (BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK) Arlan Ariya Mokosolang; Revy Semuel M. Korah; Rudolf Sam Mamengko
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam melakukan menjatuhkan putusan tahap pembuktian mempunyai peranan krusial, karena pada proses tahapan pembuktian merupakan tempat diajukannya bukti-bukti. Dewasa ini, pada perkara perdata surat elekronik seringkali menjadi alat bukti yang di ajukan dalam proses pembuktian dalam proses persidangan. Penggunaan Surat Elektronik tidak luput dari dari kemajuan zaman khususnya dalam teknologi. Untuk mengakomodir Surat Elektronik menjadi alat bukti, dibutuhkan oleh payung hukum yang mengatur keabsahan Surat Elektronik sebagai alat bukti yaitu Undang-Undang 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (yang selanjutnya disebut UU ITE). Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui serta menganalisa bagaimana Pengaturan Surat Elektronik sebagai alat bukti pada proses persidangan perkara perdata dan menganalisa bagaimana kekuatan alat bukti Surat Elektronik dalam persidangan perkara perdata. Penelitian inti menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Adapun hasil dari penelitian ini pengaturan Surat Elektronik sebagai alat bukti dalam bukti pada proses persidangan perkara perdata telah diakui dapat digunakan sebagai alat bukti lewat hadirnya UU ITE yang secara spesifik diatur dalam Pasal 5 dan kekuatan Surat Elektronik sebagai alat bukti mempunyai kekuatan yang sama dengan alat bukti lainnya dalam persidangan perkara perdata sesuai dengan yang diatur dalam UU ITE Kata Kunci : Alat Bukti, Perkara Perdata, Surat Elektronik, UU ITE.
ANALISIS HUKUM PERCERAIAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR Aprianto Sandry Lebang; Caecilia J.J Waha; Rudolf Sam Mamengko
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 3 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap perceraian dan bagaimana implikasi hukumnya terhadap anak dibawah umur. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan hasil penelitian yang dapat disimpulkan bahwa Pengaturan hukum terhadap perceraian yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia menegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di hadapan sidang pengadilan agar dapat memberi perlindungan hukum terhadap mantan istri dan anak-anak mereka, hak-hak mantan istri dan anak juga dapat terpenuhi karena mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedangkan perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang Pengadilan tidak dapat memberi kepastian hukum sehingga hak-hak istri dan anak yang ditinggalkan tidak terjamin secara hokum, hal ini menyebabkan mantan suami atau mantan istri tidak dapat menikah lagi dengan orang lain secara sah menurut hukum positif. Sedangkan Implikasi hukum terhadap anak ialah menyangkut pemberian hak asuh terhadap anak dibawah umur yang pada umumnya diprioritaskan kepada ibu, dengan mempertimbangkan kepentingan anak bahwa anak yang dibawah umur masih membutuhkan sosok ibu dan kepada seorang ayah diberikan tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anak mereka tersebut sampai dewasa. Kata Kunci: Perceraian, Implikasi, Anak dibawah umur
PENELANTARAN ANAK YATIM PIATU OLEH ORANG TUA ANGKAT MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK Chandra Adhitya Putra Lumanauw; Christine Salomi Tooy; Rudolf Sam Mamengko
LEX PRIVATUM Vol. 13 No. 3 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan memahami tindak pidana penelantaran anak yatim piatu oleh orang tua angkat menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak disertai sanksi bagi pelaku penelantaran dan perlindungan bagi anak yatim piatu yang diterlantarkan oleh orang tua angkat. Penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif. Anak yatim piatu memiliki hak atas kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan yang layak, serta hak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Pemahaman terhadap peran hukum dalam mengatur berbagai kebutuhan dan perlindungan masyarakat masih memiliki variasi pandangan yang beragam. Membicarakan tentang masyarakat selalu berkaitan dengan keberadaan individu anak yatim piatu, yang dianggap sebagai anugerah Tuhan yang perlu dijaga dan diperhatikan oleh orang tua. Setiap anak sebenarnya adalah harta yang paling berharga, mewakili masa depan keluarga dan menjadi sumber kebanggaan bagi orang tua, baik ayah maupun ibu. Anak-anak juga merupakan generasi muda dengan potensi besar untuk meneruskan cita-cita dan aspirasi bangsa Indonesia. Hal ini merupakan kebanggaan orang tua yang tentunya memerlukan dukungan berkelanjutan yang dibangun dalam lingkungan keluarga agar pertumbuhan anak dapat berkembang dengan baik. Sejalan dengan hal tersebut diatas, negara Indonesia juga menjamin kesejahteraan seluruh warganya, termasuk perlindungan terhadap anak-anak yatim piatu. Upaya meraih cita-cita dan harapan bangsa, anak-anak yatim piatu perlu mendapatkan dukungan penuh. Namun, hak-hak dasar anak yatim piatu juga harus dihormati dan dilindungi dalam kehidupan yang layak, tanpa adanya tekanan dari pihak mana pun demi kesejahteraan mereka. Di Indonesia, perhatian terhadap perlindungan anak merupakan salah satu fokus dalam upaya pembangunan negara. Ketentuan ini tentu menjadi fokus utama negara dalam melindungi segenap warganya, terutama anak-anak yatim piatu yang diterlantarkan oleh orang tua angkat. Kemudian secara khusus dalam Undang- undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 yang telah mengalami perubahan berdasarkan Undang- undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Kata Kunci: Penelantaran Anak, Anak Yatim Piatu dan Orang Tua Angkat.