Sudung O Pardede, Sudung O
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Published : 43 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search
Journal : Majalah Kedokteran

Hipertensi pada Remaja Sudung O Pardede
Majalah Kedokteran UKI Vol. 32 No. 1 (2016): JANUARI - MARET
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakMasa remaja atau adolesens adalah suatu fase perkembangan yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masaini merupakan periode transisi dari masa anak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fsik, mental, emosional dan sosial. Pada masa ini terjadi berbagai perubahan metabolik pada tubuh remaja. Selain itu, gaya hidup anak remaja menyebabkan anak remaja rentan terhadap berbagai gangguan kesehatan dan salah satu di antaranya adalah hipertensi. Hipertensi adalah rata-rata tekanan darah sistolik atau diastolik lebih tinggi atau sama dengan persentil 95 menurut umur, jenis kelamin dan tinggi badan pada tiga kali pengukuran, yang dibedakan menjadi prehipertensi, hipertensi stadium-1, dan hipertensi stadium-2. Tekanan darah pada anak remaja dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain umur, tinggi badan, jenis kelamin, ras/etnik, gizi lebih atau obesitas, berat lahir rendah, genetik, aktivitas fsik, merokok, dan konsumsi alkohol. Tata laksana hipertensi pada anak remajadi tujukan pada pengendalian tekanan darah dan penyakit yang mendasarinya, meliputi tata laksana farmakologi dan nonfarmakologi. Tujuan pengobatan hipertensi adalah menurunkan tekanan darah sampai di bawah persentil 95. Kata kunci: hipertensi, tekanan darah sistolik-diastolik, anak remaja AbstractAdolescence is a dynamic developmental phase on the life of a person. This phase is a transtitional phase from the childhood phase to the adult phase, which characterized by velocity of physical, mental, emotional, and social development. On this phase, some metabolic changes occured in the adolescent body . The life style of the adolescents will cause them to become more susceptible to some health problems, such as hypertension. Hypertension is defned as an average systolic blood pressure and/or diastolic blood pressure that is > 95th percentile for gender, age, and height on > 3 occasions, and classifed into prehypertension, stage-1 hypertension,and stage-2 hypertension. Blood pressure in adolescents is infuenced by some factors such as age, height, gender, race, overweight or obesity, low birth weight, genetics, physical activities, smooking, and alcohol consumption. The management of hypertension in adolescents are blood pressure control and management of the underlying diseases,and consists of non-pharmacologic and pharmacologic management. The goal of hypertension management is to reduce blood pressure until below the 95th percentile. Key words: hypertension, systolic-diastolic blood pressure, adolescent
Vaksinasi pada Anak dengan Penyakit Ginjal Kronik Sudung O Pardede
Majalah Kedokteran UKI Vol. 32 No. 1 (2016): JANUARI - MARET
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakPenyakit ginjal kronik (PGK) pada anak merupakan penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dan infeksi merupakan penyebab utama. Hal itu disebabkan gangguan respons imun pada anak dengan PGK. Vaksinasi merupakan teknik yang aman dan efektif dalam mencegah infeksi. Vaksinasi pada anak dengan PGK dapat diberikan sesuai jadual dengan beberapa pertimbangan khusus. Tingkat proteksi setelah vaksinasi pada anak dengan PGK lebih cepat menurun dibandingkan anak normal sehingga perlu dilakukan pemantauan titer antibodi secara berkala dan pertimbangan pemberian vaksin ulangan. Pemberian vaksin hidup yang telah dilemahkan perlu ditunda pada pasien yang baru saja menjalani transplantasi ginjal atau dengan obat penekan respons imun dosis tinggi.Kata kunci: vaksinasi, anak, penyakit ginjal kronik, dialisis, transplantasi ginjal AbstractChildren with chronic kidney disease (CKD) are associated with high morbitity and mortality due to infection as one of the leading causes. This happens as a result of the impaired immune response in CKD. Vaccination is proven as a safe and effective technique in preventing infection. It can be given to children with CKD according to the national schedule with several considerations. Level of protection after vaccination in children with CKD decreased faster than in normal children, thus, it is recommended to do a serial monitoring of the antibody titer and administer booster vaccine if necessary. Live attenuated vaccination need to be delayed in those who are recently underwent kidney transplantation or recieving a high dose of immunosuppresant drugs.Key words: vaccination, pediatric, chronic kidney disease, dialysis, renal transplantation.
Disfungsi Kandung Kemih Non-Neurogenik pada Anak: Diagnosis dan Tata Laksana Sudung O. Pardede; William J. Iskandar; Bernadetha Nadeak
Majalah Kedokteran UKI Vol. 34 No. 2 (2018): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakDisfungsi kandung kemih (lower urinary tract dysfunction) merupakan masalah berkemih yang sering ditemukanpada anak, dapat berupa disfungsi neurogenik, anatomis, maupun non-neurogenik. Masalah tersebut sering disertaiinfeksi saluran kemih, refluks vesikoureter, dan parut ginjal yang berpotensi menyebabkan penyakit ginjal kronik,serta memiliki dampak fisik dan psikososial yang berat pada anak. Manifestasi klinis disfungsi kandung kemihmuncul sesuai dengan patofisiologi berkemih, yakni gangguan pada pengisian (storage) atau gangguan miksi(voiding), dengan deskripsi istilah atau terminologi mengacu pada konsensus International Children’s ContinenceSociety (ICCS) 2015. Diagnosis ditegakkan secara klinis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan prinsiputama menyingkirkan kelainan neurologis dan anatomis, serta pencatatan urin rutin. Modalitas pemeriksaanpenunjang dapat bersifat noninvasif (urinalisis, ultrasonografi, uroflowmetry) maupun invasif (sistogram). Tatalaksana komprehensif disfungsi kandung kemih non-neurogenik terdiri atas uroterapi (termasuk terapi biofeedback),terapi farmakologis, terapi bedah, dan neuromodulasi atau neurostimulasi. Kata Kunci: disfungsi kandung kemih, non neurogenik, uroterapiAbstractBladder dysfunction or lower urinary tract dysfunction is frequently found in children, which can be caused byneurologic, anatomical, or functional (non-neurogenic) problem. Urinary tract infection, vesicoureteral reflux, andrenal scar are common secondary to bladder dysfunction, leading to chronic kidney disease and causing seriousphysical and psychosocial impact in childlhood. Clinical manifestation correlates well with the pathophysiology,either storage (filling) or voiding problem. Standard terms have been published by International Children’sContinence Society (ICCS) 2015. Diagnosis of bladder dysfunction could be clinically established by history takingand physical examination, focusing on excluding neurological or anatomical lesion and voiding diary. Furtherexamination consists of non-invasive methods (urinalysis, ultrasonography, and uroflowmetry) or invasive methods(cystogram). Comprehensive management includes urotherapy (including biofeedback therapy), pharmacologicaltreatment, urosurgery, and neuromodulation or neurostimulation. Keywords: : bladder dysfunction, non neurogenic, urotherapy
Kriteria RIFLE pada Acute Kidney Injury Sudung O. Pardede; Niken Wahyu Puspaningtyas
Majalah Kedokteran UKI Vol. 28 No. 2 (2012): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Acute kidney injury (AKI) merupakan masalah yang menyulitkan dalam dunia kedokteran. Acute kidney injury diartikan sebagai peningkatan kreatinin serum ataupun produk metabolisme nitrogen yang bersifat reversibel dan ketidakmampuan ginjal untuk meregulasi cairan dan elektrolit kekeadaan homeostasis tubuh. Kriteria risk, injury, failure, loss, and end stage renal disease (RIFLE) telah ditetapkan sebagai kriteria standar AKI pada orang dewasa. Pada anak telah digunakan klasifikasi RIFLE yang dimodifikasi yang disebut dengan pediatric RIFLE (pRIFLE). Perbedaan antara RIFLE pada dewasa dan pRIFLE pada anak adalah nilai cut-off kreatinin serum yang lebih rendah untuk mencapai kategori F (failure), dan waktu pengeluaran urin yang diperlukan untuk menentukan risk dan injury. Penyebab AKI dibedakan menjadi penyebab pre renal, renal, dan uropati obstruktif. Beberapa biomarker seperti neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) plasma, kadar sistatin C dan perubahan kadar urin NGAL, interleukin 18, kidney injury molecule-1 (KIM-1) dan KIM-3 sedang dalam tahap penelitian. Mortalitas pada pasien dengan AKI (31,2%) lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa AKI (6,9%). Angka mortalitas meningkat seiring peningkatan stadium yaitu R sebesar 18,9%, I sebesar 36,1% serta F sebesar 46,5%.Kata kunci: gagal ginjal akut, RIFLE, oliguria, laju filtrasi glomerulus, kreatinin Abstract Acute kidney injury (AKI) is a complicated problem in medicine. Acute kidney injury is defined as a reversible increase in serum creatinine or nitrogen metabolism products and inability of kidney to regulate fluid and electrolyte to homeostatic state. Risk, injury, failure, loss, and end stage renal disease (RIFLE) has been established as a standard criteria of AKI in adults. In children, there is a modified RIFLE classification called pediatric RIFLE (pRIFLE). The differences between adult RIFLE and child pRIFLE are lower cut-off point of serum creatinine to reach F (failure) category and diuresis time to establish risk and injury. Causes of AKI can be divided into prerenal, renal and obstructive uropathy. Several biomarkers for AKI such as plasma neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL), cystatin C level and changes in urinary level of NGAL, interleukin 18, kidney injurymolecule-1 (KIM-1) and KIM-3 are still on research. The mortality of patients with AKI (31,2%) is higherthan those without AKI (6,9%). The mortality rate increases along with the increase of AKI stages, stage R:18,9%, stage I:36,1% and stage F:46,5%.Key words: acute kidney injury, RIFLE, oliguria, glomerular filtration rate, creatinin
Kandung Kemih Neurogenik pada Anak: Etiologi, Diagnosis dan Tata Laksana Rhyno Febriyanto; Bernadetha Nadeak; Sudung O. Pardede
Majalah Kedokteran UKI Vol. 28 No. 4 (2012): OKTOBER-DESEMBER
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Kandung kemih neurogenik adalah disfungsi kandung kemih karena kerusakan atau penyakit pada sistem saraf pusat ataupun sistem saraf perifer. Sebagian besar penyebab kandung kemih neurogenik pada anak merupakan kelainan kongenital dan sisanya merupakan kelainan didapat. Spina bifida atau mielodisplasia merupakan penyebab tersering kandung kemih neurogenik pada anak dan 90% di antaranya berupa mielomeningokel. Kandung kemih neurogenik sering ditandai dengan inkontinensia urin.Tata laksana yang cepat dan tepat dapat mencegah kerusakan ginjal. Langkah awal tata laksana kandung kemih neurogenik adalah menegakkan diagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat. Apabila terdapat kecurigaan kandung kemih neurogenik, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan ultrasonografi. Pemeriksaan pencitraan lain seperti miksio-sistouretrografi dilakukan atas indikasi. Pemeriksaan urodinamik dilakukan untuk menilai fungsi kandung kemih yaitu fungsi pengisian dan pengosongan. Penanganan yang adekuat meliputi pengosongan kandung kemih dengan baik, penurunan tekanan intravesika, pencegahan infeksi saluran kemih, serta tata laksana inkontinensia. Terdapat beberapa modalitas tata laksana kandung kemih neurogenik seperti medikamentosa dan tindakan urologik antara lain clean intermittent catheterization (CIC), sistoplastik, atau pemasangan sfingter artifisial.Kata kunci: kandung kemih neurogenik, urodinamik, clean intermitten cathetetrization Abstract Neurogenic bladder is a dysfunction caused by damage or disease of either central nervous or peripheral nervous system. The most common causes of neurogenic bladder in children are congenital disorders while the others are acquired disorders. Spina bifida or myelodysplasia is the most common congenital cause of neurogenic bladder in children and 90% are in the form of myelomeningocele. Neurogenic bladder is often manifested by urinary incontinence. Prompt and precise management may prevent kidney damage. The initial step in managing neurogenic bladder is establishing diagnosis by careful history taking and physical examination. Once suspicion of neurogenic bladder presents, the next step is to perform laboratory examination and ultrasonography. Other imaging examinations, such as micturating cystourethrography, are performed by the indication. Urodynamic study is performed to evaluate filling and voiding function of the bladder. Adequate treatment includes bladder voiding, intravesical pressure reduction, urinary tract infection prevention, and also management of incontinence. There are several modalities of neurogenic bladder treatment such as medications and urologic interventions including clean intermittent catheterization (CIC), cystoplasty, or artificial urinary sphincter implantation. Keywords: neurogenic bladder, urodynamic, clean intermitten catheterization
Diagnosis dan Tata Laksana Glomerulonefritis Progresif Cepat pada Anak Sudung O. Pardede; Ratih Puspita
Majalah Kedokteran UKI Vol. 30 No. 1 (2014): JANUARI - MARET
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Glomerulonefritis progresif cepat (GNPC) merupakan glomerulonefritis yang disertai penurunan fungsi ginjal yang berlangsung cepat, dan terlihat sebagai penurunan laju filtrasi glomerulus sebesar 50% dalam waktu tiga bulan. Secara histopatologi ditemukan gambaran bulan sabit atau crescent pada sebagian besar glomerulus. Gambaran klinis GNPC berupa hematuria, proteinuria, penurunan diuresis, edema, dan hipertensi. Kebanyakan GNPC mengalami gagal ginjal akut yang berhubungan dengan nefritis akut dan atau sindrom nefrotik. Perkembangan menjadi gagal ginjal stadium akhir biasanya terjadi dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah awitan. Glomerulonefritis progresif cepat terdiri atas tiga tipe yaitu glomerulonefritis kompleks imun, glomerulonefritis pauci-immune, dan glomerulonefritis anti-membran basal glomerular. Tata laksana GNPC dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah tata laksana spesifik untuk mengatasi peradangan pada ginjal. Glomerulonefritis progresif cepat yang tidak diobati akan cepat berkembang menjadi end-stage renal disease, sehingga terapi spesifik berdasarkan penyebab harus segera dimulai meskipun bukti pendukung keberhasilan terapi masih belum memadai. Bagian kedua adalah penanganan akibat kelainan glomerulus, GNPC harus mendapatkan terapi suportif untuk mengontrol komplikasi penyakit glomerular seperti uremia, hipervolemia, hipertensi, hiperkalemia, dan asidosis metabolik. Jika diperlukan, dialisis dan ultrafiltrasi harus dilakukan. Secara umum prognosis GNPC tidak baik, bahkan setelah pengobatan dengan steroid oral dan sitotoksik. Kata kunci : glomerulonefritis akut, glomerulonefritis progresif cepat, kresentik Abstract Rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN) is glomerulonephritis accompanied by rapid loss of renal function (usually 50% decline in glomerular filtration rate) within three months, and histopathologic abnormality of crescent formation seen in most of glomeruli. The clinical manifestations of RPGN are hematuria, proteinuria, decrease of diuresis, edema, and hypertension. Most of RPGN progress to acute kidney injury associated with acute nephritis and/or nephrotic syndrome. Progression into end-stage renal disease usually occurs within few weeks to few months after onset. Rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN) is classified into three types; immune complex glomerulonephritis, pauci-immune glomerulonephritis, and anti-glomerular basement membrane glomerulonephritis. Management of RPGN consists of two parts. The first part is specific management to overcome inflammation of the kidney. Untreated RPGN will rapidly progress to end-stage renal disease, therefore specific therapy based on underlying causes must be initiated immediately although supporting evidences of succesful therapy are still inadequate. The second part is the management of the consequences of its pathophysiologic glomerular abnormality. A supportive therapy must be given in order to control glomerular disease complication such as uremia, hypervolemia, hypertension, hyperkalemia, and metabolic acidosis. Dialysis and ultrafiltration must be initiated if required. Generally, prognosis of RPGN is poor even after treatment with oral steroids and cytotoxic drugs.Key words : acute glomerulonephrtis, rapidly progressif glomerulonephritis, crescent
Kelainan Ginjal pada Artritis Idiopatik Juvenil: Laporan Kasus Selli Muljanto; Sudung O. Pardede; Eka L. Hidayati
Majalah Kedokteran UKI Vol. 30 No. 2 (2014): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Artritis idiopatik juvenil merupakan salah satu penyakit rematik tersering pada anak, dan merupakan penyakit kompleks yang dapat mengenai berbagai organ. Keterlibatan ginjal pada orang dewasa telah dilaporkan, sedangkan pada anak jarang ditemukan. Didapatkan kasus seorang anak perempuan berusia 10 tahun dengan keluhan nyeri sendi disertai tanda peradangan sendi dan gangguan gerak sendi berulang sejak lima bulan yang lalu. Pada pemeriksaan laboratorium selalu ditemukan hematuria dan proteinuria. Pasien didiagnosis sebagai glomerulonefritis kronik dengan artritis idiopatik juvenil, dan diterapi dengan metilprednisolon, metotreksat, losartan dan lisinopril. Setelah pengobatan dengan metilprednisolon dosis tinggi selama satu bulan, yang dilanjutkan dengan penurunan dosis metilprednisolon bertahap, tidak terdapat lagi hematuria maupun proteinuria. Direncanakan biopsi ginjal pada pasien untuk menentukan lesi ginjal namun orangtua tidak bersedia.Kata kunci : artritis idiopatik juvenil, hematuria, proteinuria, glomerulonefritis Abstract Juvenile idiopathic arthritis is a frequent rheumatic disease among rheumatic diseases in children and is a complex disease which influence many body organs. Kidney influence in adult has been reported but it is very rare in children. We reported a 10 years old girl case with a joint pain, a joint inflammation, and joint movement disorder since 5 months ago. Laboratorium results always showed hematuria and proteinuria. The patient was diagnosed as chronic glomerulonephritis on juvenile idiopathic arthritis, and was treated with methylprednisolone, methotrexate, losartan, and lisinopril. After a high dose methylprednisolone administration for one month which was continued with reducing dose slowly, the patient showed no hematuria and proteinuria any more. Kidney biopsy was not performed because the parent did not agree with this procedure.Key words: juvenile idiopathic arthritis, hematuria, proteinuria, glomerulonephritis
Proteinuria pada Anak Sudung O. Pardede; Putri Maharani; Bernadetta Nadeak
Majalah Kedokteran UKI Vol. 30 No. 2 (2014): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Proteinuria merupakan salah satu keadaan yang sering ditemukan pada anak, umumnya sebagai petanda kelainan ginjal dan saluran kemih, meskipun dapat juga terjadi oleh sebab lain. Pada anak sekolah, ditemukan 5 - 15% proteinuria transien dan pada 0,4 - 1% anak sekolah dapat ditemukan proteinuria persisten. Proteinuria dapat dibedakan menjadi proteinuria glomerular, proteinuria tubular, dan proteinuria karena produksi berlebih. Proteinuria glomerular disebabkan peningkatan permeabilitas pada sawar filtrasi glomerulus terhadap protein plasma. Proteinuria tubular terjadi karena kerusakan tubulus primer dengan dominasi protein berat molekul ringan. Proteinuria juga dapat disebabkan produksi protein melebihi kapasitas reabsorbsi tubular. Pemeriksaan proteinuria dilakukan dengan cara uji semikuantitatif atau kuantitatif dengan mengumpulkan urin 24 jam atau urin sewaktu. Proteinuria transien tidak perlu diterapi sedangkan terapi proteinuria persisten tergantung pada penyebabnya. Prognosis proteinuria persisten kurang baik, dan perlu evaluasi berkala meliputi pemeriksaan fisik termasuk tekanan darah, pemeriksaan urinalisis, dan fungsi ginjal. Kata kunci: proteinuria, glomerular, tubular, anak Abstract Proteinuria is a condition commonly found in children, usually as a marker of kidney and urinary tract disorder, although it can occur without abnormality of kidney and urinary tract. Transent proteinuria is found in 5 - 15% of school-age children, and persistent proteinuria is found in 0,4 – 1% of school age children. Proteinuria can be categorized as glomerular proteinuria, tubular proteinuria, and proteinuria due to overproduction. Glomerular proteinuria is caused by increased glomerular filtration membrane permeability of plasma protein. Tubular proteinuria is caused by primary tubular damage dominated by low molecular weight protein. Proteinuria can also be caused by overproduction of protein exceeding the tubular reabsorption capacity. Proteinuria test is performed by semi-quantitative or quantitative test by 24-hour urine collection or random urinary excretion. Management of proteinuria is targeted to the underlying causes. Transient proteinuria doesn’t require treatment while persistent proteinuria is treated based on the underlying causes. The prognosis of persistent proteinuria is not so good, so it is important to evaluate physical examination, including, blood pressure, urinalysis, and renal function periodically.Keywords: proteinuria, glomerular, tubular, children
Tata Laksana Sindrom Nefrotik Resisten Steroid pada Anak Sudung O. Pardede; Ludi D. Rahmartani
Majalah Kedokteran UKI Vol. 32 No. 2 (2016): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Sindrom nefrotik resisten steroid adalah sindrom nefrotik yang tidak mengalami remisi dengan pengobatan prednison dosis penuh 60 mg/m2/hari selama 4 minggu. Sindrom nefrotik resisten steroid merupakan masalah karena risiko progesivitas yang tinggi untuk menjadi penyakit ginjal stadium akhir dan memerlukan imunosupresan selain steroid yang dapat menyebabkan berbagai efek samping. Tata laksana sindrom nefrotik resisten steroid terdiri atas tata laksana suportif dan medikamentosa. Terapi suportif meliputi tata laksana dietetik, pemberian diuretik, mencegah komplikasi seperti infeksi, tromboembolik, hipovolemia, gangguan elektrolit, hipertensi, dan hiperlipidemia. Edukasi kepada pasien dan orangtua, dukungan keluarga, dan kontrol teratur sangat penting karena sindrom nefrotik resisten steroid merupakan penyakit kronik yang sampai saat ini terapi belum memberikan hasil memuaskan. Terapi medikamentosa pada sindrom nefrotik resisten steroid antara lain kortikosteroid dosis tinggi berupa puls metilprednisolon, siklofosfamid, siklosporin-A, takrolimus, mikofenolat mofetil (MMF), dan rituximab. Imunosupresan steroid dan non steroid ini dapat menyebabkan berbagai efek samping. Meski obat ini sudah sering digunakan, hasil penelitian dan laporan kasus menunjukkan bahwa terapi dengan obat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Kata kunci: sindrom nefrotik resisten steroid, prednison, siklofosfamid, siklosporin Abstract Steroid resistant nephrotic syndrome is defined as nehrotic syndrome with no remission within 4 weeks of full dose prednisone therapy of 60 mg/m2/day. Steroid resistant nephrotic syndrome is a serious problems because of high risk progressivity to become an end stage renal disease and it needs non steroid immunosupressant drugs that may cause some side effects. The management of resistant steroid nephrotic syndrome consists of supportive and pharmacologic treatment. Supportive treatments include dietetic management, diuretic administration, prevention of complications such as infections, thromboembolic, hypovolemia, electrolyte imbalance, hypertension, and hyperlipidemia. Education for patients and parents, family support, and regular evaluation are important because resistant steroid nephrotic syndrome is a chronic diseases with unsatisfying result of treatment. Pharmacologic treatment of steroid resistant nephrotic syndrome consists of high dose corticosteroid (methylprednisolone pulse), cyclophosphamide, cyclosporine A, tacrolimus, mycophenolate mofetil (MMF), and rituximab. Steroid and non steroid immunosupressants may cause some side effects. Although these drugs have often been used in treatment of such cases, the results of many studies and case reports are varied and unsatisfying. Keywords: steroid resistant nephrotic syndrome, prednisone, cyclophosphamide, cyclosporine
Hubungan Status Ekonomi dan Jenis Kelamin dengan Obesitas pada Anak di SMP Swasta, di Serang Elizabeth S. Susanti; Sudung O. Pardede
Majalah Kedokteran UKI Vol. 32 No. 3 (2016): JULI-SEPTEMBER
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Prevalensi obesitas pada anak di Banten mengalami peningkatan. Di Banten, pada tahun 2010, prevalensi kegemukan pada anak berumur 13-15 tahun sebesar 3,4%, namun pada tahun 2013 terjadi peningkatan mencapai 10,4% yang terdiri atas 7,9% gemuk dan 2,5% obesitas.2-3 Obesitas pada anak cenderung berlanjut hingga dewasa dan menimbulkan berbagai penyakit seperti diabetes melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi obesitas pada anak, hubungan jenis kelamin dan status ekonomi dengan obesitas pada anak di SMP swasta Serang. Penelitian ini menggunakan metode analitik. Subjek penelitian sebanyak 90 subjek yang terdiri atas 44 perempuan dan 46 laki- laki. Pengambilan subjek dilakukan dengan teknik acak stratitifikasi yaitu dengan meneliti 1 kelas dari kelas 7,8 dan 9. Kemudian data tersebut dianalisis dengan uji statistik univariat dan bivariat (frekuensi dan regresi). Berdasarkan penelitian ini diperoleh prevalensi obesitas sebesar 15,6%, dan setelah dianalisis tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dan status ekonomi dengan obesitas pada anak. Kata kunci: anak, jenis kelamin, status ekonomi, obesitas Abstract Prevalence of childhood obesity in Banten Province keeps increasing. In Banten, in 2010, prevalence of childhood overweight (13-15 years old) was 3,4%, and in 2013 increased until 10,4% which consisted of 7,9% overweight and 2,5% obesity. Childhood obesity is associated with a higher probability of obesity in adulthood, cardiovascular disease, and diabetes mellitus. The purpose of this study was to know the prevalence of childhood obesity, correlation between gender and childhood obesity, and correlation between economic status and childhood obesity in private junior high school Serang, Banten. This study used analytic method. There were 90 subjekts participated in this study which consisted of 44 girls and 46 boys. They were chosen using random stratification technique where researcher took one class from each 7th, 8th, and 9th grade. This study used univariate and bivariate statistics analysis (frequencies and regression). According to this study, prevalence of childhood obesity was 15,6% and there was no correlation between gender and childhood obesity and also there was no correlation between economic status and childhood obesity. Keywords: childhood, gender, economic status, obesity