Dina Muktiarti, Dina
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Faktor Risiko Obstructive Sleep Apnea pada Anak Sindrom Down​ Dewi Kartika Suryani; Bambang Supriyatno; Mulya Rahma Karyanti; Zakiudin Munasir; Sudung O. Pardede; Dina Muktiarti
Sari Pediatri Vol 20, No 5 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (125.055 KB) | DOI: 10.14238/sp20.5.2019.295-302

Abstract

Latar belakang. Sindrom Down merupakan kelainan kromosom tersering. Anak dengan sindrom Down (SD) di berbagai negara memiliki beberapa faktor risiko terhadap OSA dengan prevalensii antara 30%-60%, dibandingkan 0,7%-2% pada populasi umum. Hingga saat ini belum ada data mengenai OSA pada anak sindrom Down di Indonesia. Tujuan. Mengidentifikasi prevalensi OSA pada anak sindrom Down dan menganalisis hubungan antara habitual snoring, obesitas, penyakit alergi di saluran napas, hipertrofi tonsil, dan hipertrofi adenoid sebagai faktor risiko OSA pada anak sindrom Down. Metode. Penelitian potong lintang dilakukan pada anak sindrom Down berusia 3-18 tahun yang tergabung dalam Yayasan POTADS. Penelitian dilakukan di Poliklinik Respirologi IKA FKUI RSCM dari bulan Juli 2016 hingga Juli 2017. Penegakan diagnosis OSA menggunakan nilai batas AHI≥3 pada pemeriksaan poligrafi. Faktor- risiko yang dianggap berpengaruh dianalisis secara multivariat. Hasil. Penelitian dilakukan terhadap 42 subjek dengan hasil prevalensi OSA pada anak dengan SD 61,9%. Sebesar 42,9% merupakan OSA derajat ringan, 14,3% OSA sedang, dan 4,8% OSA berat. Pada analisis multivariat didapatkan faktor risiko yang bermakna yaitu habitual snoring (p=0,022 dan PR 8,85; IK 1,37-57) dan hipertrofi adenoid (p=0,006 dan PR 12,93; IK 2,09-79). Kesimpulan. Prevalensi OSA pada anak sindrom Down sebesar 61,9%. Faktor risiko yang bermakna yaitu habitual snoring dan hipertrofi adenoid.
Terapi Antiretroviral Lini Kedua pada HIV Anak di RS. Cipto Mangunkusumo Dina Muktiarti; Arwin AP Akib; Zakiudin Munasir; Nia Kurniati
Sari Pediatri Vol 14, No 2 (2012)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp14.2.2012.130-6

Abstract

Latar belakang. Akses terhadap terapi antiretroviral (ARV) semakin mudah saat ini dan membuat angka harapan hidup anak terinfeksi HIV semakin panjang. Dalam penanganan jangka panjang anak terinfeksi HIV, salah satu masalah baru yang timbul adalah gagal terapi dan resistensi obat. Tujuan. Menilai karakteristik pasien anak terinfeksi di RS. Cipto Mangunkusumo yang menggunakan terapi ARV lini kedua dan indikasi penggantian ke terapi ARV lini kedua.Metode. Penelitian kohort pasien anak terinfeksi HIV di RS Cipto Mangunkusumo sejak tahun 2002. Kriteria inklusi adalah pasien anak terinfeksi HIV yang berobat di RS Cipto Mangunkusumo sejak tahun 2002 sampai April 2012 dan menggunakan salah satu obat antiretroviral lini kedua. Data yang diambil adalah data demografis, kada CD4, jumlah virus, stadium klinis, dan kombinasi terapi ARV.Hasil. Empatratus empat pasien anak terinfeksi HIV dan 44 (10,9%) menggunakan terapi antiretroviral lini kedua. Sebagian besar (59,1%) gagal terapi adalah kombinasi antara kegagalan virologi, imunologis, dan klinis. Median usia saat memulai terapi ARV lini kedua 69 (26-177) bulan. Median lama subyek menggunakan terapi ARV lini pertama 9 (13-176) bulan. Seluruh subyek penelitian menggunakan lopinavir/ritonavir sebagai salah satu obat ARV lini kedua dengan kombinasi terbanyak adalah didanosin, lamivudin, dan lopinavir/ritonavir (40,9%). Efek samping didapatkan pada 2 pasien akibat abacavir. Sebagian besar subyek (19/25) yang diperiksa jumlah virus pada 6-12 sesudah menggunakan ARV lini kedua mempunyai hasil tidak terdeteksi.Kesimpulan. Jumlah pasien yang menggunakan terapi ARV lini kedua tidak terlalu banyak karena deteksi kegagalan terapi masih lebih banyak berdasarkan kegagalan klinis dan imunologis.
Thalassemia Alfa Mayor dengan Mutasi Non-Delesi Heterozigot Ganda Dina Muktiarti; Pustika Amalia Wahidiyat; Ita M. Nainggolan; Iswari Setianingsih
Sari Pediatri Vol 8, No 3 (2006)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (818.812 KB) | DOI: 10.14238/sp8.3.2006.244-50

Abstract

Seorang anak perempuan berusia 3 tahun dengan gejala klinis anemia berat,hepatosplenomegali, dan memerlukan tranfusi darah teratur. Gejala klinis telah timbulsaat pasien berusia 3 bulan. Hapusan darah tepi menunjukkan gambaran hipokrom,mikrositosis, dan anisopoikilositosis. Kadar HbA2 normal, HbF sedikit meningkat, danterdapat HbBart’s. Ayah dan ibu memiliki gambaran hematologis yang mendekati normal.Analisis DNA menunjukkan dua mutasi non-delesi (mutasi titik) pada gen globin a2yaitu pada kodon 59 (GGCglisin→GACaspartat) dan IVS2-nt142 (AG→AA). Kasus ini adalahkasus pertama yang ditemukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS. Dr. CiptoMangunkusumo Jakarta yang mempunyai mutasi heterozigot ganda pada kodon 59 danIVS2-nt142. Gejala klinis thalassemia mayor diakibatkan adanya mutasi kodon 59 yangmenghasilkan varian hemoglobin yang tidak stabil (HbAdana) disertai adanya mutasinon-delesi pada IVS2-nt142 yang menyebabkan proses mRNA yang tidak normal.
Perbandingan Kriteria ACR-1997 dan SLICC-2012 dalam Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak Dwi Lestari Pramesti; Dina Muktiarti
Sari Pediatri Vol 22, No 6 (2021)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp22.6.2021.386-93

Abstract

Latar belakang. Lupus eritematosus sistemik merupakan penyakit autoimun sistemik pada jaringan ikat yang bersifat kronik dan progresif, terutama pada anak. Hingga saat ini belum ada diagnosis baku emas, sehingga untuk menegakkan diagnosis dapat menggunakan kriteria The American College of Rheumatology (ACR) tahun 1997 atau The Systemic Lupus International Collaborating Clinics (SLICC) tahun 2012.Tujuan. Mengumpulkan bukti ilmiah perbandingan penggunaan kriteria ACR-1997 dan SLICC-2012 dalam diagnosis lupus eritematosus sistemik pada anak.Metode. Penelusuran literatur secara sistematis secara daring melalui database Pubmed dan Cochrane. Analisis dilakukan menggunakan Review Manager dan model hierarchical summary receiver operating characteristic (HSROC) pada studi meta-analsiis. Kualitas studi dinilai dengan QUADAS-2.Hasil. Satu artikel telaah sistematis dan meta-analisis dan satu artikel studi longitudinal dilakukan telaah kritis. Kualitas kedua studi dinilai baik. Studi oleh Hartman dkk menunjukkan kriteria ACR-1997 lebih dianjurkan sebagai kriteria klasifikasi LES pada anak karena lebih spesifik (94,1% vs 82%) dan menghindari terjadinya positif palsu. Studi kedua oleh Lythgoe dkk menunjukkan SLICC-2012 lebih sensitif (92,9% vs 84,1%) dan secara lebih dini mengklasifikasi pasien anak dengan LES.Kesimpulan. Kriteria SLICC-2012 memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dalam klasifikasi LES pada anak tetapi memiliki spesifisitas yang lebih rendah dibandingkan ACR-1997. Namun, SLICC-2012 dapat mengklasifikasi LES lebih dini secara signifikan dibandingkan ACR-1997.
Studi Observasional Pasca-Pemasaran Formula Isolat Protein Kedelai pada Bayi dengan Gejala Sugestif Alergi Terhadap Protein Susu Sapi Zakiudin Munasir; Dina Muktiarti; Anang Endaryanto; Ketut Dewi Kumarawati; Budi Setiabudiawan; Sumadiono Sumadiono; Johannes Hudyono; Melva Louisa; Arini Setiawati
Sari Pediatri Vol 15, No 4 (2013)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp15.4.2013.237-43

Abstract

Latar belakang. Fomula berbasis isolat protein kedelai banyak digunakan untuk anak-anak dengan alergi susu sapi di Indonesia. Namun, diperlukan penelitian untuk mendapatkan gambaran penerimaan orangtua dan toleransi saluran cerna pada penggunaan formula isolat protein kedelai.Tujuan. Pertama, menentukan penerimaan orangtua terhadap pemberian suatu isolat protein kedelai pada bayi yang diduga mengalami alergi terhadap protein susu sapi. Kedua, mengetahui toleransi saluran cerna pada pemberian susu formula tersebut.Metode. Suatu studi pasca-pemasaran, prospektif, multisenter yang dilakukan di Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Solo, dan Denpasar sejak September 2011 sampai April 2012. Subyek berusia antara 6 bulan hingga 1 tahun dengan gejala dugaan alergi terhadap protein susu sapi yang diberikan formula isolat protein kedelai dan diamati selama 4 minggu. Luaran yang diharapkan adalah penerimaan orangtua terhadap pemberian formula isolat protein kedelai dan toleransi saluran cerna terhadap pemberian isolat protein kedelai.Hasil. Diteliti 534 subyek yang dapat dianalisis selama periode penelitian. Mayoritas orangtua (84%) merasa puas dengan formula isolat protein kedelai, 83% orangtua berencana untuk melanjutkan pemberian susu formula karena berkurang (31,5%) dan hilangnya gejala yang diduga akibat alergi susu sapi (32,4%). Gejala klinis yang diduga akibat alergi terhadap protein susu sapi menurun pada setiap kunjungan berikutnya. Tidak ada efek samping serius yang dilaporkan selama periode penelitian.Kesimpulan. Penelitian ini menemukan tingkat penerimaan orangtua dan toleransi saluran cerna yang baik terhadap pemberian formula isolat protein kedelai kepada bayi dengan gejala sugestif alergi terhadap protein susu sapi. Formula isolat protein kedelai cukup aman dijadikan sebagai formula alternatif pengganti pada anak dengan alergi susu sapi.
Karakteristik Infeksi Sitomegalovirus pada Anak dengan Infeksi HIV di RSUPN Cipto Mangunkusumo Dina Muktiarti; Rizqi Amalia; Nia Kurniati; Mulya Rahma Karyanti
Sari Pediatri Vol 21, No 1 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp21.1.2019.8-15

Abstract

Latar belakang. Infeksi sitomegalovirus (CMV) adalah infeksi oportunistik virus yang tersering pada anak dengan infeksi HIV. Setelah era penggunaan terapi ARV prevalensi infeksi sitomegalovirus pada anak dengan infeksi HIV di negara berkembang belum mengalami penurunan bermakna. Tujuan. Mengetahui prevalensi , karakteristik demografi, manifestasi klinis, terapi, dan luaran infeksi sitomegalovirus pada anak ≤18 tahun dengan infeksi HIV di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2003-2018. Metode. Studi retrospektif deskriptif dilakukan terhadap seluruh anak ≤18 tahun dengan infeksi HIV di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2003-2018. Evaluasi infeksi sitomegalovirus dilakukan terhadap subyek yang memiliki manifestasi klinis sugestif infeksi sitomegalovirus. Hasil. Prevalensi infeksi sitomegalovirus pada anak dengan HIV di RSUPN Cipto Mengunkusumo tahun 2018 adalah 6%, meningkat 5 kali dibandingkan dengan tahun 2007. Total anak yang mengalami ko-infeksi HIV-CMV adalah 36 orang. Sebagian besar subyek adalah lelaki, berusia 49 bulan (rentang 2-191 bulan), belum menggunakan ARV, dengan rerata CD4 382 sel/μL (11%). Manifetasi klinis tersering adalah demam ≥2 minggu, peningkatan enzim transaminase, dan diare kronik. Titer IgM dan IgG reaktif didapatkan pada 22 dan 32 subyek. Materi DNA sitomegalovirus terdeteksi pada 25 subyek. Infeksi sitomegalovirus terbanyak terjadi dalam bentuk sindrom sitomegalovirus (15/36), korioretinitis (9/36), dan hepatitis (6/36). Immune reconstitution syndrome didapatkan pada empat subyek. Seluruh subyek mendapatkan terapi inisial dengan gansiklovir, valgansiklovir, atau kombinasi keduanya. Tidak ada subyek yang meninggal saat terapi inisial, tetapi 11 subyek memiliki morbiditas permanen dengan 9 subyek di antaranya mengalami low vision atau kebutaan. Kesimpulan. Prevalensi infeksi sitomegalovirus pada anak dengan infeksi HIV sebesar 6%. Infeksi sitomegalovirus perlu diwaspadai pada anak HIV dalam keadaan imunosupresi berat yang mengalami demam ≥2 minggu disertai manifestai klinis terkait organ target. 
Soy protein sensitization in cow’s milk allergy patients Dina Muktiarti; Zakiudin Munasir; Alan R. Tumbelaka
Paediatrica Indonesiana Vol 47 No 2 (2007): March 2007
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (400.004 KB) | DOI: 10.14238/pi47.2.2007.78-82

Abstract

Background The management of cow’s milk allergy (CMA) isavoidance of cow’s milk as strictly as possible. Extensive hydrolyzedprotein and amino acid based formulas are recommended dietaryproducts for treatment of CMA. However, they have somedisadvantages, such as bitter taste and high cost. Alternativeprotein sources from vegetable proteins, such as soy, can be usedas milk-substitute. Previous studies showed the prevalence of soyallergy in CMA patients in Western countries ranged between 0to 63%, but the prevalence in Asia was not greater than 20% andno data about this prevalence in Indonesia.Objectives To determine the proportion of soy proteinsensitization in CMA patients and characteristics of CMA patientswho were sensitized to soy protein.Methods Fifty seven CMA patients who consumed soy proteinwere taken their blood sample to examine the soy-specific IgE.Results From 57 CMA patients, we found only 18% of patientswho were sensitized to soy protein. Seven out of ten CMA patientswho were sensitized to soy protein were under 12 months old.Atopic dermatitis was the most frequent clinical manifestation(8/10) and all of them had family history of atopic diseases. Soysensitization in IgE-mediated and non-IgE mediated CMA were6/10 and 4/10, respectively.Conclusions Proportion of soy sensitization in CMA patients inthis study was 18%. Soy protein can be used as an alternative forcow’s milk substitute in CMA patients.
Outcomes of prevention of HIV mother-to-child transmission in Cipto Mangunkusumo Hospital Dina Muktiarti; Nia Kurniati; Arwin Akib; Zakiudin Munasir
Paediatrica Indonesiana Vol 52 No 5 (2012): September 2012
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (168.189 KB) | DOI: 10.14238/pi52.5.2012.294-9

Abstract

Background Human immunodeficiency virus (HIV) infectionis increasing worldwide. One foute of HIV transmission is frommother to child, during pregnancy, delivery or breastfeeding.Prevention of mother􀁂to􀁂child transmission may be an effectivestrategy to reduce the cases of new HIV infections.Objectives To investigate the incidence of HIV infection ininfants born to mothers with HIV and who received prophylactictherapy at birth, as well as to note the outcomes of HIVinfectedchildren in this program.Methods This retrospective study was carried out over a 9􀁂yearperiod, from January 20 03 to December 2011. The participantswere HIVexposed infants who attended the HIV clinic, at theDepartment of Child Health, Cipto Mangunkusumo Hospital,Jakarta. Infants were treated according to the prevention ofmother􀁂to􀁂child transmission (PMTCT) protocol at CMH.Parents' and infants' data was recorded. The end point of thisstudy was recording of HIVinfection status in the infants.Results There were 238 infants included in this study. HIVinfection was confirmed in 6 (2.5%) infants, while 170 (71.4%)subjects were uninfected, and 62 (26.1%) subjects were lostto follow􀁂up. No subjects who underwent complete PMTCTmanagement were infected. Most subjects were male, full􀁂tenn,and delivered by caesarean section in our hospital. The mostfrequently observed parental risk factor was intravenous druguse. Maternal antiretroviral therapy (ART) was given duringpregnancy in most cases. Morbidities in all subjects were low.Conclusion The PMTCT program at CMH was effective forreducing the number ofHIVinfected infants from mothers withHIY. [Paediatrlndanes. 2012;52:294-9]. 
Efektivitas Pelatihan Kecakapan Hidup Menggunakan Modul Pengelolaan Emosi pada Remaja Perempuan dengan Lupus Eritematosus Sistemik Safira A Tjandrasari; Fransiska Kaligis; Tjhin Wiguna; Raden Irawati Ismail; Dina Muktiarti
eJournal Kedokteran Indonesia Vol 9, No. 2 - Agustus 2021
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (378.18 KB) | DOI: 10.23886/ejki.9.52.80

Abstract

Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit kronik yang dapat menyebabkan masalah emosi pada remaja, khususnya perempuan sehingga fokus perawatan pada remaja dengan LES adalah mengatasi gangguan yang dialami secara keseluruhan. Studi ini bertujuan untuk mengetahui masalah emosi pada remaja perempuan dengan LES dan efektivitas pelatihan kecakapan hidup-modul pengelolaan emosi (PKH-MPE) dalam mengatasi masalah emosi. Studi ini menggunakan desain uji klinis teracak dalam 2 grup di RSUPN dr. Cipto Mangungkusumo pada bulan Januari hingga Desember 2019. Subjek adalah 30 remaja perempuan dengan LES yang sudah mendapat terapi dan memiliki skor Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI) 0-5. Masalah emosi dinilai dengan Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ) pada awal dan 4 minggu pasca perlakuan. Sebanyak 6/30 remaja perempuan memiliki nilai SDQ abnormal pada awal studi. PKH-MPE efektif menurunkan masalah emosi pada kelompok perlakuan dibandingkan kontrol (uji Wilcoxon, p=0,002). Pada kelompok perlakuan terdapat perbaikan total skor SDQ (p=0,001), masalah emosi (p = 0,002), masalah perilaku (p=0,027) dan perilaku hiperaktif (p=0,040) dibandingkan awal studi. PKH-MPE secara bermakna mengurangi keluhan nyeri, kecemasan dan perasaan gugup pada kelompok perlakuan. Disimpulkan PKH-MPE efektif memperbaiki masalah emosi pada remaja perempuan dengan LES, terutama keluhan nyeri, cemas, dan perasaan gugup. Kata kunci: lupus, penyakit kronis, masalah emosi, pelatihan kecakapan hidup, SDQ.   Effectiveness of Life SkillsTraining-Emotional Management Module in Female Adolescent with Systemic Lupus Erythematosus Abstract Systemic lupus erythematosus (SLE) is a chronic disease that can cause emotional problems in adolescents, predominantly female thus, the focus of care in adolescents with SLE is to treat the patients holistic. The study aims to assess the emotional problems in female adolescents with SLE and the effect of life skills training-emotional management module in female adolescents with SLE. This study is a randomized clinical trial with no blinding which located in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. Thirty female adolescents with treated SLE and had Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (SLEDAI) score 0-5 were included. Emotional problems were assessed at the beginning of the study and four weeks after intervention. It was found that there were 6/30 subjects with abnormal SDQ at the beginning of the study. Life skills training was found effective in treating emotional problems, compared to control with (Wilcoxon test, p=0.002). Life skill straining was also found effective in improving SDQ score (p=0.001), emotional problem (p=0.002), conduct problems (p=0.027),and hyperactivity (p=0.040) in the intervention group compared to baseline. Life skill straining reduced physical pain, worries, and nervousness in the intervention group. In conclusion, the life skill straining-emotional management module was effective in improving emotional problems in a female adolescent with SLE, especially physical pain, worries, and nervousness. Keywords: SLE, chronic disease, emotional problems, life skills training, SDQ.
Respons Klinis Pemberian Tocilizumab Dibandingkan Anakinra dalam Tata Laksana Artritis Idiopatik Juvenil Sistemik Edy Novery; Rizqi Amalia; Dina Muktiarti; Nia Kurniati
Sari Pediatri Vol 24, No 4 (2022)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp24.4.2022.273-8

Abstract

Latar belakang. Artritis idiopatik juvenil (AIJ) sistemik merupakan penyakit inflamasi sistemik yang tidak hanya melibatkan sendi tetapi juga keterlibatan sistemik dan merupakan tipe terberat dari AIJ. Tatalaksana standar yang diberikan sering tidak memberikan respons klinis optimal sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Pemberian agen biologis seperti tocilizumab atau anakinra merupakan pilihan agen biologis untuk tatalaksana AIJ sistemik. Tujuan. Mengumpulkan bukti ilmiah tentang efektivitas pemberian tocilizumab dibandingkan anakinra dalam tatalaksana AIJ sitemik. Metode. Pencarian artikel dilakukan secara daring menggunakan instrumen kata kunci yang sesuai melalui basis data Pubmed, Cochrane dan Google Scholar pada bulan Februari 2022.Hasil. Penelusuran dilakukan dan didapatkan dua artikel dengan kohort retrospektif. Remisi klinis pada kelompok tocilizumab berkisar sekitar 44-45%, sedangkan pada kelompok anakinra berkisar 25-38%. Kesimpulan. Tocilizumab memberikan respons klinis yang lebih baik dibandingkan anakinra dalam tatalaksana AIJ sistemik.