Sudung O Pardede, Sudung O
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Published : 43 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

FAKTOR RISIKO EPILEPSI INTRAKTABEL PADA ANAK DENGAN EPILEPSI UMUM Mangunatmadja, Irawan; Mulyani, Dina Indah; Pardede, Sudung O; Tridjadja, Bambang; Wulandari, Harjanti F
Majalah Kedokteran Indonesia Vol 69 No 2 (2019): Journal of the Indonesian Medical Association Majalah Kedokteran Indonesia Volum
Publisher : PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA (PB IDI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pendahuluan: Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan faktor risiko untuk terjadinya epilepsi intraktabel pada anak dengan epilepsi fokal dan umum. Tujuan: Mengetahui apakah faktor risiko awal atau faktor evolusi pada pasien epilepsi anak dapat menjadi faktor risiko terjadinya epilepsi intraktabel pada anak dengan epilepsi umum. Metode: Penelitian kohort retrospektif berdasarkan rekam medis pasien epilepsi umum usia 1 bulan sampai 18 tahun yang berobat di Poliklinik Neurologi Anak dan Poliklinik Anak Swasta Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM antara Januari 2010 - Desember 2013 dengan lama pengobatan minimal 6 bulan. Faktor risiko dianalisis secara bivariat dan multivariat. Hasil: Angka kejadian epilepsi umum intraktabel adalah 21% dari 102 subjek. Pada analisis bivariat didapatkan faktor risiko yang bermakna adalah usia awitan kejang <1 tahun, frekuensi awal serangan, respon awal terapi buruk, evolusi status perkembangan motor kasar buruk dan evolusi epileptiform pada EEG buruk. Analisis multivariat hanya mendapatkan respon awal terapi buruk (p<0,001) dan usia awitan kejang < 1 tahun(p<0,001) merupakan faktor risiko yang berperan untuk terjadinya epilepsi intraktabel. Kesimpulan: Faktor risiko yang sangat berperan untuk terjadinya intraktabel pada epilepsi umum anak adalah respon terapi awal buruk dan usia awitan kejang <1 tahun.
Nutrisi pada Anak dengan Penyakit Ginjal Kronik Jaya, Hendri Tanu; O. Pardede, Sudung
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 2 (2014): Neurologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (603.385 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i2.1160

Abstract

Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal yang ditandai dengan kelainan patologi anatomi ginjal maupun kelainan fungsi ginjal yang berlangsung selama tiga bulan atau lebih. Anak dengan PGK berisiko mengalami malnutrisi, keterlambatan pertumbuhan, dan gangguan nutrisi. Keadaan ini meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas. Terapi nutrisi pada anak dengan PGK bertujuan mempertahankan status nutrisi optimal; tercukupinya mikronutrien dan makronutrien; menghindari toksisitas uremik, metabolisme abnormal, dan malnutrisi; serta menurunkan risiko morbiditas kronik dan mortalitas pada usia dewasa. Parameter penilaian status nutrisi dan pertumbuhan pada anak dengan PGK meliputi asupan makanan, persentil tinggi/panjang badan terhadap umur, persentil kecepatan pertambahan tinggi/panjang badan terhadap umur, perkiraan berat badan dan persentil berat badan menurut umur, indeks massa tubuh, dan lingkar kepala. Restriksi asupan natrium disarankan pada anak PGK yang menderita prehipertensi atau hipertensi. Restriksi fosfat bermanfaat untuk mencegah dan menangani hiperparatiroidisme dan aman untuk pertumbuhan, nutrisi, dan mineralisasi tulang. Rekomendasi pemberian kalsium adalah 100%-200% kebutuhan sehari sesuai umur. Pasien PGK dengan kekurangan vitamin D disarankan diberi vitamin D dengan monitor kadar vitamin D3 serum. Chronic kidney disease (CKD) is defined as kidney damage characterized by structural, histological and/or functional kidney abnormalities at least for three months. Children with CKD have increased risk for malnutrition, growth retardation, and nutritional disorder, increasing risk of morbidity and mortality. Nutritional therapy for children with CKD is to maintain optimal nutritional status, to achieve adequate micro- and macronutrient intake, to avoid uremic toxicity, abnormal metabolism and malnutrition and also to lower chronic morbidity and mortality risk in adult age. The parameter of nutritional status and growth evaluation in children with CKD are dietary intake, percentile of body height/length for age, percentile of growth for age, estimation of body weight and body weight to age percentile, body mass index, and head circumference. Sodium restriction is suggested for children with CKD with pre-hypertension or hypertension. Phosphate restriction provides the advantages in preventing and managing hyperparathyroidism and is safe for bone growth, nutrition, and mineralization. Calcium intake is recommended at 100%-200% of age-adjusted daily need. Vitamin D supplementation with vitamin D3 serum monitoring is recommended for vitamin D deficient CKD patient. Hendri Tanu Jaya, Sudung
An Additional Adequate Water Intake Increases the Amniotic Fluid Index in Pregnant Women with Oligohydramnios: A Systematic Review Tria Rosemiarti; Parlindungan Siregar; Hardinsyah Hardinsyah; Sudung O. Pardede; Budi Iman Santoso; Ras Adiba Riza; Erinna Tjahjono
Jurnal Gizi dan Pangan Vol. 17 No. 1 (2022)
Publisher : Food and Nutrition Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (374.281 KB) | DOI: 10.25182/jgp.2022.17.1.47-56

Abstract

This systematic review aimed to answer whether an additional amount of water intake can increase the Amniotic Fluid Index (AFI) in pregnant women with oligohydramnios. Article searches were conducted and data was obtained from “SCOPUS”, “EBSCO”, “PUBMED”, “COCHRANE” and “Google Search” databases using the following keywords: “hypovolemic”, “dehydration” “pregnancy” “outcome”, “hydration”. “water intake”, “oligohydramnios”, and “amniotic fluid index”. We used MeSH headings (hydration pregnancy) for search keyword, Inclusion criteria were subjects who were pregnant women with oligohydramnios (without any pathological disorder in the mother and fetus), the outcomes include AFI of <5 cm, study design was prospective cohorts and clinical trials, consumption of plain water (non-calorie beverages) and language restriction applied for articles published in English. Out of 391 articles, eight articles that met these criteria for anaylsis. Result showed that additional amount of water intake for pregnant women with oligohydramnios without maternal/fetal abnormalities in the third trimester (28−37 weeks) can increase AFI. Oral maternal hydration gave a better effect than intravenous maternal hydration on AFI. The additional amount of water intake per day required by pregnant women with oligohydramnios to increase AFI to normal ranges from 1,500 to 2,500 ml depending on the condition of each pregnant woman. Additional water intake via oral can be a strategy for oligohydramnios therapy in pregnant women.
Hipertensi pada Remaja Sudung O Pardede
Majalah Kedokteran UKI Vol. 32 No. 1 (2016): JANUARI - MARET
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakMasa remaja atau adolesens adalah suatu fase perkembangan yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masaini merupakan periode transisi dari masa anak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fsik, mental, emosional dan sosial. Pada masa ini terjadi berbagai perubahan metabolik pada tubuh remaja. Selain itu, gaya hidup anak remaja menyebabkan anak remaja rentan terhadap berbagai gangguan kesehatan dan salah satu di antaranya adalah hipertensi. Hipertensi adalah rata-rata tekanan darah sistolik atau diastolik lebih tinggi atau sama dengan persentil 95 menurut umur, jenis kelamin dan tinggi badan pada tiga kali pengukuran, yang dibedakan menjadi prehipertensi, hipertensi stadium-1, dan hipertensi stadium-2. Tekanan darah pada anak remaja dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain umur, tinggi badan, jenis kelamin, ras/etnik, gizi lebih atau obesitas, berat lahir rendah, genetik, aktivitas fsik, merokok, dan konsumsi alkohol. Tata laksana hipertensi pada anak remajadi tujukan pada pengendalian tekanan darah dan penyakit yang mendasarinya, meliputi tata laksana farmakologi dan nonfarmakologi. Tujuan pengobatan hipertensi adalah menurunkan tekanan darah sampai di bawah persentil 95. Kata kunci: hipertensi, tekanan darah sistolik-diastolik, anak remaja AbstractAdolescence is a dynamic developmental phase on the life of a person. This phase is a transtitional phase from the childhood phase to the adult phase, which characterized by velocity of physical, mental, emotional, and social development. On this phase, some metabolic changes occured in the adolescent body . The life style of the adolescents will cause them to become more susceptible to some health problems, such as hypertension. Hypertension is defned as an average systolic blood pressure and/or diastolic blood pressure that is > 95th percentile for gender, age, and height on > 3 occasions, and classifed into prehypertension, stage-1 hypertension,and stage-2 hypertension. Blood pressure in adolescents is infuenced by some factors such as age, height, gender, race, overweight or obesity, low birth weight, genetics, physical activities, smooking, and alcohol consumption. The management of hypertension in adolescents are blood pressure control and management of the underlying diseases,and consists of non-pharmacologic and pharmacologic management. The goal of hypertension management is to reduce blood pressure until below the 95th percentile. Key words: hypertension, systolic-diastolic blood pressure, adolescent
Vaksinasi pada Anak dengan Penyakit Ginjal Kronik Sudung O Pardede
Majalah Kedokteran UKI Vol. 32 No. 1 (2016): JANUARI - MARET
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakPenyakit ginjal kronik (PGK) pada anak merupakan penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dan infeksi merupakan penyebab utama. Hal itu disebabkan gangguan respons imun pada anak dengan PGK. Vaksinasi merupakan teknik yang aman dan efektif dalam mencegah infeksi. Vaksinasi pada anak dengan PGK dapat diberikan sesuai jadual dengan beberapa pertimbangan khusus. Tingkat proteksi setelah vaksinasi pada anak dengan PGK lebih cepat menurun dibandingkan anak normal sehingga perlu dilakukan pemantauan titer antibodi secara berkala dan pertimbangan pemberian vaksin ulangan. Pemberian vaksin hidup yang telah dilemahkan perlu ditunda pada pasien yang baru saja menjalani transplantasi ginjal atau dengan obat penekan respons imun dosis tinggi.Kata kunci: vaksinasi, anak, penyakit ginjal kronik, dialisis, transplantasi ginjal AbstractChildren with chronic kidney disease (CKD) are associated with high morbitity and mortality due to infection as one of the leading causes. This happens as a result of the impaired immune response in CKD. Vaccination is proven as a safe and effective technique in preventing infection. It can be given to children with CKD according to the national schedule with several considerations. Level of protection after vaccination in children with CKD decreased faster than in normal children, thus, it is recommended to do a serial monitoring of the antibody titer and administer booster vaccine if necessary. Live attenuated vaccination need to be delayed in those who are recently underwent kidney transplantation or recieving a high dose of immunosuppresant drugs.Key words: vaccination, pediatric, chronic kidney disease, dialysis, renal transplantation.
Disfungsi Kandung Kemih Non-Neurogenik pada Anak: Diagnosis dan Tata Laksana Sudung O. Pardede; William J. Iskandar; Bernadetha Nadeak
Majalah Kedokteran UKI Vol. 34 No. 2 (2018): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakDisfungsi kandung kemih (lower urinary tract dysfunction) merupakan masalah berkemih yang sering ditemukanpada anak, dapat berupa disfungsi neurogenik, anatomis, maupun non-neurogenik. Masalah tersebut sering disertaiinfeksi saluran kemih, refluks vesikoureter, dan parut ginjal yang berpotensi menyebabkan penyakit ginjal kronik,serta memiliki dampak fisik dan psikososial yang berat pada anak. Manifestasi klinis disfungsi kandung kemihmuncul sesuai dengan patofisiologi berkemih, yakni gangguan pada pengisian (storage) atau gangguan miksi(voiding), dengan deskripsi istilah atau terminologi mengacu pada konsensus International Children’s ContinenceSociety (ICCS) 2015. Diagnosis ditegakkan secara klinis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan prinsiputama menyingkirkan kelainan neurologis dan anatomis, serta pencatatan urin rutin. Modalitas pemeriksaanpenunjang dapat bersifat noninvasif (urinalisis, ultrasonografi, uroflowmetry) maupun invasif (sistogram). Tatalaksana komprehensif disfungsi kandung kemih non-neurogenik terdiri atas uroterapi (termasuk terapi biofeedback),terapi farmakologis, terapi bedah, dan neuromodulasi atau neurostimulasi. Kata Kunci: disfungsi kandung kemih, non neurogenik, uroterapiAbstractBladder dysfunction or lower urinary tract dysfunction is frequently found in children, which can be caused byneurologic, anatomical, or functional (non-neurogenic) problem. Urinary tract infection, vesicoureteral reflux, andrenal scar are common secondary to bladder dysfunction, leading to chronic kidney disease and causing seriousphysical and psychosocial impact in childlhood. Clinical manifestation correlates well with the pathophysiology,either storage (filling) or voiding problem. Standard terms have been published by International Children’sContinence Society (ICCS) 2015. Diagnosis of bladder dysfunction could be clinically established by history takingand physical examination, focusing on excluding neurological or anatomical lesion and voiding diary. Furtherexamination consists of non-invasive methods (urinalysis, ultrasonography, and uroflowmetry) or invasive methods(cystogram). Comprehensive management includes urotherapy (including biofeedback therapy), pharmacologicaltreatment, urosurgery, and neuromodulation or neurostimulation. Keywords: : bladder dysfunction, non neurogenic, urotherapy
Kriteria RIFLE pada Acute Kidney Injury Sudung O. Pardede; Niken Wahyu Puspaningtyas
Majalah Kedokteran UKI Vol. 28 No. 2 (2012): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Acute kidney injury (AKI) merupakan masalah yang menyulitkan dalam dunia kedokteran. Acute kidney injury diartikan sebagai peningkatan kreatinin serum ataupun produk metabolisme nitrogen yang bersifat reversibel dan ketidakmampuan ginjal untuk meregulasi cairan dan elektrolit kekeadaan homeostasis tubuh. Kriteria risk, injury, failure, loss, and end stage renal disease (RIFLE) telah ditetapkan sebagai kriteria standar AKI pada orang dewasa. Pada anak telah digunakan klasifikasi RIFLE yang dimodifikasi yang disebut dengan pediatric RIFLE (pRIFLE). Perbedaan antara RIFLE pada dewasa dan pRIFLE pada anak adalah nilai cut-off kreatinin serum yang lebih rendah untuk mencapai kategori F (failure), dan waktu pengeluaran urin yang diperlukan untuk menentukan risk dan injury. Penyebab AKI dibedakan menjadi penyebab pre renal, renal, dan uropati obstruktif. Beberapa biomarker seperti neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) plasma, kadar sistatin C dan perubahan kadar urin NGAL, interleukin 18, kidney injury molecule-1 (KIM-1) dan KIM-3 sedang dalam tahap penelitian. Mortalitas pada pasien dengan AKI (31,2%) lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa AKI (6,9%). Angka mortalitas meningkat seiring peningkatan stadium yaitu R sebesar 18,9%, I sebesar 36,1% serta F sebesar 46,5%.Kata kunci: gagal ginjal akut, RIFLE, oliguria, laju filtrasi glomerulus, kreatinin Abstract Acute kidney injury (AKI) is a complicated problem in medicine. Acute kidney injury is defined as a reversible increase in serum creatinine or nitrogen metabolism products and inability of kidney to regulate fluid and electrolyte to homeostatic state. Risk, injury, failure, loss, and end stage renal disease (RIFLE) has been established as a standard criteria of AKI in adults. In children, there is a modified RIFLE classification called pediatric RIFLE (pRIFLE). The differences between adult RIFLE and child pRIFLE are lower cut-off point of serum creatinine to reach F (failure) category and diuresis time to establish risk and injury. Causes of AKI can be divided into prerenal, renal and obstructive uropathy. Several biomarkers for AKI such as plasma neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL), cystatin C level and changes in urinary level of NGAL, interleukin 18, kidney injurymolecule-1 (KIM-1) and KIM-3 are still on research. The mortality of patients with AKI (31,2%) is higherthan those without AKI (6,9%). The mortality rate increases along with the increase of AKI stages, stage R:18,9%, stage I:36,1% and stage F:46,5%.Key words: acute kidney injury, RIFLE, oliguria, glomerular filtration rate, creatinin
Kandung Kemih Neurogenik pada Anak: Etiologi, Diagnosis dan Tata Laksana Rhyno Febriyanto; Bernadetha Nadeak; Sudung O. Pardede
Majalah Kedokteran UKI Vol. 28 No. 4 (2012): OKTOBER-DESEMBER
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Kandung kemih neurogenik adalah disfungsi kandung kemih karena kerusakan atau penyakit pada sistem saraf pusat ataupun sistem saraf perifer. Sebagian besar penyebab kandung kemih neurogenik pada anak merupakan kelainan kongenital dan sisanya merupakan kelainan didapat. Spina bifida atau mielodisplasia merupakan penyebab tersering kandung kemih neurogenik pada anak dan 90% di antaranya berupa mielomeningokel. Kandung kemih neurogenik sering ditandai dengan inkontinensia urin.Tata laksana yang cepat dan tepat dapat mencegah kerusakan ginjal. Langkah awal tata laksana kandung kemih neurogenik adalah menegakkan diagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat. Apabila terdapat kecurigaan kandung kemih neurogenik, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan ultrasonografi. Pemeriksaan pencitraan lain seperti miksio-sistouretrografi dilakukan atas indikasi. Pemeriksaan urodinamik dilakukan untuk menilai fungsi kandung kemih yaitu fungsi pengisian dan pengosongan. Penanganan yang adekuat meliputi pengosongan kandung kemih dengan baik, penurunan tekanan intravesika, pencegahan infeksi saluran kemih, serta tata laksana inkontinensia. Terdapat beberapa modalitas tata laksana kandung kemih neurogenik seperti medikamentosa dan tindakan urologik antara lain clean intermittent catheterization (CIC), sistoplastik, atau pemasangan sfingter artifisial.Kata kunci: kandung kemih neurogenik, urodinamik, clean intermitten cathetetrization Abstract Neurogenic bladder is a dysfunction caused by damage or disease of either central nervous or peripheral nervous system. The most common causes of neurogenic bladder in children are congenital disorders while the others are acquired disorders. Spina bifida or myelodysplasia is the most common congenital cause of neurogenic bladder in children and 90% are in the form of myelomeningocele. Neurogenic bladder is often manifested by urinary incontinence. Prompt and precise management may prevent kidney damage. The initial step in managing neurogenic bladder is establishing diagnosis by careful history taking and physical examination. Once suspicion of neurogenic bladder presents, the next step is to perform laboratory examination and ultrasonography. Other imaging examinations, such as micturating cystourethrography, are performed by the indication. Urodynamic study is performed to evaluate filling and voiding function of the bladder. Adequate treatment includes bladder voiding, intravesical pressure reduction, urinary tract infection prevention, and also management of incontinence. There are several modalities of neurogenic bladder treatment such as medications and urologic interventions including clean intermittent catheterization (CIC), cystoplasty, or artificial urinary sphincter implantation. Keywords: neurogenic bladder, urodynamic, clean intermitten catheterization
Diagnosis dan Tata Laksana Glomerulonefritis Progresif Cepat pada Anak Sudung O. Pardede; Ratih Puspita
Majalah Kedokteran UKI Vol. 30 No. 1 (2014): JANUARI - MARET
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Glomerulonefritis progresif cepat (GNPC) merupakan glomerulonefritis yang disertai penurunan fungsi ginjal yang berlangsung cepat, dan terlihat sebagai penurunan laju filtrasi glomerulus sebesar 50% dalam waktu tiga bulan. Secara histopatologi ditemukan gambaran bulan sabit atau crescent pada sebagian besar glomerulus. Gambaran klinis GNPC berupa hematuria, proteinuria, penurunan diuresis, edema, dan hipertensi. Kebanyakan GNPC mengalami gagal ginjal akut yang berhubungan dengan nefritis akut dan atau sindrom nefrotik. Perkembangan menjadi gagal ginjal stadium akhir biasanya terjadi dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah awitan. Glomerulonefritis progresif cepat terdiri atas tiga tipe yaitu glomerulonefritis kompleks imun, glomerulonefritis pauci-immune, dan glomerulonefritis anti-membran basal glomerular. Tata laksana GNPC dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah tata laksana spesifik untuk mengatasi peradangan pada ginjal. Glomerulonefritis progresif cepat yang tidak diobati akan cepat berkembang menjadi end-stage renal disease, sehingga terapi spesifik berdasarkan penyebab harus segera dimulai meskipun bukti pendukung keberhasilan terapi masih belum memadai. Bagian kedua adalah penanganan akibat kelainan glomerulus, GNPC harus mendapatkan terapi suportif untuk mengontrol komplikasi penyakit glomerular seperti uremia, hipervolemia, hipertensi, hiperkalemia, dan asidosis metabolik. Jika diperlukan, dialisis dan ultrafiltrasi harus dilakukan. Secara umum prognosis GNPC tidak baik, bahkan setelah pengobatan dengan steroid oral dan sitotoksik. Kata kunci : glomerulonefritis akut, glomerulonefritis progresif cepat, kresentik Abstract Rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN) is glomerulonephritis accompanied by rapid loss of renal function (usually 50% decline in glomerular filtration rate) within three months, and histopathologic abnormality of crescent formation seen in most of glomeruli. The clinical manifestations of RPGN are hematuria, proteinuria, decrease of diuresis, edema, and hypertension. Most of RPGN progress to acute kidney injury associated with acute nephritis and/or nephrotic syndrome. Progression into end-stage renal disease usually occurs within few weeks to few months after onset. Rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN) is classified into three types; immune complex glomerulonephritis, pauci-immune glomerulonephritis, and anti-glomerular basement membrane glomerulonephritis. Management of RPGN consists of two parts. The first part is specific management to overcome inflammation of the kidney. Untreated RPGN will rapidly progress to end-stage renal disease, therefore specific therapy based on underlying causes must be initiated immediately although supporting evidences of succesful therapy are still inadequate. The second part is the management of the consequences of its pathophysiologic glomerular abnormality. A supportive therapy must be given in order to control glomerular disease complication such as uremia, hypervolemia, hypertension, hyperkalemia, and metabolic acidosis. Dialysis and ultrafiltration must be initiated if required. Generally, prognosis of RPGN is poor even after treatment with oral steroids and cytotoxic drugs.Key words : acute glomerulonephrtis, rapidly progressif glomerulonephritis, crescent
Kelainan Ginjal pada Artritis Idiopatik Juvenil: Laporan Kasus Selli Muljanto; Sudung O. Pardede; Eka L. Hidayati
Majalah Kedokteran UKI Vol. 30 No. 2 (2014): APRIL - JUNI
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/mkvol34iss2pp60

Abstract

Abstrak Artritis idiopatik juvenil merupakan salah satu penyakit rematik tersering pada anak, dan merupakan penyakit kompleks yang dapat mengenai berbagai organ. Keterlibatan ginjal pada orang dewasa telah dilaporkan, sedangkan pada anak jarang ditemukan. Didapatkan kasus seorang anak perempuan berusia 10 tahun dengan keluhan nyeri sendi disertai tanda peradangan sendi dan gangguan gerak sendi berulang sejak lima bulan yang lalu. Pada pemeriksaan laboratorium selalu ditemukan hematuria dan proteinuria. Pasien didiagnosis sebagai glomerulonefritis kronik dengan artritis idiopatik juvenil, dan diterapi dengan metilprednisolon, metotreksat, losartan dan lisinopril. Setelah pengobatan dengan metilprednisolon dosis tinggi selama satu bulan, yang dilanjutkan dengan penurunan dosis metilprednisolon bertahap, tidak terdapat lagi hematuria maupun proteinuria. Direncanakan biopsi ginjal pada pasien untuk menentukan lesi ginjal namun orangtua tidak bersedia.Kata kunci : artritis idiopatik juvenil, hematuria, proteinuria, glomerulonefritis Abstract Juvenile idiopathic arthritis is a frequent rheumatic disease among rheumatic diseases in children and is a complex disease which influence many body organs. Kidney influence in adult has been reported but it is very rare in children. We reported a 10 years old girl case with a joint pain, a joint inflammation, and joint movement disorder since 5 months ago. Laboratorium results always showed hematuria and proteinuria. The patient was diagnosed as chronic glomerulonephritis on juvenile idiopathic arthritis, and was treated with methylprednisolone, methotrexate, losartan, and lisinopril. After a high dose methylprednisolone administration for one month which was continued with reducing dose slowly, the patient showed no hematuria and proteinuria any more. Kidney biopsy was not performed because the parent did not agree with this procedure.Key words: juvenile idiopathic arthritis, hematuria, proteinuria, glomerulonephritis