Mulya Rahma Karyanti, Mulya Rahma
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo

Published : 30 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

Protokol Evaluasi Infeksi Jamur dan Parasit Pre dan Pasca-Transplantasi Hati pada Anak Mulya Rahma Karyanti; Nina Dwi Putri; Hanifah Oswari
Sari Pediatri Vol 21, No 6 (2020)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp21.6.2020.394-400

Abstract

Infeksi jamur menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas paling penting pada pasien pasca-transplantasi hati yang mendapat beberapa imunosupresan. Candida species dan Aspergillus species adalah infeksi jamur paling invasif. Infeksi Candida species dilaporkan menjadi etiologi penyebab infeksi jamur tertinggi pada transplantasi hati. Selain infeksi jamur, parasit juga dilaporkan menjadi penyebab infeksi pada transplantasi hati khususnya pada pasien berasal dari daerah endemis. Artikel ini bertujuan untuk membuat protokol evaluasi infeksi jamur dan parasit pada transplantasi hati anak.
Profil Lipodistrofi dan Dislipidemia pada Pasien Prepubertas dengan HIV yang Mendapat Terapi ARV di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Yessi Yuniarti; Aryono Hendarto; Nia Kurniati; Djajadiman Gatot; Pramita Gayatri; Mulya Rahma Karyanti
Sari Pediatri Vol 18, No 1 (2016)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (568.896 KB) | DOI: 10.14238/sp18.1.2016.55-62

Abstract

Latar belakang. Terapi antiretroviral (ARV) kombinasi telah berhasil menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien HIV, tetapi menimbulkan efek samping jangka panjang berupa sindrom lipodistrofi.Tujuan. Mengidentifikasi adanya lipodistrofi dan dislipidemia pada pasien prepubertas dengan HIV yang mendapatkan terapi ARV jangka panjang.Metode. Penelitian potong lintang dilakukan pada 76 pasien HIV usia prepubertas di Poli Alergi Imunologi RSCM. Pemeriksaan klinis lipodistrofi dilakukan oleh tenaga klinis, tebal lipatan kulit (TLK) triceps dan subscapular, lingkar pinggang serta rasio lingkar pinggang-panggul. Data kadar CD4 awal, status gizi awal terdiagnosis, jenis terapi ARV, dan lama terapi ARV didapatkan dari rekam medis. Subyek juga dilakukan analisis diet, pemeriksaan profil lipid, dan gula darah puasa.Hasil. Subyek prepubertas dengan HIV yang mendapatkan terapi ARV yang mengalami lipodistrofi dan dislipidemia berturut-turut 47% dan 46%. Subyek lipodistrofi berupa lipohipertrofi 35%, lipoatrofi 5%, dan tipe campuran 7%. Mayoritas subyek lipodistrofi memiliki massa lemak tubuh, serta TLK triceps dan subscapular normal. Subyek lipohipertrofi dan tipe campuran seluruhnya memiliki rasio lingkar pinggang-panggul meningkat. Terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan regimen ARV 2NRTI + PI meningkatkan risiko 6,9 kali untuk terjadinya dislipidemia (p=0,001 IK95%: 2,03-23,7) dibandingkan regimen 2NRTI+ NNRTI.Kesimpulan. Prevalensi lipodistrofi dan dislipidemia cukup tinggi pada pasien prepubertas dengan HIV yang mendapatkan terapi ARV. Mayoritas subyek yang mengalami lipodistrofi memiliki massa lemak tubuh, TLK triceps dan subscapular yang normal.
Protokol Evaluasi Infeksi Bakteri Pre- dan Pasca-Transplantasi Hati Anak Mulya Rahma Karyanti; Nina Dwi Putri; Hanifah Oswari
Sari Pediatri Vol 21, No 1 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (455.109 KB) | DOI: 10.14238/sp21.1.2019.66-72

Abstract

Infeksi pre- dan pasca-transplantasi hati dipengaruhi oleh gangguan sistem imunonlogi resipien karena penggunaan obat-obat imunosupresi. Komplikasi infeksi tersebut merupakan penyebab penting kejadian infeksi terhadap morbiditas dan mortalitas pada anak anak yang menjalani transplantasi hati.  Obat-obatan profilaksis sebelum dan setelah operasi yang direkomendasikan disesuaikan dengan pola mikroba yang berkaitan di setiap rumah sakit. Uji tapis infeksi bakteri penting untuk mencegah terjadinya infeksi pasca-transplantasi hati. Komplikasi terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri disebabkan oleh karena penggunaan alat-alat invasif dalam jangka waktu yang lama seperti kateter vena sentral, kateter akses arterial, endotracheal tube, kateter ureter, dan sebagainya. Keberhasilan efektivitas pengobatan antimikroba ditentukan oleh pengelolaan pemasangan atau pelepasan semua alat invasif dan pengontrolan infeksi di rumah sakit.
Diagnosis Infeksi Dengue di Era Pandemi COVID-19 Mulya Rahma Karyanti; Pinka Nurashri Setyati
Sari Pediatri Vol 23, No 2 (2021)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp23.2.2021.136-42

Abstract

Latar belakang. Penegakan diagnosis infeksi dengue menjadi tantangan di era pandemik COVID-19. Kasus misdiagnosis dan ko-infeksi antara infeksi dengue dengan COVID-19 telah dilaporkan karena adanya kemiripan gejala klinis maupun pemeriksaan laboratorium. Keterlambatan atau kesalahan penegakan diagnosis dapat menimbulkan kerugian pada pasien, maupun petugas kesehatan. Tujuan. Mendapatkan strategi penegakan diagnosis infeksi dengue yang cepat dan tepat pada era pandemi COVID-19.Metode. Penelusuran artikel melalui database ilmiah.Hasil. Infeksi dengue dan COVID-19 memiliki perbedaan patofisiologi dan target organ. Kedua penyakit tersebut memiliki ciri khas yang sama yaitu terjadinya disfungsi endotel. Terdapat perbedaan karakteristik demam dimana infeksi dengue dengan saddleback fever dan COVID-19 prolonged fever. Gejala saluran pernapasan lebih umum ditemui pada pasien COVID-19 (76%) dibandingkan pada infeksi dengue (21,5%). Sementara itu, gejala gastrointestinal berupa nyeri abdomen, muntah persisten merupakan gejala warning signs penting pada infeksi dengue, sedangkan diare dapat terjadi pada COVID-19. Manifestasi perdarahan pada infeksi dengue terutama dapat berupa petekie, epistaksis, gusi berdarah atau perdarahan saluran cerna, namun pada COVID-19 tidak terjadi. Pada infeksi dengue pada fase awal demam dapat timbul muka kemerahan (flushing) dan fase penyembuhan muncul rash konvalesen yang dapat disertai rasa gatal pada ektremitas, sementara ruam eritematosa adalah temuan pada COVID-19. Pemeriksaan laboratorium yang cepat, mudah, praktis dan tersedia dalam praktek untuk konfirmasi infeksi dengue dilakukan pemeriksaan antigen NS1 dengue, sedangkan konfirmasi COVID-19 dilakukan pemeriksaan PCR SARS-CoV-2 dari swab naso dan orofaring.Kesimpulan. Infeksi dengue dan COVID-19 memiliki gejala klinis dan temuan laboratorium yang serupa. Diagnosis infeksi dengue pada era pandemic COVID-19 dapat dikonfirmasi dengan antigen NS1 bersamaan dengan PCR SARS-C0V-2.
Tata laksana Infeksi Sitomegalovirus pada Pasien Transplantasi Organ Padat Lucyana Alim Santoso; Mulya Rahma Karyanti; Nina Dwi Putri
Sari Pediatri Vol 19, No 3 (2017)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (277.572 KB) | DOI: 10.14238/sp19.3.2017.172-82

Abstract

Pasien kandidat transplan organ padat merupakan populasi yang berisiko tinggi mengalami infeksi, terutama setelah transplantasi, karena pasien akan menerima terapi imunosupresan sehingga infeksi maupun reaktivasi patogen lebih mudah terjadi. Patogen penyebab morbiditas tersering adalah sitomegalovirus (CMV). Infeksi sitomegalovirus dapat bersifat simtomatik maupun asimtomatik. Penyakit CMV timbul apabila infeksi bersifat simtomatik dan dapat terjadi baik oleh infeksi primer, reaktivasi, maupun superinfeksi virus. Gejala penyakit CMV pada pasien imunokompromais dapat menjadi diseminata. Baku emas untuk mendiagnosis CMV adalah dengan polymerase chain reaction (PCR) CMV. Namun demikian, belum ada panduan tatalaksana profilaksis maupun batasan titer CMV yang memerlukan terapi. Makalah ini bertujuan untuk menelaah literatur sehingga dapat menghasilkan panduan profilaksis dan terapi penyakit CMV pada pasien transplantasi organ padat di Indonesia.
Evaluasi Penggunaan Antibiotik dengan Kartu Monitoring Antibiotik Gyssens Irene Yuniar; Mulya Rahma Karyanti; Taralan Tambunan; Nanda Asyura Rizkyani
Sari Pediatri Vol 14, No 6 (2013)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp14.6.2013.384-90

Abstract

Latar belakang.Masalah infeksi yang sering ditemui di ICU anak, disebabkan berbagai pemakaian antibiotik. Peningkatan penggunaan antibiotik diikuti dengan risiko penurunan kepekaannya sehingga perlu pengendalian pemakaiannya.Tujuan.Evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif di Pediatric Intensive Care Unit(PICU) dengan menggunakan alur Gyssens.Metode.Uji potong lintang retrospektif dengan mengevaluasi penggunaan antibiotik melalui kartu monitoring serta dilakukan analisis dengan alur Gyssens di PICU dari tanggal 10 Februari 2012 sampai 31 Juli 2012.Hasil.Selama kurun waktu 5 bulan, 233 pasien dirawat di ICU Anak RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan 45 (19,3%) pasien menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik terbanyak pada kelompok umur 1 bulan sampai 1 tahun. Pada 83 penggunaan antibiotik, 64 antibiotik dipakai sebagai terapi empiris, 11 definitif, dan 8 profilaksis. Lima antibiotik terbanyak yang digunakan adalah sefotaksim, amikasin, piperasilin tazobaktam, meropenem, dan metronidazol. Penggunaan antibiotik yang tepat (alur Gyssens kategori I) didapatkan pada 53% pasien yang dirawat di PICU.Kesimpulan. Penggunaan antibiotik dengan justifikasi yang tepat dapat diterapkan dan diharapkan dapat menurunkan resistensi antibiotik, mengurangi beban biaya pasien serta meningkatkan kualitas pelayanan pasien di ICU Anak. Selain itu, diperlukan pelatihan pengambilan spesimen yang tepat secara berkala, serta dihimbau untuk mengisi formulir antibiotik secara tepat dan benar.
Faktor Risiko Obstructive Sleep Apnea pada Anak Sindrom Down​ Dewi Kartika Suryani; Bambang Supriyatno; Mulya Rahma Karyanti; Zakiudin Munasir; Sudung O. Pardede; Dina Muktiarti
Sari Pediatri Vol 20, No 5 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (125.055 KB) | DOI: 10.14238/sp20.5.2019.295-302

Abstract

Latar belakang. Sindrom Down merupakan kelainan kromosom tersering. Anak dengan sindrom Down (SD) di berbagai negara memiliki beberapa faktor risiko terhadap OSA dengan prevalensii antara 30%-60%, dibandingkan 0,7%-2% pada populasi umum. Hingga saat ini belum ada data mengenai OSA pada anak sindrom Down di Indonesia. Tujuan. Mengidentifikasi prevalensi OSA pada anak sindrom Down dan menganalisis hubungan antara habitual snoring, obesitas, penyakit alergi di saluran napas, hipertrofi tonsil, dan hipertrofi adenoid sebagai faktor risiko OSA pada anak sindrom Down. Metode. Penelitian potong lintang dilakukan pada anak sindrom Down berusia 3-18 tahun yang tergabung dalam Yayasan POTADS. Penelitian dilakukan di Poliklinik Respirologi IKA FKUI RSCM dari bulan Juli 2016 hingga Juli 2017. Penegakan diagnosis OSA menggunakan nilai batas AHI≥3 pada pemeriksaan poligrafi. Faktor- risiko yang dianggap berpengaruh dianalisis secara multivariat. Hasil. Penelitian dilakukan terhadap 42 subjek dengan hasil prevalensi OSA pada anak dengan SD 61,9%. Sebesar 42,9% merupakan OSA derajat ringan, 14,3% OSA sedang, dan 4,8% OSA berat. Pada analisis multivariat didapatkan faktor risiko yang bermakna yaitu habitual snoring (p=0,022 dan PR 8,85; IK 1,37-57) dan hipertrofi adenoid (p=0,006 dan PR 12,93; IK 2,09-79). Kesimpulan. Prevalensi OSA pada anak sindrom Down sebesar 61,9%. Faktor risiko yang bermakna yaitu habitual snoring dan hipertrofi adenoid.
Pola Sensitifitas Bakteri dan Penggunaan Antibiotik Sri Sulastri Katarnida; Mulya Rahma Karyanti; Dewi Murniati Oman; Yusticia Katar
Sari Pediatri Vol 15, No 2 (2013)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp15.2.2013.122-6

Abstract

Latar belakang.Penggunaan antibiotik yang tidak tepat bisa mengakibatkan resistensi obat, meningkatkan morbiditas, mortalitas dan biaya pengobatan. Faktor utama menentukan tepatnya penggunaan antibiotik adalah pemilihan antibiotik yang tepat, berdasarkan bakteri penyebab dan sensitifitasnya terhadap antibiotik. Sampai saat ini penelitian penggunaan antibiotik dan pola sensitifitas bakteri pada pasien anak di RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso belum pernah dilakukan.Tujuan. Mengetahui pola bakteri dan sensitifitasnya terhadap antibiotik pada pasien anak yang dirawat di RSPI SS.Metode. Penelitian dilakukan secara deskriptif, retrospektif dari rekam medis pasien rawat inap anak nonbedah, umur 1 bulan-15 tahun, dan hasil kultur tumbuh bakteri, periode tahun 2010 dan 2011. Pasien PICU dan pasien yang dalam perawatannya didiagnosis sebagai pasien bedah dikeluarkan dari penelitian.Hasil. Kultur dilakukan pada 286/1256 (22,8%) sampel, tumbuh bakteri pada 96/286(33,6%). Kelompok bayi 1bulan-<1tahun 14 (26,9%) paling banyak dilakukan kultur. Hasil kultur terbanyak S. typhi11/54 (20,4%), E. coli9/54 (16,7%) dan S epidermidis 7 (13%). S. typhisensitif 100% terhadap sefotaksim, seftriakson, kloramfenikol, dan kotrimoksazol. SensitifitasE. coli62,5% terhadap kloramfenikol, tetapi kurang sensitif terhadap antibiotik lainnya.Kesimpulan. Bakteri terbanyak ditemukan S typhi (20.4%)danE coli (16.7%). Sensitifitas S typhi 100% terhadap semua antibiotik yang digunakan (kotrimoksazol, tiamfenikol, kloramfenikol, sefotaksim dan seftriakson). Penggunaan antibiotik untuk S typhimasih bisa dengan lini pertama antibiotik sejauh tidak ada kontra indikasinya.
Validitas Skor Royal College of Paediatrics and Child Health London untuk Mendeteksi Infeksi Bakteri Serius pada Anak I Wayan Gustawan; Sri Rezeki S Hadinegoro; Hindra Irawan Satari; Mulya Rahma Karyanti
Sari Pediatri Vol 18, No 4 (2016)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (324.646 KB) | DOI: 10.14238/sp18.4.2016.291-8

Abstract

Latar belakang. Mengingat peningkatan angka kematian anak akibat peningkatan insiden penyakit infeksi bakteri serius (IBS) pada anak, serta faktor risiko IBS yang beragam di sarana pelayanan kesehatan yang terbatas, merupakan alasan untuk mempergunakan model skoring dalam mendeteksi IBS. Tujuan. Mengetahui validitas Skor Royal College of Paediatrics and Child Health London (RCPCH) dalam mendeteksi IBS pada anak dengan demam dan mencari faktor prediktor IBS.Metode. Dilakukan 2 jenis metode penelitian yaitu uji diagnostik untuk mengetahui validitas Skor RCPCH dalam mendeteksi IBS pada anak dengan demam, dan kohort prospektif untuk mencari faktor prediktor IBS. Baku emas adalah diagnosis akhir sesuai ICD-10. Hasil. Didapatkan 260 subyek penelitian, analisis dilakukan pada 253 subyek (97,3%) karena 7 pasien tidak dapat dihubungi (loss of follow-up). Umur berkisar dari 1 bulan sampai 12 tahun. Proporsi laki-laki lebih banyak dari pada perempuan, dan kelompok umur terbanyak adalah > 36 bulan (51,4%). Diagnosis IBS didapatkan pada 28,9% subyek; dengan diagnosis terbanyak pneumonia (19%). Skor RCPCH mempunyai sensitifitas 58,9%, spesifisitas 86,7%, nilai duga positif 64,2%, nilai duga negatif 83,8%, rasio kemungkinan positif 4,42, rasio kemungkinan negatif 0,47, post tes probabilitas 64,23%, serta area under ROC curve 72,8%. Batuk, sesak napas, mencret, kejang, umur 1-36 bulan, suhu tubuh ≥ 37,50 C, hipoksia, dan takipnea merupakan faktor prediktor terjadinya IBS.Kesimpulan. Skor RCPCH dapat digunakan untuk memprediksi IBS pada anak umur 1 bulan–12 tahun. Batuk, sesak napas, mencret, kejang, umur 1-36 bulan, suhu tubuh ≥ 37,50 C, hipoksia, dan takipnea merupakan faktor prediktor terjadinya IBS.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Penerimaan Orangtua Terhadap Pemberian Vaksin Varisela pada Anak Usia di Bawah 12 Tahun Nicolas Gunawan; Mulya Rahma Karyanti
Sari Pediatri Vol 23, No 5 (2022)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp23.5.2022.330-5

Abstract

Latar belakang. Varisela merupakan penyakit dengan tingkat penularan tinggi yang dapat dicegah dengan vaksinasi.Tujuan. Mengevaluasi penerimaan orangtua terhadap vaksinasi varisela bagi anak berusia di bawah 12 tahun.Metode. Sampel penelitian merupakan orangtua yang dipilih secara consecutive sampling. Uji yang digunakan adalah metode uji chi-square.Hasil. Dari 113 responden, 12 (10,6%) menolak pemberian vaksinasi varisela bagi anak mereka. Terdapat 47% responden yang memiliki pengetahuan kurang, 22,1% memiliki sikap kurang, dan 4,4% memiliki perilaku kurang terhadap varisela. Terdapat pula 5,3% responden yang memiliki sikap kurang terhadap vaksinasi. Didapatkan hubungan yang signifikan antara sikap orangtua terhadap vaksinasi dengan penerimaan orangtua terhadap vaksinasi varisela (p=0,000). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia (p=0,108), pendidikan (p=0,627), pekerjaan (p=0,138), penghasilan (p=0,479), pengetahuan (p=0,820), sikap (p=0,460), dan perilaku terhadap varisela (p=0,087) dengan penerimaan vaksinasi varisela.Kesimpulan. Sikap orangtua terhadap vaksinasi memiliki hubungan yang bermakna dengan penerimaan vaksinasi varisela.