Rahmi Murniwati
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

SENGKETA SAKO DAN PENYELESAIANNYA OLEH PERADILAN ADAT NAGARI DI KABUPATEN TANAH DATAR BERDASARKAN PERDA NO. 7 TAHUN 2018 TENTANG NAGARI Nanda Utama; Rahmi Murniwati; Tasman Tasman
UNES Journal of Swara Justisia Vol 6 No 4 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Januari 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v6i4.290

Abstract

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui lembaga pengadilan (litigasi) dan dapat juga diselesaikan diluar lembaga pengadilan (non litigasi). Penyelesain sengketa non litigas lebih dikenal dengan Alternative Disputes Resolution (ADR). Penyelesaian sengketa secara non litigasi lahir karena beberapa kelemahan dalam penyelesaian sengketa secara litigasi. Lahirnya Perda No. 7 Tahun 2018 tentang Nagari memberikan pembaruan hukum bagi masyarakat Sumatera Barat khususnya pada Kabupaten Tanah Datar dimana semula penyelesaian sengketa sako maupun pusako diselesaikan melalui Kerapatan Adat Nagari beralih kepada lembaga Peradilan Adat Nagari yang dibentuk oleh KAN. Berdasarkan hal ini maka rumusan masalah penelitian yaitu: 1) Bagaimana penyelesaian sengketa sako melalui mediasi oleh peradilan adat Kabupaten Tanah Datar berdasarkan Perda No. 7 Tahun 2018 tentang Nagari? 2) Bagaimana peran peradilan Adat di Kabupaten Tanah Datar dalam penyelesaian sengketa sako? Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis sosiologis, bersifat deskriptif analitis, dan analisis data secara kualitatif. Hasil penelitian merumuskan: 1). Penyelesaian sengketa sako di oleh peradilan adat nagari di Kabupaten Tanah Datar berdasarkan Perda No. 7 Tahun 2018 tentang Nagari dilaksanakan berdasarkan ketentuan adat yang berlaku yaitu bajanjang naiak batanggo turun. 2) . Peran Peradilan Adat di Kabupaten Tanah Datar dalam penyelesaian sengketa sako dilihat dari 3 nagari yaitu Nagari Balimbiang, Nagari Sungayang, dan Nagari Sumani yaitu tidak berperan karena diketahui bahwa KAN dari 3 Nagari tersebut belum mebentuk Peradilan Adat Nagari sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 15 Perda No. 7 Tahun 2018 tentang Nagari sehingga penyelesaian sengketa sako masih dilakukan secara musyawarah mufakat oleh Kerapatan Adat Nagari di Nagari tersebut.
SISTEM PEWARISAN HARTA PUSAKO DI MINANGKABAU DITINJAU DARI HUKUM WARIS ISLAM Rahmi Murniwati
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 1 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (April 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i1.315

Abstract

Harta waris di Minangkabau terdiri dari sako dan pusako. Di daerah Minangkabau sistem pewarisan harta berbeda dengan sistem pewarisan menurut hukum waris islam dimana menggunakan sistem faraidh sedangkan kebiasaan yang terjadi di Minangkabau sistem pewarisan harta diturunkan berdasarkan garis keturunan ibu. Berdasarkan permasalahan diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini: 1) Bagaimana Sistem Pewarisan Harta Pusako di Minangkabau ditinjau dari Hukum Adat dan Waris Islam? 2). Bagaimana Hubungan Sistem Pewarisan Harta Pusako berdasarkan Hukum Waris Adat Minangkabau dengan Hukum Waris Islam? Metode pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif , sumber data dalam penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library research) dan analisis dan pengolahan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Hasil penelitian: 1) Sistem Pewarisan Harta Pusako di Minangkabau ditinjau dari Hukum Waris Adat dan Islam yaitu pewarisan harta di Minangkabau berdasarkan garis keturunan ibu atau disebut matrilineal yang berbeda dengan sistem pewarisan harta dalam hukum islam yang menggunakan sistem hukum faraidh. Harta pusako tinggi yang telah didapati turun temurun dari nenek moyang menurut garis ibu. Harta pencarian yang menurut adat bernama harta pusako rendah diturunkan menurut peraturan syara’yaitu berdasarkan hukum Islam. 2) Hubungan Sistem Pewarisan Harta Pusako berdasarkan Hukum Waris Adat Minangkabau dengan Hukum Waris Islam terdapat dalam pemisahan sistem pembagaian harta untuk harta pusaka tinggi akan diwariskan menurut garis keturunan ibu dan untuk harta pusako rendah akan diwariskan berdasarkan hukum Islam atau faraidh.
SERTIFIKASI TANAH PUSAKA KAUM SELAKU HAK MILIK KOMUNAL DAN AKIBATNYA DI SUMATERA BARAT Rahmi Murniwati; Sucy Delyarahmi
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 2 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Juli 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i2.355

Abstract

Sertifikasi atau Pendaftaran tanah merupakan persoalan yang sangat penting dalam UUPA, karena pendaftaran tanah merupakan awal dari proses lahirnya sebuah bukti kepemilikan atas tanah. Mengenai pendaftaran tanah ini termuat pada Undang- Undang pokok Agraria Pasal 19 Ayat (2) dan PP No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah bertujuan mewujudkan kepastian hukum atas seluruh bidang tanah di wilayah Indonesia. Pada daerah Minangkabau, terutama terhadap hak komunal tanah ulayat dapat didaftarkan berdasarkan Perda No. 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Sertifikasi tanah ulayat di Minangkabau memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang hak nya namun terdapat dampak lain terhadap eksistensi hukum adat di Minangkabau yang berkaitan dengan sistem pewarisan matrilineal sehingga berdasarkan permasalahan diatas maka rumusan permasalahan nya adalah: 1. bagaimana Sertifikasi Tanah Tanah Pusaka Kaum Selaku Hak Milik Komunal di Sumatera Barat? 2. Apa akibat Sertifikasi Tanah Tanah Pusaka Kaum Selaku Hak Milik Komunal di Sumatera Barat? Metode pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif , sumber data dalam penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library research) dan analisis dan pengolahan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Hasil penelitian: 1) Sertifikasi Tanah Tanah Pusaka Kaum Selaku Hak Milik Komunal di Sumatera Barat untuk menjamin kepastian hukum, Pemerintah menyelenggarakan penatausahaan tanah ulayat melalui pengukuran, pemetaan dan pencatatan dalam daftar tanah dicatatkan pada daftar tanah (buku tanah) oleh BPN berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No. 18 Tahun 2019. 2. Akibat Sertifikasi Tanah Tanah Pusaka Kaum Selaku Hak Milik Komunal di Sumatera Barat banyak tanah ulayat maupun pusaka kaum di Minangkabau yang saat ini sudah dialihkan melalui jual beli dan bernilai ekonomis.
Kepastian Hukum Para Pihak dalam Jual Beli Tanah Ulayat Dibawah Tangan Rahmi Murniwati
UNES Law Review Vol. 6 No. 1 (2023): UNES LAW REVIEW (September 2023)
Publisher : LPPM Universitas Ekasakti Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/unesrev.v6i1.998

Abstract

Hubungan antara manusia dan tanah sangatlah erat. Bukan hanya hubungan individual namun berkaitan dengan umum. Tanah mempunyai peranan yang luar biasa dan juga mempunyai nilai ekonomi. Selanjutnya proses peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui suatu perjanjian yaitu perjanjian jual beli tanah. Kenyataannya, terkait tanah ulayat, banyak pihak yang melakukan perjanjian tersebut di bawah tangan mereka sendiri. Berdasarkan permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah kepastian hukum bagi para pihak dalam jual beli tanah ulayat yang dikuasainya? 2). Apa akibat hukum yang timbul dari pembuatan perjanjian jual beli tanah milik pribadi? Metode pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif, sumber data dalam penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan, dan analisis serta pengolahan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Hasil Penelitian: 1) Pengalihan Tanah Ulayat melalui perjanjian jual beli dengan akta di bawah tangan hanya mengikat para pihak. 2) Akibat hukum yang timbul dari pembuatan perjanjian jual beli tanah ulayat di bawah tangan adalah peralihan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli, namun apabila di kemudian hari terjadi perselisihan maka kekuatan pembuktian perjanjian perseorangan ini tidak sempurna.
Eksistensi Peradilan Adat Dalam Penyelesaian Sengketa di Sumatera Barat Rahmi Murniwati
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 3 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Oktober 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i3.417

Abstract

Peradilan adat merupakan suatu lembaga organik yang berperan dalam menyelesaikan sengketa dalam sistem hukum adat. Pada daerah Minangkabau berdasarkan Pasal 1 ayat (8) Perda Prov. No. 7 Tahun 2018 tentang Nagari menyatakan bahwa Peradilan Adat Nagari merupakan lembaga penyelesaian sengketa masyarakat di Nagari berdasarkan adat salingka nagari yang bersifat mediasi. Penyelesaian sengketa adat pada daerah Minangkabau bersifat kekeluargaan dan musyawarah mufakat. Sebelum diselesaikan melalui Peradilan Adat Nagari maka terlebih dahulu harus diselesaikan dalam keluarga secara “bajanjang naiak batanggo turun”. Pada dasarnya hasil penyelesaian sengketa melalui peradilan adat nagari bertujuan untuk menghasilkan perdamaian. Namun apabila tidak dihasilkan perdamaian maka hasil penyelesaian melalui Peradilan Adat Nagari tersebut dapat menjadi sumber hukum penyelesaian sengketa oleh hakim dalam peradilan. Faktanya di daerah sumatera Bart banyak Peradilan Adat Nagari yang hasil penyelesaian sengketa tersebut berisi putusan-putusan sehingga bertentangan dengan fungsinya yang harusnya dalam penyelesaian tersebut bersifat mediasi bukan mengadili yang merupakan fungsi lembaga peradilan. Sehingga berdasarkan permasalahan diatas maka rumusan permasalahan nya adalah: 1. Bagaimana Eksistensi Peradilan Adat dalam Penyelesaian Sengketa di Sumatera Barat? 2. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Adat di Sumatera Barat?  Metode pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif , sumber data dalam penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library research) dan  analisis dan pengolahan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Hasil penelitian: 1)Pada daerah Sumatera Barat, Peradilan Adat Nagari mempunyai fungsi sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa adat melalui mediasi yaitu sebagai pihak netral atau penengah dalam pihak yang bersengketa. Hasil yang digharpkan yaitu win-win solution dan perdamaian, bukan memberikan putusan-putusan yang bersifat mengadili pihak. 2.) Penyelesaian sengketa di Minangkabau adalah “bajanjang naiak batango turun”. Bajanjang naik maksudnya setiap persengketaan diselesaikan melalui proses lembaga adat pada tingkat yang paling rendah yaitu oleh mamak kaum. Apabila tidak memperoleh kesepakatan , maka penyelesaian sengketa oleh kepala suku dan penghulu dalam Peradilan Adat Nagari. Batanggo Turun artinya hasil musyawarah atau atau hasil penyelesaian sengketa oleh ninik mamak atau orang yang dituakan dalam adat diharapkan akan dipatuhi oleh pihak-pihak yang berperkara. Teknik penyelesaian sengketa oleh lembaga adat yang ada di Minangkabau mulai dari lembaga yang lebi rendah yaitu oleh mamak separuik atau mamak kepala waris sampai ke tingkat yang lebih tinggi yatu oleh Peradilan Adat Nagari  secara musyawarah dan mufakat serta mengutamakan rasa keadilan.
Peran Serta Masyarakat dalam Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Dalam Rangka Perlindungan Hak atas Lingkungan Hidup Sucy Delyarahmi; Rahmi Murniwati
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 3 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Oktober 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i3.424

Abstract

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan langkah preventif untuk mencegah kerusakan lingkungan sekaligus prasyarat untuk mendapatkan izin lingkungan. Namun penyusunan AMDAL ini seringkali menimbulkan polemik, terlebih terhadap transparansi serta partisipasi masyarakat dalam penyusunannya. Jika kita menilik kepada Prinsip 10 Deklarasi Rio 1992 disebutkan istilah participatory right yang menegaskan hak untuk mendapatkan informasi dan hak berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian, pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan juga mengakui peran serta dari masyarakat dalam hak atas lingkungan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui problematika dalam peran serta masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL sehingga dapat terwujudnya Perlindungan Hak Atas Lingkungan Hidup bagi masyarakat. Pertentangan perihal transparansi dan partisipasi masyarakat dengan membandingkan terhadap hak atas lingkungan terlebih kepada hak akses informasi dan hak berperan serta. Proses penelitian ini akan menggunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan statute approach dan conceptual approach. Hadirnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap pentingnya transparansi dan partisipasi dari masyarakat dalam penyusunan AMDAL.
Akibat Hukum Bagi Anak yang Lahir dari Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya Sema No. 2 Tahun 2023 Rahmi Murniwati
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 4 (2024): UNES Journal of Swara Justisia (Januari 2024)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i4.468

Abstract

Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara pria dan wanita untuk membentuk suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal berlandaskan kepada Ketuhanan yang Maha Esa. Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang melaksanakannya. Dalam masyarakat Indonesia yang beragam banyak yang melaksanakan perkawinan beda agama sehingga perlunya kepastian hukum untuk melindungi hak dan kewajiban sebagai warga negara yang melaksanakan perkawinan. Dalam polemik ini Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 2023 sebagai Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan, namun setelah terbitnya SEMA tersebut hal ini tidak mengurangi keinginan masyarakat dalam melaksanakan perkawinan beda agama. Sehingga berdasarkan permasalahan diatas maka rumusan permasalahan nya adalah: 1. Bagaimana pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia? 2. Bagaimana Akibat Hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan beda agama setelah berlakunya SEMA No. 2 Tahun 2023? Metode pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif, sumber data dalam penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library research) dan analisis dan pengolahan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Hasil penelitian: 1). Perkawinan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo Undang- Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Dalam UUP, perkawinan yang sah apabila perkawinan tersebut sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu perkawinan tersebut harus dilaksanakan berdasarkan agama masing-masing dan dicatatkan pada pencatatan perkawinan. Selanjutnya Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 2023 Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan 2.) Terhadap anak yang lahir dari orang tua yang melakukan perkawinan beda agama setelah terbitnya SEMA No. 2 Tahun 2023 Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan adalah tidak sah karena perkawinan tersebut tidak sah. Sehingga anak tersebut hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya sesuai Pasal 43 ayat (1) UUP.
Akibat Hukum Bagi Anak yang Lahir dari Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya Sema No. 2 Tahun 2023 Rahmi Murniwati
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 4 (2024): Unes Journal of Swara Justisia (Januari 2024)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i4.468

Abstract

Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara pria dan wanita untuk membentuk suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal berlandaskan kepada Ketuhanan yang Maha Esa. Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang melaksanakannya. Dalam masyarakat Indonesia yang beragam banyak yang melaksanakan perkawinan beda agama sehingga perlunya kepastian hukum untuk melindungi hak dan kewajiban sebagai warga negara yang melaksanakan perkawinan. Dalam polemik ini Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 2023 sebagai Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan, namun setelah terbitnya SEMA tersebut hal ini tidak mengurangi keinginan masyarakat dalam melaksanakan perkawinan beda agama. Sehingga berdasarkan permasalahan diatas maka rumusan permasalahan nya adalah: 1. Bagaimana pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia? 2. Bagaimana Akibat Hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan beda agama setelah berlakunya SEMA No. 2 Tahun 2023? Metode pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif, sumber data dalam penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library research) dan analisis dan pengolahan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Hasil penelitian: 1). Perkawinan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo Undang- Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Dalam UUP, perkawinan yang sah apabila perkawinan tersebut sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu perkawinan tersebut harus dilaksanakan berdasarkan agama masing-masing dan dicatatkan pada pencatatan perkawinan. Selanjutnya Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 2023 Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan 2.) Terhadap anak yang lahir dari orang tua yang melakukan perkawinan beda agama setelah terbitnya SEMA No. 2 Tahun 2023 Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan adalah tidak sah karena perkawinan tersebut tidak sah. Sehingga anak tersebut hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya sesuai Pasal 43 ayat (1) UUP.