Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search
Journal : Segara Widya: Jurnal Penelitian Seni

Genggong Dalam Karawitan Bali: Sebuah Kajian Etnomusikologi Indra Sadguna, I Gde Made; Sutirtha, I Wayan
Segara Widya : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Seni Indonesia Denpasar Vol 3 (2015): November
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (493.829 KB) | DOI: 10.31091/sw.v3i0.202

Abstract

Hingga saat ini kajian tentang Genggong masih sangat terbatas dan eksistensi Genggong di masyarakat semakin langka dan termarjinalkan akibat pengaruh globalisasi. Oleh karena itu, penelitian tentang Genggong secara lebih mendalam sangat mendesak untuk dilakukan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan tekstual Etnomusikologi. Untuk menjawab permasalahan, digunakan teori organologi dan estetika sebagai pisau bedahnya. Dari observasi serta wawancara yang dilakukan, dapat dijelaskan proses pembuatan Genggong sebagai berikut. Genggong merupakan satu-satunya instrumen dalam karawitan Bali yang terbuat dari pugpug. Untuk membuat sebuah Genggong terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu, membuat bakalan, proses ngerot,dan nyetel suara. Selain itu dijelaskan juga mengenai dekorasi serta cara perawatan instrumen Genggong. Agar seorang musisi mampu memainkan Genggong terdapat beberapa hal yang harus dipahami. Hal-hal tersebut adalah sikap duduk yang baik, teknik membunyikan Genggong yang meliputi teknik mentil, serta cara untuk mencari nada. Perubahan Genggong dari alat musik individu menjadi sebuah ensamble disebabkan karena perubahan konteks musiknya. Dahulu Genggong hanya digunakan sebagai alat musik pribadi, berkembang menjadi sebuah barungan untuk mengiringi sebuah pertunjukan.Until now, studies on Genggong are still very limited. The existence of Genggong is becoming very rare in Bali which is caused by the effect of globalization. Therefore, deep research on Genggong is urgently required. This research is an Ethnomusicology qualitative textual approach. The organology and aesthteics theory are used to solve the problems. Collecting data is done by means of literature studies, interviews, and observation participation. From observations and interviews that have been conducted, the process of making a Genggong are as follows. Genggong is the only musical instrument in Bali made of pugpug. To create a Genggong there are several steps that must be passed, which are, making the bakalan, ngerot process, and tuning the sound. In addition, I also describe the decor as well as how to treat a Genggong. In order for a musician capable of playing Genggong there are some things that must be understood. These things are: a good sitting position, Genggong techniques such as mentil and finding a proper sound. The change of Genggong from an individual instrument into a musical ensemble is caused by the change of the musical context. Genggong formerly was only used as a means of personal music, evolved into a musical ensamble to accompany a performance.
Program Kemitraan Masyarakat Banjar Dinas Bongan Gede, Desa Bongan dan SMK Saraswati 3 Tabanan di Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali Made Indra Sadguna, I Gde; Sariada, I Ketut
Segara Widya : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Seni Indonesia Denpasar Vol 6 No 2 (2018): November
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (547.195 KB) | DOI: 10.31091/sw.v6i2.550

Abstract

Masyarakat Bali dan kesenian merupakan hal yang tak terpisahkan dan saling terkait. Kesenian menempati ruang yang penting, khususnya dalam konteks ritual keagamaan. Dalam pelaksanaan upacara di Bali, dikatakan tidak akan lengkap dan selesai tanpa hadirnya kesenian, khususnya seni tari dan karawitan. Kini dengan perkembangan globalisasi dan teknologi, peminat kesenian dari generasi muda mulai mengalami penurunan. Hal tersebut dikarenakan gaya pola hidup yang berubah mengikuti sinetron di televisi, penggunaan media sosial dan internet yang berlebihan, serta adanya anggapan bahwa seni tari dan karwaitan adalah hal yang kuno. Dari hal tersebut, timbul kekhawatiran akan semakin terpinggirkannya kesenian Bali. Oleh sebab itu, perlu dilakukan usaha-usaha pelestarian kesenian, salah satunya lewat Program Kemitraan Masyarakat (PKM). Dalam kegiatan PKM ini terdapat dua mitra, yaitu Banjar Bongan Gede sebagai Mitra I dan SMK Saraswati 3 Tabanan sebagai Mitra II. Kedua mitra mengalami permasalahan yang sama, yaitu rendahnya animo anak-anak dan siswa yang mempelajari seni tari dan karawitan. Dari pertemuan dengan kedua mitra, ditemukan tiga masalah utama yaitu kurangnya animo dalam belajar berkesenian, yang berakibat pada kurangnya teknik tari dan karawitan, serta kurangnya referensi tari-tarian kreasi baru. Untuk mengatasi permasalahan tersebut akan ditawarkan solusi dengan melakukan presentasi seni yang interaktif dan menarik, workshop peningkatan teknik tari dan karawitan, serta pengajaran tari Selat Segara sebagai salah satu tari kreasi baru. Sasaran peserta PKM untuk mitra I adalah anak-anak berusia 12-15 tahun serta siswa-siswi yang memilih ekstrakurikuler tari dan tabuh untuk mitra II. Melalui solusi yang ditawarkan, didapatkan hasil meningkatnya animo anak-anak serta siswa dalam mempelajari kesenian, adanya peningkatan teknik tari dan karawitan, serta mampu menguasai tari Selat Segara dengan baik. Hasil dari pembinaan PKM ini didokumentasikan dalam bentuk DVD. Arts and society are two inseparable factors in the Balinese life. The existence of art plays a vital role, especially in the religious context. Ceremonies are not complete without the presence of art, especially karawitan (traditional Balinese music) and dance. Now, in the era of technology and globalization, younger generation are experiencing a decline in arts. This is due to the lifestyle patterns that change following soap operas on television, excessive use of social media and the internet, and the assumption that dance and music are old school. From this, concerns arise about the increasingly marginalized Balinese arts. To preserve the arts, there should be efforts to be done, one is through the Program Kemitraan Masyarakat (PKM). In this PKM activity there were two partners, namely Banjar Dinas Bongan Gede Banjar Partner I and SMK 3 Saraswati Tabanan as Partner II. Both partners experienced the same problems, namely the low interest in children and students studying dance and music. From meetings with the two partners, three main problems were found, namely the lack of interest in learning art, which resulted in a lack of dance and karawitan techniques, as well as a lack of reference to new dances. To overcome these problems, a solution will be offered by conducting interactive and interesting art presentations, dance and karawitan techniques improvement workshops, and teaching Selat Segara dance as one of the new dance creation. The target of PKM participants for partner I is children aged 12-15 years and students who choose dance and karawitan extracurricular for partner II. Through the solutions offered, the results are the increasing of interest of children and students in learning art, the improvement of dance and karawitan techniques, and being able to perform the Selat Segara dance. The results of this PKM are documented on DVD. 
Komunikasi Musikal Dalam Seni Pertunjukan Bali: Studi Kasus Tari Barong Ket Indra Sadguna, I Gde Made; Suratni, Ni Wyn.
Segara Widya : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Seni Indonesia Denpasar Vol 7 No 2 (2019): November
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (581.678 KB) | DOI: 10.31091/sw.v7i2.820

Abstract

Komunikasi dapat diartikan sebagai sebuah interaksi serta proses penyampaian pesan dari satu pihak ke pihak lainnya. Dalam sebuah komunikasi terdapat hal-hal yang ingin disampaikan terkait suatu berita tertentu. Secara umum terdapat dua jenis komunikasi, yaitu komunikasi secara verbal serta komunikasi secara non-verbal. Dalam kehidupan seni pertunjukan di Bali, terdapat pula kedua jenis komunikasi tersebut. Komunikasi verbal dapat dijumpai pada jenis-jenis kesenian yang menggunakan dialog di dalam pertunjukannya. Bahasa yang sering digunakan di antaranya, Bahasa Bali, Bahasa Jawa Kuno, Bahasa Indonesia, bahkan terkadang terselip bahasa asing. Namun hal menarik yang dapat disimak adalah terdapat pula jenis-jenis kesenian yang berkomunikasi secara non-verbal. Penelitian ini difokuskan kepada proses komunikasi non-verbal khususnya komunikasi musikal yang terjadi dalam sebuah pertunjukan tari Barong Ket. Tarian ini merupakan salah satu ikon seni pertunjukan Bali dan sudah diakui sebagai salah satu warisan budaya oleh UNESCO. Di dalam penyajiannya, penari Barong mendominir pertunjukan dalam artian bahwa respons musik sangat tergantung pada koreografi yang ditarikan. Selain penari Barong, peran pemain kendang sangat sentral, sebab merupakan mediator antara penari dengan musisi lainnya. Dalam hal ini, pemain kendang memberikan respon sebagai akibat dari gerakan penari Barong yang kemudian diteruskan kepada musisi lainnya melalui komunikasi musikal yang dilakukan. Komunikasi musikal dalam hal ini diartikan sebagai sebuah kesepakatan tanda yang disampaikan oleh pemain kendang sehingga dapat dipahami oleh musisi lainnya sebagai penerima pesan. Jenis permainan kendang Barong memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi karena dalam permainannya menggunakan sistem kendang tunggal. Permainan kendang tunggal merupakan sebuah teknik yang mengedepankan keragaman vokabuler ritme yang dimiliki, serta kemampuan berimprovisasi. Kendang tunggal sangat fleksibel serta tidak memiliki pola yang baku. Penelitian ini difokuskan kepada dua hal pokok, yakni teknik permainan kendang tunggal dalam pertunjukan tari Barong, serta komunikasi musikal yang terjadi antara penari Barong, pemain kendang, serta musisi lainnya. Penelitian terkait komunikasi yang terjadi antara penari dengan musisi sangat jarang dilakukan sehingga merupakan hal yang menarik untuk diungkap secara lebih mendalam. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis data primer dan data sekunder. Pengumupulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan, wawancara, serta observasi partisipasi. Selanjutkan dilakukan reduksi, analisis data, serta penarikan kesimpulan. Hasilnya analisis data disajikan dengan menggabungkan analisis formal maupun informal.
Genggong Dalam Karawitan Bali: Sebuah Kajian Etnomusikologi I Gde Made Indra Sadguna; I Wayan Sutirtha
Segara Widya : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 3 (2015): November
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (493.829 KB) | DOI: 10.31091/sw.v3i0.202

Abstract

Hingga saat ini kajian tentang Genggong masih sangat terbatas dan eksistensi Genggong di masyarakat semakin langka dan termarjinalkan akibat pengaruh globalisasi. Oleh karena itu, penelitian tentang Genggong secara lebih mendalam sangat mendesak untuk dilakukan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan tekstual Etnomusikologi. Untuk menjawab permasalahan, digunakan teori organologi dan estetika sebagai pisau bedahnya. Dari observasi serta wawancara yang dilakukan, dapat dijelaskan proses pembuatan Genggong sebagai berikut. Genggong merupakan satu-satunya instrumen dalam karawitan Bali yang terbuat dari pugpug. Untuk membuat sebuah Genggong terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu, membuat bakalan, proses ngerot,dan nyetel suara. Selain itu dijelaskan juga mengenai dekorasi serta cara perawatan instrumen Genggong. Agar seorang musisi mampu memainkan Genggong terdapat beberapa hal yang harus dipahami. Hal-hal tersebut adalah sikap duduk yang baik, teknik membunyikan Genggong yang meliputi teknik mentil, serta cara untuk mencari nada. Perubahan Genggong dari alat musik individu menjadi sebuah ensamble disebabkan karena perubahan konteks musiknya. Dahulu Genggong hanya digunakan sebagai alat musik pribadi, berkembang menjadi sebuah barungan untuk mengiringi sebuah pertunjukan.Until now, studies on Genggong are still very limited. The existence of Genggong is becoming very rare in Bali which is caused by the effect of globalization. Therefore, deep research on Genggong is urgently required. This research is an Ethnomusicology qualitative textual approach. The organology and aesthteics theory are used to solve the problems. Collecting data is done by means of literature studies, interviews, and observation participation. From observations and interviews that have been conducted, the process of making a Genggong are as follows. Genggong is the only musical instrument in Bali made of pugpug. To create a Genggong there are several steps that must be passed, which are, making the bakalan, ngerot process, and tuning the sound. In addition, I also describe the decor as well as how to treat a Genggong. In order for a musician capable of playing Genggong there are some things that must be understood. These things are: a good sitting position, Genggong techniques such as mentil and finding a proper sound. The change of Genggong from an individual instrument into a musical ensemble is caused by the change of the musical context. Genggong formerly was only used as a means of personal music, evolved into a musical ensamble to accompany a performance.
Program Kemitraan Masyarakat Banjar Dinas Bongan Gede, Desa Bongan dan SMK Saraswati 3 Tabanan di Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali I Gde Made Indra Sadguna; I Ketut Sariada
Segara Widya : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 6 No. 2 (2018): November
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (547.195 KB) | DOI: 10.31091/sw.v6i2.550

Abstract

Masyarakat Bali dan kesenian merupakan hal yang tak terpisahkan dan saling terkait. Kesenian menempati ruang yang penting, khususnya dalam konteks ritual keagamaan. Dalam pelaksanaan upacara di Bali, dikatakan tidak akan lengkap dan selesai tanpa hadirnya kesenian, khususnya seni tari dan karawitan. Kini dengan perkembangan globalisasi dan teknologi, peminat kesenian dari generasi muda mulai mengalami penurunan. Hal tersebut dikarenakan gaya pola hidup yang berubah mengikuti sinetron di televisi, penggunaan media sosial dan internet yang berlebihan, serta adanya anggapan bahwa seni tari dan karwaitan adalah hal yang kuno. Dari hal tersebut, timbul kekhawatiran akan semakin terpinggirkannya kesenian Bali. Oleh sebab itu, perlu dilakukan usaha-usaha pelestarian kesenian, salah satunya lewat Program Kemitraan Masyarakat (PKM). Dalam kegiatan PKM ini terdapat dua mitra, yaitu Banjar Bongan Gede sebagai Mitra I dan SMK Saraswati 3 Tabanan sebagai Mitra II. Kedua mitra mengalami permasalahan yang sama, yaitu rendahnya animo anak-anak dan siswa yang mempelajari seni tari dan karawitan. Dari pertemuan dengan kedua mitra, ditemukan tiga masalah utama yaitu kurangnya animo dalam belajar berkesenian, yang berakibat pada kurangnya teknik tari dan karawitan, serta kurangnya referensi tari-tarian kreasi baru. Untuk mengatasi permasalahan tersebut akan ditawarkan solusi dengan melakukan presentasi seni yang interaktif dan menarik, workshop peningkatan teknik tari dan karawitan, serta pengajaran tari Selat Segara sebagai salah satu tari kreasi baru. Sasaran peserta PKM untuk mitra I adalah anak-anak berusia 12-15 tahun serta siswa-siswi yang memilih ekstrakurikuler tari dan tabuh untuk mitra II. Melalui solusi yang ditawarkan, didapatkan hasil meningkatnya animo anak-anak serta siswa dalam mempelajari kesenian, adanya peningkatan teknik tari dan karawitan, serta mampu menguasai tari Selat Segara dengan baik. Hasil dari pembinaan PKM ini didokumentasikan dalam bentuk DVD. Arts and society are two inseparable factors in the Balinese life. The existence of art plays a vital role, especially in the religious context. Ceremonies are not complete without the presence of art, especially karawitan (traditional Balinese music) and dance. Now, in the era of technology and globalization, younger generation are experiencing a decline in arts. This is due to the lifestyle patterns that change following soap operas on television, excessive use of social media and the internet, and the assumption that dance and music are old school. From this, concerns arise about the increasingly marginalized Balinese arts. To preserve the arts, there should be efforts to be done, one is through the Program Kemitraan Masyarakat (PKM). In this PKM activity there were two partners, namely Banjar Dinas Bongan Gede Banjar Partner I and SMK 3 Saraswati Tabanan as Partner II. Both partners experienced the same problems, namely the low interest in children and students studying dance and music. From meetings with the two partners, three main problems were found, namely the lack of interest in learning art, which resulted in a lack of dance and karawitan techniques, as well as a lack of reference to new dances. To overcome these problems, a solution will be offered by conducting interactive and interesting art presentations, dance and karawitan techniques improvement workshops, and teaching Selat Segara dance as one of the new dance creation. The target of PKM participants for partner I is children aged 12-15 years and students who choose dance and karawitan extracurricular for partner II. Through the solutions offered, the results are the increasing of interest of children and students in learning art, the improvement of dance and karawitan techniques, and being able to perform the Selat Segara dance. The results of this PKM are documented on DVD. 
Komunikasi Musikal Dalam Seni Pertunjukan Bali: Studi Kasus Tari Barong Ket I Gde Made Indra Sadguna; Ni Wyn. Suratni
Segara Widya : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 7 No. 2 (2019): November
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (581.678 KB) | DOI: 10.31091/sw.v7i2.820

Abstract

Komunikasi dapat diartikan sebagai sebuah interaksi serta proses penyampaian pesan dari satu pihak ke pihak lainnya. Dalam sebuah komunikasi terdapat hal-hal yang ingin disampaikan terkait suatu berita tertentu. Secara umum terdapat dua jenis komunikasi, yaitu komunikasi secara verbal serta komunikasi secara non-verbal. Dalam kehidupan seni pertunjukan di Bali, terdapat pula kedua jenis komunikasi tersebut. Komunikasi verbal dapat dijumpai pada jenis-jenis kesenian yang menggunakan dialog di dalam pertunjukannya. Bahasa yang sering digunakan di antaranya, Bahasa Bali, Bahasa Jawa Kuno, Bahasa Indonesia, bahkan terkadang terselip bahasa asing. Namun hal menarik yang dapat disimak adalah terdapat pula jenis-jenis kesenian yang berkomunikasi secara non-verbal. Penelitian ini difokuskan kepada proses komunikasi non-verbal khususnya komunikasi musikal yang terjadi dalam sebuah pertunjukan tari Barong Ket. Tarian ini merupakan salah satu ikon seni pertunjukan Bali dan sudah diakui sebagai salah satu warisan budaya oleh UNESCO. Di dalam penyajiannya, penari Barong mendominir pertunjukan dalam artian bahwa respons musik sangat tergantung pada koreografi yang ditarikan. Selain penari Barong, peran pemain kendang sangat sentral, sebab merupakan mediator antara penari dengan musisi lainnya. Dalam hal ini, pemain kendang memberikan respon sebagai akibat dari gerakan penari Barong yang kemudian diteruskan kepada musisi lainnya melalui komunikasi musikal yang dilakukan. Komunikasi musikal dalam hal ini diartikan sebagai sebuah kesepakatan tanda yang disampaikan oleh pemain kendang sehingga dapat dipahami oleh musisi lainnya sebagai penerima pesan. Jenis permainan kendang Barong memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi karena dalam permainannya menggunakan sistem kendang tunggal. Permainan kendang tunggal merupakan sebuah teknik yang mengedepankan keragaman vokabuler ritme yang dimiliki, serta kemampuan berimprovisasi. Kendang tunggal sangat fleksibel serta tidak memiliki pola yang baku. Penelitian ini difokuskan kepada dua hal pokok, yakni teknik permainan kendang tunggal dalam pertunjukan tari Barong, serta komunikasi musikal yang terjadi antara penari Barong, pemain kendang, serta musisi lainnya. Penelitian terkait komunikasi yang terjadi antara penari dengan musisi sangat jarang dilakukan sehingga merupakan hal yang menarik untuk diungkap secara lebih mendalam. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis data primer dan data sekunder. Pengumupulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan, wawancara, serta observasi partisipasi. Selanjutkan dilakukan reduksi, analisis data, serta penarikan kesimpulan. Hasilnya analisis data disajikan dengan menggabungkan analisis formal maupun informal.