Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Konsep Kafa’ah dalam Perkawinan Wanita Syarifah dengan Pria Non Sayyid Dikalangan Habaib Kota Palu: The Concept of Kafa'ah in the Marriage of a Syarifah Woman with a Non Sayyid Man Among the Habaib of Palu City Ardi, Muh Zaitun; Samsidar Jamaluddin; Nadyatul Hikmah Shuhufi
IQRA JURNAL ILMU KEPENDIDIKAN & KEISLAMAN Vol 19 No 2: Juli 2024
Publisher : Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/iqra.v19i2.5183

Abstract

Terdapat ratusan bahkan ribuan keluarga Nabi Muhammad SAW yang tiinggal dan menetap di Indonesia. Salah satu daerah yang banyak terdapat keluarga cucu Nabi Muhammad SAW adalah Kota Palu dan mereka mayoritas berasal dari Hadhramaut (Yaman). Dalam kurun waktu 5 tahun terdapat setidaknya 20 kali pernikahan antara Syarifah dan non Sayyid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui serta menggambarkan kondisi atau kasus pernikahan antara Syarifah dan non Sayyid di kalangan Habaib Kota Palu mendeskripsikan penerapan kafa’ah dalam aturan pernikahan antara Syarifah dan non sayyid menurut pandangan beberapa habaib yang ada di Kota Palu. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan metode wawancara,dan study pustaka, yang keduanya mencoba menjawab fenomena yang terjadi tentang implementasi kafa’ah dalam penerapan aturan pernikahan antara Syarifah dan non Sayyid. Menurut Pandangan Mayoritas Habaib di Kota Palu bahwa syarifah tidak diperkenankan menikah dengan non sayyid karena dianggap tidak sekufu ban bagi mereka keturuna Nabi Muhammad SAW memiliki kemuliaan serta keutamaan yang tidak dimiliki oleh semua orang. Oleh karena itu masalah kafa’ah sangat diperhatikan oleh para Habaib di kota Palu.
A Gender-Based Maqashid Sharia Study of Penghulu in Indonesia (A Study of Jasser Auda's Views) Maliki, Ibnu Akbar; Zaelani, Abdul Qodir; Ardi, Muh Zaitun; Ghummiah, Shivi Mala
Nurani Vol 23 No 1 (2023): Nurani: jurnal kajian syari'ah dan masyarakat
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19109/nurani.v23i1.16447

Abstract

The Penghulu in Indonesia has always been identified and held by men instead of women. The legal opportunity in Ministry of Religious Affairs Regulation No. 20/2019 on Marriage Registration has been annulled by Compilation of Islamic Law (KHI), which requires men as guardians, where the existence of marriage guardians is one of the duties of the head of the family, which inhibits women from serving as head of the family. Although fiqh as the main source of KHI has given legality to women as marriage guardians, KHI does not adopt arguments in favour of women becoming marriage guardians. Whereas the duties of the penghulu are not only limited to wali hakim, there are many duties of benefit in marriage such as providing legal certainty through marriage registration. This article aims to find out the existence of female headmen in Indonesia in the perspective of maqashid sharia. The research employs a literature content analysis. The results showed that based on the study of the six features of maqashid sharia proposed by Jasser Auda, the existence of female headmen is basically something that should be commonplace in Indonesia. The value of maslahah behind the administrative duties and legal certainty of marriage is an objective reason for women to serve as penghulu. This is because realising benefit is the obligation and responsibility of every human being, regardless of gender. This is supported by the existence of cognitive features, wholeness, openness, interrelationship between levels, multi-dimensionality, and meaningfulness of women's headship which has fulfilled the elements of maslahat and the objectives of Islamic law. Therefore, through this research, the reconstruction of guardianship law in KHI should be carried out immediately so that it can pave the way for women to access the position of penghulu.