Nurdin Bakri
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Talak di Luar Pengadilan Menurut Fatwa Mpu Aceh No 2 Tahun 2015 Tentang Talak Nurdin Bakri, Nurdin Bakri; Antoni, Antoni
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 1, No 1 (2017)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v1i1.1570

Abstract

Terdapat konstruksi hukum yang berbeda antara fatwa MPU Aceh yang menyatakan sahnya talak di luar pengadilan, dengan konstruksi hukum dalam UU Perkawinan dan KHI, dimana talak harus di depan sidang pengadilan. Untuk itu, masalah yang ingin diteliti adalah bagaimana kedudukan talak yang dilakukan di luar pengadilan menurut MPU Aceh, metode istinbaṭ hukum apa yang digunakan oleh MPU Aceh terkait kedudukan talak di luar pengadilan, serta dampak fatwa tersebut. Untuk menjawab permasalahan ini, digunakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research) dan dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analisis. Hasil riset menunjukkan kedudukan talak yang dilakukan di luar pengadilan dapat dilihat/ditinjau dari dua sudut pandang. Menurut perspektif hukum Islam, talak tersebut tetap berlaku atau dipandang telah jatuh. Ketentuan ini dengan tidak menghilangkan syarat-syarat penjatuhan talak dalam Islam. Namun, menurut perspektif hukum positif, talak hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Artinya, penjatuhan talak dapat dikatakan berlaku dan mempunyai kekuatan hukum ketika perceraian tersebut diputus di pengadilan. Adapun metode dan dalil hukum yang digunakan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dalam menetapkan kedudukan talak di luar pengadilan merujuk pada beberapa ketentuan, di antaranya yaitu al-Qur’an dan Hadis, serta pendapat para ulama berikut dengan kesepakatan ulama dengan ketentuan bahwa talak telah dipandang jatuh menurut hukum Islam ketika telah memenuhi syarat dan ketentuan yang telah ditentukan. Di antara dampak talak di luar pengadilan adalah memberi peluang kepada suami dalam mempergunakan hak talaknya secara semena-mena, dan berakibat pada tidak tertibnya pelaksanaan proses perceraian, disamping tidak adanya usaha menerapkan asas perceraian dipersulit.
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Proses Pengangkatan Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun2002 Tentang Perlindungan Anak Nurdin Bakry; Yournal Arnas
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v6i2.3961

Abstract

Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan di dalam hukum Islam, melarang praktik pengangkatan anak untuk menjadikan anak angkat dan menjadi anak kandung. Pertanyaan artikel ini, adalah bagaimana ancaman pidana pada proses pengangkatan anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan tinjauan hukum Islam terhadap ancaman pidana pada proses pengangkatan anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman pidana pada proses pengangkatan anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam ketentuan pidana menyebutkan setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), (2), (3), (4) dan ayat (5) para orang tua angkat dengan maksud baik sekalipun, tetapi ingin memutuskan hubungan anak yang mereka adopsi dengan orang tua kandungnya. Walaupun, kesepakatan tersebut dibuat antara orang tua angkat dengan orang tua kandung si anak. Pasal 79 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sedangkan di dalam tinjauan hukum Islam terhadap ancaman pidana pada proses pengangkatan anak menurut ketentuan hukum Islam termasuk dalam kategori ta’zīr yakni setiap perbuatan yang tidak dikenakan hukuman had.
EFEKTIFITAS REHABILITASI PECANDU NARKOTIKA MELALUI TERAPI ISLAMI DI BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) BANDA ACEH Nurdin Bakri; Barmawi Barmawi
Psikoislamedia : Jurnal Psikologi Vol 2, No 1 (2017): Psikoislamedia : Jurnal Psikologi
Publisher : State Islamic University (UIN) Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (333.834 KB) | DOI: 10.22373/psikoislamedia.v2i1.1827

Abstract

The purpose of this research is to improve the understanding, appreciation and use of Islamic values in all aspects of life. This discussion entitled "The effectiveness of the rehabilitation of narcotic addicts through Islamic therapy in the national narcotics agency (BNN) Banda Aceh". As for the purpose of this research is to know the process of da'wah and efforts and obstacles faced by National Narcotics Agency of Banda Aceh in rehabilitating drug addicts. This research is qualitative with descriptive approach that is doing observation, interview and documentation. The results showed that the implementation of rehabilitation through da'wah in BNN Aceh Province, there are activities that are given are follow religious study activities, listening to spiritual (religious lecture), praying in congregation, reading the Qur'an or short letters, and Do'a together every Monday after inshaa. The tasks of the counselor of rehabilitation through da'wah are: Teaching the science of Islamic religion to the patient, forming a strong Muslim personality, reinforcing the spirit of faith and devotion in the soul, educating patients to beristiqwaan in running the religion, instilling Islamic values through individual approach, Or provide deeds that can awaken drug addicts from the bad habit of taking drugs. The obstacles faced by BNNP Aceh in the rehabilitation of drug addicts are the lack of staff in dealing with victims, the number of victims of narcotics abuse and the non-acceptance of drug abuse victims in the community.
DISPUTE SETTLEMENT BETWEEN THE ACTIVITY EXECUTION TEAM AND THE GOODS PROVIDER REGARDING THE USE OF VILLAGE FUNDS Nurdin Bakry; Faisal Fauzan
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 8 No 1 (2023): MAINTAINING THE CONSTITUTIONAL RIGHTS TO CREATE A BETTER SOCIETY
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/petita.v8i1.164

Abstract

According to Law Number 6 of 2014 concerning Villages, villages have a strategic and vital role in development which is carried out using the development budget in the form of Village Fund Allocation (ADD). Villages can self-manage the use of village funds by procuring goods and services. Procurement of goods or services using village funds often experiences problems because the providers do not hand over the product to the activity execution team. This situation happens even though the provider has received a down payment for purchasing goods the village needs. As a result, development in the village is constrained. This condition gave rise to disputes between the activity execution team and the appointed goods or service provider, which may be reported to the authority. Disputes between the activity execution team and the provider in procuring goods and services using village funds are settled through administrative and civil law because the act is a default. The settlement is carried out through discussions to achieve consensus. If it fails, the settlement is carried out through discussions led by the village head. If it fails again, the procurement contract resolution service will conduct the settlement. The final way of settlement is by filing a lawsuit in court, not through criminal law. Abstrak: Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, menempatkan desa mempunyai peran strategis dan penting dalam pembangunan, melalui anggaran pembangunan secara dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD). Desa dalam melaksanakan swakelola penggunaan Dana Desa dapat melakukan pengadaan barang dan jasa. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang dilakukan dengan menggunakan dana desa yang melibatkan penyedia barang/jasa sering mengalami permasalahan yang disebabkan penyedia barang/jasa tidak menyerahkan barang yang dibutuhkan oleh desa kepada Tim Pelaksana Kegiatan (TPK). Sementara penyedia barang/jasa sudah menerima dana dalam bentuk panjar, untuk kebutuhan pembelian barang yang dibutuhkan oleh desa, sehingga pelaksanaan pembangunan di desa menjadi terkendala. Kondisi ini menimbulkan perselisihan antara Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) di Desa dengan pihak penyedia barang/jasa yang sudah ditunjuk, bahkan sampai membuat laporan ke penegak hukum. Penyelesaian perselisihan antara Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) dengan Penyedia dalam pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana desa dilakukan melalui hukum administrasi dan hukum perdata karena perbuatan tersebut adalah wanprestasi. Sehingga penyelesaian sengketa yang terjadi antara penyedia dan TPK dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila tidak berhasil, maka penyelesaian perselisihan dilakukan melalui musyawarah yang dipimpin oleh Kepala Desa. Apabila tidak berhasil juga maka penyelesaian perselisihan tersebut dapat dilakukan melalui Layanan Penyelesaian Sengketa Kontrak Pengadaan dan jalan terakhir penyelesaian tersebut dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan. Jadi bukan melalui jalur hukum pidana. Kata Kunci: Penyelesaian Sengketa, Hukum Penyedia Barang, Dana Desa, Penegakan Hukum, Gugatan Di Pengadilan
THE STRUGGLE BETWEEN SALAFI SCHOLARS AND ISLAMIC BOARDING SCHOOL SCHOLARS: THE CONTROVERSY OVER THE PRACTICE OF FIQH HADITH IN ACEH AND NORTH SUMATRA, INDONESIA Tarmizi M. Jakfar; Nurdin Bakry; Safria Andy; Muhammad Habibi MZ
Islam Futura Vol 23, No 1 (2023): Jurnal Ilmiah Islam Futura
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jiif.v23i1.17733

Abstract

The Da'wah of the Salafi School aims to purify Islamic teachings by eradicating all kinds of deviations from Islamic practices that have mixed with non-Islamic cultures, giving rise to bid'ah. The salafi school invites them to return to the Al-Qur'an and hadith, where hadiths are only understood textually and in their sermons the salafi scholars openly attack Islamic boarding school scholars. ? How is the resistance carried out by Islamic boarding school scholars to salafi preaching, especially in understanding hadith? What is the influence that occurred on the implementation of Fiqh by the people in Aceh and North Sumatra Medan? This research is qualitative, namely a way of research and understanding that is based on how to investigate environmental conditions and community problems. The method of qualitative research is usually stated as a naturalistic research method because the research is carried out when the circumstances are as they are, also known as the ethnographic method. The approach used is an anthropological approach. To get the data, structural analysis, historical analysis, and ideological criticism were carried out. Based on the results of the research, it can be seen that the proselytizing of the Salafi sect which is carried out by attacking Islamic boarding school scholars openly, aims to really practice shari'ah which has the basis of Rasulullah SAW. Because they think that the Islamic boarding school scholars have left the Sunnh of Rasulullah SAW, so if it is not sunnah, don't do it because it will enter into bid'ah acts. However, the method adopted by the Salafi sect has actually departed from the provisions of the Koran itself, which wants da'wah to be carried out gently. Islamic boarding schools/dayah scholars should show their resistance to the salafi school (wahabi), because the salafi school is wrong in understanding hadith, because it only relies on textual understanding. Whereas hadith as the second source of Islamic law must be understood correctly, both textually and contextually, so that the messages of the Messenger of Allah through hadith, especially in interpreting the verses of the Koran which are still common, reach the community correctly. Salafi da'wah carried out both in Aceh and in North Sumatra has not had an impact on the community in practicing fiqh as expected by the salafi sect, because the community still commemorates Islamic holidays and understands hadith based on the Shafi'i school of thought. It is hoped that the salafi sect will carry out da'wah in ways that are gentle and willing to communicate in two directions, so that the messages to be conveyed can be accepted by the community. It is hoped that Islamic boarding schools/dayah scholars will maintain communication with the Salafi school, so that divisions can be avoided in an effort to maintain unity among fellow Muslims. It is hoped that the community will always maintain conditions so that they remain conducive even though they face ridicule and insults in practicing fiqh in everyday life.