Claim Missing Document
Check
Articles

Found 24 Documents
Search

Kewajiaban Nafkah Ushul Dan Furu' Menurut Mazhab Syafi'i M Jakfar, Tarmizi; Fakhrurrazi, Fakhrurrazi
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 1, No 2 (2017)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v1i2.2385

Abstract

NafkahUshul dan Furu’ merupakan salah satu problematika dalam ruang lingkup kekerabatan yang harus dipenuhi oleh orang tua terhadap anak. Dan kewajiban seorang anak yang memiliki kesanggupan terhadap hartanya. Dalam mazhab Syafi’i menggunakan dalil ayat yang umum tentang nafkah Ushul dan Furu’ yaitu surat al-Baqarah ayat 233 dengan cara meng istinbatkan hukum dengan jalan mengqiyaskan pada pemberian nafkah kepada istri dan anak, sebab dalil yang explisit tentang nafkah Ushul dan Furu’ itu tidak ada dalil. Rumusan penelitian dalam skripsi ini adalah mengenai hukum pemberian nafkah Ushul dan Furu’ serta bagaimanakah metode penetapan hukum mazhab Syafi’i yang digunakan. Adapun penulis menggunakan jenis penelitian (library research) dengan mempelajari kitab-kitab, dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian dalam permasalahan nafkah dalam keluarga dan penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan membuat deskriptif secara sistematis dan akurat mengenai fenomena yang diteliti. Hasil dari penelitian ditemukan bahwa imam Syihabuddin al-‘Abbas Ahmad (al-Qalyubi), Syaikh Zainuddin al-Malibari dan imam Taqayuddin al-Hishininafkah Ushul dan Furu’ yang disebutkan dalam kitab Hasyiatan Qalyubi-‘Umairah, Fathul Mu’in dan Kifātul Akhyār fĩ hāll Rāyatȗl Ikhtisār wajib diberikan nafkah oleh seseorang ayah terhadap anaknya, apabila anak tersebut fakir, kecil dan gila, dan kewajiban seorang anak untuk menafkahi orang tuanya apabila orang tua tersebut fakir dan gila. Dan apabila anak tersebut memilki kesanggupan terhadap harta yang di milikinya sekira-kira lebih dari kebutuhan hidupnya dari sehari semalam maka wajib memberi nafkah, seandainya seorang anak tidak memiliki harta karena dia miskin, maka tidak ada kewajiban apapun atas anak tersebut. Metode penetapan hukum mazhab Syafi’i dalam hal ini adalah dengan jalan mengqiyaskan oleh imam  al-Qalyubi kepada dalil al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233 yaitu kepada hukum pemberian nafkah isteri dan anak, dan Syaikh Zainuddin al-Malibari tidak menggunakan dalil ayat al-Qur’an, tapi menyatakan secara tegas tentang kewajiban nafkah ushul dan furu’ dalam kitab Fathul al-Mu’in, imam al-Hishini menggunakan surat al-lahab untuk dalil nafakah ushul dan furu’. Dan sunnah-sunnah yang berkaitan dengan hukum pemberian nafkah keluarga yang terdapat dalam berbagai kitab fiqh dan buku-buku Islam.
Peran Majelis Sulh dalam Penyelesaian Hak Hadhanah Pasca Perceraian (Studi Kasus di Mahkamah Syariah Kabupaten Tawau, Provinsi Sabah, Negara Malaysia) M.Jakfar, Tarmizi; Nur Azizah Fayyadhah Binti Baharuddin, Nur Azizah Fayyadhah Binti Baharuddin
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v2i1.3112

Abstract

Pengamalan Sulh di dalam Islam telah berlaku pada zaman awal kedatangan Islam hingga ke zaman para sahabat dan juga para tabi'in lagi yang mana telah memberikan banyak manfaat dan faedah kepada perkembangan masyarakat umat Islam pada masa itu. Artikel ini fokus pada kajian peran majelis sulh dalam penyelesaian hak hadhanah pasca perceraian studi kasus di Mahkamah Syariah Kabupaten Tawau, Provinsi Sabah, Negara Malaysia. Penelitian ini merupakan riset lapangan dengan menggunakan pendekatatan yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Majelis Sulh membantu dan membimbing pihak-pihak berkonflik untuk berbincang, berunding dan mencari persetujuan bersama untuk mencapai penyelesaian, majelis Sulh di Mahkamah Syari'ah ternyata sangat efektif dalam penyelesaian kasus hak hadhanah berdasarkan statistik yang dicatatkan dari tahun 2011 - 2015, majelis Sulh menetapkan tujuh teknik yang wajib diikuti dalam pelaksanaan Sulh, ternyata teknik ini berjaya menyelesaikan kasus yang di daftarkan, masyarakat masih kurang informasi tentang Majelis Sulh. Melalui penyebaran angket dan wawancara, mayarotis masyarakat tidak tahu tentang Majelis Sulh.
Māturīdite Kalam among Southeast Asian Ash`Arite: A Synthesis of Māturīdite Influences on Dayah’s Theology Saifuddin Dhuhri; Tarmizi Jakfar
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies Vol 58, No 2 (2020)
Publisher : Al-Jami'ah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.2020.582.391-418

Abstract

As the earliest Muslims and first known who introduced Islam in Southeast Asia, Dayah community has continuingly played a great role in retaining and spreading the Ash`arite school of theology in the region. Ash`arite theology is a major area of interest within the field of Islamic studies in Southeast Asia. The teachings of Māturīdite kalam have, however, received little attention, in particular its impact on local theology from many scholars. Furthering the legacy of Nasafi’s construction of Southeast Asian theology, this paper is an attempt to unearth Māturīdi’s significance among Southeast Asian Muslims by analyzing the content of dayah’s curriculum, explaining the intellectual network of Māturīdite ulema, and explicating the role of Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah consensus along with interviewing several key informants on the issues of Islamic theology. I craft this paper by arguing that Māturīdite kalam has considerable impacts on local theology, e.g., upholding rationality on God’s attributes, and relying on ilm mantiq method in justifying human freedom. This paper has great contributions in advancing the study of Southeast Asian Muslim theology and its relation to the concept of Islamisation of indigenous culture; like the concepts of cosmopolitanism and syncretism, and the finding of Māturīdi’s kalam in Southeast Asia.[Dayah di Aceh, institusi yang paling awal mengenalkan Islam di Asia Tenggara, hingga saat ini masih merupakan aktor yang berperan penting dalam mempertahankan dan menyebarkan mazhab Ash’ariyah di kawasan ini. Mazhab ini juga dominan dalam kajian Islam di Asia Tenggara. Pengajaran ilmu kalam Māturīdiah, meski mendapat porsi sedikit, pada khususnya berpengaruh pada teologi para ulama setempat. Artikel ini bertujuan untuk menggali signifikasi Māturīdiah dikalangan muslim Asia Tenggara melalui analisis materi kurikulum pengajaran di dayah, pemetaan jaringan ulama Māturīdiah dan mengurai peran konsensus para Aswaja. Dengan wawancara beberapa tokoh kunci dayah di Aceh, tulisan ini menunjukkan bahwa ilmu kalam Māturīdiah berpengaruh pada teologi lokal seperti; dukungan rasionalitas dalam mengenal Tuhan dan mempertimbangkan metode ilmu mantiq dalam pembenaran kebebasan manusia. Artikel ini mempunyai kontribusi penting dalam kajian teologi Islam di Asia Tenggara dan hubungan antar konsep dalam islamisasi budaya lokal seperti kosmopolitanisme, sinkretisme, dan teologi Māturīdi.]
MODEL INTEGRASI ILMU DAN PENGEMBANGANNYA DI FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN AR-RANIRY BANDA ACEH DAN UIN SUMATERA UTARA Tarmizi M Jakfar; Fuad Ramly; Maimun Fuadi; Jabbar Sabil
Islam Futura Vol 18, No 2 (2019): Jurnal Ilmiah Islam Futura
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jiif.v18i2.3765

Abstract

Integration of science is a central issue in the arena of the State Islamic University (UIN) in Indonesia, including UIN Ar-Raniry and UIN North Sumatra. One of the main problems that is increasingly discourse is the model of the integration of knowledge that is put in place and the development efforts implemented. Although UIN Ar-Raniry has an integration model of "Frikatifisasi Ilmu" and UIN North Sumatra with the "Integrative Transdisciplinary" model, the Syari'ah Faculty academics and the second Law of the UIN generally do not understand it definitively, so that the integration model does not play an effective role in the process integration of sciences. Therefore, constructive evaluation, comprehensive socialization, and a more intensive development strategy involve all related components. The expected goal of this study is to present a description of the integration model of science that is valid and understood in the second FSH of the UIN, along with its implementation and development in the present. As a qualitative study, this study uses descriptive, interpretative, and comparative analysis methods / techniques. The data analyzed mainly comes from the results of interviews with lecturers and FGDs with students of the School of Comparative Study Program and the FSH State Law Study Program, in addition to other related data.
Changes in Congregational Prayer Practices During the Covid-19 Pandemic in Aceh from Maqashid al-Sharia Perspective Salman Abdul Muthalib; Tarmizi M. Jakfar; Muhammad Maulana; Lukman Hakim
AL-IHKAM: Jurnal Hukum & Pranata Sosial Vol. 16 No. 2 (2021)
Publisher : Faculty of Sharia IAIN Madura collaboration with The Islamic Law Researcher Association (APHI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/al-lhkam.v16i2.5250

Abstract

Covid-19 has changed the habits of almost all activities of human life, including religious matters. The worship practices have also changed, such as performing prayers at home, keeping distant rows, and wearing masks. This paper is empirical legal research that seeks to examine the living law in the Aceh society with a maqashid shari’a perpective during a pandemic. The data collection techniques were interview, observation, and document study. It concludes that the government policies, including the 2020 Large-Scale Social Restrictions (PSBB), the 2021 Implementation of Community Activity Restrictions (PPKM), fatwas of Indonesian Ulema Council (MUI) and Tausiyah of Acehnese Ulema regulating and calling for restrictions on religious activities are rules with benefit values and in accordance with the principle of maqasid al-shari'a. Despite some people's rejection, the policies are, in fact, based on maqasid al-shari'a, namely protecting the life (hifz al-nafs) so that people will not get infected by the virus. Moreover, public safety is the highest law purpose to maintain. The policies also prove the state's role through the rule when conditions endanger the community in addition to avoiding harms as a part of Islamic law orders. (Covid-19 telah mengubah kebiasaan hampir seluruh aktivitas kehidupan manusia, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, pendidikan bahkan agama. Pada aspek agama aktivitas ibadah juga mengalami perubahan misalnya himbauan shalat di rumah, menjaga jarak saf dan memakai masker. Tulisan ini merupakan penelitian hukum empiris yang berupaya menelaah hukum sebagaimana yang terjadi dalam realitas masyarakat dengan pendekatan hukum Islam saat pandemi. Sedangkan teknik pengumpulan data yang dipakai adalah wawancara, observasi dan studi dokumen. Kajian ini menyimpulkan bahwa pada awalnya himbauan sebagai pemerintah tidak secara menyeluruh diikuti oleh masyarakat karena setiap daerah berbeda tingkat penularan dan kondisi covid terjadi. Setelah aturan PPKM 2021 diterapkan hal ini relatif teratur termasuk di Aceh karena dibedakan empat level dan berdasarkan tingkat penularan dan korban yaitu, merah, orange, kuning dan hijau. Kebijakan pemerintah agar tidak salat jamaah di masjid pada saat kondisi penularannya tinggi sebenarnya mengacu pada konsep maqashid syari’ah yaitu menjaga jiwa (hifz al-nafs) agar masyarakat tidak tertular virus. Meskipun sebagian masyarakat khusus daerah atau kabupaten yang tingkat penularannya rendah menganggap bahwa shalat berjamaah di masjid tetap harus dilakukan dengan pertimbangan menjaga agama (hifz al-din) sesuai protokol kesehatan. Namun patut dicatat kebijakan pemerintah tersebut mengandung kemaslahatan yang bertujuan untuk menghindari kemudharatan dan menolak bahaya sebagaimana disebutkan dalam kaidah fikih. Sehingga menghindarkan diri dari kemudharatan dan taat kepada pemerintah juga merupakan perintah syariat Islam.)
Perspektif Al-Quran dan Sunnah tentang Toleransi Tarmizi M. Jakfar
Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol 18 (2016): Edisi Khusus
Publisher : Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/substantia.v18i0.8982

Abstract

Islam adalah agama yang sangat toleran terhadap siapapun termasuk kepada non muslim. Dengan tingginya rasa toleransi yang dibawa membuat agama ini mudah diterima dan cepat berkembang terutama pada masa-masa awal kehadirannya di tanah Arab. Hakikat dari toleransi adalah kemudahan dalam setiap ajarannya serta tenggang rasa terhadap perbedaan yang ada, termasuk dalam hal akidah ketika berhadapan dengan agama lain. Artikel ini bermaksud menelaah toleransi dalam perspektif Alquran dan sunnah. Telaah terhadap pandangan Alquran dan sunnah memperlihatkan bahwa  bentuk dan sifat toleransi ini tergambar jelas dalam al-Qur'an dan sunnah Nabi, juga dalam sirah kehidupan para sahabat dan ulama-ulama salaf lainnya yang memahami kedua sumber Islam ini dengan baik. Pengakuan akan tingginya rasa toleransi yang dibawa oleh agama samawi terakhir ini sesungguhnya bukan saja diakui dan dirasakan oleh umat Islam sendiri, tetapi juga mendapat pengakuan dari kalangan non muslim Barat yang berupaya menilai Islam secara objektif.
PERLINDUNGAN HAK-HAK PEREMPUAN MELALUI KEPEMILIKAN HARTA WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM Khairuddin Hasballah; Tarmizi M. Jakfar; Mursyid Djawas
Kafa`ah: Journal of Gender Studies Vol 11, No 1 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/jk.v11i1.420

Abstract

Islam teaches equality between men and women, without any differences, except in matters of nature alone. The presence of Islam brings goodness to women who were previously oppressed by the jahiliyah culture which did not recognize their position as perfect human beings like men. This research is important to do to answer the views that have been cornering Islam, that women are being looked down on and positioned as dishonorable, but it is the opposite. This research is normative-qualitative in nature by referring to the data of the arguments of the al-Qur`an and Hadith which are then analyzed from the perspective of Islamic law. This study concludes that Islam recognizes women as social creatures just like men, so they are allowed to carry out various social activities. Women are also obliged to perform worship and obedience to Allah as is required of men. Men and women have the same and equal position with Allah, although there are differences but not biologically, for example, women conceive, give birth, and breastfeeding. But both of them can work together to build a harmonious household. Islam gives women the right to own property from their business or from other results such as inheritance. Inheritance rights for women are half the rights of men. This does not mean that the position of women is half male from their human status, but because the problem of responsibility given to men is greater than that of women. Men are burdened with the responsibility of protecting and nurturing the family, including women, both as mothers, wives, and children. For justice, Islam gives more rights to men for this great responsibility, which is not given to women. So giving the inheritance to women is part of the protection of their rights.
Penyelesaian Perkara Hadhanah (Studi Terhadap Pertimbangan Hakim Pada Kasus No. 0138/Pdt.G/2015/Ms.Bna dan No. 13/Pdt.G/2016/Ms.Aceh) Bariq Habibi; Tarmizi M Jakfar; Hajarul Akbar
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 4, No 2 (2021): El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v4i2.7736

Abstract

Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam memutuskan perkara nomor 0138/Pdt.G/2015/Ms.Bna menetapkan hak hadhanah melebihi yang diminta oleh penggugat, dimana penggugat sebagai ibu hanya meminta hak asuh anak yang belum mumayyiz dari 5 bersaudara, sedangkan keempat anak lainnya yang sudah mumayyiz tidak dimintaan hak asuhnya di dalam petitum penggugat, Akan tetapi majelis hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh memutuskan hadhanah seluruhnya kepada sang ibu termasuk yang sudah mumayyiz. Sementara Mahkamah Syar’iyah Aceh (Banding) terhadap perkara yang sama yaitu perkara Nomor 13/Pdt.G/2015/ Ms. Aceh kepada ibunya yang belum mumayyiz saja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara tersebut. apakah sudah sesuai dengan ketentuan hukum Islam dan juga peraturan perundang-undangan yang berlaku. Metode yang digunakan adalah metode penelitian Library Research (penelitian kepustakaan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam menetapkan perkara tersebut mengacu kepada putusan MA No. 556 K/Sip/1971 dimana dimungkinkan mengabulkan gugatan yang melebihi permintaan dengan syarat masih sesuai dengan kejadian materiil, serta pasal 105 huruf b KHI dimana pemeliharaan anak mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya. Sedangkan Mahkamah Syar’iyah Aceh memutuskan perkara tersebut berdasarkan pasal 178 ayat (2) HIR dan pasal 189 ayat (2) RBg, dimana Mahkamah harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Serta tuntutan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang diminta penggugat dalam pasal 178 ayat (3) HIR, pasal 189 ayat (3) RBg.
Persepsi Kadi tentang Keutamaan Melafalkan Taklik Talak (Studi Kasus di Mahkamah Syar’iyah Kuantan, Pahang) Tarmizi M. Jakfar; Mohammad Faiz Bin Jamaludin
El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol 2, No 1 (2019): El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/ujhk.v2i1.7643

Abstract

Di Provinsi Pahang telah mengatur di dalam Seksyen 50 Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam Pahang 2005 bahwa perceraian di bawah taklik atau janji, yaitu seorang perempuan yang bersuami boleh mendapatkan perceraian jika syarat-syarat dari perakuan taklik yang telah dibuat selepas berkawin dan memohon kepada Mahkamah untuk menetapkan penceraian. Mahkamah perlu mengesahkan perceraian mereka itu jika semua syarat-syarat itu terpenuhi. Taklik talak di Provinsi Pahang adalah bertujuan  untuk menjaga kepentingan para istri dari dianiaya atau di tidak diperdulikan oleh suaminya, karena ditakuti dalam kondisi tertentu suami akan lepas tangan dari tanggung jawabnya terhadap istri, bahkan anak-anaknya Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana persepsi kadi di Mahkamah Syar’iyah Kuantan Pahang tentang taklik talak dan bagaimana nilai kebaikan melafalkan taklik talak ditinjau dari perspektif hukum keluarga Islam yang telah ditetapkan untuk diamalkan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dengan mengambil data primer dan data sekunder. Penulis melakukan wawancara dengan Penolong Pengarah Kanan Seksyen Bahagian Sokongan Keluarga Jabatan Kehakiman Syariah Pahang dan Penolong dalam persepsi kadi dalam keutamaan melafalkan taklik talak. Hasil penkajian ini mendapati bahwa terdapat pengabaian lafal taklik telah dilanggari oleh suami dan telah dipergunakan istri untuk mengajukan perceraian di Mahkamah sebagai alasan untuk bercerai. Terdapat perbezaan antara lafal disetiap provinsi lain di Malaysia dan tidak mementingkan lafal taklik ini di Mahkamah. Kesimpulannya adalah kelemahan lafal taklik di Mahkamah masih belum kukuh ketika untuk pengajuan di Mahkamah dan kelemahan taklik didalam Enakmen masih tidak mencukupi terhadap syarat-syarat tersebut. Oleh itu diharapkan terjadinya perkara sebegini membuka mata pihak berwenang untuk mengubah sistem hukum Syariah yang ada di Malaysia.
APPLICATION OF NO-FAULT DIVORCE LEGAL RULES AS A BASIS FOR JUDGES' CONSIDERATIONS: A CASE STUDY OF INDONESIA Khairani Mukdin; Zahrul Bawady; Tarmizi M.Djakfar; Muhammad Riza Nurdin
PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU HUKUM DAN SYARIAH Vol 7 No 2 (2022)
Publisher : LKKI Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/petita.v7i2.149

Abstract

No-Fault Divorce is a legal rule in divorce, involving a couple who wants to divorce without proof of their cause or reason in court. The concept first appeared in California in 1970 and has been used in Indonesia as legal material for judges considering divorce cases. The involved parties must assert that there is no match between the two or a difference that cannot be compromised. No-Fault Divorce is considered in accordance with the values contained in the fiqh. However, employing No-Fault Divorce as the primary consideration of judges in deciding divorce cases or generalizing each divorce case using this rule of law is inconsistent with the purpose of marriage (maqāṣid) in fiqh. This paper utilizes a descriptive comparative study to qualitatively analyze and compare the legal principle concept of No-Fault Divorce and its use in religious courts in Indonesia with the values originating from the fiqh mazhab. The study reviews several judges' decisions based on the legal rules of No-Fault Divorce in addition to scholars' books of fiqh mazhab. Knowing the cause of divorce without generalizing the issue could make the judicial process more transparent so that a judge's legal justification can be seen. In general, the divorce decision is used as a basis for determining other judgments related to family matters, such as determining child custody and common property rights. Divorce is not a trivial action without basis since marriage is sacred in religion and Indonesian society. Abstrak: No-Fault Divorce adalah suatu kaidah hukum dalam perceraian yang mengandung maksud bahwa ketika suatu pasangan ingin bercerai, maka keduanya tidak perlu membuktikan sebab atau alasan mereka bercerai didepan pengadilan. Mereka cukup menegaskan bahwa di antara keduanya sudah tidak ada kecocokan, atau terdapat perbedaan yang tidak dapat dikompromikan lagi. Paham ini pertama sekali muncul di California tahun 1970 dan telah digunakan di Indonesia sebagai salah satu pertimbangan hukum materiil hakim dalam perkara perceraian. Penggunaan kaidah hukum No-Fault Divorce sebagai salah satu penguat pertimbangan hakim dianggap sejalan atau sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam fiqh mazhab. Namun demikian menjadikan No-Fault Divorce sebagai pertimbangan utama hakim dalam memutuskan perkara perceraian atau menyamaratakan setiap kasus perceraian dengan menggunakan kaidah hukum ini dianggap tidak sejalan dengan tujuan pensyariatan (maqāṣid) pernikahan dalam fiqih. Metode yang digunakan dalam penelitian ini deskriptif komparatif yang dianalisis secara kualitatif dengan cara membandingkan pemahaman konsep kaidah hukum No-Fault Divorce dan penggunaannya pada Pengadilan Agama di Indonesia dengan nilai-nilai yang terkandung dalam fiqh mazhab. Data yang menjadi objek penelitian adalah beberapa putusan hakim yang mencantumkan langsung kaidah hukum No-Fault Divorce dan kitab-kitab fiqh mazhab karya ulama. Kaidah hukum No-Fault Divorce ini kurang relevan dan sejalan dengan nilai-nilai fiqh meskipun dapat mempercepat proses peradilan. Bagaimanapun mengetahui sebab perceraian tanpa menyamaratakan persoalan akan lebih jelas proses mengapa putusan itu diberlakukan dan dan lebih jelas siapa yang salah dan siapa yang benar sehingga terlihat keadilan hukum dari suatu putusan. Karena biasanya putusan perceraian ini akan menjadi dasar bagi penetapan putusan lain terkait dengan hak-hak dalam keluarga seperti hak penetapan hak asuh anak maupun hak harta bersama dan lain sebagainya. Lebih dari itu terjadinya perceraian bukanlah hal yang sepele yang tanpa dasar, karena pernikahan merupakan suatu yang sakral dalam agama dan dalam masyarakat Indonesia. Kata Kunci: No-Fault Divorce, Pertimbangan Hakim, Fiqh Mazhab