Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Koreografi “PETI = MATI”: Otokritik Fenomena Sosial Dompeng di Sarolangun, Jambi Syaputra, Redho; Rasmida, Rasmida; Martion, Martion
Jurnal Seni, Desain dan Budaya Vol 4, No 3
Publisher : Jurnal Seni, Desain dan Budaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (743.691 KB)

Abstract

ABSTRACTKoroegrafi titled "PETI = Dying" is the result of the interpreter's imagination and imagination in pouring ideas into the form of works about PETI or Dompeng activities. PETI or Dompeng is a mining business that is carried out by individuals, groups of people or companies with legal entities whose operations do not have permits from government agencies in accordance with applicable laws and regulations. Miners are supported by large investors who use heavy equipment to dredge sand and river so that it can quickly cause damage along the watershed. To purify gold, miners use mercury, then dump their waste directly into the river. Disposal of mercury poison is very severe in the upper area of Batang Tembesi. Choreography is arranged based on abstract type supported by setting and music to convey the message and impression of the dance work. The foothold in choreography departs from forms of pure motion, namely the activities of gold miners. To convey the contents of the choreography will be strengthened by seven dancers consisting of six male dancers and one female dancer. With the theme of life, who wants to convey messages and impressions to the audience about the importance of protecting natural resources and environmental preservation. The concept of this work is the result of observations of the workman, especially what happened in his personal life where the workmanship of the workman who was born and delivered in Sarolangun felt his direct impact. To visualize arable ideas into dance works.Keywords :? activityf , miners , gold , danceABSTRAKKoroegrafi berjudul ?PETI=Mati? adalah hasil interpretasi dan daya imajinasi pengkarya dalam menuangkan ide ke dalam bentuk karya tetang aktivitas PETI atau Dompeng. PETI atau Dompeng adalah usaha pertambangan yang dilakukan perorangan, sekelompok orang atau perusahaan berbadan hukum yang dalam operasinya tidak memiliki izin dari instansi pemerintah yang sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Penambang didukung oleh pemodal besar yang menggunakan alat-alat berat untuk mengeruk pasir dan tanah sungai sehinggga cepat menimbulkan kerusakan di sepanjang daerah aliran sungai. Untuk memurnikan emas penambang menggunakan air raksa, lalu membuang limbahnya langsung ke Sungai. Pembuangan racun merkuri sudah sangat parah dikawasan hulu Batang Tembesi ini. Koreografi disusun berdasarkan tipe abstrak didukung oleh setting dan musik untuk menyampaikan pesan dan kesan dari karya tari tersebut. Pijakan gerak dalam koreografi berangkat dari bentuk-bentuk dari gerak murni yaitu aktifitas para penambang emas. Untuk menyampaikan isi koreografi akan diperkuat oleh tujuh orang penari yang terdiri dari? enam orang penari laki-laki dan satu orang penari perempuan. ?Dengan tema kehidupan, yang ingin menyampaikan pesan dan kesan kepada penonton tentang penting nya menjaga Sumber Daya Alam dan pelestarian Lingkungan. Konsep karya ini merupakan hasil pengamatan pengkarya terutama yang terjadi dalam kehidupan pribadinya dimana pengkarya pengkarya yang lahir dan di bersarkan di Sarolangun merasakan langsung dampak nya. Untuk memvisualisaikan ide garapan ke dalam karya tari.Kata kunci : Aktivitas ,Penambang, Emas, Karya Tari
Koreografi “PETI = MATI”: Otokritik Fenomena Sosial Dompeng di Sarolangun, Jambi Syaputra, Redho; Rasmida, Rasmida; Martion, Martion
Besaung : Jurnal Seni Desain dan Budaya Vol 4, No 1
Publisher : UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36982/jsdb.v4i1.1403

Abstract

Koroegrafi titled "PETI = Dying" is the result of the interpreter's imagination and imagination in pouring ideas into the form of works about PETI or Dompeng activities. PETI or Dompeng is a mining business that is carried out by individuals, groups of people or companies with legal entities whose operations do not have permits from government agencies in accordance with applicable laws and regulations. Miners are supported by large investors who use heavy equipment to dredge sand and river so that it can quickly cause damage along the watershed. To purify gold, miners use mercury, then dump their waste directly into the river. Disposal of mercury poison is very severe in the upper area of Batang Tembesi. Choreography is arranged based on abstract type supported by setting and music to convey the message and impression of the dance work. The foothold in choreography departs from forms of pure motion, namely the activities of gold miners. To convey the contents of the choreography will be strengthened by seven dancers consisting of six male dancers and one female dancer. With the theme of life, who wants to convey messages and impressions to the audience about the importance of protecting natural resources and environmental preservation. The concept of this work is the result of observations of the workman, especially what happened in his personal life where the workmanship of the workman who was born and delivered in Sarolangun felt his direct impact. To visualize arable ideas into dance works.
Koreografi “PETI = MATI”: Otokritik Fenomena Sosial Dompeng di Sarolangun, Jambi Redho Syaputra; Rasmida Rasmida; Martion Martion
Besaung : Jurnal Seni Desain dan Budaya Vol 4, No 1
Publisher : UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36982/jsdb.v4i1.1751

Abstract

 Koroegrafi berjudul ”PETI=Mati” adalah hasil interpretasi dan daya imajinasi pengkarya dalam menuangkan ide ke dalam bentuk karya tetang aktivitas PETI atau Dompeng. PETI atau Dompeng adalah usaha pertambangan yang dilakukan perorangan, sekelompok orang atau perusahaan berbadan hukum yang dalam operasinya tidak memiliki izin dari instansi pemerintah yang sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Penambang didukung oleh pemodal besar yang menggunakan alat-alat berat untuk mengeruk pasir dan tanah sungai sehinggga cepat menimbulkan kerusakan di sepanjang daerah aliran sungai. Untuk memurnikan emas penambang menggunakan air raksa, lalu membuang limbahnya langsung ke Sungai. Pembuangan racun merkuri sudah sangat parah dikawasan hulu Batang Tembesi ini. Koreografi disusun berdasarkan tipe abstrak didukung oleh setting dan musik untuk menyampaikan pesan dan kesan dari karya tari tersebut. Pijakan gerak dalam koreografi berangkat dari bentuk-bentuk dari gerak murni yaitu aktifitas para penambang emas. Untuk menyampaikan isi koreografi akan diperkuat oleh tujuh orang penari yang terdiri dari  enam orang penari laki-laki dan satu orang penari perempuan.  Dengan tema kehidupan, yang ingin menyampaikan pesan dan kesan kepada penonton tentang penting nya menjaga Sumber Daya Alam dan pelestarian Lingkungan. Konsep karya ini merupakan hasil pengamatan pengkarya terutama yang terjadi dalam kehidupan pribadinya dimana pengkarya pengkarya yang lahir dan di bersarkan di Sarolangun merasakan langsung dampak nya. Untuk memvisualisaikan ide garapan ke dalam karya tari.
“Nan Lah Lapuak” (Pengaruh Modernitas Terhadap Adat) Erwin Mardiansyah; Rasmida Rasmida; Yusril Yusril
Besaung : Jurnal Seni Desain dan Budaya Vol 4, No 2
Publisher : UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (495.437 KB) | DOI: 10.36982/jsdb.v4i4.794

Abstract

ABSTRACTThe dance work entitled "Nan Lah Lapuak" was created by Erwin Mardiansyah based on empirical experiences that occurred around workers. Based on that experience, the authors gained understanding and interpretation of Minangkabau traditional life that began to fade, especially in Nagari Regency, Paninggahan Regency, Solok District. Adaik is an understanding held by a person or community for a long time and has undergone inherited inheritance. However, in the community residing in Nagari Paninggahan, Junjung Sirih Sub-district, Solok District was formerly adhered to and became a guide in living life, but now the habit has begun to fade. One of the causes of customary fading is due to the development of the era and the era of globalization that flourished in society. To bring ideas into works of art, artists use heroic themes and dramatic types. In addition to the movements of the dancers in this work wearing traditional costumes and traditional costumes that have been modified as one of the symbols that have been faded by the times and technology. Exploration of motion in this work rests on the Minangkabau silk movement and is combined with modern techniques, and adapted to the character possessed by the worker. The methods used in this work include data collection, motion exploration, improvisation, choreography process, evaluation.Keywords : Adat, Society, ModernizationABSTRAKAdaik is traditional Karya tari yang berjudul “Nan Lah Lapuak” ini diciptakan oleh pengkarya berdasarkan pengalaman empiris yang terjadi sekitar pengkarya. Berdasarkan pengalaman tersebut pengkarya mendapatkan sebuah pemahaman dan penafsiran terhadap kehidupan adat-istiadat Minangkabau yang mulai memudar, khususnya pada Nagari Paninggahan Kecamatan Junjung Sirih Kabupaten Solok. Adaik merupakan sebuah pemahaman yang dianut oleh sebuah kaum atau masyarakat sejak dahulu dan telah mengalami pewarisan yang bersifat turun temurun. Namun, pada masyarakat yang berada di Nagari Paninggahan Kecamatan Junjung Sirih Kabupaten Solok dahulunya Adat begitu menjunjung dan menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan, namun sekarang Adat tersebut mulai memudar. Salah satu penyebab pemudaran adat tersebut dikarenakan oleh perkembangan zaman dan era-globalisasi yang sedang berkembang ditengah masyarakat tersebut. Untuk melahirkan ide garapan ke dalam karya tari, pengkarya menggunakan tema heroik dan tipe dramatik. Selain gerak yang dilahirkan penari dalam karya ini mengenakan kostum tradisi dan kostum tradisi yang telah dimodifikasi sebagai salah satu simbol bahwasanya adat telah memudar oleh perkembangan zaman dan teknologi. Eksplorasi gerak dalam karya ini berpijak pada gerak silek Minangkabau dan digabungkan dengan teknik moderen, serta disesuaikan dengan karakter yang dimiliki oleh pengkarya. Metoda yang digunakan dalam melahirkan karya ini diantaranya, pengumpulan data, eksplorasi gerak, improvisasi, proses koreografi, evaluasi.Kata kunci : Adat, Masyarakat, Moderenisasi
SA PANGAMBE SA PANAILI “SEBUAH KARYA TARI TERINSPIRASI DARI RITUAL MARPANGIR DI KABUPATEN MANDAILING NATAL” Rasmida Rasmida; Sahrul N; Siti Pratiwi Agmaulida Fatrion
Gorga : Jurnal Seni Rupa Vol 10, No 2 (2021): Gorga : Jurnal Seni Rupa
Publisher : Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/gr.v10i2.30064

Abstract

People of Mandailing Natal have a tradition called Marpangir which was done by the ancestors in the ancient time. It is an activity of self-cleaning as a form of welcoming the holy month of Ramadhan. This tradition has several values such as cultural, ethical, religious and social values. Along with the world's development, this ritual has had changes in terms of the way it is done and the ingredients used. Concerns have been raised by researchers regarding the differences of values that appear among the young generations nowadays, which then leads to individualist personnels. These phenomena are interpreted and expressed through publications related. Looking back on the old days, young generations in Mandailing Natal had a strong sense of togetherness and created a saying "Sa Pangambe Sa Panaili". This work of art applies the dramatic type and focuses on the changes of values of Marpangir ritual. The stepping stones are movements of Tor-tor that is available in Mandailing Natal in which they are chosen and developed to suit the message and meaning meant to be delivered. The property used is Parompa Sadun the traditional cloth of Mandailing Natal.Keywords: marpangir, cultural, togetherness, concerns. AbstrakMasyarakat Kabupaten Mandailing Natal memiliki tradisi yang dilakukan nenek moyang pada zaman dahulu salah satunya ritual Marpangir. Marpangir artinya kegiatan membersihkan diri dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Kegiatan Marpangir ini memiliki nilai-nilai, seperti nilai budaya, nilai etika, nilai agama dan nilai sosial. Seiiring berkembangnya zaman ritual Marpangir ini sudah mulai berubah cara melakukan dan bahan yang digunakan. Hal ini menimbulkan keprihatinan pengkarya dalam melihat fenomena pergeseran nilai yang terjadi pada muda-mudi saat ini sehingga berpengaruh terhadap sikap dari muda-mudi yang individualisme. Fenomena ini diinterpretasikan dan diekspresikan melalui karya tentang keprihatinan pengkarya terhadap pergerseran nilai dari ritual Marpangir ini. Padahal dulu muda-mudi di Kabupaten Mandailing Natal memiliki sikap kebersamaan yang kuat sehingga hadir ungkapan “Sa Pangambe Sa Panaili”. Karya ini menggunakan tipe dramatik dan bertema keprihatinan terhadap pergeseran nilai dari ritual Marpangir. Pijakan gerak menggunakan gerak Tor-tor yang ada di Kabupaten Mandailing Natal dan memilih gerakan yang sesuai kemudian dikembangkan agar pesan dan maknanya tersampaikan. Properti yang digunakan yaitu Parompa Sadun (Kain khas Mandailing Natal).Kata Kunci: marpangir, budaya, kebersamaan, keprihatinan. Authors:Rasmida : Institut Seni Indonesia PadangpanjangSahrul N : Institut Seni Indonesia PadangpanjangSiti Pratiwi Agmaulida Fatrion : Institut Seni Indonesia Padangpanjang References:Dharsono. (2016). Kreasi Artistik: Perjumpaan Tradisi Modern Dalam Paradigma Kekaryaan Seni. Yogyakarta: Citra Sain.Efendi, Erwin. (2017). “Sa Pangambe Sa Panaili”. Hasil Wawancara Pribadi: 03 Oktober 2017, Mandailing Natal.Hadi, Y. Sumandiyo. (2003). Mencipta Lewat Tari.Yogyakarta: Manthil.Hasan, Alwi dkk. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi I. Jakarta: Balai Pustaka.Hidajat, Robby. (2008). Pengantar Teori Dan Praktek Menyusun Tari Bagi Guru. Malang: Jurusan Seni & Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.Muslim. (2017). “Sa Pangambe Sa Panaili”. Hasil Wawancara Pribadi: 12 Oktober 2017, Mandailing Natal.Murgiyanto, Sal. (1993). Ketika Cahaya Merah Memudar. Jakarta: CV Deviri Ganan.Sari, Lucky Pesona. (2020). Nelangsa. Padangpanjang: Pascasarjana Institut Seni Indonesia Padangpanjang.Sugianto. (2021). “Pakaian dan Aksesoris”. Hasil Dokumentasi Pribadi: 13 Maret 2021, Panyabungan.
GURIAH LIMPAPEH Intania Ananda Jonisa; Susas Rita Loravianti; Rasmida Rasmida
Gorga : Jurnal Seni Rupa Vol 7, No 2 (2018): Gorga : Jurnal Seni Rupa
Publisher : Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/gr.v7i2.11351

Abstract

AbstrakKarya tari yang berjudul “Guriah Limpapeh” terinspirasi dari kehidupan sosial perempuan Minangkabau yang pengkarya amati di sekeliling pengkarya bersikap dan bertingkah laku tidak sesuai dengan etika idealnya perempuan Minangkabau. Dalam aplikasinya menginterpretasikan bergesernya nilai dan etika perempuan hari ini dan mengungkap nilai yang relevan dengan adat dan budaya Minangkabau. Dalam konsep gerak sebagai media utama tari pengkarya mengembangkan gerak yang relevan dengan konsep garapan, selain itu diperkuat dengan menggunakan drum sebagai properti dan setting. Karya ini digarap dalam tiga bahagian yakni pada bagian pertama menginterpretasikan tentang kehidupan dan aktivitas masyarakat di Kecamatan Matur, bahagian kedua menggambarkan perubahan memori pada dahulu dan zaman sekarang, kemudian bahagian ketiga menginterpretasikan bagaimana pola tingkah laku perempuan yang dalam adat Minangkabau yang disebut Simarewan dan Mambang Tali Awan yang menjadi konflik dalam garapan, sedangkan bagian endingnya adalah mengekspresikan idealnya perempuan Minangkabau yang disebut dengan Parampuan. Karya ini diperkuat dengan musik untuk memperkuat suasana, demikian juga elemen-elemen dan artistik lainnya untuk penampilannya memilih ruang terbuka atau outdoor. Kata Kunci: interpretasi, perempuan, adat MinangkabauAbstractThis work of dance entitled  as "Guriah Limpapeh" which is inspired from the social life of Minangkabau women, that the observed around the worker’s attitude and behaved not in accordance with the ideal ethics of Minangkabau women. In its application interpet the shifting values and ethics of women today and reveal values relevant to the customs and culture of Minangkabau. In the concept of motion as the main medium of the dance the developer develops a motion that is relevant to the concept of arable, besides being strengthened by using drums as property and settings. This work is worked on in three parts, namely in the first part of interpreting the life and activities of the community in the mature sub-district, the second part describes the change of memory in the past and present, then the third part interprets how the female behavior patterns in the Minangkabau tradition called simarewan and mambang tali awan  which becomes conflict in claim while the final part is expressing ideally the Minangkabau women who is called parampuan. This work is strengthened by music to strengthen the atmosphere, as well as other artistic and elements for his appearance in choosing open space or outdoor.Keywords: interpretation, women, adat Minangkabau.
PERMAINAN KIM: KOMPOSISI MUSIK PROGRAMA DALAM FORMAT MUSIK ELEKTRONIK Diandra Ramadhani Alifa; Rasmida Rasmida; Martarosa Martarosa
Melayu Arts and Performance Journal Vol 3, No 2 (2020): Melayu Art and Performance Journal
Publisher : Pascasarjana Institut Seni Indonesia Padang Panjang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26887/mapj.v3i2.1346

Abstract

The KIM game is a traditional Minangkabau game that uses rhymes and numbers. KIM stands for Kesenian Irama Minang (Minang Art Rhythm). The phenomenon that occurs in the current KIM game is the lack of audience awareness of the meaning and message of the rhymes sung by the dendang artis. Departing from this phenomenon, the creator presented a work titled KIM Game: Programa Music Composition in Electronic Music format. The method of creation is carried out with several work groupings: Concept development methods (observation, interviews, data collection and concept formulation) and methods of realizing concepts (exploration, experimentation, and application).Keywords: KIM game; programa music; electronic music. AbstrakPermainan KIM merupakan suatu permainan tradisi Minangkabau yang menggunakan pantun dan angka. KIM tersebut merupakan singkatan dari Kesenian Irama Minang. Fenomena yang terjadi pada permainan KIM saat ini yaitu, kurangnya kesadaran audiens terhadap makna dan pesan dari pantun yang dilantunkan tukang dendang. Berangkat dari fenomena tersebut pengkarya menghadirkan sebuah karya Permainan KIM: Komposisi Musik Programa dalam format Musik Elektronik. Metode penciptaan dilakukan dengan beberapa pengelompokan kerja: Metode pengembangan konsep (observasi, wawancara, pengumpulan data dan perumusan konsep) dan metode mewujudkan konsep (eksplorasi, eksperimentasi, dan aplikasi).Kata kunci: Permainan KIM; Musik Programa; Musik Elektronik.
SALUKO TOK AKE: KOMPOSISI TARI PEREMPUAN SUKU ANAK DALAM ANTARA ADAT DAN EMANSIPASI PEREMPUAN Lucky Pesona Sari; Rasmida Rasmida; Asril Asril
Melayu Arts and Performance Journal Vol 4, No 1 (2021): Melayu Art and Performance Journal
Publisher : Pascasarjana Institut Seni Indonesia Padang Panjang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26887/mapj.v4i1.2066

Abstract

The cultural phenomenon of Suku Anak Dalam especially Saluko or the rules of women in the Suku Anak Dalam, where women in Suku Anak Dalam adhere to the rules that have been built from ancestors despite sacrificing Women's Human Rights (emancipation of women), they still survive and are very obedient against the existing rules, rules for women in the Suku Anak Dalam such as: girls are prohibited from going out to the jungle, are prohibited from bathing with soap, are forbidden to learn how to read and write, may not talk to men except customary holders and their families, prohibited from using cosmetics, for women adolescents wear kemben, adult women wear clothes except when the Tomonggong is at the location of the village, this will be interpreted into a dance composition work that uses a pure type, supported by the cultivation of movements, symbols, expressions, music and artistic in order to become a whole dance composition work set in the background behind the In Sukun Anak Dalam.Keywords: Saluko Tok Ake; Anak Dalam tribe, women's emancipation; dance composition.AbstrakArtikel ini bertujuan untuk membahas fenomena perempuan Suku Anak Dalam di Merangin, Jambi yang terikat dengan aturan adat mereka dalam komposisi tari Saluko Tok Ake. Saluko adalah aturan-aturan adat untuk para perempuan pada Suku Anak Dalam di Merangin, Jambi  yang telah ditetapkan dan diwariskan oleh nenek moyang mereka. Aturan–aturan untuk anak perempuan itu berupa larangan seperti: dilarang keluar rimba, dilarang mandi pakai sabun, dilarang belajar baca tulis, tidak boleh berbicara dengan lelaki kecuali pemangku adat dan keluarga mereka, dilarang memakai kosmetik, dilarang memakai kemben bagi perempuan remaja, perempuan dewasa memakai baju kecuali ketika temenggung berada di lokasi perkampungan hanya memakai kodek ( bawahan ). Mereka tetap bertahan dan sangat patuh terhadap aturan-aturan adat itu. Fenomena  ini  ditafsirkan dalam perspektif emansipasi wanita yang tampak bertolak belakang seperti mengorbankan hak-hak perempuan ke dalam bentuk karya komposisi tari yang memakai tipe murni, didukung dengan penggarapan gerak, simbol, ekspresi, musik dan artistik berlatar belakang SAD.Kata Kunci: Saluko Tok Ake; Suku Anak Dalam; emansipasi wanita; komposisi tari 
PERANCANGAN REBRANDING LOGO TERI BAJAK UNTUK PROMOSI OLEH-OLEH KHAS MEDAN Siti Indah Lestari; Rasmida Rasmida; Syafwandi Syafwandi
PROPORSI : Jurnal Desain, Multimedia dan Industri Kreatif Vol 3, No 1 (2017): PROPORSI November 2017
Publisher : Universitas Potensi Utama

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22303/proporsi.3.1.2017.11-20

Abstract

Penelitian ini bertujuan membuat perancangan desain ulang untuk logo teri bajak Medan. Teri Bajak medan merupakan makanan berbahan dasar teri yang telah ada sejak tahun 2013 yang terjaga kualitas dan cita rasanya sampai saat ini, sebagai oleh-oleh yang khas di Kota Medan teri bajak sendiri memiliki rangkaian rasa pedas yang sangat khas. Teri bajak ini kurang di kenal masyarakat, hal ini dapat diketahui dari sedikitnya jumlah pengunjung, sebab yang mungkin terjadi adalah belum banyaknya masyarakat yang tidak tahu serta belum adanya identitas yang jelas seperti logo yang sesuai dengan keberadaan teri bajak sebagai oleh-oleh khas Kota Medan untuk menarik wisatawan yang berkunjung ke Kota Medan serta semakin banyaknya oleh-oleh khas Medan yang berkembang seperti cake dan lain-lain yang diolah public figure yang membuat daya beli teri bajak semakin menurun, dengan itu dilakukan rebranding logo yang mencirikan Kota Medan sebagai strategi untuk menarik pelanggan dan wisatawan yang berkunjung ke Kota Medan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif serta analisis SWOT sebagai metode untuk menganalisis data. Diharap dengan adanya identitas yang jelas dapat mendorong keinginan masyarakat dan wisatawan untuk berkunjung.
PACU ITIAK DALAM FOTOGRAFI ESAI DENGAN PENDEKATAN EDFAT Taufik Imran; Rasmida Rasmida; Andar Indra Sastra
Gorga : Jurnal Seni Rupa Vol 11, No 2 (2022): Gorga : Jurnal Seni Rupa
Publisher : Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24114/gr.v11i2.35265

Abstract

Nagari Ampangan in Payakumbuh has a tradition of racing ducks which is the only race in the world. This tradition provides a kind of education about cultural values such as the value of honesty, competition, competition, harmony, mutual cooperation, entertainment and these values are appropriate and must be preserved. Media photography is one way to find out information about the duck race, with a photography essay that will present the charm of the ducks in the racing arena on the highway. The EDFAT method is one of the methods used in creating this journalistic photography visual. The results of the photography capture the various interactions of the players and visitors which are one of the activities and moments during the implementation of the duck race. So that the complex activities of the pacu itiak are presented  with photo works of the charm of the spur itiak. Keywords: pacu itiak, fotografer, esai, EDFAT. AbstrakNagari Ampangan di Payakumbuh memiliki tradisi pacu itiak yang merupakan satu-satunya pacuan yang ada di dunia. Tradisi ini memberikan semacam edukasi tentang nilai-nilai budaya seperti nilai kejujuran, perjuangan, persaingan, harmonis, gotong-royong,  hiburan dan nilai-nilai ini patut dan harus dilestarikan. Media fotografi salah satu cara mengetahu informasi tentang pacu itiak, dengan fotografi esai yang akan menghadirkan pesona itiak dalam gelangang pacuan di jalan raya. Metode EDFAT salah satu  metode yang digunakan dalam penciptaan visual fotografi jurnalistik ini. Hasil fotografi mengabadikan bebagai interaksi para pemain dan pengunjung yang menjadi salah satu  aktivitas dan momen ketika dalam pelaksaan pacu itiak. Sehingga kompleksnya kegiatan pacu itiak disajikan dengan karya foto pesona pacu itiak. Kata Kunci:pacu itiak , fotografer, esai, EDFAT. Authors:Taufik Imran : Institut Seni Indonesia PadangpanjangRasmida : Institut Seni Indonesia PadangpanjangAndar Indra Sastra : Institut Seni Indonesia Padangpanjang References:Arsola, P., Rafiloza, R., & Sahrul, N. Pacu Itiak Sebagai Sumber Penciptaan Komposisi “SRIPANGGUNG”. Grenek Music Journal, 10(2), 1-16.Berutu, D. I., & Isnaini, D. (2012). Analisis Foto Jurnalistik Mengenai Kerusuhan di Mesuji Lampung pada Harian Kompas. Jurnal. Universitas Sumatera Utara.Danandjaja, J. (2015). Bab V Cerita Rakyat dan Pembangunan Kalimantan Tengah: Merekonstruksi Nilai Budaya Orang Dayak Ngaju dan Ot Danum Melalui Cerita Rakyat Mereka. Metodologi Kajian Tradisi Lisan (Edisi Revisi) , 79.Koentjaraningrat, L. (1987). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta.Kurnianto, A. D. (2012). TA: Pembuatan Buku Esai Fotografi Tari Pendet Sebagai Media Promosi Warisan Budaya Bali (Doctoral dissertation, STIKOM Surabaya).McCurry, S. (2013). Steve McCurry Untold. The Stories Behind the Photographs. USA: Phaidon Press.Soedjono, Soeprapto. (2006). Pot Pourri Fotografi. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.Purnama, F., & Nurman, N. (2018). Tradisi Pacu Itiak dalam Melestarikan Nilai-Nilai Budaya di Payakumbuh. Journal of Civic Education, 1(2), 174-180.Putra, I. P. D. A. (2021) Penguatan Penguasaan Kompetensi Fotografi, Videografi dan Tata Kelola Media Sosial pada POKDARWIS Pemanis Heritage, Desa Wisata Biaung, Tabanan, Bali. Gorga: Jurnal Seni Rupa, 10(2), 530-540.Sastra, A. I., Sriwulan, W., Caniago, E., MUCHTAR, A., & Haris, A. S. (2021). Lareh Koto Piliang: Systems of Governmental Power and Bronze Music in the Study of the Concept of Musical Aesthetics in Luhak Nan Tigo Minangkabau. Music Scholarship/Problemy Muzykal'noi Nauki, (2).