Mardiya, Nuzul Qur’aini
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Implikasi dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/Puu-X/2012 tentang SbI atau RSbI Laksono, Fajar; Wijayanti, Winda; Triningsih, Anna; Mardiya, Nuzul Qur’aini
Jurnal Konstitusi Vol 10, No 4 (2013)
Publisher : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (680.008 KB) | DOI: 10.31078/jk%x

Abstract

Constitutional Court Decision No. 5/PUU-X/2012 is very important and interesting to be studied because due to its implications and implementation. Ministry of Education and Culture as the addressat of the decision make transitional policy regarding on how to eliminate the policy concenring International Standard School/ International-Standard School Pilot Project (SBI/RSBI). In fact, transitional policy  is not addressed and does not have a legal basis in the implementation of the decision. There is a conflict between the normative provisions that Constitutional Court Decision are binding since   pronounced in an open session for the public   with the certainty of  cross-state agency collaborative cooperation to implement  the Court Decision. Therefore, there’s a need to investigate this Decision at the practical leve on how the decision is implemented. This research is doctrinal in which the object of the research is laws and regulations and other legal materials, in this case, the Constitutional Court Decision No. 5/PUU-X/2012. In addition, field studies are also conducted by way of searching mass media news which is important to be done in order to know the response of the public on how to implement the Constitutional Court Decision No. 5/PUU-X/2012.  The  results  showed  that  (1)  the implications of the Constitutional Court Decision No. 5/PUU-X/2012 is that it eliminates the legal basis of RSBI policy. Consequently , the implementation of SBI/ RSBI should be stopped because it has lost its legal basis since the judgment is pronounced. In addition, the Government through the Ministry of Education and Culture, shall implement the decision, including to repeal or revise the technical regulations that become legal framework of RSBI, (2) The implementation of the Constitutional Court Decision No. 5/PUU-X/2012 can be seen in two categories, namely: (a) spontaneous implementation, which is implementation by some education authorities and the schools themselves by removing the attributes of SBI/RSBI shortly after the Constitutional Court’s decision was pronounced, without waiting for further instruction by Ministry of Education and Culture, and (b) a structured implementation through the Ministry of Education and Culture by issuing Circular of Minister of Education and Culture No. 017/MPK/SE/2013 about RSBI Transition Policy. Although this policy is contrary to normative-imperative provisions, the measure taken by the Ministry of Education and Culture to establish a transition policy is the most probable step taken in order that the Constitutional Court Decision No. 5/PUU-X/2012 can be implemented as it should be.
Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Bingkai Demokrasi Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (Studi Kasus Pengisian Jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) Laksono, Fajar; Kasim, Helmi; Kurniawan, Nallom; Mardiya, Nuzul Qur’aini; Ramdan, Ajie; Rachmatika, Siswantana Putri
Jurnal Konstitusi Vol 8, No 6 (2011)
Publisher : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (336.969 KB) | DOI: 10.31078/jk%x

Abstract

Status keistimewaan Provinsi DIY dalam kurun waktu sekian lama lebih sering diinterpretasikan sebagai istimewa dalam hal wilayah yang dulunya berbentuk kerajaan, istimewa dalam pemimpin yaitu dipimpin dwi tunggal dari lingkungan Kasultanan dan Pakualaman, dan istimewa dalam sistem pemerintahannya yang hierarkis patrimonial. Apabila dikelompokkan, pemaknaan keistimewaan Provinsi DIY setidaknya terbelah menjadi 2 (dua) yakni pihak yang pro-pemilihan  dan  pro-penetapan.  Penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur dan Sri Paku Alam sebagai Wakil Gubernur Provinsi DIY tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi menurut UUD 1945 karena dalam Pembukaan UUD 1945, para penyusun UUD 1945 sepakat untuk mengadaptasikan bentuk dan model demokrasi yang sesuai dengan budaya dan corak masyarakat Indonesia yakni demokrasi permusyawaratan berdasar kekeluargaan. Artinya, masyarakat DIY berhak bermufakat secara kekeluargaan mengenai mekanisme yang ingin dipraktikkan, sepanjang mekanisme tersebut dipandang demokratis, dalam arti tidak bertentangan dengan gagasan demokrasi permusyawaratan serta tidak mengabaikan hakikat keistimewaan DIY, termasuk melalui mekanisme penetapan. Dalam hal menentukan kepala daerah DIY, para pengubah UUD 1945  tidak memaknai demokrasi hanya melalui mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat atau oleh DPRD, melainkan membuka mekanisme lain di luar itu sepanjang mekanisme tersebut dianggap demokratis dan mendapatkan payung hukum dari undang- undang.
Penerapan Hukuman Kebiri Kimia Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Mardiya, Nuzul Qur’aini
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 1 (2017)
Publisher : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (454.318 KB) | DOI: 10.31078/jk14110

Abstract

Kejahatan kekerasan seksual di Indonesia mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual sebagaimana tercantum dalam KUHP dan UU Perlindungan Anak dianggap belum efektif sehingga Pemerintah menerbitkan UU Nomor 17 Tahun 2016 yang menerapkan pemberatan sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual diantaranya dengan memberlakukan kebiri secara kimiawi. Penerapan kebiri secara kimiawi ini menimbulkan pro kontra di masyarakat terkait efektifitasnya dan pemberlakuannya yang dianggap melanggar hak asasi manusia sebagaimana termuat dalam UUD 1945, Konvensi Internasional ICCPR dan CAT yang telah diratifikasi oleh Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Namun, terlepas dari adanya pro kontra tersebut, seyogianya Pemerintah perlu menyiapkan sumber daya manusia, sarana prasarana, dan peraturan pelaksananya agar aturan ini dapat diberlakukan secara efektif, efisien, dan tepat sasaran guna mengurangi peningkatan jumlah kekerasan seksual dan timbulnya kejahatan yang berulang.Sexual offenders in Indonesia increased every year. Criminal punishment for the sexual offender as set forth in Penal Code and Children Protection Act is considered not effective so that the government had issued Law Number 17 Year 2016 that applied punishment for a sexual offender by imposing chemically castrated. Implementation of chemical castration raises pro and contra opinion in the society about its enactment effectiveness and also considered as a violation of human rights as is contained in 1945 Constitution, International Convention ICCPR and CAT which it has already ratified by Indonesia, and Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights. Despite the presence of pro and contra opinion, the government should pay attention to the needs additional human resources, infrastructures to carries out this task, and regulations so this can be implemented effectively and efficiently in order to reduce numbers of sexual offenders.
Interpretasi Lembaga Negara dan Sengketa Lembaga Negara dalam Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Triningsih, Anna; Mardiya, Nuzul Qur’aini
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 4 (2017)
Publisher : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (400.917 KB) | DOI: 10.31078/jk1444

Abstract

Tulisan ini membahas mengenai penyelesaian sengketa kewenangan antarlembaga negara oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam penyelesaian sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara itu terdapat 2 (dua) hal penting yang harus dieksplorasi yaitu soal konsepsi lembaga negara dan kewenangan konstitusional. Guna memahami lembaga negara terlebih dahulu harus melakukan pengelompokan berdasarkan landasan yuridis pembentukannya. Berdasarkan pembentukannya lembaga negara dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Keppres, UU, dan UUD. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006 tanggal 12 Juli 2006 telah merumuskan kata “lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar” dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dengan menggunakan penafsiran gramatika (grammatische interpretatie). Menurut Mahkamah Konstitusi, dalam menentukan subjectum litis atau objectum litis perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945 maka ditentukan terlebih dahulu kewenangan-kewenangan yang diberikan dalam Undang-Undang Dasar dan baru kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut diberikan.This article is about settlement disputes between authorities of state institutions by the Constitutional Court of Indonesia. In the resolution of disputes between the state institutions there are 2 (two) important things that must be explored, the conception of constitutional state institutions and authority. To understand state institutions once must be done is grouping by the juridical of its formation. Based on its juridical formation state institutions can be grouped into 3 (three), that is institutions formed based on the presidential decree, law, and the constitution. The verdict of The Constitutional Court No 004/SKLN-IV/2006 dated 12 July 2006, Constitutional Court has formulated “state institutions under the authority granted by the constitution” regarding Article 24C Paragraph (1) of the 1945 Constitution by using grammatical interpretation (grammatische interpretatie). According to The Constitutional Court, in order to determine subjectum litis or objectum litis in settlement disputes of authorities of state institutions cases that authority granted by 1945 Constitution, ones must be considered is the existence of certain authorities in the Constitution and then to which institutions those authorities are given.