cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Bina Mulia Hukum
ISSN : 25287273     EISSN : 25409034     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Bina Mulia Hukum (JBMH) adalah jurnal ilmu hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, terbit secara berkala setiap tahunnya pada bulan Maret dan September. Artikel yang dimuat pada Jurnal Bina Mulia Hukum adalah artikel Ilmiah yang berisi tulisan dari hasil penelitian dan kajian analitis kritis di bidang hukum.
Arjuna Subject : -
Articles 11 Documents
Search results for , issue "Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 1 September 2018" : 11 Documents clear
QUO VADIS MALPRAKTIK PROFESI DOKTER DALAM BUDAYA HUKUM INDONESIA Veronica Komalawati
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 1 September 2018
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Profesi sebagai “moral community” memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Menolong dan menyelamatkan adalah cita dan nilai yang diharapkan dapat diwujudkan oleh profesi dokter. Kemurnian niat, keluhuran budi, dan kerendahan hati adalah tiga pilar yang menopang kinerja profesi dokter sebagai profesi mulia. Kepercayaan, saling menghormati, dan komunikasi merupakan esensi hubungan dokter dan pasien. Hukum sebagai institusi moral bertumpu pada perilaku manusia yang baik, namun dalam praktik dapat terjadi suatu tindakan Malpraktik. Malpraktik medis adalah kelalaian yang dilakukan dokter akibat ketidakcermatan dan kurang hati-hati dalam menjalankan profesi. Tuntutan malpraktik adalah pengejewantahan erosi kepercayaan pasien terhadap kinerja dokter selaku pengemban profesi mulia. Artikel ini membahas tentang qua vadis malpraktik profesi dokter. Disimpulkan bahwa pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran serta komersialisasi pelayanan kesehatan mengakibatkan terjadinya erosi hubungan kepercayaan antara dokter dan pasien. Maraknya tuntutan malpraktik memicu munculnya defensive medicine sebagai mekanisme pertahanan diri dokter agar terhindar dari risiko tuntutan, dengan memanfaatkan isu kemajuan iptek untuk melakukan pemeriksaan secara berlebihan maupun merujuk pasien ke fasilitas lain yang lebih canggih. Kata kunci: hukum; malpraktik; profesi dokter. ABSTRACT A profession as a “moral community” has common ideas and values. Helping and saving are the ideals and the values that are expected to be realized by the medical professional. A pure will, nobility, and humility are the three pillars which build the medical profession as a noble profession. Trust, mutual respect, and communication are the essence of the doctors-patients relationship. In this case, law as a moral institution rests on good human behavior is to prevent medical malpractices which are commonly occurring. Medical malpractice is negligence carried out by doctors due to inaccuracy and inadvertent conduct. Malpractice suits arrises as the manifestation of eroding patients’ trust in the doctor’s performance. This article discusses the Quo Vadis of professional medical malpractice. The conclusion of this research is that the rapid development of medical science and technology and the health services commercialization resulted in the erosion of the trust relationship between doctors and patients. The rising number of malpractice cases triggers the emergence of defensive medicine as a doctor’s self-defense mechanism to avoid the prosecution risk. This is done by utilizing the issue of science and technology development to conduct excessive checks or refer patients to other more sophisticated facilities. Keywords: doctor profession; law; medical malpractice.
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA WANITA UNTUK MEMPEROLEH HAK-HAK PEKERJA DIKAITKAN DENGAN KESEHATAN REPRODUKSI Mulyani Djakaria
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 1 September 2018
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Masalah ketenagakerjaan sampai saat ini masih menjadi sorotan. Kurangnya jaminan keselamatan, kesehatan, dan hak-hak reproduksi bagi tenaga kerja wanita merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya berbagai permasalahan dalam bidang ketenagakerjaan. Tenaga kerja sebagai pekerja di perusahaan masih saja mendapat perlakuan yang diskriminatif dari pengusaha, hal ini yang menimbulkan hak-hak yang seharusnya diterima oleh tenaga kerja wanita seperti perlindungan terhadap keselamatan, kesehatan dan hak-hak reproduksi tenaga kerja wanita tidak diberikan sepenuhnya. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif untuk melihat perlindungan hukum terhadap keselamatan, kesehatan dan hak-hak reproduksi pekerja wanita dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan terhadap keselamatan, kesehatan, dan hak-hak reproduksi bagi tenaga wanita. Hasil menunjukkan bahwa Perlindungan hukum terhadap keselamatan, kesehatan dan hak-hak reproduksi dalam pelaksanannya secara umum sebagian sudah sesuai, misalnya jaminan sosial secara umum telah diberikan kepada tenaga kerja wanita, tetapi ada sebagian yang belum sesuai misalnya, cuti haid, cuti hamil. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan terhadap keselamatan, kesehatan, dan hak-hak reproduksi tenaga kerja wanita, dari pihak pemerintah yaitu lemahnya pengawasan, dari pihak pengusaha sering melanggar peraturan demi keuntungan pengusaha, dari pihak tenaga kerja wanita yaitu kurang paham terhadap peraturan perundangan ketika terjadi pelenggaran hak-haknya sebagai pekerja. Kata kunci: pekerja wanita; perlindungan hukum; reproduksi. ABSTRACT Employment problem is still in the spotlight. Lack of warranty of safety, health, and reproductive rights received by female workers was one factor contributting to the problems in the employment field. Female workers as wokers in the company still gets the discriminatory treatment from the employer which cause the rights that should be accepted by the female workers as a protection of safety, heatlh and reprodutive rights of women workers are not given in full. The research method used is normative juridical to see the legal protection of the safety, health and reproductive rights of female workers and the obstacles faced in implementing protection against safety, health, and reproductive rights for female workers. The results show that legal protection for safety, health and reproductive rights in general implementation is partly appropriate, for example social security in general has been given to female workers, but there are some item are not suitable for example, menstruation leave, maternity leave. Constraints faced in the implementation of protection against safety, health, and reproductive rights of female workers, from the government, namely weak supervision, from the employer often violate the rules for the benefit of employers, from the female labor force that is lack of understanding of legislation when it occurs release of his rights as a worker. Keywords: female workers; legal protection; reproductive.
KEDUDUKAN HUKUM KREDITUR BARU PENERIMA PENGALIHAN PIUTANG TANPA PERSETUJUAN AGEN DAN PESERTA SINDIKASI LAINNYA Huriah Raih Cita; Lastuti Abubakar; Etty Mulyati
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 1 September 2018
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Kredit sindikasi merupakan alternatif pembiayaan skala besar yang digunakan dalam praktik perbankan untuk menaati ketentuan hukum perbankan tentang batas maksimum pemberian kredit, manajemen risiko dan tingkat kesehatan bank. Kekhususan kredit sindikasi yaitu: adanya beberapa bank yang secara bersama-sama bertindak sebagai kreditur terhadap satu debitur, dan hubungan hukum antara mereka dilakukan melalui agen. Pengalihan piutang (cessie) dalam kredit sindikasi dapat dilakukan terhadap perjanjian kredit sindikasi yang bersifat dapat dialihkan, sesuai ketentuan Pasal 613 KUHPerdata. Perjanjian kredit sindikasi umumnya mensyaratkan persetujuan agen dan peserta sindikasi lainnya dalam pengalihan piutang karena adanya kompleksitas hubungan hukum para pihak. Masalah timbul karena pengalihan piutang oleh HSBC kepada Langdale Profits Limited dinyatakan tidak sah karena dilakukan tanpa persetujuan agen dan peserta sindikasi lainnya sesuai ketentuan perjanjian, sebagaimana dimuat dalam Putusan PN Cilacap No. 41/Pdt.G/2012/PN.Clp. dan Putusan MA No. 1345 K/Pdt/2015. Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan syarat-syarat penentu keabsahan pengalihan piutang dan menjelaskan kedudukan hukum kreditur baru. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitis dengan metode pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalihan piutang yang dilakukan tanpa kewenangan mengakibatkan akta cessie menjadi dapat dibatalkan, yang berdampak pada kedudukan hukum kreditur baru. Kreditur baru yang beritikad baik dapat dilindungi secara represif dan kerugiannya dibebankan kepada pihak yang bersalah. Kata kunci: kredit sindikasi; kedudukan hukum kreditur; pengalihan piutang. ABSTRACT Syndicated credit is a large scale financing alternative which has been applied in banking practices following the banking regulations regarding legal lending limit, risk management, and bank health rate. The syndicated credit characteristics are: multiple banks act together as creditor for one debtor, where the legal relation between the parties are conducted by an agent. Loan transfer (cessie) in syndicated credit is executable upon transferrable loan facility, in accordance with Article 613 of The Civil Code. Syndicated credit agreement commonly requires the agent and the other creditors’ consent in a loan transfer due to the complexity of the parties’ legal relations. The issue arised because the loan transfer from HSBC to Langdale Profits Limited was declared unlawful without the consent of the agent and the other creditors as required in the agreement, according to the Verdict of Cilacap Regional Court No. 41/Pdt.G/2012/PN.Clp. and the Verdict of Supreme Court No. 1345 K/Pdt/2015. The purpose of this research is to convey the determining requirements for loan transfer and to explain the legal standing of the new creditor. This research uses descriptive analytical method and normative juridical approach. The results reveal that the loan transfer conducted without the legal capacity will make the cessie agreement voidable, which impacts the legal standing of the new creditor. The new creditor acted upon good faith can be protected repressively with the damages imposed upon the guilty party. Keywords: legal standing of creditor; loan transfer syndicated credit.
PEMBENTUKAN PRINSIP JURISDICTION TO PREVENT (PRE-EMPTIVE JURISDICTION) DAN PRINSIP PERLINDUNGAN AKTIF DALAM HUKUM SIBER Purna Cita Nugraha
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 1 September 2018
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Ruang siber telah mengubah cara masyarakat dalam berkomunikasi dan berinteraksi tanpa dibatasi oleh batas-batas negara. Dengan karakteristiknya yang transnasional, hingga saat ini masih sulit menemukan kesepahaman internasional dalam konsep pengaturan yang sesuai. Belum terdapatnya rezim internasional yang mengatur hal ini mengakibatkan munculnya ketidakpastian hukum dalam tataran pengaturan internasional dan nasional. Dalam rangka untuk mencari konsep yang sesuai dan tepat waktu untuk mengatur dunia maya yang menghadapi berbagai tantangan dan hambatan terkait dengan yurisdiksi antar negara, Lex Informatica telah memberikan para pembuat kebijakan suatu opsi dengan pengaturan teknis melalui teknologi yang dapat melampaui batas-batas masing-masing negara (ekstrateritorial). Kombinasi rezim hukum dan Lex Informatica akan menghasilkan prinsip-prinsip baru dalam mengatur dunia maya, seperti Prinsip Yurisdiksi untuk Mencegah dan Prinsip Perlindungan Aktif. Prinsip jurisdiction to prevent (pre-emptive jurisdiction) dan prinsip perlindungan aktif merupakan prinsip hukum utama yang dapat digunakan untuk mendukung konsepsi kedaulatan negara guna membentuk rezim extraterritorial juridiction dalam cyberlaw di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif yang menitikberatkan penelitian pada ketentuan hukum yang berlaku. Penulis juga menggunakan metode pendekatan yuridis futuristik (hukum yang akan datang). Kata kunci: lex informatica; prinsip; ruang siber. ABSTRACT Cyberspace has changed the way society interacts and communicates to each other withour border. Because of its transnational characteristics, up until today, it is still difficult to find international agremeent on the right and proper instrument to regulate cyberspace. The legal gap caused by the absence of international legal regime will in fact produce a legal uncertainty in the context of international and national regulation. In order to find the appropriate and timely concept to regulate cyberspace which are facing now multifacet challanges and obstacles regarding jurisdiction among States, the Lex Informatica has provided policy makers with technical arrangements through technology that can reach beyond each States’ borders (extraterritorial). The combination of legal regime and the Lex Informatica will produce new principles in regulating cyberspace, such as the Principle of Jurisdiction to Prevent and the Principle of Active Protection. The Principle of Jurisdiction to Prevent and the Principle of Active Protection will become the main principles in supporting the concept of the state sovereignty in developing extraterritorial jurisdiction regime for cyberlaw in Indonesia. This researh is considered as a legal research focussing on examining existing rules and regulations and also considers legal futuristic research in nature in trying to find which legal instrument should be developed in the future”. Keywords: cyberspace; lex informatica; principle.
PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK SERTA TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI KEJAHATAN TRANSNASIONAL TERORGANISIR BERDASARKAN KONVENSI PALERMO Maria Efita Ayu; Sherlu Ayuna Putri
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 1 September 2018
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Kejahatan terorganisir dalam perdagangan perempuan dan anak yang bersifat transnasional merupakan kejahatan yang serius dan berdampak luas bahkan dapat digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana telah ditegaskan dalam Statuta Roma (1998) yang mengatur pengadilan tetap pidana internasional (International Criminal Court). Sasaran ketentuan dalam protokol ll tersebut adalah organisasi kejahatan yang berada di balik perdagangan perempuan dan anak yaitu dengan menghukum para pelakunya dan melindungi korban-korbannya yaitu perempuan dan anak. Di dalam Konvensi Palermo 2000 ditegaskan mengenai tujuan pokok untuk meningkatkan dan memperkuat kerja sama antara negara pihak dalam rangka mencegah dan memberantas kelima jenis kejahatan yang ada dalam konvensi tersebut. Tulisan merupakan hasil penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji dan meneliti data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, dan kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah mengenai perdagangan perempuan dan anak. Konvensi Palermo (2000) merupakan suatu terobosan bagi dunia internasional, khususnya negara-negara anggota PBB untuk secara efektif dan efisien mencegah dan memberantas kejahatan terorganisasi transnasional. Terobosan tersebut dapat dilihat dalam kesepakatan mengenai definisi kelompok terorganisasi (criminal group) dan ruang lingkup dari kejahatan transnasional. Kata kunci: kejahatan terorganisir; korupsi; perdagangan perempuan dan anak. ABSTRACT Organized crime in the transnational trafficking of women and children is a serious and far-reaching crime and can even be classified as crimes against humanity as stated in the Rome Statute (1998) which regulates the permanent international criminal court. The objective of the provisions in protocol II is the criminal organization behind the trafficking of women and children, namely by punishing the perpetrators and protecting their victims, namely women and children. In the Palermo Convention2000) it is emphasized that the main objective is to enhance and strengthen cooperation between states parties in preventing and eradicating the five types of crimes which are the jurisdiction of the convention. This paper is the result of a research useing normative juridical approach by reviewing, and examining secondary data in the form of legislation, legal principles, and cases relating to the problem regarding to the trafficking of women and children. Further in Article 3 subparagraph (a) Appendix II of the Palermo Trafficking Protocol (2000), describes the definition of human trafficking in more detail. The problem regarding corruption acts can no longer be classified as ordinary crimes but has become an extraordinary crime. Keywords: corruption; organized crime; trafficking.
ASPEK VIKTIMOLOGI DALAM PENYUSUNAN SURAT DAKWAAN PADA PENANGANAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL Lasma Natalia
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 1 September 2018
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Aspek korban masih jarang untuk menjadi perhatian dalam penangan kasus di Indonesia. Salah satunya dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap korban perempuan. Penanganan kasus pidana terhadap korban kekerasan seksual masih sangat minim dengan menggunakan perspektif viktimologi. Salah satu faktor penyebabnya adalah sistem peradilan pidana di Indonesia yang masih berfokus kepada pelaku. Hal itu tercermin dalam proses penyusunan dakwaan oleh jaksa. Dalam tulisan ini, penulis akan mengkaji bagaimana aspek korban dalam penyusunan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum dalam kasus kekerasan seksual dan sejauh mana mekanisme penanganan perkara yang dilakukan oleh jaksa telah memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual. Tulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menginventarisasi, mengkaji, dan meneliti data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, dan kasus-kasus yang berkaitan dengan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Hasil analisa dari tulisan ini, penulis menyarankan penting adanya suatu pengaturan dalam sistem peradilan pidana yang mengatur tentang hak-hak korban dan mekanisme yang melibatkan korban dalam proses penanganan kasus kekerasan seksual. Selain itu, sebelum adanya pengaturan khusus yang mengatur tentang pelibatan yang memperhatikan korban, hal tersebut dapat dimulai dengan mengubah perspektif dan tindakan oleh jaksa dalam memandang kepentingan korban, serta jaksa juga bisa menerapkan pasal 98 KUHAP yaitu penggabungan perkara pidana dan perdata. Kata kunci: jaksa; kekerasan seksual; korban. ABSTRACT The victims aspect is still lacking in criminal proceedings in Indonesia. For example is happened in the process sexual violence against female case. The criminal proceeding of sexual violence case is very minimal by using a victimology perspective. It happen because the criminal justice system in Indonesia still focused on the perpetrators. This is reflected in how the prosecutor’s process compiled the indictment. The case mechanisms carried out by prosecutors also do not fulfill the rights of victims of sexual violence. In this paper, the author will specifically examine the aspects of victims in the preparation of indictments by public prosecutors in cases of sexual violence and the extent to which case handling mechanisms carried out by prosecutors have fulfilled the rights of victims of sexual violence. This paper will use a normative juridical approach by inventorying, reviewing, and examining secondary data in the form of legislation, legal principles, and cases relating to the problem that the author will review, which is related to handling cases of sexual violence against women. The results of the analysis of this paper, the authors suggest that the criminal justice system in Indonesia shall regulates the rights of victims and mechanisms that involve victims in the criminal process, because the existing arrangements cannot accommodate victims’ rights. In addition, it also can be started by changing perspectives and actions by prosecutors in viewing victims as those who have interests and prosecutors can also apply them through article 98 of the Criminal Procedure Code which is a merger of cases criminal law and civil law. Keywords: prosecutor; sexual violence; victim.
KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UNDANG-UNDANG ADMNISTRASI PEMERINTAHAN Dola Riza
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 1 September 2018
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK KTUN sebagai objek sengketa di PTUN telah diatur dalam UU PTUN termasuk prosedurnya. Setelah diundangkannya UU AP, KTUN dan prosedurnya ini juga turut diatur dalam UU AP, namun terdapat perbedaan dalam pengaturan terhadap hakikat keputusan dan prosedurnya. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi dokumen dengan teknik analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pengaturan terhadap 3 aspek yang diatur dalam UU PTUN dan UU AP, yaitu pertama pengaturan terhadap hakikat KTUN, kedua pengaturan terhadap status permohonan yang didiamkan oleh Badan dan/atau Pejabat TUN, ketiga pengaturan terhadap pengajuan gugatan yang melalui upaya administratif berupa banding. Meskipun terdapat perbedaan, pengaturan untuk hukum materil berpedoman kepada UU Administrasi Pemerintahan dan hukum formil tetap berpedoman kepada UU PTUN. Implikasi dari Pengaturan terhadap hakikat KTUN dalam UU PTUN dan UU AP adalah terjadinya perluasan kriteria KTUN dan perluasan kewenangan PTUN. Kata kunci: administrasi pemerintahan; keputusan TUN; sengketa. ABSTRACT Decision of State Administration as the object of dispute in the state administrative court has been regulated in the statutory administrative law of the state including its procedures. After the promulgation of the law of the Government Administration, The state administrative decisions and procedures are also governed by the laws of the Government Administration. but there are differences in the arrangement of the nature of decisions and procedures. Type of research used is normative legal research with used is approach to legislation and conceptual approaches. The legal material used is primary, secondary and tertiary legal materials. The technique of collecting the legal material used is study documents with used qualitative analysis techniques. Based on the results of the study can be concluded that 1). there are different settings against the 3 aspects set forth in laws of state administrative courts and government administration laws that is, the first is the regulation of the nature of the state administrative decisions, the second is the regulation of the status of the government’s silenced petition, third is the arrangement of a lawsuit filed through an administrative appeal in the form of an appeal, Although there are differences, arrangements for material law are guided by the laws of the Government Administration and formal law remains guided by the state administrative court law. 2). Implications of Arrangements on the nature of state administrative decisions in state administrative justice laws and Government Administration laws are the occurrence of expansion of the criteria of state administrative decisions and expansion of the authority of the state administrative court. Keywords: goverment administration; decision of state administration; dispute.
TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA SISTEM ONLINE PAYMENT POINT BANK Lukmanul Hakim
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 1 September 2018
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Salah satu produk yang diterapkan oleh lembaga perbankan adalah adanya sistem payment secara online. Dalam sistem payment online point, bank berfungsi sebagai lembaga penyedia jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kedudukan hukum konsumen/nasabah sistem payment yang menggunakan jasa perbankan dalam melakukan tagihan pembayaran kepada pelaku usaha. Peraturan perundang-undangan, khususnya di bidang perbankan maupun peraturan di bidang perlindungan konsumen telah mengatur secara jelas tentang perlindungan terhadap hak-hak para konsumen/pelanggan yang terlibat dalam sistem payment online bank, khususnya dalam hal terjadinya keluhan terhadap pihak bank maupun nasabah pengguna. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara yuridis normatif. Dalam penelitian ini, ada dua pendekatan pokok yang digunakan yaitu: Pendekatan Perundang-undangan (statute approach), serta Pendekatan Konsep (conceptual approach). Penelitian hukum normatif didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif. Perlindungan hukum terhadap konsumen yang telah menggunakan jasa perbankan yang menggunakan Sistem Online Payment Point dapat dilihat dalam POJK Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dimana dalam POJK tersebut tertuang perlindungan hukum kepada nasabah pengguna jasa perbankan yang melindungi nasabah dalam menggunakan produk dan jasa perbankan khususnya dalam sistem pembayaran yang menggunakan sistem online dalam perkembangan teknologi saat ini. Kata kunci: bank; hukum; konsumen; payment; perlindungan. ABSTRACT One of the product used by banking institutions is online payment system. In the online point payment system, the bank becomes service provider under a payment traffic. Legal standing of the consumer in such customer payment system is the user of banking services in billing payments to business actors. Laws and regulations, especially in the banking sector and regulations in the field of consumer protection, have clearly regulated the protection of the rights of consumers or customers involved in the bank’s online payment system, especially in the presence of complaints against the bank. The method used in this study is a normative juridical method. There are two main approaches that are used in this research, namely: Legislation, and Concept Approach. Normative legal research is based on secondary data and emphasizes speculative-theoretical steps and normative-qualitative analysis. Legal protection for consumers who have used banking services in the Online Payment Point system can be seen in the Financial Services Authority Regulation Number 1 of 2013 concerning Consumer Protection in the Financial Services Sector where legal protection is provided to customers who use banking services that protect customers in using banking products and services especially in payment systems. Keywords: bank; costumer; law; payment; protection.
CROSS-BORDER BUSINESS COMPETITION: KEABSAHAN DAN HAMBATAN PENERAPAN PRINSIP EKSTRATERITORIAL DALAM PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA Irma Ambarini Darmawan; Isis Ikhwansyah; Pupung Faisal
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 1 September 2018
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Peningkatan aktivitas perdagangan lintas batas negara mengantarkan Indonesia pada ekonomi internasional yang terintegrasi. Perkembangan tersebut menghadirkan tantangan bagi sistem hukum persaingan usaha sebab kegiatan usaha tidak lagi hanya melibatkan perorangan atau badan usaha yang berkedudukan di satu negara saja. Pendefinisan “Pelaku Usaha” dalam UU No. 5 Tahun 1999, sebagai perorangan atau badan usaha yang berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Indonesia, belum memproyeksikan perkembangan demikian. Namun dalam beberapa perkara, KPPU telah menjatuhkan sanksi yang bersifat ekstrateritorial, yakni kepada pelaku usaha dan perbuatan di luar wilayah Indonesia. Sebagai bagian dari penelitian yuridis normatif, artikel ini membahas mengenai keabsahan penerapan prinsip ekstrateritorial persaingan usaha di Indonesia serta hambatan hukum dan implikasinya terhadap pelaksanaan putusan persaingan usaha yang bersifat ekstrateritorial. Disimpulkan bahwa prinsip ekstrateritorial persaingan usaha tidak dapat diterapkan di Indonesia karena definisi Pelaku Usaha dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak dapat menjangkau aktor dan perbuatan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia sekalipun menimbulkan dampak persaingan usaha tidak sehat di Indonesia. Implikasi dari hambatan hukum yang muncul, antara lain: Pertama, tidak dapat dijatuhkannya sanksi kepada badan usaha asing yang melakukan kegiatan di luar wilayah Indonesia. Kedua, sulitnya pengeksekusian putusan di luar negeri karena tidak adanya kerjasama antar negara dalam hal tersebut. Kata kunci: ekstrateritorial; lintas batas; penegakan hukum; persaingan usaha. ABSTRACT The increase of cross-border trade activities brings Indonesia to an integrated international economy. This development presents challenges to the business competition legal system because business activities no longer involve individuals or business entities domiciled in one country only. The definition of “Business Actors” in Law No. 5 of 1999, as individuals or business entities that are domiciled or carry out activities within the territory of Indonesia, has not projected such a development. However, in several cases, KPPU has imposed extraterritorial sanctions, namely on business actors and acts outside the territory of Indonesia. As part of normative juridical research, this article discusses the validity of extraterritorial principles application in business competition in Indonesia and the legal obstacles and its implications for the enforcement of extraterritorial business competition decisions. It was concluded that the extraterritorial principle cannot be applied in business competition in Indonesia because the definition of Business Actors in Law No. 5 of 1999 could not reach actors and actions outside the territory of Indonesia even though they had effect of unfair business competition in Indonesia. The implications of legal obstacles to the implementation of extraterritorial business competition decisions are: First, the sanction cannot be imposed on foreign business entities that carry out activities outside the territory of Indonesia. Second, the difficulty of executing decisions abroad because of the absence of cooperation between countries. Keywords: business competition; cross-border; extraterritorial; law enforcement
TINDAKAN DIREKSI YANG MEMBERIKAN CORPORATE GUARANTEE TERHADAP ANAK PERUSAHAAN TANPA PERSETUJUAN DEWAN KOMISARIS DITINJAU DARI HUKUM PERSEROAN Mira Widyawati; Nyulistiowati Suryanti; Kilkoda Agus Saleh
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 1 September 2018
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Direksi berwenang menjalankan pengurusan perseroan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat dalam batas yang ditentukan dalam UUPT dan/atau anggaran dasar. Pada praktiknya seringkali terjadi direksi tidak memperhatikan batasan kewenangannya dalam hal mengikat perseroan sebagai penjamin, dimana pemberian jaminan disyaratkan oleh anggaran dasar memerlukan adanya persetujuan dewan komisaris. Penelitian ini bertujuan untuk memahami akibat hukum terhadap kerugian yang timbul akibat pemberian jaminan perusahaan oleh direksi tanpa adanya persetujuan dewan komisaris dan tanggung jawab direksi terhadap kerugian perseroan akibat pemberian jaminan perusahaan tanpa adanya persetujuan dewan komisaris. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu dengan mengkaji dan menguji data sekunder ditunjang dengan wawancara. Spesifikasi penelitian yang digunakan berupa deskriptif analitis yaitu menggambarkan dan menganalisis ketentuan-ketentuan hukum, teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang berkaitan dengan akibat hukum dan tanggung jawab direksi terhadap pemberian jaminan perusahaan.Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil: pertama, bahwa dalam hal anggaran dasar mengatur perlunya persetujuan dewan komisaris maka akibat hukum terhadap jaminan perusahaan yang diberikan direksi tanpa persetujuan dewan komisaris adalah batal demi hukum. Kedua, tanggung jawab direksi terhadap pemberian jaminan perusahaan tersebut adalah dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi. Namun sebaliknya, direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya apabila anggaran dasar tidak menentukan perlunya persetujuan dewan komisaris. Kata kunci: dewan komisaris; jaminan perusahaan; tanggung jawab direksi. ABSTRACT The Directors are authorized to organize a company in accordance with the policy deemed as appropriate within the limitation determined in the Law of Company and/or its articles of association. In practice, often the directors do not pay attention to the limitation of its authority in attributing the company as a guarantor, that required approval from board of the commissioner in the articles of association. This research aims to comprehend on the legal consequence and responsibility of the directors against the damages occurred resulting from the grant of corporate guarantee without the board of commissioner’s approval. The research method used is the juridical-normative method, which inspects and tests the secondary data supported by interviews. The research specifications are in descriptive-analytical, it depicts and analyze the law provisions, law theory and positive law in relation to the legal consequence and responsibility of the directors against the grant of corporate guarantee. The result shows conclusion, first, in the event of the articles of association regulates the necessity of approval from the board of commissioner, the legal consequence is null and void. Second, with respect to the directors’ responsibility on the granting of corporate’s guarantee, it can be requested to the directors as individuals. On the contrary, the responsibilities cannot be requested to them if the articles of association does not regulate the requirements of approval from the board of commissioner. Keywords: corporate guarantee; responsibility of the directors; the board of commissioner.

Page 1 of 2 | Total Record : 11


Filter by Year

2018 2018


Filter By Issues
All Issue Vol. 8 No. 1 (2023): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 8 Nomor 1 September 2023 Vol. 7 No. 2 (2023): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 7 Number 2 Maret 2023 Vol. 7 No. 1 (2022): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 7 Nomor 1 September 2022 Vol. 6 No. 2 (2022): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 6 Nomor 2 Maret 2022 Vol. 6 No. 1 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 6 Nomor 1 September 2021 Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021 Vol. 5 No. 1 (2020): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 1 September 2020 Vol 4, No 2 (2020): VOL 4, NO 2 (2020): JURNAL BINA MULIA HUKUM Vol. 4 No. 2 (2020): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 4 Nomor 2 Maret 2020 Vol. 4 No. 1 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 4 Nomor 1 September 2019 Vol. 3 No. 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 2 Maret 2019 Vol 4, No 1 (2019): JURNAL BINA MULIA HUKUM Vol 3, No 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 1 September 2018 Vol. 2 No. 2 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2 Nomor 2 Maret 2018 Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 2, No 2 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 2 No. 1 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2 Nomor 1 September 2017 Vol. 1 No. 2 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1 Nomor 2 Maret 2017 Vol 2, No 1 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 1, No 2 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 1 No. 1 (2016): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1 Nomor 1 September 2016 Vol 1, No 1 (2016): Jurnal Bina Mulia Hukum More Issue