cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya
ISSN : 20859937     EISSN : 25981242     DOI : -
Core Subject : Humanities, Art,
Patanjala means river water that constantly flowing along the path through to the estuary. As well as the characteristics of river water, all human have to work and do good deeds, with focus on future goals. Patanjala is a journal containing research results on cultural, artistic, and film values as well as history conducted by Center for Preservation of West Java Cultural Values (in West Java, DKI Jakarta, Banten and Lampung working areas. In general, the editors also received research articles in Indonesia. Patanjala published periodically three times every March, June, and September in one year. Anyone can quote some of the contents of this research journal with the provision of writing the source.
Arjuna Subject : -
Articles 360 Documents
KONTINUITAS POLA PEWARISAN SENI MENENUN SONGKET DI NAGARI PANDAI SIKEK, TANAH DATAR Eny Christyawaty
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 3, No 2 (2011): PATANJALA VOL. 3 NO. 2 JUNE 2011
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (757.451 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v3i2.284

Abstract

AbstrakTulisan ini bertujuan untuk mengetahui kontinuitas pola pewarisan senimenenun songket di Nagari Pandai Sikek dan ingin mengetahui siapa saja yang terlibat dalam pewarisan seni menenun tersebut. Keahlian menenun songket bukanlah sesuatuyang didapat begitu saja tetapi merupakan sesuatu yang harus dipelajari. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keahlian menenun songket ini hingga sekarang masih bertahan pada masyarakat Pandai Sikek. Agen penting dalam proses pewarisan seni menenun ini adalah keluarga dan warga asli Pandai Sikek. Pewarisan seni menenun (transfer of skill) ini dalam prosesnya memerlukan pembelajaran yang membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hingga seseorang menguasai keterampilan tersebut. Selain itu terdapat persyaratan yang disebut mahar yang hingga kini masih berlaku. AbstractThis paper aims to investigate the continuity of pattern in transferring songket-weaving skill in Nagari Pandai Sikek as well as tracing persons involved in theprocess. Weaving songket is a kind of skill that must be learnt. A qualitative research method was used in this research to depict a deep social reality. The result shows that the skill is still preserved in Pandai Sikek society. Families and indigenous people of Pandai Sikek play as important agents in the process of transferring the skill. The skill takes months, even years to be mastered. Besides, there is a requirement that must be fulfilled called mahar.
BIOSKOP KELILING PERANANNYA DALAM MEMASYARAKATKAN FILM NASIONAL DARI MASA KE MASA Heru Erwantoro
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 6, No 2 (2014): PATANJALA VOL. 6 NO. 2 JUNE 2014
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (120.793 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v6i2.200

Abstract

AbstrakFilm masuk ke Hindia Belanda untuk pertama kalinya pada tanggal 5 Desember 1900 dalam format bioskop keliling. Bioskop keliling ternyata mampu eksis dari masa ke masa karena ada faktor yang mendukung keberadaannya. Melalui pendekatan historis, penelitian ini mencoba untuk menelusuri perjalanan bioskop keliling dari masa ke masa dan peranannya dalam perfilman nasional. Penelitian ini memiliki arti yang signifikan bagi perkembangan perfilman nasional. Dari penelitian ini terungkap bahwa: (1) eksistensi bioskop keliling ditentukan oleh motif ekonomi dan motif politik. Secara ekonomis, bioskop keliling menjual jasa pemutaran film langsung ke konsumennya secara massal dan murah, namun tetap menjanjikan keuntungan secara finansial. Motif politik menjadikan film sebagai instrumen politik, namun demikian motif politik ini membuat eksistensi bioskop keliling semakin kokoh; (2) bioskop keliling merupakan mesin peredaran film nasional yang sangat efektif di dalam memasyarakatkan film nasional ke tengah-tengah masyarakat. Melalui bioskop keliling mimpi film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri secara realistik dapat terwujud. Anggapan yang selama ini dipahami oleh kalangan perfilman bahwa menjadi tuan rumah di negeri sendiri hanya dapat dicapai dengan cara menguasai bioskop yang permanen, mewah dan yang berada di kota-kota berakibat mengubur potensi besar yang dimiliki bioskop keliling. AbstractThe first time of movie come to the Dutch East Indie in December 5th 1990 on cinema circumference.  Cinema circumference exists from time to time since there are factors that support the existence.  Through historical approach, the research tries to browse the cinema trip around from time to time and its role in national film.  The research has a significant means in the developing of national film.  From the result, it can be seen that (1) the existences of cinema circumference decided by the economic motif and political motif.  Economically, cinema circumference sells the screening services directly to consumers in bulk and cheap, but still promising benefit financially. Political motives make the film as a political instrument; however it makes the existence of a political motive theater sturdy. (2) Cinema circumference is the main power of national film which is very effective in promoting national film to society.  Through national movie theaters, the dream to be a host on their own country can realistically be realized. The assumption, that hosts in their own country can only be achieved by means of holding a permanent cinema master, luxurious, and located in cities is burying large potential of circumference cinema.
MAKNA RENCONG BAGI UREUENG ACEH Sri Waryanti
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 5, No 3 (2013): PATANJALA VOL. 5 NO. 3 SEPTEMBER 2013
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (454.306 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v5i3.86

Abstract

AbstrakSalah satu upaya manusia mempertahankan diri adalah dengan menggunakan senjata. Pada setiap suku bangsa di Indonesia memiliki senjata yang khas menurut budayanya masing-masing. Rencong adalah senjata khas milik suku bangsa Aceh di Provinsi Aceh. Karya tulis ini mengungkap dan membahas makna rencong bagi suku bangsa Aceh, yang menyebut dirinya sebagai ureueng Aceh. Untuk tujuan tersebut, rencong dipandang sebagai bukan budaya materiil, tetapi sebagai simbol dari kebudayaan sehingga pendekatan yang dipergunakan paradigma interpretivisme simbolik yang dibangun atas asumsi bahwa manusia adalah hewan pencari makna. Keabsahan data diperoleh dengan teknik triangulasi. Teknik analisis data yang digunakan dengan cara reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan atau verifikasi. Dari penelitian ini terungkap bahwa rencong tidak hanya digunakan sebagai senjata untuk membela diri, tetapi lebih dari itu rencong juga bermakna sebagai martabat, keagungan, dan manifestasi dari unsur Islam. Oleh karena itu, rencong harus dilestarikan sebagai bagian dari budaya milik bangsa Indonesia pada umumnya dan Aceh khususnya. AbstractHumans utilise weapons to defend themselves. In Indonesia each ethnic group has a unique weapon according to their culture. The Acehnese of the Province of Aceh has a typical dagger called rencong. This paper reveals and discusses the meaning of rencong for the Acehnese, who referred to themselves as ureueng Aceh. For this purpose, rencong is not seen as material culture, but as a symbol of a culture. The author approaches the issue by conducting symbolic interpretive paradigm which is built on the assumption that humans are meaning-seekers animals. Validity of the data was obtained through triangulation technique, while analysis of data was conducted by applying data reduction, as well as displaying and verifying them. The study reveals that rencong is more than just a weapon; it is also symbolising dignity, majesty and manifestation of the elements of Islam. Therefore, rencong must be preserved as part of the nation's culture of Indonesia in general and particularly in Aceh.
BUDAYA SPIRITUAL: PERSEPSI PEZIARAH PADA MAKAM KERAMAT LELULUR SUMEDANG Tjetjep Rosmana
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 1, No 3 (2009): PATANJALA VOL. 1 NO. 3 SEPTEMBER 2009
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (558.404 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v1i3.252

Abstract

AbstrakSikap keramat dalam anggapan suatu masyarakat adalah tempat yang dikeramatkan karena tempat bersemayamnya arwah leluhur yang memiliki kekuatan gaib. Pada suatu waktu di tempat keramat  dijadikan pusat kegiatan religius, yakni  upacara persembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.  Dalam situs religius ini,  setiap tingkah laku manusia dikeramatkan yang diiringi suasana hati dan motivasi yang ditimbulkan oleh simbol-simbol sakral (keramat) dalam diri manusia.Situasi demikian itu terbentuk dalam kesadaran spiritual sebuah masyarakat. Sesungguhnya setiap individu memiliki persepsi yang berbeda terhadap tempat yang dikeramatkan. Hal ini sesuai  dengan  kondisi dan kebutuhan masing-masing. Demikian pula terhadap makam keramat leluhur Sumedang yang kerap dikunjungi oleh banyak peziarah. Salah satunya makam keramat Pangeran Santri, Ratu Pucuk Umum, Pangeran Kornel, dan sebagainya. AbstractA sacred attitude on people live in a sacred place is the burial of an ancestors spirit and supernatural. Sometimes, it is made as a center of religiousness, for example a god worship through religious site. On this site everyones attitude is being sacred by feeling and motivation which showed sacred symbols self inside. The situation formed in a spiritual awareness of society. Actually, everyone has different perception and motivtion about those places. Of course, it depends on each needs conditions. In such a case, the sacred burial of Sumedang often visited by visitors. Such as the sacred burial of Pangeran Santri, Ratu Pucuk Umum, Pangeran Kornel, etc.
SEBA: PUNCAK RITUAL MASYARAKAT BADUY DI KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN Nandang Rusnandar
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 5, No 1 (2013): PATANJALA VOL. 5 NO. 1 MARCH 2013
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (437.453 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v5i1.168

Abstract

AbstrakPenelitian tentang upacara seba yang merupakan puncak kegiatan ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat (Baduy) Kanekes di Kabupaten Lebak, bertujuan untuk mengetahui makna dan simbol yang ada dalam upacara tersebut. Metode penelitian yang digunakan bersifat deskripsi dengan pendekatan fungsional melalui teknik pengumpulan data berupa wawancara dan pengamatan. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa upacara seba merupakan puncak acara ritual yang dilakukan setahun sekali yang dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan dan pemerintah atas kesejahteraan masyarakat Baduy yang telah dihasilkan dalam kurun satu tahun. Di samping itu upacara ini menjadi bukti adanya pengakuan secara adat dan bertujuan untuk bersilaturahmi antara masyarakat Kanekes dengan pemerintah baik di kabupaten maupun di provinsi yaitu kepada pejabat bupati dan gubernur yang secara informal mereka menjadi pemimpin masyarakat Baduy. Pelaksanaan upacara dipilih waktu yang terbaik untuk hari dan tanggal pelaksanaannya, terutama setelah selesai panen. Upacara seba merupakan rangkaian dari religi atau sistem kepercayaan agama Sunda Wiwitan yang dianut oleh masyarakat Kanekes, maka upacara ini wajib dilakukan karena merupakan pusaka leluhur harus terus dijaga dan dilestarikan yang diwariskan secara berkesinambungan kepada anak cucunya secara tegas dan mengikat.AbstractThis research aims to find out meanings and symbols in seba, the culmination of (Baduy) Kanekes‟ religious ritual. By conducting descriptive research method the author applied functional approach. Data were collected through interviews and observation. The result shows that the seba ceremony is the culmination of series of religious ritual conducting every year. The ceremony is performed to express gratitude to God and the government for the prosperity they have gained during the year. On the other hand, seba is the evidence of customary recognition as well as a means of maintaining good relationship between Kanekes people and the government, either with bupati (the Regent)or the governor as their informal leaders. The Baduys determine good date and time which they think the best for performing the ceremony, especially after harvest time. Seba is a part of series in religious ritual of ancient Sundanese belief system (Sunda Wiwitan) which is embraced by the Baduys. The ceremony is an obligatory because it is the legacy of their ancestors which have to be preserved and to be passed on continuously to their descendants.
TRADISI MEMBANGUN RUMAH DALAM KAJIAN KEARIFAN LOKAL (STUDI KASUS PADA MASYARAKAT ADAT KAMPUNG DUKUH) Rosyadi Rosyadi
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 7, No 3 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 3 SEPTEMBER 2015
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (551.532 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v7i3.109

Abstract

AbstrakKeberadaan masyarakat adat di tengah arus modernisasi dan globalisasi dewasa ini oleh sementara orang dipandang sebagai suatu hal yang unik dan janggal. Di tengah arus globalisasi, di mana orang sibuk dengan konsep-konsep dan pemikiran modern, masyarakat adat berusaha untuk  tetap melaksanakan dan memelihara tradisinya. Melalui kajian-kajian antropologis terungkap bahwa tradisi-tradisi yang dikukuhi masyarakat adat tersebut ternyata sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal, khususnya di dalam konteks hubungan manusia dengan ligkungannya, baik lingkungan alam, sosial, dan lingkungan budaya. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian ini. Melalui penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif, penulis memaparkan berbagai fenomena alam, sosial dan budaya, apa yang dialami, diketahui, dilihat, dirasakan, dan dipikirkan oleh masyarakat adat Kampung Dukuh terhadap fenomena-fenomena alam dan kondisi geografis yang mereka hadapi sehari-hari. Fenomena-fenomena alam dan budaya ini diinterpretasikan dan kemudian melahirkan tradisi yang sarat dengan kearifan lokal. Tradisi ini juga mewarnai aktivitas membangun rumah di kalangan masyarakat Kampung Dukuh, mulai dari penggunaan bahan, ritual-ritual, dan pantangan-pantangan adat.  AbstractThe existence of indigenous peoples in the midst of modernization and globalization recently viewed as a unique and awkward by some people. In the midst of globalization, where people are busy with the modern concepts and ideas, indigenous people seek to continue thetraditions implementation and maintaining. Through anthropological studies revealed that the traditions of the indigenous peoples turns loaded with the values of local wisdom, particularly in the context of human relationships with environment, natural environment, social and cultural environment. Those phenomena are the background to conduct this research. By employing a qualitative study using descriptive method, the author describes the various natural phenomena, social and cultural;also,what thing is experienced, known, seen, felt, and thought by the traditional villagers of KampungDuku toward natural phenomena and geographical conditions that they face daily. Natural phenomena and culture is interpreted and subsequently deliver to a tradition which is loaded with local knowledge. This tradition also colorthe activity of homes buildingin the community of KampungDukuh, ranging from the use of materials, rituals, taboos and customs.
FUNGSI DAN PERANAN PEMIMPIN INFORMAL MASYARAKAT KAMPUNG URUG DI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT Tjetjep Rosmana
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 3, No 1 (2011): PATANJALA VOL. 3 NO. 1 MARCH 2011
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4857.64 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v3i1.275

Abstract

AbstrakPemimpin informal dalam suatu kampung adat sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari, oleh sebab itu eksistensinya tidak dapat dihilangkan. Ia tumbuh dan berkembang serta muncul dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakatnya. Oleh karena itu penulis sangat tertarik untuk mengadakan penelitian tentang Kajian mengenai Fungsi dan Peranan Pemimpin Informal pada Masyarakat Kampung Urug, di Kabupaten Bogor. Dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana, mengapa dan dalam hal apa saja pemimpin adat di kampung adat tersebut berperan. Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk memperoleh data seluas-luasnya di lapangan dalam rangka mempelajari kondisi masyarakat yang sedang diteliti. Kegiatan yang dilakukan adalah mencari dan mengumpulkan data mengenai peranan pemimpin adat dalam kehidupan masyarakat. Data dianalisis secara kualitatif dan diharapkan dapat menggambarkan mengenai peranan pemimpin adat. AbstractInformal leaders play an important role in daily life of a kampung adat. Therefore, his existence can not be eliminated. This kind of leaders grow and develop within, by, and for his community. The author is interested in studying the role and function of an informal leader in Kampung Urug in Kabupaten Bogor, in order to know to what extent is his function and role in the community. The author has conducted a descriptive method, the one that is used to get data as vast as possible during fieldwork to study the community in question and collecting information concerning the role of the adat leader in the life of the society. Data were analysed qualitatively and hopefully they can describe the role of the adat leader.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA SOSIAL MEDIA TRADISIONAL DI JAWA BARAT Mulyono Yalia
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 6, No 1 (2014): PATANJALA VOL. 6 NO. 1 MARCH 2014
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (95.637 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v6i1.191

Abstract

AbstrakFokus utama dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan pengembangan dan pemberdayaan lembaga sosial media tradisional di Jawa Barat. Substansi masalah diidentifikasi sebagai berikut: (1) Bagaimanakah implementasi kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan media tradisional di Jawa Barat?; (2) Faktor-faktor apakah yang menjadi pendukung dan penghambat implementasi kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan lembaga sosial media tradisional di Jawa Barat?; (3) Upaya-upaya apakah yang dilaksanakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi/Kabupaten/Kota dalam mewujudkan kebijakan pemerintah dalam pemberdayaan lembaga sosial media tradisional di masyarakat? Teori yang dipakai sebagai pendekatan terhadap masalah penelitian ini adalah teori implementasi kebijakan (Edward III, 2002:70) yang terdiri atas dimensi komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi partisipan dan wawancara mendalam serta triangulasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan dan pemberdayaan lembaga sosial media tradisional di Jawa Barat selain memerlukan peningkatan faktor-faktor implementasi kebijakan, ditemukan dimensi lain yang harus diperhatikan, yaitu pengawasan dan koordinasi antarsektor terkait. AbstractMain focus of this research is the implementations of developing and enforcing policy of the traditional social media institutions in West Java. The substantial problems are as follows: (1) how the implementation of government policy in empowerment of traditional media in West Java?; (2) what kinds of factor that support and resist of government policy in traditional social media institutions in west Java?; (3) what kinds of efforts that implemented by the Department of Communications and Information of Province/regency/city in fulfilling’s the government policy in empowering the traditional social media in society? The theory that use in this research is the policy implementation theory (Edward III, 2002:70) consists of communications dimension, source, and bureaucracy of disposition and structure. The method is qualitative method,meanwhile the technique of collecting data is through observations of participants, an in depth interview, also triangulation. The result of the research found that the exhibit developed and empowerment of traditional social media in west Java need an implementation policy factors and also need for supervision and coordination from related sectors.
NASKAH PURWANING JAGAT (KISAH RAJA-RAJA DI TATAR SUNDA) ANALISIS ISI DAN FUNGSI Salma Widuri
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 8, No 2 (2016): PATANJALA VOL. 8 NO. 2 JUNE 2016
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (409.931 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v8i2.77

Abstract

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengungkap fungsi naskah Purwaning Jagat bagi masyarakat masa kini melalui kajian analisis isi. Purwaning Jagat adalah sebuah naskah yang berbahasa Jawa dan beraksara Pegon. Di dalamnya terkandung kisah-kisah serta silsilah tentang Raja-raja di tatar Sunda. Naskah ini merupakan naskah gulung dengan panjang 6,3 m. Dalam rangka pengungkapan isi maka dalam penelitian ini terlebih dahulu dilakukan kajian filologi. Langkah yang pertama dilakukan yaitu mentransliterasikan teks dalam naskah tersebut kemudian dianalisis kesalahan tulisnya sehingga menghasilkan suntingan teks yang bersih dari kesalahan tulis. Langkah berikutnya yaitu dilakukan penerjemahan terhadap suntingan teks ke dalam bahasa Indonesia. Setelah dihasilkan terjemahan barulah kajian sastra diterapkan guna mengungkap isi atau membunyikan apa yang tersimpan di dalam naskah dengan mempertimbangkan sudut pandang jalinan intertekstualitas. Dalam hal pengungkapan makna digunakan pendekatan hermeneutika yang merupakan metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya. Selanjutnya, kajian fungsi, kajian fungsi yang akan diungkap di sini yaitu fungsi naskah berdasarkan benda dan fungsi naskah berdasarkan isi bagi masyarakat di masa kini. AbstractThis study aims to reveal the function of the script Purwaning Jagat for contemporary society through the study of content analysis. Purwaning Jagat is a script with Java language and Pegon alphabet. It contains stories and genealogy of the kings in Sundanese region. This script is a script rolls with length 6,3m. In order disclosure of the contents, so the study that taken is use philology study. The first step to do is transliterate the text in the manuscript, then analyzing the written errors to produce a clean text edits from clerical errors. The next step is to do the translation of the text editing area into Indonesian. Once generated translation then applied to the study of literature in order to reveal the content or sound what is stored in the text by considering the viewpoint of the fabric of intertextuality. In the case of disclosure of meaning, hermeneutic approach is used which is a method or a way to interpret the symbols in the form of text to search for meaning and significance. Furthermore, will do the study of the function. Study function that will be revealed here is the function of a script based on the objects and functions for the script based on the contents of today's society.
SISTEM PELAPISAN SOSIAL DAN DAMPAKNYA PADA MASYARAKAT KASEPUHAN CICARUCUB KABUPATEN LEBAK-BANTEN Yudi Putu Satriadi
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 1, No 2 (2009): PATANJALA VOL. 1 NO. 2 JUNE 2009
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (415.963 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v1i2.243

Abstract

AbstrakUntuk mencegah terjadinya konflik akibat stratifikasi sosial, memerlukan suatu penanaman pengertian terhadap sikap masyarakat. Pemberian pengertian ini, di antaranya dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa yang membuat perbedaan kelas sosial dalam masyarakat adalah atas kehendak Allah. Sebenarnya, kesadaran seperti ini sudah terjadi di dalam masyarakat tradisional dengan selalu mencontoh dan melaksanakan semua yang telah diperintahkan oleh leluhur mereka.Salah satu contoh tentang kesadaran masyarakat dapat mencegah konflik sosial ditemukan di Kasepuhan Cicarucub. Kondisi ini muncul sebagai upaya pemimpin formal dan informal yang berhasil memadukan hukum formal dangan hukum adat. Perpaduan ini terbukti dapat menciptakan suatu situasi masyarakat yang harmonis dengan tetap menjunjung kedua hukum tersebut dalam kehidupan bermasyarakat.  AbstractTo prevent conflict of social stratification be happened, need a treatment to toward community attitude. This treatment takes form in a way on how to create community consciousness to make them realize that their faith is determined by God. Actually, this self consciousness has occured in traditional community which takes form in blessing from the ancestors. One of the examples on how community consciousness can prevent social conflict is found in Kasepuhan Cicarucub. This condition emerges as a result of good work conducted by both formal leader and informal leader. They always try to create a harmonius situation in community by putting formal law and traditional law as the main guidance. 

Page 3 of 36 | Total Record : 360


Filter by Year

2009 2021


Filter By Issues
All Issue Vol 13, No 2 (2021): PATANJALA VOL. 13 NO. 2 OKTOBER 2021 Vol 13, No 1 (2021): PATANJALA VOL. 13 NO. 1 APRIL 2021 Vol 12, No 2 (2020): PATANJALA VOL. 12 NO. 2 Oktober 2020 Vol 12, No 1 (2020): PATANJALA VOL. 12 NO. 1 April 2020 Vol 11, No 3 (2019): PATANJALA VOL. 11 NO. 3, September 2019 Vol 11, No 2 (2019): PATANJALA Vol. 11 No. 2, JUNE 2019 Vol 11, No 1 (2019): PATANJALA Vol. 11 No. 1, MARCH 2019 Vol 10, No 3 (2018): PATANJALA Vol. 10 No. 3, September 2018 Vol 10, No 2 (2018): PATANJALA Vol. 10 No. 2, JUNE 2018 Vol 10, No 1 (2018): PATANJALA VOL. 10 NO. 1, MARCH 2018 Vol 9, No 3 (2017): PATANJALA VOL. 9 NO. 3, SEPTEMBER 2017 Vol 9, No 2 (2017): PATANJALA VOL. 9 NO. 2, JUNE 2017 Vol 9, No 1 (2017): PATANJALA Vol. 9 No. 1 MARCH 2017 Vol 8, No 3 (2016): PATANJALA Vol. 8 No. 3 September 2016 Vol 8, No 2 (2016): PATANJALA VOL. 8 NO. 2 JUNE 2016 Vol 8, No 1 (2016): PATANJALA VOL. 8 NO. 1 MARCH 2016 Vol 7, No 3 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 3 SEPTEMBER 2015 Vol 7, No 2 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 2 JUNE 2015 Vol 7, No 1 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 1 MARCH 2015 Vol 6, No 3 (2014): PATANJALA VOL. 6 NO. 3 SEPTEMBER 2014 Vol 6, No 2 (2014): PATANJALA VOL. 6 NO. 2 JUNE 2014 Vol 6, No 1 (2014): PATANJALA VOL. 6 NO. 1 MARCH 2014 Vol 5, No 3 (2013): PATANJALA VOL. 5 NO. 3 SEPTEMBER 2013 Vol 5, No 2 (2013): PATANJALA VOL. 5 NO. 2 JUNE 2013 Vol 5, No 1 (2013): PATANJALA VOL. 5 NO. 1 MARCH 2013 Vol 4, No 3 (2012): PATANJALA VOL. 4 NO. 3 SEPTEMBER 2012 Vol 4, No 2 (2012): PATANJALA VOL. 4 NO. 2 JUNE 2012 Vol 4, No 1 (2012): PATANJALA VOL. 4 NO. 1 MARCH 2012 Vol 3, No 3 (2011): PATANJALA VOL. 3 NO. 3 SEPTEMBER 2011 Vol 3, No 2 (2011): PATANJALA VOL. 3 NO. 2 JUNE 2011 Vol 3, No 1 (2011): PATANJALA VOL. 3 NO. 1 MARCH 2011 Vol 2, No 3 (2010): PATANJALA VOL. 2 NO. 3 SEPTEMBER 2010 Vol 2, No 2 (2010): PATANJALA VOL. 2 NO. 2 JUNE 2010 Vol 2, No 1 (2010): PATANJALA VOL. 2 NO. 1 MARCH 2010 Vol 1, No 3 (2009): PATANJALA VOL. 1 NO. 3 SEPTEMBER 2009 Vol 1, No 2 (2009): PATANJALA VOL. 1 NO. 2 JUNE 2009 Vol 1, No 1 (2009): PATANJALA VOL. 1 NO. 1 MARCH 2009 More Issue