cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
Aqlam: Journal of Islam and Plurality
ISSN : 25280333     EISSN : 25280341     DOI : -
Core Subject : Social,
AQLAM: Journal of Islam and Plurality (P-ISSN 2528-0333; E-ISSN: 2528-0341) is a journal published by the Ushuluddin, Adab and Dakwah Faculty, State Islamic Institute of Manado, Indonesia. AQLAM published twice a year and focused on the Islamic studies especially the basic sciences of Islam, including the study of the Qur’an, Hadith, Islamic Philosophy, Islamic History and Culture, Theology, Mysticism, and Local Wisdom in Indonesia. It is intended to communicate original research and current issues on the subject. This journal warmly welcomes contributions from scholars of related disciplines. Every article submitted and will be published by AQLAM will review by two peer review through a double-blind review process | Address: Jl. Dr. S.H. Sarundajang Kompleks Ring Road I, Kota Manado, Sulawesi Utara, 95128 | E-Mail; aqlam@iain-manado.ac.id | Phone: +62431860616 | AQLAM has become a CrossRef Member since the year 2018. Therefore, all articles published by AQLAM will have unique DOI number.
Arjuna Subject : -
Articles 122 Documents
PEMIKIRAN SYEKH NAWAWI AL-BANTANI DAN RELEVANSINYA DI ERA MODERN Ahmad Wahyu Hidayat
Aqlam: Journal of Islam and Plurality Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : IAIN Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (669.971 KB) | DOI: 10.30984/ajip.v4i2.1012

Abstract

Abstract This research elaborates the education in accordance to Sheikh Nawai Al-Bantani. This research used library research with analytical study method. Analytical Studies used are analytical content and analytical descriptions of education according to Sheikh Nawai Al-Bantani. The results can be seen from the ideas of Shaykh Nawawi Al-Bantani which includes: 1. The Existence of the Universe, 2. Human Potential, 3. Human Existence, 4. Educational Objectives and 5. The principles of Islamic educational activities. Islam in Indonesia will certainly be able to develop meaningful indigenous Islamic traditions, which will be truly Islamic and creative. There were signs that contain an expectation for the future in dynamic educational and intellectual activities based on the development of Islamic school and universities in Indonesia.Keywords : Biography, Education, Relevance. AbstrakPenelitian ini menjelaskan konsep pemikiran pendidikan menurut Syekh Nawawi al-Bantani. Penelitian ini menggunakan data kepustakaan dengan metode analisa konten dan analisa deskripsi tentang pendidikan menurut Syekh Nawawi al-Bantani. Hasil temuanya bisa dilihat dari ide-ide pemikiran pendidikan Syekh Nawawi al-Bantani yang meliputi: 1. eksistensi alam semesta, 2. potensi-potensi Manusia, 3. eksistensi manusia, 4. tujuan Pendidikan dam 5. prinsip-prinsip aktivitas pendidikan Islam. Pemikiran al-Bantani dapat berkontribusi dalam perkembangan tradisi Islam pribumi yang bermakna, yang akan benar-benar bersifat Islami dan kreatif.  Terdapat tanda-tanda yang mengandung harapan bagi masa depan aktivitas pendidikan dan intelektual yang dinamis didasarkan pada perkembangan sekolah dan universitas-universitas Islam yang berkembang di Indonesia.Kata Kunci: Biografi, Pendidikan, Relevansi. 
RELIGIOUS PLURALISM IN BALI PREMODERN AND CONTEMPORARY PERSPECTIVES Mark Woodward
Aqlam: Journal of Islam and Plurality Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : IAIN Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (656.326 KB) | DOI: 10.30984/ajip.v4i2.1017

Abstract

AbstractThis paper describes two modes of civic religious pluralism in Bali. The first is adaptive pluralism in which elements of Islam were incorporated into pre-modern Balinese states.  Analysis focuses on the way in which Gusti Ayu Made Rai, an eighteenth-century Balinese princess became Raden Ayu Siti Khotijah, one Indonesia’s few widely recognized female Muslim saints. This leads to an alternative reading of Balinese religious history, countering the view that it is a static monolithically Hindu tradition. Rather than turning inward as the surrounding areas embraced Islam, Balinese kingdoms included Muslims and Islam in scared narratives and geographies.  Today this integrative strategy functions only at the local level. Pilgrimage to her grave by Indonesian Muslims integrates Hindu Bali into Indonesian society defined in terms of the national ideology Pancasila. The establishment of Pancasila as a hegemonic symbology has led to a new form of parallel pluralism in which all religions are subject to state regulation.Keywords: Bali, Hinduism, Islam, Female Saints, Pluralism, State Symbologies AbstrakMakalah ini menggambarkan dua bentuk keragaman beragama masyarakat di Bali. Yang pertama adalah  keragaman adaptif di mana unsur-unsur Islam tergabung dalam kerajaan pra-modern Bali. Analisa berfokus pada saat di mana Gusti Ayu Made Rai, seorang puteri kerajaan Bali abad kedelapan belas menjadi Raden Ayu Siti Khotijah, salah seorang wanita Muslim yang dianggap wali di Indonesia. Hal ini mengarah kepada wacana alternatif tentang sejarah agama orang Bali, yang berlawanan dengan pandangan yang meyakini bahwa Bali merupakan tradisi Hindu yang statis secara monolitis. Alih-alih menutup diri saat wilayah-wilayah di sekitarnya memeluk Islam, kerajaan-kerajaan Bali merangkul kaum Muslim dan ajaran Islam dalam kisah-kisah dan kawasan-kawasan sakral. Saat ini strategi integratif tersebut hanya berfungsi di tingkat lokal. Para peziarah Muslim Indonesia ke makam Sang Puteri menyatukan Bali Hindu ke dalam masyarakat Indonesia mempertegas ideologi nasional Pancasila. Pembentukan Pancasila sebagai sebuah simbologi hegemoni telah mengarah kepada bentuk baru keragaman paralel di mana semua agama tunduk kepada peraturan negara.Kata Kunci: Bali, Hinduisme, Islam, Wali perempuan, Keberagaman, Simbol-simbol Negara.
TAFSIR KONTEMPORER ATAS “AYAT PERANG” Q.S. AL-TAUBAH (9): 5-6: PERSPEKTIF HERMENEUTIKA JORGE J.E. GRACIA Ulummudin Ulummudin
Aqlam: Journal of Islam and Plurality Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : IAIN Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (644.25 KB) | DOI: 10.30984/ajip.v4i2.1013

Abstract

AbstractThis paper focuses on Q.S. al-Taubah (9): 5-6 often used as a justification of violence in the name of religion. The author argues a comprehensive understanding is needed to better understand these verses, exploring the meaning of the verses through Gracia’s method of hermeneutics. The method utilizes both textual and non-textual perspective in reading the verses. Textual perspective implies using three function, namely historical, meaning, and implicative function. The non-textual perspective involves historical, political, psychological approach, etc. Historical function of these verses is related to Hudaibiyah agreement which was violated by people of Quraisy in Mecca, leading to conflict and war situation. Meanwhile, its meaningful function could possibly tell us that war is the last option to end the chaos for the sake of peace and freedom of expression. Next, the verses implicative function is to keep a peace among human being regardless of their ethnic, culture, and religion. Meanwhile, non-textual perspective for Indonesian context is an advice to obey and be loyal toward Pancasila. Refusing Pancasila as a principle of Indonesia is deemed as destroying the agreement which has been signed.Key Words: Interpretation; war verses; Gracia’s Hermeneutics. AbstrakTulisan ini mengkaji tentang Q.S. al-Taubah (9): 5-6. Ayat ini sering digunakan sebagai justifikasi terhadap kekerasan atas nama agama, sehingga diperlukan pemahaman yang memadai. Metode yang digunakan untuk memahaminya adalah hermeneutika Gracia. Metode tersebut meniscayakan adanya pembacaan tekstual dan non-tekstual. Pembacaan tekstual dapat dilakukan melalui penjelasan terhadap tiga fungsi yakni historis, makna, dan implikasi, sedangkan non-tekstual dapat melibatkan pendekatan sejarah, politik, psikologi, dll. Analisis fungsi historis ayat ini berkaitan dengan perjanjian Hudaibiyah yang dilanggar oleh kaum musyrikin Quraish Mekah, sehingga situasi kembali ke dalam peperangan. Sementara, fungsi maknanya adalah perang sebagai jalan terakhir untuk mengatasi kekacauan demi meraih kedamaian dan kebebasan berekspresi. Selanjutnya, fungsi implikasinya ialah kewajiban untuk hidup rukun dan menjaga perdamaian antar manusia walaupun berbeda etnis, budaya, dan agama. Sementara itu, untuk pembacaan non tekstual dalam konteks keindonesiaan, ayat ini memberikan himbauan untuk setia terhadap Pancasila. Penolakan terhadap Pancasila berarti melanggar perjanjian yang telah disepakati.Kata Kunci : Tafsir; ayat perang; hermeneutika Gracia.
KONSEP IJMA’ DALAM USHUL FIQH DAN KLAIM GERAKAN ISLAM 212 Chamim Tohari
Aqlam: Journal of Islam and Plurality Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : IAIN Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (648.312 KB) | DOI: 10.30984/ajip.v4i2.1009

Abstract

AbstrackThis research discusses about the results of ijtima 'ulama issued some time ago ahead of the 2019’s presidential elections in Indonesia and afterward. This research aims to answer the following problems: (1) Are the decisions of ijtima 'ulama claimed to be the result of ijma' in line with the concept of ijma’ in ushul fiqh? (2) How were the decisions of ijtima' they claimed as the result of ijma' viewed according to the concept of fatwa in Islamic law? The research used a descriptive analitical method where the author in this study analyzes the data obtained and then interpreted them based on the perspective of the ijma’ theory. The results of this research are: (1) The agreements produced by ijtima' ulama regarding their political choices fail to be categorized as ijma’ results because the decisions do not meet to the ijma requirements in ushul fiqh. Namely; not being produced by the mujtahid ulama. Further, the decisions made are not related to Islamic law (such as taklifi laws), and the decisions do not reflect the political views of prominent ulamas (moslem scholars) in Indonesia, especially in the world. (2) The decision of ijtima’ ulama is also not worth mentioning as a fatwa which is one form of Islamic law, because there is no a clear legal basis in their ijtihad method, or scientific analysis. Finally, their ijtima’s result does not come out from the competent and qualified people having authority in the field of law. Key Words: Ijma’, Ijtima’, Ijtihad, Politic, 212.AbstrakPenelitian ini membahas tentang hasil keputusan ijtima’ ulama yang dikeluarkan beberapa waktu lalu menjelang pelaksanaan pemilu di Indonesia dan sesudahnya. Penelitian ini difokuskan untuk menjawab beberapa permasalahan berikut ini: (1) Apakah keputusan ijtima’ ulama yang diklaim sebagai hasil ijma’ tersebut sejalan dengan konsep ijma’ dalam ilmu ushul fiqh? (2) Bagaimana keputusan ijtima’ ulama yang diklaim sebagai hasil ijma’ tersebut apabila dilihat menurut konsep fatwa dalam hukum Islam? Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban dari dua pertanyaan tersebut. Adapun metode penelitian yang penulis gunakan adalah deskriptif kualitatif dimana penulis dalam penelitian ini hendak melakukan analisis data yang diperoleh dan kemudian melakukan penafsiran terhadap objek penelitian berdasarkan perspektif ilmu ushul fiqh. Hasil penelitian ini adalah: (1) Kesepakatan yang dihasilkan oleh ijtima’ ulama tentang pilihan politik mereka tidak dapat dikategorikan sebagai hasil ijma’ karena keputusan tersebut tidak memenuhi persyaratan-persyaratan ijma’ dalam ilmu ushul fiqh, seperti tidak diputuskan oleh para ulama yang telah mencapai derajat sebagai mujtahid, keputusan yang dihasilkan tidak berkaitan dengan hukum Islam (seperti hukum-hukum taklifi), serta keputusan tersebut tidak mencerminkan representasi pandangan politik para ulama terkemuka di Indonesia, lebih-lebih di dunia. (2) Keputusan ijtima’ ulama juga tidak layak disebut sebagai fatwa yang mana merupakan salah satu bentuk hukum Islam, karena tidak adanya landasan hukum yang jelas, metode ijtihad, apalagi analisis ilmiah. Selain itu keputusan tersebut juga tidak keluar dari orang yang layak dipandang sebagai orang yang berwenang atau mumpuni untuk memutuskan hukum.Keywords: Ijma’, Ijtima’, Ijtihad, Politic, 212.
LEGITIMASI KEKERASAN DALAM IDEOLOGI KEAGAMAAN: VARIAN DAN TIPOLOGI Musdalifah Dachrud; Rahman Mantu
Aqlam: Journal of Islam and Plurality Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : IAIN Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (575.119 KB) | DOI: 10.30984/ajip.v4i2.1014

Abstract

Abstrak Dalam konteks sosial agama tidak semata dimaknai sebagai ritus liturgi, doa dan pengamalan mistik yang bersifat personal dan unik, namun agama juga hadir dengan fungsi manifest dan latent yang kadang tidak dikehendaki oleh pemeluknya sendiri. Di satu sisi, agama dapat menjadi sarana integrasi sosial, mengikat solidaritas sesama penganutnya dalam jamaah, gereja, sangha, dan komunitas-komunitas keagamaan. Akan tetapi para penganut agama punya problem yang cukup mendasar ditengah-tengah kemajemukan. Problem itu adalah ketidaksiapan untuk berbeda. Ini disebabkan oleh berbagai hal diantaranya; sejarah dan karakter masing-masing orang, jenis kelamin, serta pandangan hidup yang termasuk didalamnya adalah pemahaman keagamaan. Aksi-aksi kekerasan atas nama agama yang sering terjadi dikarenakan adanya orang atau kelompok-kelompok yang merasa terusik dengan orang atau kelompok lain yang berbeda. Namun beberapa indikasi terjadinya clash ini bukan hanya soal agama ada faktor lain, tapi paper ini akan membatasi masalah dengan inti pembahasan pada soal bagaimana keterkaitan antara pemahaman keagamaan dengan tindak kekerasan atas nama agama dari sisi historisnya, pengertian dan pengelompokkan pemahaman keagamaan, serta jenis-jenis kekerasan melalui data hasil riset yang tujuannya untuk melihat apa hubungan antara pemahaman keagamaan dengan tindak kekerasan atas nama agama.Kata Kunci : Legitimasi dan Kekerasan, Ideologi, Agama, Varian dan Tipologi Abstract:In the social context, religion is not merely interpreted as liturgical rites, prayers and mystical practices that are personal and unique, but religion also comes with manifest and latent functions that are sometimes not desired by the adherents themselves. On the one hand, religion can be a means of social integration, binding the solidarity of fellow adherents in the congregation, church, sangha, and religious communities. However, adherents of religion have a pretty basic problem in the midst of pluralism. The problem is not being ready to be different. This is caused by various things including; the history and character of each person, gender, and view of life included in it is religious understanding. Acts of violence in the name of religion that often occur due to the presence of people or groups who feel disturbed by different people or groups. However, some indications that this clash is not just a matter of religion, there are other factors, but this paper will limit the problem with the core discussion on how the relationship between religious understanding and violence in the name of religion in terms of its historical, understanding and grouping of religious understanding, as well as the types violence through research data whose purpose is to see what is the relationship between religious understanding and violence in the name of religion.Keywords: Legitimacy and Violence, Ideology, Religion, Variants and Typology.
DAKWAH SIMBOLIK HIJRAH DAN MODERASI ISLAM DI MEDIA ONLINE Muhamad Fahrudin Yusuf
Aqlam: Journal of Islam and Plurality Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : IAIN Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (798.567 KB) | DOI: 10.30984/ajip.v4i2.1010

Abstract

Abstract "Hijrah" with all its symbolic identities today is one of the most contemporary Islamic issues. This research aims to describe and analyze the meaning of "hijrah" ideologically. This research focuses on the discourse of "hijrah" through the representation of the news of "hijrah" photos of the artists and the supplementary news in online media such as "Kapanlagi.com" and "kiblat.net". The method used in this research is discourse analysis. Technique of analyzing the data used in this research is semiotic analysis. The result of data analysis showed that the meaning of "hijrah" is still symbolic, namely professional change, the change of name and performance. In addition, online media have not fully supported the Islamic moderation movement.Key Word: Hijrah, Meaning, Ideology, Islamic Moderation. Abstrak “Hijrah” dengan segala identitas simboliknya dewasa ini menjadi salah satu isu Islam kontemporer terhangat menghiasi ruang media. Untuk tujuan mendeskripsikan dan menganalisis makna “hijrah” secara ideologis, penelitian ini memfokuskan diri wacana “hijrah” melalui representasi pada berita foto “hijrah” artis dan berita pelengkapnya yang ada di media online “kapanlagi.com” dan “kiblat.net”. Menggunakan analisis wacana sebagai metode penelitian dan analisis semiotika sebagai metode analisis data, didapati hasil bahwa makna “hijrah” menurut media online masih bersifat simbolik, yaitu perubahan profesi, perubahan nama dan penampilan. Artinya, media online belum sepenuhnya mendukung gerakan moderasi Islam.Kata kunci: Hijrah, Makna Simbolik, Ideologi, Moderasi Islam. 
WHERE IS THE GENDER JUSTICE? ANALYSIS OF NOVIA WIDYASARI’S SEXUAL VIOLENCE CASE FROM AN ISLAMIC FEMINIST PERSPECTIVE Siti Syamsiyatun; Anindya Arfiani
Aqlam: Journal of Islam and Plurality Vol 7, No 1 (2022)
Publisher : IAIN Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30984/ajip.v7i1.1827

Abstract

Abstract: Indonesian Komnas Perempuan (National Commission on Violence against Women) and WHO (World Health Organization) reported that violence against women and children, especially sexual violence, is raising during the COVID-19 pandemic era. Such data triggers the authors to question why sexual violence against them persists, and so difficult to be eliminated? Lots of research and casual observation have been presented, many of which are blaming the victims instead of defending them. This present research aims at contributing in answering above questions by conducting qualitative, literature study using a feminist perspective on particular sexual violence experienced by late Novia Widyasari. In so doing we employ also Foucault’s power relation and misogyny culture. We find there are imbalanced power position and misogynic narratives to blame the victim, and to save the life and career of the perpetrators. The deep and widespread of such practices, i.e. power abuse and misogynic attitudes hinder the effort for the elimination of violence, not only against women, but also against minority groups and the weak in our society, such as children, and disabled people. Keywords: Gender; misogyny; power relation; violence Abstrak: Komnas Perempuan Indonesia (Komnas Perempuan) dan WHO (World Health Organization) melaporkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya kekerasan seksual, meningkat selama era pandemi COVID-19. Data tersebut memicu penulis untuk mempertanyakan mengapa kekerasan seksual terhadap mereka tetap ada, dan begitu sulit untuk dihilangkan? Banyak penelitian dan observasi telah dilakukan, Sebagian besar diantaranya justru menyalahkan para korban alih-alih membela mereka. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi dalam menjawab pertanyaan di atas dengan melakukan studi literatur kualitatif dengan menggunakan perspektif feminis tentang kekerasan seksual tertentu yang dialami oleh almarhum Novia Widyasari. Dalam melakukannya kami juga menggunakan hubungan kekuasaan Foucault dan budaya misogini. Kami menemukan ada posisi kekuasaan yang tidak seimbang dan narasi misoginis untuk menyalahkan korban, dan untuk menyelamatkan nyawa dan karir para pelaku. Mendalam dan meluasnya praktek-praktek tersebut, yaitu penyalahgunaan kekuasaan dan sikap misoginis menghambat upaya penghapusan kekerasan, tidak hanya terhadap perempuan, tetapi juga terhadap kelompok minoritas dan lemah dalam masyarakat kita, seperti anak-anak, dan orang cacat.Kata Kunci: Gender; misogyny; power relation; violence
ISLAMIC RELIGIOUS EDUCATION, STUDENT ACTIVITY AND INTOLERANCE IN STATE SENIOR HIGH SCHOOLS IN YOGYAKARTA Aniek Handajani; Noorhaidi Hasan; Tabita Christiani
Aqlam: Journal of Islam and Plurality Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : IAIN Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (719.219 KB) | DOI: 10.30984/ajip.v4i2.1015

Abstract

Abstract Several studies show the presence of intolerance and Islamist attitudes strengthened among teachers and students. However, studies on ‘radicalization’ process among teenagers at school are still limited. We address the issue by analyzing intolerance tendency, examining the religious education at school and revealing the shift of intolerance tendency among students. By conducting mixed methods research in three public schools, this study uncovers seven factors that cause the shift of intolerance tendency: First, stakeholders formulate school vision which endorses religious tolerance in public schools. Second, the school policies that support pluralism and tolerance towards other differences in the school environment. Third, government and school leaders conduct training to provide teachers with knowledge to counter radical teachings. Fourth, teachers integrate local wisdoms in their teaching materials. Fifth, the student activities, particularly Islamic religious activities, which accommodate pluralism and endorse tolerance towards different religions, ethnics and cultures. Sixth, the supervision of books and materials from the internet that contain radical doctrines by parents and teachers. Seventh, involving Islamic mainstream organizations in countering radical ideology and mitigating intolerance in public schools. Regarding Islamist movements at schools, we suggest that religious education, if properly formulated can be used to counter Islamist radicalism at school effectively.Key words: Intolerance, Islamist movements, Radical ideology, Religious, Education AbstrakBeberapa studi menunjukkan adanya intoleransi dan sikap Islamis yang menguat di kalangan guru dan siswa. Akan tetapi penelitian mengenai proses 'radikalisasi' di kalangan remaja di sekolah masih terbatas. Kami menyikapi masalah ini dengan menganalisa kecenderungan intoleransi dan meneliti pelaksanaan pendidikan agama di sekolah. Dengan memakai metode gabungan di tiga sekolah umum, studi ini mengungkap adanya penurunan kecenderungan intoleransi pada tahun 2017 - 2018. Penelitian ini mengungkap enam faktor yang mempengaruhi penurunan intoleransi agama di kalangan siswa. Pertama, para pemangku kepentingan merumuskan visi sekolah yang mendukung toleransi beragama. Kedua, kebijakan sekolah yang mendukung pluralisme dan toleransi terhadap agama lain di sekolah.  Ketiga, pemerintah dan pimpinan sekolah mengadakan pelatihan bagi para guru untuk memberikan pengetahuan dalam rangka mengatasi paham radikal. Keempat, guru mengintegrasikan kearifan lokal dalam bahan ajar mereka. Kelima, kegiatan siswa terutama kegiatan Kerohanian Islam, yang mengakomodasi keberagaman dan mendukung toleransi terhadap berbagai agama, etnis, dan budaya. Keenam, pengawasan buku dan bahan dari internet yang mengandung doktrin radikal oleh orang tua dan guru. Ketujuh, melibatkan organisasi mainstream Islam dalam melawan ideologi radikal dan memitigasi intoleransi di sekolah umum. Sedangkan mengenai gerakan Islamis di sekolah, kami berpendapat bahwa pendidikan agama jika diformulasikan dengan benar dapat dipakai untuk melawan radikalisme di sekolah secara efektif.Kata kunci: Intoleransi, Gerakan Islamis, Ideologi radikal, Pendidikan Agama
MODERASI ISLAM PENCANTUMAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN DI KOLOM KTP/KK DALAM NALAR MAQASID Hamka Husein Hasibuan
Aqlam: Journal of Islam and Plurality Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : IAIN Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (618.552 KB) | DOI: 10.30984/ajip.v4i2.1011

Abstract

Abstract This article analyzes the decision of the Constitutional Court (MK) which rules that Penghayat Kepercayaan (the indigenous believers) has the right to include their credentials on their Identity (KTP) and Family Cards (KK). Using the “maqasid” approach, this article provides alternative answers, mediating the accepting and rejecting parties. The moderation of Islam is concluded, when the maqasid is used as reasoning sources in seeing things which bridges between texts and the reality besides considering the reasonality. By using the Jasser Auda’s maqasid paradigm, the paper concludes that inclusion of the local faith as their religious identity on the state documents is a part of development and human rights in the nation-state framing. Keywords:  Identity, indigenous believer, Maqasid, MK, and Human Right.Abstrak Artikel ini menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pencantuman Penghayat Kepercayaan di kolom KTP/KK dengan menggunakan konsep maqasid. Dengan pendekatan maqasid, artikel ini memberikan jawaban alternatif, sebagai sintesis antara pihak yang menerima dan pihak yang menolak. Moderasi Islam itu tampak, ketika maqasid digunakan sebagai nalar dalam melihat sesuatu, yang bisa mendialogkan antara teks dengan realitas yang berkembanga dengan tetap berpegang kepada kekuatan nalar. Dengan menggunakan paradigma maqasid Jasser Auda, maka pencantuman itu merupakan bagian dari development (pembangunan) dan human right (hak insani). Kedua poin ini diletakkan dalam kerangka nation-state.Keyword: Identitas, Penghayat, Maqasid, MK, dan Human Right.
ASMA BARLAS DAN GENDER PERSPEKTIF DALAM PEMBACAAN ULANG QS. AN-NISA/4:34 Nuril Fajri
Aqlam: Journal of Islam and Plurality Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : IAIN Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (717.264 KB) | DOI: 10.30984/ajip.v4i2.1016

Abstract

AbstractGender discussion will always seem appealing from an Islamic perspective. Before Islam came, the pattern of life of Arab society was very prone to social conflict. Islam came to improve the human life with the spirit of justice, liberation, anti-oppression, and anti-discrimination. The culture of patriarchy that was once heavily rooted turned out to affect on the interpretation of Qur'anic verses done by the mufassirūn (Comentators on the Qur’an), especially during the Classic era, the interpretation ignored the Women's interests, so the difference between men and women is very noticeable. Islam recognizes the distinction but does not make it a discrimination. This can be seen from the perception and review of women such as women are considered weak, passive, more precious than men, emotional, and so forth. While in the study of religion, women are always used as the weak in various fields, such as of the concept of nusyudz, polygamy, witness adultery, inheritance treasures, reward and threats of torment, Shari'ah and so forth. In this case, through her concept of "recital of the Qur'anic texts, Asma Barlas appears to be one of the contemporary feminist figures who want to improve the order of the interpretation of religious texts that is overwhelmed by gender bias. This includes Hadith interpretation which is framed against the patriarchal ideology, thus raising the spirit of liberation among women and uphold the perspective of egalitarianism in the recitation of the verses of the Qur'an. Using the historical facts and hermeneutics, this paper elaborates the meaning of qawwᾱm in the QS. 4:34. in more gendered perspective according to Barlas.Keywords: Qur'an, Patriarchy, Gender, Feminist, Asma Barlas AbstrakPembahasan gender akan senantiasa tampak menarik dilihat dari perspektif Islam. Sebelum Islam datang, pola kehidupan masyarakat Arab saat itu sangat rawan akan konflik dan juga perpecahan umat. Islam datang untuk memperbaiki tatananan kehidupan tersebut dengan semangat keadilan, pembebasan, anti-penindasan, dan anti diskriminasi dalam memperlakukan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Budaya patriarki yang dulunya sangat kental ternyata sangat berpengaruh pada produk tafsir al-Qur’an, terutama yang dihasilkan oleh mufassir era klasik yang secara tidak sadar, penafsirannya kurang mengakomodir kepentingan perempuan, sehingga perbedaan antara laki-laki dan perempuan sangat terlihat. Islam mengakui akan adanya perbedaan (distinction) akan tetapi tidak menjadikan itu sebagai sebuah pembedaan (discrimination). Hal ini dapat dilihat dari persepsi dan kajian tentang perempuan seperti perempuan dianggap lemah, pasif, akalnya lebih sedikit dibanding laki-laki, emotional, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam kajian agama, perempuan selalu dijadikan sebagai objek dari berbagai sisi, seperti konsep nusyudz, poligami, saksi zina, harta warisan, pahala dan ancaman siksaan, syari’at dan lain sebagainya. Dalam hal ini, Asma Barlas muncul sebagai salah satu tokoh feminis kontemporer yang ingin melakukan reinterpretasi teks-teks agama yang bias gender yaitu dengan konsep pembacaan ulang terhadap teks-teks al-Qur’an dan juga hadis, yang mana penafsiran-penafsiran sebelumnya didominasi oleh ideologi patriarki. Hal ini dilakukan untuk memunculkan semangat pembebasan terhadap perempuan dan menjunjung perspektif egalitarianisme dalam pembacaan kembali ayat-ayat al-Qur’an. Dengan menggunakan metodologi sejarah dan hermeneutik, salah satu yang dikritik oleh Asma Barlas ialah makna qawwᾱm dalam QS. 4:34.Kata kunci: Al-Qur’an, Patriarki, Gender, Feminis, Asma Barlas

Page 1 of 13 | Total Record : 122