cover
Contact Name
Bidang Fasilitasi Publikasi Hukum dan HAM
Contact Email
balitbangkumham@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
balitbangkumham@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal HAM
ISSN : 16938704     EISSN : 25798553     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal HAM merupakan majalah ilmiah yang memuat naskah-naskah di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) yang berupa hasil penelitian, kajian dan pemikiran di bidang HAM. Jurnal HAM terbit secara berkala 2 Nomor dalam setahun pada bulan Juli dan Desember.
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 12, No 3 (2021): December Edition" : 8 Documents clear
Hak Asasi Manusia dan Pemenuhan Pendampingan Hukum (Advokasi Hukum Korban Penyalahgunaan Narkoba di Kota Bengkulu) Susiyanto Susiyanto; Mikho Ardinata; Sinung Mufti Hangabei; Hendi Sastra Putra
Jurnal HAM Vol 12, No 3 (2021): December Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (491.89 KB) | DOI: 10.30641/ham.2021.12.429-448

Abstract

Selain pemakai, remaja dijadikan sebagai perantara untuk mengedarkan narkotika di tingkat sekolah. Beberapa remaja yang ditangkap sebagai pengedar tidak mengetahui mengenai apa yang disangkakan. Kewajiban memberikan bantuan hukum bagi orang atau kelompok miskin oleh advokat sejalan dengan prinsip justice for all dan hak untuk didampingi oleh advokat tanpa kecuali. Dalam sistem hukum pidana yang belum mencapai titik keterpaduan, pembelaan bagi orang atau kelompok miskin tetap diperlukan. Tulisan ini membahas mengenai peran pengacara dalam hal pendampingan hukum bagi korban penyalahgunaan narkoba di Kota Bengkulu. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan hukum empiris dengan mengamati perilaku verbal maupun nyata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, informasi berkaitan pemberian hukum secara gratis belum maksimal. Masih banyak pengguna narkotika yang berhadapan dengan hukum tidak mendapatkan pendampingan/ bantuan hukum yang menimbulkan ketidakberdayaan. Perlu adanya ketentuan untuk memberikan bantuan hukum kepada tersangka dan terdakwa yang disangka dan didakwa melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana di bawah lima tahun.
Tanggung Jawab Negara dalam Kasus COVID-19 sebagai Perwujudan Perlindungan HAM Sholahuddin Al-Fatih; Felinda Istighfararisna Aulia
Jurnal HAM Vol 12, No 3 (2021): December Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (516.812 KB) | DOI: 10.30641/ham.2021.12.349-366

Abstract

Covid-19 atau Coronavirus Disease 2019 merupakan penyakit yang mudah menular dengan cepat dan luas. Penyebaran Covid-19 menimbulkan banyak dampak dari berbagai aspek kehidupan. Seperti aspek kesehatan, ekonomi, pendidikan dan sosial. Setiap negara memiliki peran yang sangat penting dalam penanganan pandemi global ini sehingga negara memiliki kewajiban pemenuhan hak asasi untuk warga negaranya dalam beragam aspek kehidupan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek tanggungjawab negara terhadap perlindungan dan jaminan HAM selama pandemi Covid-19. Penelitian ini akan memberikan pedoman bagi para stakeholders untuk memenuhi hak asasi warga negara selama pandemi Covid-19. Metode penelitian yuridis normatif digunakan dalam penelitian ini dengan melakukan telaah bersumber pada studi kepustakaan. Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Pemerintah telah berupaya menjamin terpenuhinya hak-hak dasar warga selama pandemi Covid-19, terutama dalam sektor kesehatan, ekonomi dan pendidikan. Namun, Pemerintah perlu untuk memenuhi hak-hak dasar yang lain, misalnya dalam sektor spiritual, sosial maupun budaya.
Kirpan Sikh: Antara Hak Kebebasan Beragama dan Hukum Nasional Di Indonesia Hilmi Ardani Nasution
Jurnal HAM Vol 12, No 3 (2021): December Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (155.127 KB) | DOI: 10.30641/ham.2021.12.449-464

Abstract

Agama Sikh termasuk dalam sepuluh agama terbesar di dunia. Penganut Sikh di Indonesia pun sudah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan. Salah satu ciri khas peribadatan dan simbol keagamaan adalah mengenakan kirpan pada berbagai kesempatan. Berdasarkan ciri fisiknya, Kirpan sering dianggap sebagai senjata tajam yang di dalamnya melekat delik hukum (pidana). Kirpan adalah suatu simbol yang wajib dikenakan oleh pemeluk Sikh terkait dengan penerapan kepercayaannya. Permasalahan muncul ketika penggunaan Kirpan oleh pemeluk Sikh dapat dipidana karena peraturan di Indonesia belum mengakomodir kepemilikan senjata tajam dengan tujuan keagamaan. Penelitian ini menggunakan metode normatif yang merupakan penelitian kepustakaan. Sumber primer penelitian ini berasal dari norma dan peraturan yang mengatur terkait kebebasan beragama dan senjata tajam. Tulisan ini menemukan bahwa beberapa undang-undang mengancam pemeluk Sikh yang mengenakan Kirpan. Penyesuaian berbagai peraturan terkait persoalan kirpan sebagai simbol dan bagian tata cara peribadatan Sikh perlu dilakukan. Langkah ini akan menghindari pemeluk agama Sikh dari ancaman pidana dan menciptakan atmosfer kebebasan dalam menerapkan nilai-nilai agama di Indonesia yang secara teori dilindungi dalam nilai-nilai hak asasi manusia.
Hak Asasi Manusia atau Hak Manusiawi? Carolus Boromeus Kusmaryanto
Jurnal HAM Vol 12, No 3 (2021): December Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (194.743 KB) | DOI: 10.30641/ham.2021.12.521-532

Abstract

Terjemahan human rights ke dalam bahasa Indonesia adalah tidak tepat. Ada dua istilah yang saling berkaitan yakni human rights (hak manusiawi) dan fundamental human rights (hak asasi manusia). Sayangnya, dua istilah tersebut itu diterjemahkan persis terbalik.Istilah “Human rights” dalam Bahasa Indonesia diartikan dengan memakai istilah “fundamental human rights.” Terjemahan yang salah ini berdampak besar pada pemahaman dan penerapan human rights. Artikel ini berusaha untuk mengoreksi kesalahan terjemahan itu dengan menunjukkan perbedaan makna antara hak manusiawi dengan hak asasi manusia. Artikel ini juga memberikan panorama baru bahwa hak asasi manusia itu yang paling fundamental adalah hak hidup. Pelanggaran hak manusiawi itu tidak otomatis menjadi suatu kejahatan apabila pelanggaran hak manusiawi itu dilakukan dengan alasan untuk mempertahankan hak asasi manusia yakni hak hidup. Jadi, dalam bahasa Indonesia, human rights seharusnya diterjemahkan menjadi hak manusiawi dan bukan “hak asasi manusia” sehingga terdapat keselarasan antara terminologi dan maknanya.
Peran Organisasi Internasional dan Regional dalam Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Perdagangan Orang di Indonesia Iskandar Iskandar; Nursiti Nursiti
Jurnal HAM Vol 12, No 3 (2021): December Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (87.203 KB) | DOI: 10.30641/ham.2021.12.385-404

Abstract

Perdagangan orang merupakan kejahatan transnasional. Tahun 2019, KPPA mencatat 213 kasus dan meningkat menjadi 400 kasus pada tahun 2020. Kondisi ini mewajibkan negara mengambil tindakan tegas untuk melindungi warga negara khususnya perempuan dan anak agar tidak terjebak dalam perdagangan orang. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menganalisis peran organisasi internasional dan regional dalam mengatasi persoalan perdagangan orang, peran pemerintah dan aparat penegakan hukum dalam penyelesaian tindak pidana perdagangan orang di Indonesia serta upaya perlindungan kepada korban perdagangan orang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan kajian kepustakaan. Bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Hasil penelitian menunjukkan bahwa IOM dan ASEAN telah melakukan berbagai upaya untuk penanganan perdagangan orang melalui fasilitasi pembuatan regulasi, diplomasi antar negara transit dan negara tujuan, koordinasi antar kementerian dan kepolisian untuk penindakan secara cepat dan tepat. UU TPPO tidak menimbulkan efek jera karena memberikan sanksi rendah. Pemerintah Indonesia harus lebih meningkatkan upaya pencegahan dan perlindungan terhadap korban, serta menetapkan hukuman yang dapat menjerakan pelaku.
Alternatif Penanganan Deret Tunggu Terpidana Mati di Lembaga Pemasyarakatan dalam Konstruksi Hak Asasi Manusia Firdaus Firdaus; Okky Chahyo Nugroho; Oksimana Darmawan
Jurnal HAM Vol 12, No 3 (2021): December Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (476.846 KB) | DOI: 10.30641/ham.2021.12.503-520

Abstract

Fenomena deret tunggu eksekusi mati bukan hanya menjadi masa tunggu terpidana mati dalam proses pengajuan upaya hukum permohonan grasi ke Presiden, tetapi juga menjadi bentuk penghukuman tersendiri bagi para terpidana mati. Rumusan masalah membahas tiga hal. Pertama, bagaimana alternatif penanganan deret tunggu terpidana mati dari sudut pandang hak asasi manusia yaitu hak sipil politik (hak hidup) hak ekonomi, sosial dan budaya (hak kesehatan jiwa)?. Kedua, apa upaya yang telah dilakukan Lembaga Pemasyarakatan dalam memenuhi hak dasar terpidana mati?. Ketiga, bagaimana alternatif lainnya dalam penanganan fenomena deret tunggu? Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis empiris yang merupakan penelitian hukum sosiologis dengan melakukan wawancara dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alternatif pidana yang dapat menggantikan pidana mati dan tantangan penerapannya yaitu kembali ke tujuan pemidanaan sebagai koreksi sosial dimana hal ini tidak hanya menghukum narapidana. Perlu terdapat perubahan dalam sistem penegakan hukum termasuk institusi terkat. Tantangan alternatif pengganti pidana mati adalah political will dari pemerintah dengan mengedepankan hak asasi manusia terpidana mati. Selain itu, pemenuhan hak kesehatan jiwa terpidana mati harus didukung oleh tenaga profesional tentang kejiwaan.
Eksistensi Gerakan Sosial Pasangan Campur Antarnegara: Upaya Memperoleh Hak Untuk Menikah di Masa Pandemi Dwi Bima Achmad Setyawan; Rizqi Ganis Ashari
Jurnal HAM Vol 12, No 3 (2021): December Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (54.209 KB) | DOI: 10.30641/ham.2021.12.405-428

Abstract

Pasangan campur antarnegara yang tidak terakomodasi oleh kebijakan keimigrasian membentuk gerakan #loveisnottourism di media sosial. Artikel ini bertujuan mendeskripsikan berbagai hal yang melatarbelakangi munculnya gerakan sosial #loveisnottourism dan pemenuhan hak untuk menikah dalam konteks undang- undang yang mengatur hak asasi di Indonesia saat pandemi. Penelitian ini dilakukan melalui metode penelitian kualitatif deskriptif dan pendekatan yuridis normative dengan menganalisis data hukum primer dan data sekunder. Faktor pemicu gerakan sosial #loveisnottourism dikategorikan menjadi faktor personal dan faktor eksternal. Ketiadaan fasilitas keimigrasian bagi pasangan campur untuk bertemu dan melaksanakan pernikahan merupakan pengejawantahan doktrin positif hukum tentang hak asasi di Indonesia, yang mengkategorisasikan hak untuk menikah di saat pandemi sebagai bagian dari derogable rights. Hak tersebut dapat dibatasi pemenuhannya oleh negara dengan mempertimbangkan kondisi kesehatan dan keamanan negara dari sebaran Covid-19. Artikel ini merekomendasikan perlunya penjelasan yang transparan mengenai doktrin positif hak untuk menikah sebagai derogable rights sehingga pemenuhannya dapat dibatasi.
The Indonesian Electronic Information and Transactions Within Indonesia’s Broader Legal Regime: Urgency for Amendment? Tasya Safiranita; Travis Tio Pratama Waluyo; Elizabeth Calista; Danielle Putri Ratu; Ahmad M. Ramli
Jurnal HAM Vol 12, No 3 (2021): December Edition
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (556.29 KB) | DOI: 10.30641/ham.2021.12.533-552

Abstract

Cyberspace is the interdependent network of information technology infrastructures such as the internet, telecommunications networks, and computer systems. Meanwhile, Indonesia’s Law Number 11 of 2008 and its amendment through Indonesian Law Number 19 of 2016 governing cyberspace have been viewed to contradict and infringe other areas of law, such as protection of press or freedom of expression. Hence, this study seeks to identify the controversies and problems regarding the law deemed urgent for amendment. Further, this study creates recommendations so the government may amend electronic information policy more fairly and efficiently. This study uses a judicial normative and comparative approach. This research tries to analyze the existing regulations and the implementation and compare Indonesia’s cyberspace regulation with other States’. This study finds that Articles 27(3) and 28(2) of the law criminalize defamation and hate speech in an overly broad manner and that Article 40(2)(b) allows the government to exercise problematic censorship. As a result, they have infringed the freedom of the press and general freedom of expression in practice. In response to this, this study compares similar provisions from other States and recommends amendment the articles to become narrower and more clearly defined.

Page 1 of 1 | Total Record : 8