cover
Contact Name
Redaksi Jurnal Bina Hukum Lingkungan
Contact Email
redaksi.bhl@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
astrianee@gmail.com
Editorial Address
-
Location
,
INDONESIA
Bina Hukum Lingkungan
ISSN : 25412353     EISSN : 2541531X     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Bina Hukum Lingkungan adalah jurnal ilmiah yang terbit secara berkala setiap tahunnya pada bulan April dan Oktober yang di terbitkan oleh Perkumpulan Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) Artikel yang dimuat pada jurnal Bina Hukum Lingkungan akan di publikasikan dalam bentuk cetak dan e-jurnal (online) dalam rangka menyebarluaskan ilmu pengetahuan tentang hukum lingkungan dalam negeri maupun luar negeri
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan" : 10 Documents clear
KENDALA PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN Yanti Fristikawati
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (235.804 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.13

Abstract

AbstrakPenyelesaian sengketa dapat dilakukan di pengadilan maupun di luar pengadilan, terkait sengketa lingkungan, sejak tahun 1982 Indonesia telah mempunyai UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan hidup, yang kemudian diganti dengan UU Nomor 27 Tahun 1999, dan terakhir kita memiliki UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Artikel ini akan membahas tentang bagaimana perkembangan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan (ADR), sejak dikeluarkannya Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup tahun 1982, sampai dengan saat ini, dimana tentunya ada beberapa persamaan dan perbedaan tentang pengaturan ADR lingkungan dari ketiga aturan tersebut. Selain itu akan dibahas pula tentang kendala penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan di Indonesia.Kata kunci: penyelesaian sengketa; lingkungan hidup; ADR. AbstractDispute Settlement could be done within or outside the Court. Related to Environmental dispute, Indonesia had Law no 4 year 1982 concerning Environment, which then became Law no 27 year 1999, and last amendment was Law no. 32 of 2009 on the Environment Protection and Management. his paper will discuss the development on environmental dispute settlement outside the court (ADR) from Environmental Law year 1982 in force until today, focuses on the similarity and differences on ADR arrangement based on the three law. Furthermore, obstacles on environmental dispute outside the court will also be discussed.Keywords: dispute settlement; environmental; ADR.
PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA UNTUK KEBAKARAN HUTAN/LAHAN: BEBERAPA PELAJARAN DARI MENTERI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN (KLHK) VS PT. BUMI MEKAR HIJAU (BMH) Andri Gunawan Wibisana
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (407.427 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.5

Abstract

AbstrakAkhir-akhir ini, Pengadilan Negeri Palembang menolak gugatan pemerintah melawan perusahaan yang kawasan hutan konsesinya mengalami kebakaran hutan pada tahun 2014. Pengadilan menolak gugatan dengan berbagai alasan, salah satunya adalah bahwa penggugat telah gagal untuk membuktikan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Artikel ini adalah sebuah reaksi atas penafsiran yang sempit terhadap perbuatan melawan hukum di Indonesia. Secara khusus, artikel ini menganalisis kemungkinan penerapan strict liability terhadap kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Artikel ini menyimpulkan bahwa ketentuan dalam berbagai undang-undang dan peraturan terkait dengan pencegahan dan pengendalian terhadap kebakaran hutan mengindikasikan untuk dapat menerapkan prinsip strict liability dalam kasus kebakaran hutan. Hal ini juga menunjukan adanya perbedaan terhadap tafsiran strict liability secara luas di Indonesia, penerapan dari strict liability ditujukan agar tergugat yang aktivitasnya dikategorikan sebagai diluar batas kewajaran dan berbahaya dapat dimintai tanggung jawab terlepas dari unsur kesalahan, baik secara subjektif maupun objektif. Tergugat bertanggung jawab walaupun dia melakukan kegiatannya secara sah dan melakukan kegiatan dengan cara yang tidak melawan hukum. Artikel ini juga menyimpulkan bahwa perbedaan konsep dari pergeseran dalam beban pembuktian kesalahan, dalam strict liability tergugat masih bertanggung jawab meskipun dia dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah.Kata Kunci: perbuatan melawan hukum; strict liability; kebakaran hutan/lahan. AbstractRecently, Palembang District Court rejected the Government civil lawsuit against a company whose forest consession area underwent forest fires in 2014. The court rejected the lawsuit for various reasons, one of which was that the plaintiff has failed to prove that the defendant has conducted an unlawful act. This article is a reaction to such a narrow interpretation of negligence in Indonesian. In particular, this article analyzes the possibility of the use of strict liability on forest fires in Indonesia. The article concludes that provisions in various laws and regulation addressing the prevention and control of forest fires indicate the support of the use of strict liability in case of forest fires. It also shows that contrary to the commonly held interpretation of strict liability in Indonesia, the application of strict liability means that the defendant whose activity is characterized as abnormally dangerous activity will be held liable regardless for fault, both in subjective and objective senses. The defendant is liable although he was engaged in a lawfull activity and carried out the activity in a lawfull manner. This article also concludes that contrary to the notion of the shifting in the burden of proof regarding fault, under strict liability the defendant is still liable although he proves that he was not at fault.Keywords: unlawful act; strict liability; forest fires
ASPEK HUKUM ADMINISTRASI KEPENDUDUDKAN DIHUBUNGKAN DENGAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA ABSENTEE Mulyani Djakaria
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (217.974 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.15

Abstract

AbstrakSecara implisit, ketentuan Pasal 10 UU No. 5/1960 menetapkan larangan pemilikan tanah pertanian  secara absentee. Agar tanah pertanian hanya dapat dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya, maka dibuatlah ketentuan untuk menghapuskan pengusaan tanah pertanian secara absentee dengan beberapa pihak yang dikecualikan dari ketentuan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif,data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dianalisis secara normatif kualitatif. Semua bentuk pemindahan hak milik atas tanah pertanian melalui jual beli, tukar menukar, atau hibah yang mengakibatkan pemilikan baru tanah pertanian secara absentee  dilarang. Tanah-tanah pertanian yang terkena larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee akan dikuasai oleh pemerintah untuk selanjutnya dijadikan objek land reform (diredistribusikan) kepada petani yang memerlukan tanah dan kepada bekas pemilik tanah pertanian secara absentee diberikan ganti kerugian. Namun dalam praktik masih banyak  pemilikan tanah secara absentee oleh masyarakat /pihak di luar yang dikecualikan dari ketentuan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. Hal ini dapat terjadi dengan cara pemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) ganda yang memungkinkan seseorang menyelundupi ketentuan tentang tanah absentee, walaupun dalam Pasal 63 ayat (6) UU Adminduk telah dinyatakan KTP-el berlaku secara nasional. Ketentuan mengenai tanah absentee  perlu dipertahankan dengan didukung pendaftaran tanah secara akurat, dan penyalahgunaan KTP bisa dihindari, disertai sanksi yang tegas.Kata Kunci: Tanah; tanah absentee; adminitrasi kependudukanAbstactImplicitly, the Law No. 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles has established a ban on absentee ownership of agricultural land. In order to ensure that the agricultural land can only be cultivated actively by the owner, then a provision to abolish the absentee ownership of land is made with several parties that are excluded from that provision. The method used in this research is descriptive analytic with normative juridical approach, the data collection which obtained from the literature and field research were analyzed using normative-qualitative methods. All forms of transfer of the right of ownership over agricultural land through purchase, exchange, or grant resulting in absentee ownership are banned. Those agricultural lands which are affected by the ban of absentee ownership will be taken by the government for later be redistributed to the farmers and as for the previous owner of those lands then the compensation will be given. However, the absentee ownership of land by those who aren’t excluded by the provision is still taking place. This can occur by means of dual identity card (KTP) ownership that enables one to elude from the absentee ownership of land provision, although it is stated in Art. 63 (6) of the Law No.23/2009 concerning Population Administration that e-KTP is applied nationally. The provision concerning the absentee ownesrship of land has to be maintained and sustained by the accurate land registration thus the misappropriation can be prevented and also it must be accompanied by strict punishment as well.Keywords: Land; absentee ownership of land; population administration.DOI: 10.24970/jbhl.v1n1.10
PENEGAKAN HUKUM PIDANA LUMPUR LAPINDO MASIH JAUH DARI HARAPAN Nilma Suryani
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (222.632 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.7

Abstract

AbstrakTanggal 29 Mei 2016 yang akan datang genap 10 tahun kasus semburan Lumpur Lapindo yang disebabkan pengeboran gas alam oleh PT Lapindo Brantas di Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan pernyataan dari DPR bahwa semburan lumpur tersebut bukan kesalahan dari PT. Lapindo Brantas tapi karena pengaruh dari Gempa Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 26 Mei 2006 dan putusan pengadilan perdata yang diajukan YLBHI dan WALHI kandas serta dihentikannya penyidikan oleh Kepolisian Jawa Timur sehingga PT. Lapindo Brantas tidak bisa dipidana. Hal ini sangat melukai hati rakyat Porong Sidoarjo yang menjadi korban dari semburan lumpur tersebut dan bahkan Aburizal Bakri sebagai pemilik PT. Lapindo Brantas dinyatakan sebagai orang terkaya di Asia Tenggara. Tidak dipidananya PT. Lapindo Brantas menggambarkan cerminan buruknya penegakan hukum pidana lingkungan di Indonesia. Sudah jelas 42 ahli menyatakan bahwa lumpur lapindo bukan bencana alam tapi murni kesalahan dari PT. Lapindo Brantas dalam melakukan pengeboran. Dan polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan hakim yang menjatuhkan putusan seharusnya menyidangkan perkara ini dan menghukum PT. Lapindo Brantas berdasarkan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) bahwa sanksi pidana bisa dijatuhkan kepada badan usaha. Dalam hukum pidana terhadap badan usaha dapat dijatuhkan pidana berupa denda atau tindakan administratif, atau penutupan sebagian atau seluruh perusahaan atau sesuai dengan asas pencemar membayar tapi tidak bisa dipidana penjara karena pengurus adalah kumpulan orang. Dengan ditegakannya hukum pidana bagi pelaku lingkungan hidup maka tujuan dari pemidanaan akan tercapai yaitu pelaku jera dan tidak mengulangi perbuatannya serta tidak dicontoh oleh orang lain.Kata Kunci: penegakan hukum; pidana; dan lumpur lapindo. AbstractMay 29th, 2016 will be a10th yearcommemoration of the Lapindo Leakage, which was a result of natural gas drilling by P Lapindo Brantas in Sidoarjo Residency. According to DPR, the leakage was an impact of Yogyakarta earthquake which was happened on May 26th, 2006 and civil law verdict proposed by YLBHI and WALHI was rejected therefore the investigation by East Java Police was stopped so that P Lapindo Brantas couldn’t be criminally prosecuted. However, this had hurt the people of Porong Sidiarjo as the victim, furthermore Abu Rizal Bakri as the owner of P Lapindo Brantas was named as the richest man in Southeast Asia. This case showed that environmental criminal law enforcement in Indonesia is unreliable. here were 42 experts that said that it wasn’t natural disaster but drilling mistake. Police as investigator, District Attorney as prosecutor and Judge who give verdict should put trial to this case and punish P Lapindo Brantas according to Article 116 of Law no. 32 of 2009 on the Environment Protection and Management, which says that criminal sanction could be apply/given to a business organization. According to criminal law, a business organization can be fined or other administrative means, or sealed partially or whole asset or pay based on contamination principles but couldn’t be hold in prison because the committee is group of people. It is hoped that by criminal law enforcement for environmental subject, the actor of the crime stopped the action and will not be imitated.Keywords: law enforcement; criminal; andlapindo leakage.DOI: 10.24970/jbhl.v1n1.6 
KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA Ida Nurlinda
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (215.551 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.16

Abstract

AbstrakKegiatan pembangunan di Indonesia, telah membawa dampak buruk pada kuantitas dan kualitas SDA itu sendiri. Secara normatif, Indonesia telah memiliki UU-PPLH sudah lebih komprehensif mengatur kaidah-kaidah perlindungan dan pengelolaan lingkungan dibandingkan dengan aturan-aturan sebelumnya. Namun, lemahnya tataran implementasi peraturan perundangan di bidang lingkungan tersebut pada kenyataannya menimbulkan sejumlah konflik sosial dan/atau sengketa hukum. Hasil penelitian menunjukan pemerintah perlu mengoptimalkan instrumen-instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 UU-PPLH. Hal tersebut menjadi penting dalam upaya penegakan hukum sebagai tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dalam mewujudkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan bagi kepentingan generasi yang akan datang.Kata Kunci: Kebijakan; Pengelolaan Sumber Daya Alam; Penegakan Hukum.AbstractDevelopment activity in Indonesian has bring adverse impacts on quantity and quality of Indonesian’s natural resources. Normatively, Indonesia has UU-PPLH that more comprehensively regulate norms of environmental protection and management than the previous environmental law. However, the lack of implementation of legislation in the field of the environment, lead to a number of social conflicts and/or legal disputes. The results showed the government need to optimize the instruments of prevention of pollution and/or environmental damage as stated in Article 14 of UU-PPLH. The optimalisation on law enforcement is needed to effort responsibility from central and local government in protecting environmnent for the next generation.Keywords: policy; natural resources management; law enforcement.DOI: 10.24970/jbhl.v1n1.1
KEARIFAN LOKAL DALAM PELESTARIAN HUTAN MANGROVE MELALUI COMMUNITY DEVELOPMENT Purwowibowo Purwowibowo; Nur Dyah Gyanawati
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (352.514 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.14

Abstract

AbstrakKajian kearifan lokal melalui pengembangan komunitas (comdev) untuk menjaga kelestarian lingkungan telah lama dilakukan. Namun, penelitian sejenis untuk perlindungan hutan mangrove jarang dilakukan. Aritikel ini memfokuskan pada pengembangan komunitas (comdev) berbasis kearifan lokal dengan proses bottom-up oleh masyarakat desa pesisir di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Pengembangan komunitas secara bottom-up bertujuan untuk menjelaskan bahwa seluruh aktifitas yang digagas atau dilakukan, dikontrol oleh masyarakat setempat dengan pemimpin yang informal dan para anggotanya. Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan tanpa melibatkan atau difasilitasi oleh pihak eksternal seperti LSM atau pemerintah. Melalui kearifan lokal yakni pengetahuan masyarakat, kebudayaan, sumberdaya, keterampilan dan proses-proses, serta pengembangan komunitas masyarakat lokal yang terus menerus dilakukan, sehingga pada akhirnya menghasilkan perlindungan hutan mangrove. Namun, kerusakan hutan magrove yang diakibatkan oleh perbuatan masyarakat lokal ataupun orang-orang yang berasal dari luar daerah tersebut sehingga kerusakan hutan mangrove tidak dapat dielakan lagi. Sejauh ini, keadaan tersebut dapat diatasi melalui regulasi yang memperhatikan kearifan lokal serta dengan menerapkan prinsip win-win solution terhadap komunitas terkait. Perlindungan hutan mangrove di daerah garis pantai dapat menjadi sabuk hijau dan media untuk berbagai jenis dari pemulihan sumberdaya alam. Ketersediaan sumberdaya alam dapat menunjang kesejahteraan masyrakat da-lam bentuk keuntungan dari pemanfaatan sumber daya alam.Kata Kunci: Kearifan Lokal; Hutan Mangrove; Pengembangan Komunitas. AbstractStudy of local wisdom through Community Development (Comdev) to maintain environmental sustainability has long been undertaken. However, research of similar kind for mangrove forest conservation is rarely carried out. his article focuses on localwis-dom-based Comdev with bottom-up process conducted by coastal village community in Rembang regency, Central Java. Bottom-up Comdev is meant to clarify that theentire activities were merely initiated, conducted and controlled by the local community with the informal leader and members. Thus, the activities have been carried out without the involvement or facilitation of external parties like NGO or government. Through local wisdom namely local background knowledge, local culture, local resources, local skills and local process, the ongoing Comdev has long been conducted and mangrove forest conservation eventually became a reality. Nevertheless, mangrove forest destruction caused by local people or outsiders inevitably takes place. Yet, this circumstance can be overcome through regulation issued with local wisdom through ‘win-win solution’ with related community. Mangrove forest conservation in shoreline region can be the greenbelt and media for various types of natural resources recovery. The natural resource availability can empower human welfare in the form of regular employment and income.Keywords: Local Wisdom; Mangrove forest; Community Development.
PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI DALAM PENGELOLAAN DAN PELESTARIAN TANAMAN SAGU DI MALUKU Victor Juzuf Sedubun; Muhammad Irham
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (269.595 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.2

Abstract

AbstrakSalah satu instrumen hukum administrasi adalah pengawasan. Pengawasan yang dimaksud, termasuk di dalamnya pengawasan terhadap tindakan pengelolaan dan pembinaan tanaman sagu di Maluku. Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Pembinaan Pohon Sagu, telah mengatribusikan kewenangan pengelolaan dan pembinaan Pohon Sagu di Maluku kepada Pemerintah Provinsi. Wujud dari kewenangan dalam pengelolaan dan pembinaan tanaman sagu oleh Pemerintah Provinsi Maluku adalah pengawasan terhadap pengelolaan pohon sagu. Penebangan pohon Sagu hanya dapat dilakukan setelah ada rekomendasi dari Badan Penggelolan Pohon Sagu. Pengawasan ini menjadi tidak berarti ketika penegakkan hukum tidak dapat diterapkan secara optimal, disebabkan karena Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 10 Tahun 2011 tidak mengatur tentang sanksi administrasi terhadap pelanggaran administrasi. Kekosongan hukum ini berakibat pada penegakkan hukum administrasi yang lemah. Untuk itu perlu kiranya diatur mengenai sanksi admistrasi yang menjadi dasar hukum penindakan pelanggaran administrasi dalam pengelolaan dan pembinaan Pohon Sagu di Maluku.Kata kunci: hukum administrasi; pelestarian; sagu. AbstractOne of the instrument of administrative law is control. Control, including the control of the management measures and conservation of Sagu in Molluca. Local Regulation of Molluca Province Number 10 Year 2011 about Management and Conservation Sagu, has attributed authority to management and the preservation of Sagu in Molluca to the Provincial Government. he authority to management and development of sagu by Molluca provincial government are controlling the management of the sagu. he logging of Sagu tree can be doing after get a recommendation from the BPPS. his control becomes meaningless when law enforcement cannot be applied optimally, it because in a Local Regulation of Molluca Provincial Number 10 of 2011 does not provide for administrative sanctions against administrative violations, it mean that enforcement of administrative law can be doing. It is necesaary to set administrative sanction as the foundational of law enforcement administrative violations in the management and preservation of Sago in Molluca.keywords: administrative law; conservation; sagu.
MEDIASI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI TERHADAP PELANGGARAN HAK ATAS LINGKUNGAN HIDUP YANG SEHAT Marhaeni Ria Siombo
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (204.547 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.11

Abstract

AbstrakUUPPLH tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas menyatakan bahwa mendapatkan lingkungan hidup yang sehat adalah ‘hak’ setiap warga negara Indonesia. Manusia adalah subyek hukum, pemikul hak dan kewajiban. Fungsi hukum adalah mengatur terlaksananya interaksi antara hak dan kewajiban masing-masing orang, supaya tercipta ketertiban. Hak dan kewajiban melekat utuh dalam diri manusia. Dalam hukum perdata mengatur interaksi hak di satu pihak dan kewajiban dipihak lainnya, begitu seterusnya pergaulan manusia. Pelanggaran terhadap ‘hak’ akan menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidaktertiban atau sengketa di antara para pihak, yang harus diselesaikan secara hukum.Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan persyaratan yang diwajibkan terhadap suatu kegiatan yang diperkirakan memiliki dampak penting terhadap lingkungan. AMDAL merupakan instrumen hukum berkaitan dengan perizinan yang esensinya untuk mengontrol pelaksanaan tiga pilar pembangunan, ekonomi, sosial dan ekologi. Dokumen AMDAL akan memberikan petunjuk terjadinya pelanggaran terhadap ‘hak’ masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat. Pelanggaran terhadap lingkungan hidup berkaitan dnengan ganti rugi terhadap mereka yang dilanggar haknya dan pemulihan lingkungan terhadap lingkungan yang rusak. Pembayaran ganti rugi sebagai konpensasi atas penderitaan dari pelanggaran hak lingkungan, pengembalian penderita pada kedaan semula (restitusio in integrum).Pasal 84 UUPPLH menyatakan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan (litigasi) dan diluar pengadilan (non litigasi). Secara non litigasi lebih mengutamakan musyawarah mufakat, win-win solution, misalnya mediasi. Dalam mediasi kedua pihak sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian, selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak, di sinilah titik lemahnya penyelesaian non litigasi. Secara teknis penyelesaian sengketa non litigasi telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, tetapi sampai saat ini khusus untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup non litigasi belum menjadi pilihan terbaik bagi masyarakat dalam memperjuangkan haknya.Kata Kunci: mediasi; penyelesaian sengketa non litigasi; pelanggaran hak; lingkungan hidup; sehat. AbstractEnvironmental Law concerning Environment Protection and Management proclaimed that having a healthy environment is the right of every Indonesian citizen.1 Human is a legal subject who has right and obligation. Legal function is to administer harmonious right and obligation of every citizen. Both right and obligation are in unity with human. Civil law administers the interaction of right and obligation, then human interaction. Violation towards ‘right’ will create imbalance and unsynchronized or dispute among parties, which need legal settlement.Environmental Impact Assessment (AMDAL) is a requirement for an activity, which predicted to have environment impact. AMDAL is a legal instrument related to license which mean to control the three main development cores, which are economy, social and ecology. AMDAL document will provide clues for people’s right violation to have a healthy environment. Environmental violation relates with compensation towards those who’s right where violated and environmental reinstate. (restitusio in integrum).Article 84 of UUPLH proclaims that environmental dispute settlement could be done through court (litigation) or outside the court (non-litigation). Non-litigation settlement put forwards mutual agreement, win-win solution such as mediation. In the process of mediation there should be no forced idea or agreement in accepting or rejecting statements. Every parties should give consent, where this can be say as the weakness of non-litigation settlement. echnically, non-litigation dispute settlement is arranged in Peraturan Mahkamah Agung RI No 1 Year 2008 about Mediation Procedure in Court, but up to now it was not a major choice for people to fight for their right.Keywords: mediation; non-litigation dispute settlement; law violation; environment; health.  
PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI LINGKUNGAN MELALUI INSTRUMEN PENGAWASAN Aditia Syaprillah
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (254.523 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.4

Abstract

AbstrakPencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup tidak hanya berdampak pada kelangsungan kehidupan manusia sekarang namun juga mengancam pada kelangsungan hidup manusia di masa yang akan datang. Sengketa lingkungan hidup dalam aspek penegakan hukum lingkungan mengedepankan aspek penyelesaian melalui jalur hukum administrasi selain hukum lingkungan keperdataan dan hukum lingkungan pidana. Suatu usaha dan/atau kegiatan di bidang lingkungan hidup yang sudah beroperasi, dengan mulainya operasi dari suatu usaha dan/atau kegiatan tersebut akan terjadi perubahan lingkungan hidup maka dibutuhkan pengawasan, dari suatu pengawasan tersebut dapat diketahui sejauhmana perubahan lingkungan hidup itu masih dalam atau sudah melewati ambang batas yang sudah ditentukan dan dapat mengukur tingkat ketaatan pemegang izin kegiatan dan/atau usaha. Instrumen penegakan hukum lingkungan administrasi melalui pengawasan diatur dalam Pasal 71 sampai Pasal 74 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota dan baik Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota berhak untuk menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup. Dengan pengawasan lingkungan yang dilakukan oleh pejabat pengawas lingkungan hidup dapat mengukur tingkat kepatuhan pemegang izin lingkungan terhadap segala ketentuan izin lingkungan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, agar dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat memberikan perlindungan hukum serta manfaat yang besar bagi setiap warga negara.Kata Kunci: Penegakan Hukum; Lingkungan Hidup; dan Pengawasan. AbsractPollution and/or environmental damage have impacted and threatened human life sustainability henceforth. Environmental law enforcement put forward settlement of dispute through administration law as well as civil and criminal law. An environmental related business and/or activity, which operated needs supervision to see whether there has been change to the nature, so that the license holder could be determined trusted Environmental Administration Law instrument covers supervising in article 71 through 74 of Law no. 32 of 2009 on the Environment Protection and Management is done by Minister, Governor and Mayor/Regent so that Minister, Governor and Mayor/Regent may appoint environmental supervisor. Environmental supervision, which is done by the supervisor, measures environmental license holder obedience toward related law so that it is subjected and useful to every citizen.Keywords: Law Enforcement; Environment; and Supervising.DOI: 10.24970/jbhl.v1n1.8
DINAMIKA NEGOSIASI DAN MEMBANGUN KEPERCAYAAN PASCA PENUTUPAN TAMBANG EMAS GUNUNG BOTAK DI KABUPATEN BURU Arman Anwar
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (309.133 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.6

Abstract

AbstrakPotensi kandungan emas yang sangat besar di Gunung Botak Kabupaten Buru Provinsi Maluku mestinya menjadi anugerah yang disyukuri bukan justru sebaliknya menjadi bencana atau kutukan. Betapa tidak, sejak ditemukan pada Oktober 2011 lalu telah terjadi kerusakan lingkungan yang parah akibat pencemaran zat kimia merkuri dan sianida, rusaknya vegetasi dan ekosistem di wilayah areal penambangan akibat penebangan pohon dan timbunan material limbah, serta jatuhnya korban jiwa baik karena kecelakaan kerja maupun konflik antar pendatang dan penduduk lokal, belum lagi dampak ikutan berupa terjadinya inflasi akibat naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok di masyarakat. Kondisi realitas tersebut telah mengancam kelangsungan program pemerintah yang telah menjadikan Kabupaten Buru sebagai lumbung pangan dan perairannya menjadi lumbung ikan nasional. Berbagai upaya telah dilakukan mulai dari preventif hingga tindakan represif berupa pengusiran dan pengosongan paksa namun tetap saja tidak berhasil. Dinamika yang terjadi menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji, Penelitian ini menggunakan Metode “Social Legal Research”, yaitu penelitian hukum yang menempatkan hukum sebagai gejala sosial. Dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) Ditemukan bahwa secara empiris, negosiasi yang dilakukan belum sesuai dengan harapan dan penegakan hukum tidak dilaksanakan secara konsisten. Oleh karena itu, hukum tidak bekerja/berjalan di dalam masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan penguatan kapasitas negosiator dan penyadaran hukum masyarakat serta dalam penegakan hukumnya tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar kepentingan hukum.Kata kunci: lingkungan hidup; penambangan emas; penegakan hukum. AbstractThe huge gold potential in unung Botak of Buru Regency in the province of Maluku should have been a blessing instead of a disaster. Since it was found in October 2011, there has been a great environmental damage because of mercuric and cyanide use, vegetation and ecosystem breakdown because of logging, waste pile also death because of working accident or native and foreigner conflict. Furthermore it has triggered inflation. his reality threatened government program that promotes Buru Regency as national food shelter and its water as fishery pond. here has been many steps taken range from preventive to repressive method such as expelling and forced moving, which are unsuccessful. This phenomenon is becoming an interesting dynamic to be observed.. his research apply “Social Legal Research” method which is a legal research which put forward legal as social symptom. hrough statute approach and case approach, it was found that empirically, negotiation is far from expected and law enforcement was inconsistent. herefore the law was implemented within society. Furthermore, negotiator capacity and legal awareness need to strengthen so that law enforcement will not be under pressure of external legal condition.Keywords: environment; goldmine; law enforcement.

Page 1 of 1 | Total Record : 10