cover
Contact Name
Redaksi Jurnal Bina Hukum Lingkungan
Contact Email
redaksi.bhl@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
astrianee@gmail.com
Editorial Address
-
Location
,
INDONESIA
Bina Hukum Lingkungan
ISSN : 25412353     EISSN : 2541531X     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Bina Hukum Lingkungan adalah jurnal ilmiah yang terbit secara berkala setiap tahunnya pada bulan April dan Oktober yang di terbitkan oleh Perkumpulan Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) Artikel yang dimuat pada jurnal Bina Hukum Lingkungan akan di publikasikan dalam bentuk cetak dan e-jurnal (online) dalam rangka menyebarluaskan ilmu pengetahuan tentang hukum lingkungan dalam negeri maupun luar negeri
Arjuna Subject : -
Articles 160 Documents
SINGAPORE TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION ACT 2014: POTENSI SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP LINTAS BATAS INDONESIA-SINGAPURA Imamulhadi Imamulhadi
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 2 (2017): BINA HUKUM LINGKUNGAN
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (330.787 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i2.21

Abstract

AbstrakMenyikapi permasalahan pencemaran kabut asap yang berasal dari Indonesia, Singapura telah mengundangkan Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014, yang  memberlakukan prinsip extra-territorial. Berkenaan dengan pemberlakuan prinsip extra- territorial, hal tersebut memunculkan potensi konflik antara Indonesia dengan Singapura. Berkenaan dengan masalah tersebut maka penulisan artikel ini bertujuan untuk  mengkaji Hukum Lingkungan Nasional dan Internasional mana yang terkait; Dan bagaimanakah seharusnya pemerintah Indonesia menyikapi Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014.Metode pendekatan yang digunakan dalam menganalisa permasalahan yang digunakan dalam kajian ini adalah menggunakan pendekatan yuridis normatif. Terkait dengan metode pendekatan tersebut, penulis di dalam menginventarisasi informasi dan data terkait permasalahan yang dikaji, penulis menggunakan metode studi kepustakaan. Setelah data kepustakaan terinventarisir selanjutnya data diolah dan dianalisa secara yuridis kualitatif.Beranjak dari permasalahan yang ditetapkan, diperoleh kesimpulan bahwa Singapura berhak memberlakukan prinsip extra-territorial,  namun prinsip tersebut tidak dapat serta merta diberlakukan, karena Singapura terikat oleh prinsip-prinsip hukum internasional mengenai kedaulatan negara, prinsip-prinsip extradisi, dan mekanisme penyelesaian sengketa kabut asap lintas batas sebagaimana diatur dalam Asean Agreement Transboundary Haze Pollution 2002. Namun demikian Indonesia memiliki kewajiban untuk melakasanakan kedaulatan atas exploitasi sumber daya alam yang berda di wilayahnya tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan hidup yang mengancam wilayah negara lain. Kata kunci:  Transboundary, Haze, Populasi AbsractIn addressing the problem related to smoke haze pollution originating from Indonesia, Singapore has enacted Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014, which enforces the principle of extra-territorial.  Regarding the enforcement of the principle of extra-territorial, it may raise the potential for conflict between Indonesia and Singapore. With regards to these issues, the writing of this article is aimed at examining the relevant national and international environmental law; and how the Indonesian government should deal with the Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014. The method used to analyze the problem as used in this study is the normative juridical approach. Relating to the method of the approach, in the inventory of information and data related to the examined problems, the author used the methods of literary study. After the literature data were inventoried, the data were processed and analyzed by juridical qualitative.Drawn from the identified problem, it is concluded that Singapore has the rights to impose the extra-territorial principle, but the principle can not be applied by itself as Singapore is bound by the principles of international law concerning the sovereignty of states, principles of extradition, and the transboundary dispute settlement mechanism over the smoke haze as stipulated in Asean Agreement Transboundary Haze Pollution in year 2002. Nevertheless, Indonesia has the responsibility to carry out the sovereignty over the exploitation of the natural resources located in its territory without creating environmental damage that endangers the territory of another country.Keywords: Transboundary, Haze, Pollution.
KEARIFAN LOKAL DALAM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP ( Studi di Desa Janggolan Kec. Sumpiuh, Banyumas) Abdul Aziz Nasihuddin
Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 1 (2017): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (204.916 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v2i1.42

Abstract

Problematika yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana kearifan lokal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Desa-desa Janggolan (Desa Ketanda, Bogangin, dan Banjarpanepen) di Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah dengan pendekatan yuridis normatif.Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan pada Pasal 1 ayat 30, “kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.” Desa Janggolan berdasarkan Peraturan Bupati Banyumas Nomor 80 Tahun 2014 Pasal 1 angka 5 adalah desa yang sumber pendapatan asli desanya sebagian besar berasal dari iuran masyarakat desa setempat, di Kabupaten Banyumas terdapat 30 desa Janggolan yang tersebar di 8 (delapan) kecamatan.Masyarakat di Desa Janggolan mengelola perlindungan lingkungan dengan mengetahui tata wayah atau penentuan waktu, tata wilayah atau penentuan wilayah, dan tata lampah atau cara berprilaku. Dengan adanya penataan tersebut, manusia dapat menjaga perilakunya agar perilaku tersebut tidak berdampak pada kerusakan lingkungan.Kesimpulannya adalah bahwa kearifan lokal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan dilaksanakan dalam rangka tata kehidupan masyarakat di desa-desa Janggolan untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Diperlukan sinergi berkelanjutan antara Pemerintah dan masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 
KENDALA PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP DI LUAR PENGADILAN Yanti Fristikawati
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (235.804 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.13

Abstract

AbstrakPenyelesaian sengketa dapat dilakukan di pengadilan maupun di luar pengadilan, terkait sengketa lingkungan, sejak tahun 1982 Indonesia telah mempunyai UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan hidup, yang kemudian diganti dengan UU Nomor 27 Tahun 1999, dan terakhir kita memiliki UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Artikel ini akan membahas tentang bagaimana perkembangan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan (ADR), sejak dikeluarkannya Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup tahun 1982, sampai dengan saat ini, dimana tentunya ada beberapa persamaan dan perbedaan tentang pengaturan ADR lingkungan dari ketiga aturan tersebut. Selain itu akan dibahas pula tentang kendala penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan di Indonesia.Kata kunci: penyelesaian sengketa; lingkungan hidup; ADR. AbstractDispute Settlement could be done within or outside the Court. Related to Environmental dispute, Indonesia had Law no 4 year 1982 concerning Environment, which then became Law no 27 year 1999, and last amendment was Law no. 32 of 2009 on the Environment Protection and Management. his paper will discuss the development on environmental dispute settlement outside the court (ADR) from Environmental Law year 1982 in force until today, focuses on the similarity and differences on ADR arrangement based on the three law. Furthermore, obstacles on environmental dispute outside the court will also be discussed.Keywords: dispute settlement; environmental; ADR.
KEARIFAN LOKAL MENJAGA LINGKUNGAN HIDUP MELALUI PROGRAM GOTONG ROYONG DI KOTA PALEMBANG Evi Purnama Wati; Ardiana Hidayah
Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 1 (2017): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (238.195 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v2i1.39

Abstract

Kearifan lokal sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku pada tatanan kehidupan masyarakat dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan hidup dapat dilakukan melalui kegiatan gotong royong. Gotong Royong sebagai budaya bangsa Indonesia, bekerja bersama-sama untuk mencapai hasil yang diinginkan, sehingga budaya ini musti dihadirkan kembali khususnya di Kota Palembang dalam kebersamaan menjaga kelestarian lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Lingkungan hidup mempunyai fungsi penyangga perikehidupan yang amat penting. Oleh karena itu, setiap elemen bangsa baik pemerintah dan masyarakat ikut berperan dalam melindungi serta menjaga kelestarian lingkungan. Pemerintah Kota Palembang membuat kebijakan dalam rangka pelaksanaan gotong royong yang melibatkan pemerintah dengan masyarakat untuk menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan hidup di kota Palembang. Kata Kunci : Kearifan Lokal, Gotong Royong, Lingkungan Hidup
PENGGABUNGAN PERKARA DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI TUMPAHAN MINYAK DI LAUT SEBAGAI UPAYA OPTIMALISASI PENERAPAN BLUE ECONOMY Satrih Satrih
Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 2 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.904 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v2i2.61

Abstract

Penelitian ini dilakukan pertama, untuk mengkaji Proses penyelesaian ganti rugi pencemaran tumpahan minyak di laut dan kendala yang dihadapi dalam memperoleh ganti rugi. Kedua penelitian ini juga mengkaji penggabungan perkara ganti rugi atas pencemaran tumpahan minyak di laut dalam mengoptimalkan penerapan blue economy.Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan yuridis empiris yang dilakukan dengan mengkaji secara mendalam kaidah-kaidah hukum internasional maupun nasional yang terkait dengan obyek penelitian ini. Penelitian ini juga dilengkapi dengan pengumpulan data baik dari kepustakaan dan penelitian lapangan yang dilakukan melalui wawancara dan penyebaran kuesioner. Selain itu dilakukan penelusuran data melalui internet.Hasil penelitian menunjukkan  bahwa untuk perolehan ganti rugi, para penggugat khususnya mendasarkan pada International Convention on  Civil Liability (CLC) 1992 yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui  Keppres No. 53/1999 dan Fund Convention 1992. Meskipun demikian terdapat kendala dalam perolehan ganti rugi yang dapat mengoptimalkan penerapan blue economy. Kendala tersebut juga bersumber dari CLC yang membatasi kerugian yang dapat dibayarkan ganti ruginya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa untuk perolehan ganti rugi dalam mengoptimalkan penerapan blue economy, para penggugat dapat melaksanakannya dengan penggabungan perkara ganti rugi atas pencemaran tumpahan minyak di laut.
PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA UNTUK KEBAKARAN HUTAN/LAHAN: BEBERAPA PELAJARAN DARI MENTERI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN (KLHK) VS PT. BUMI MEKAR HIJAU (BMH) Andri Gunawan Wibisana
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (407.427 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.5

Abstract

AbstrakAkhir-akhir ini, Pengadilan Negeri Palembang menolak gugatan pemerintah melawan perusahaan yang kawasan hutan konsesinya mengalami kebakaran hutan pada tahun 2014. Pengadilan menolak gugatan dengan berbagai alasan, salah satunya adalah bahwa penggugat telah gagal untuk membuktikan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Artikel ini adalah sebuah reaksi atas penafsiran yang sempit terhadap perbuatan melawan hukum di Indonesia. Secara khusus, artikel ini menganalisis kemungkinan penerapan strict liability terhadap kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Artikel ini menyimpulkan bahwa ketentuan dalam berbagai undang-undang dan peraturan terkait dengan pencegahan dan pengendalian terhadap kebakaran hutan mengindikasikan untuk dapat menerapkan prinsip strict liability dalam kasus kebakaran hutan. Hal ini juga menunjukan adanya perbedaan terhadap tafsiran strict liability secara luas di Indonesia, penerapan dari strict liability ditujukan agar tergugat yang aktivitasnya dikategorikan sebagai diluar batas kewajaran dan berbahaya dapat dimintai tanggung jawab terlepas dari unsur kesalahan, baik secara subjektif maupun objektif. Tergugat bertanggung jawab walaupun dia melakukan kegiatannya secara sah dan melakukan kegiatan dengan cara yang tidak melawan hukum. Artikel ini juga menyimpulkan bahwa perbedaan konsep dari pergeseran dalam beban pembuktian kesalahan, dalam strict liability tergugat masih bertanggung jawab meskipun dia dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah.Kata Kunci: perbuatan melawan hukum; strict liability; kebakaran hutan/lahan. AbstractRecently, Palembang District Court rejected the Government civil lawsuit against a company whose forest consession area underwent forest fires in 2014. The court rejected the lawsuit for various reasons, one of which was that the plaintiff has failed to prove that the defendant has conducted an unlawful act. This article is a reaction to such a narrow interpretation of negligence in Indonesian. In particular, this article analyzes the possibility of the use of strict liability on forest fires in Indonesia. The article concludes that provisions in various laws and regulation addressing the prevention and control of forest fires indicate the support of the use of strict liability in case of forest fires. It also shows that contrary to the commonly held interpretation of strict liability in Indonesia, the application of strict liability means that the defendant whose activity is characterized as abnormally dangerous activity will be held liable regardless for fault, both in subjective and objective senses. The defendant is liable although he was engaged in a lawfull activity and carried out the activity in a lawfull manner. This article also concludes that contrary to the notion of the shifting in the burden of proof regarding fault, under strict liability the defendant is still liable although he proves that he was not at fault.Keywords: unlawful act; strict liability; forest fires
PENATAAN RUANG BERBASIS PERTANIAN BERKELANJUTAN (PERLINDUNGAN HAK-HAK PETANI ATAS TANAH PERTANIAN DI KECAMATAN KERKAP KABUPATEN BENGKULU UTARA) JT Pareke
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 2 (2017): BINA HUKUM LINGKUNGAN
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (495.23 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i2.28

Abstract

ABSTRAKTujuan utama riset ini adalah, pertama untuk mengetahui dan memahami penataan ruang kawasan pertanian di Kecamatan Kerkap. Kedua untuk mengetahui dan memahami perlindungan hak-hak petani atas tanah pertanian di Kecamatan Kerkap. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan pendekatan yuridis sosiologis, sedangkan tehnik pengumpulan data adalah dengan studi pustaka dan studi lapangan dengan intrumen wawancara sadar dan terarah, pengamatan berperan serta, dan kuesioner rumah tangga pertanian. Hasil riset yang didapat adalah: pertama, penataan ruang pertanian di Kecamatan Kerkap merupakan bentuk penataan ruang yang terpusat, dimana penduduk terkumpul dalam satu tempat sehingga seluruh sarana, baik pemukiman, fasilitas umum, kawasan persawahan dan kawasan perkebunan menjadi terpusat. Kedua perlindungan hak-hak petani atas tanah pertanian di Kecamatan Kerkap belum terpenuhi dengan baik, terbukti dengan belum adanya desa dari keenambelas sampel yang mengatur tentang penataan ruang mikro dan perlindungan hak-hak petani atas tanah pertanian melalui instrumen peraturan desakata kunci: Penataan Ruang, Kawasan Perdesaan, Perlindungan Lahan  PertanianABSTRACT The main of this research is the first to know and understand the space setting of farms areas in Kerkap Subdistrict. The second is to know and understand the farmers’ rights covering for the farmlands in Kerkap Subdistrict. For this purpose, it was used empiric juridis approach, meanwhile the technique of collecting the data used was the literature review study and field study with using the instrument of structured interview, direct observation and questionnaire. The result of the research were, the first is the space setting of farm areas in Kerkap Subdistrict is as the farm of space setting of centred village, where the people gathered in one place so all of facilities, whether settlement, public facilities, rice field and farm areas are centred. The second, the covering of farmers’ rights for the farm lands in Kerkap Subdistrict is not sufficiently available, it was proved that there was none of villages as the sample which regulates the space setting of farm areas and the coverage of mers’ rights trough the intrument of village’s regulation.Keyword: Micro Space Setting, Continual Farming, Farmers’ right coverage.
USAHA PERIKANAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN YANG BERKELANJUTAN Nur Sulistyo Budi Ambarini; Edra Satmaidi; Tito Sofyan
Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 2 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.206 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v2i2.53

Abstract

ABSTRAK Usaha perikanan di Bengkulu secara umum dilakukan nelayan tradisional, yang  menggunakan peralatan tradisional dan sederhana. Berpedoman pada cara-cara dan aturan yang mengandung nilai-nilai sebagai kearifan lokal. Hal tersebut masih berlaku hingga saat ini dalam kegiatan perikanan. Penelitian hukum non doktrinal dengan pendekatan socio-legal research ini berupaya mengkaji nilai-nilai kearifan lokal berkaitan dengan aktivitas perikanan di Bengkulu. Penelitian dengan metode pengamatan dan wawancara di wilayah pesisir untuk memperoleh data primer. Hasil penelitian menunjukan bahwa saat ini nilai-nilai kearifan lokal  berkaitan usaha perikanan telah mengalami perubahan bersamaan dengan berjalannya waktu. Meski demikian nilai-nilai yang bersifat positif dan universal,  perlu dipertahankan dan dikembangkan dalam upaya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berkelanjutan. Oleh karena itu perlu diformulasikan dalam bentuk Peraturan Desa atau Peraturan Daerah.  Hal tersebut penting untuk   keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologis. Kata kunci: Berkelanjutan; Kearifan–lokal; Kelautan; Perikanan; Usaha. ABSTRACT Fishing business in Bengkulu is generally done by traditional fishermen, who use traditional and simple equipment. Guided by means and rules that contain values as local wisdom. This is still true to date in fisheries activities. Non-doctrinal legal research using socio-legal research approach attempts to examine the values of local wisdom related to fishery activities in Bengkulu. Research with observation methods and interviews in coastal areas to obtain primary data. The results showed that the current values of local wisdom related to fishery business has changed along with the passage of time. Nevertheless, values that are positive and universal, need to be maintained and developed in the efforts of sustainable management of marine resources and fisheries. Therefore it needs to be formulated in the form of Village Regulation or Regional Regulation. It is important for economic, social and ecological sustainability. Keywords: Business; Fisheries; Local Wisdom; Marine; Sustainability.
TINJAUAN YURIDIS IZIN REKLAMASI PANTAI MAKASSAR DALAM MEGA PROYEK CENTRE POINT OF INDONESIA Zulkifli Aspan
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 2 (2017): BINA HUKUM LINGKUNGAN
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (321.278 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i2.22

Abstract

ABSTRAKMega poyek Centre Point of Indonesia (CPI) seluas 157 Ha yang berdiri di atas lahan negara di kawasan pesisir Makassar dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel bersama PT Yasmin Bumi Asri dan PT Ciputra Tbk sebagai investor. Izin reklamasi digugat oleh koalisi masyarakat sipil yang mengatasnamanakan “Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar”. Koalisi ASP  menggugat karena reklamasi dipandang menyalahi ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, Perpres No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Permen Kelautan dan Perikanan No 17 tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Reklamasi. Gugatan ini didukung hasil kajian ASP bahwa 60% terumbu karang di wilayah pesisir kota makassar telah rusak. Alokasi ruang reklamasi yang nantinya akan dilaksanakan dalam sebuah proyek besar reklamasi akan menambah parah presentasi kerusakan terumbu karang. Selain itu, reklamasi juga semakin memperparah pencemaran air laut di sekitar pantai Losari, Makassar.Kata Kunci: Reklamasi, Lingkungan Hidup, CPI.ABSTRACTMega poyek Center Point of Indonesia (CPI) of 157 Ha which stands on state land in coastal area of Makassar is done by Provincial Government (Provincial) of South Sulawesi with PT Yasmin Bumi Asri and PT Ciputra Tbk as investor. The reclamation permit was sued by a civil society coalition that ceded the "Alliance for Coastal Save (ASP) Makassar". The ASP coalition is suing because reclamation is deemed to violate the provisions in Law no. 32 Year 2009 on the Environment, PP. 27 of 2012 on Environmental Permit, Presidential Regulation no. 122 Year 2012 on Reclamation in Coastal Areas and Small Islands, and Candidates of Marine and Fisheries No. 17 of 2013 on Guidelines for Reclamation Licensing. The lawsuit is supported by the ASP study that 60% of the coral reefs in the coastal areas of Makassar have been damaged. The allocation of reclamation space that will be carried out in a large reclamation project will add to the severe presentation of coral damage. In addition, reclamation is also increasingly aggravating sea water pollution around the coast of Losari, Makassar.Keyword: Reclamation, Environment, CPI 
KEBIJAKAN INTEGRAL DALAM MENCEGAH DAN MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENAMBANGAN TANPA IZIN DI INDONESIA Ade Adhari
Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 1 (2017): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.23 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v2i1.49

Abstract

Penambangan Tanpa Izin (PETI) merupakan salah satu jenis tindak pidana yang marak terjadi, mengancam keseimbangan, stabilitas dan produktifitas lingkungan hidup. Dengan perkataan lain, tindak pidana tersebut mendatangkan bahaya bagi lingkungan hidup beserta unsur-unsur di dalamnya (ruang, benda, daya, keadaan, dan makluk hidup). Hal ini dikarenakan, karakteristik PETI antara lain tidak mematuhi good mining practice sehingga menimbulkan ekses seperti pencemaran lingkungan, pencemaran air dengan merkuri, tidak dilakukan reklamasi setelah pasca tambang, dan lain sebagainya. Mempertimbangkan hal tersebut, dan sejalan dengan konsensus global penanggulangan PETI harus ditembuh melalui kebijakan integratif yang memadukan antara kebijakan non-penal dan penal. Kebijakan non-penal berorientasi mengatasi sebab-sebab munculnya (eliminating the causes) PETI, antara lain melalui reformasi kesadaran hukum, penciptaan lapangan pekerjaan dan meningkatkan keterampilan masyarakat, dan meningkatkan fungsi pengawasan pemerintah. Hal ini diharapkan dapat mencegah terjadinya tindakan penambangan secara melawan hukum tersebut. Sementara itu, kebijakan penal dilakukan dengan berorientasi pada usaha menanggulangi PETI yang lebih bersifat represif dengan mengandalkan sanksi pidana sebagai sarananya. Pada akhirnya, PETI bukan hanya dapat ditanggulangi melainkan dapat dicegah.Kata Kunci: PETI, Kebijakan Integral, Kebijakan Kriminal

Page 1 of 16 | Total Record : 160