cover
Contact Name
Redaksi Jurnal Bina Hukum Lingkungan
Contact Email
redaksi.bhl@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
astrianee@gmail.com
Editorial Address
-
Location
,
INDONESIA
Bina Hukum Lingkungan
ISSN : 25412353     EISSN : 2541531X     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Bina Hukum Lingkungan adalah jurnal ilmiah yang terbit secara berkala setiap tahunnya pada bulan April dan Oktober yang di terbitkan oleh Perkumpulan Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) Artikel yang dimuat pada jurnal Bina Hukum Lingkungan akan di publikasikan dalam bentuk cetak dan e-jurnal (online) dalam rangka menyebarluaskan ilmu pengetahuan tentang hukum lingkungan dalam negeri maupun luar negeri
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 4, No 2 (2020): Bina Hukum Lingkungan" : 10 Documents clear
STRENGTHENING INTERNATIONAL LAW AS A GUARANTEE FOR HIGH SEAS FISHERIES CONSERVATION Muhammad Insan Tarigan; Tjondro Tirtamulia
Bina Hukum Lingkungan Vol 4, No 2 (2020): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v4i2.136

Abstract

ABSTRACTHigh seas is one of the ocean areas beyond of national jurisdiction. The implication of that definition made high seas turn into a free access to all states. One of freedom of high seas had known of yore is freedom of fishing, as if high seas fishery is inexhaustible. However, technological advances in fishing gear and people demand towards ocean fish causing overfishing and Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing are unavoided. Living resources and the environment of the high seas are more susceptible due to weak regulation on the UNCLOS 1982 which are cooperation for conservation and no restriction on exploitation. With that regard, international law-making concerning management and conservation concept based on the high seas fisheries sustainability need to be done. This article was written by normative research conducted with library studies by maximizing data in any journals and books. The concept of Marine Protected Areas (MPAs) and the establishment of Conservation Zone in the high seas is considered to have potential for fisheries management development that guarantee the sustainability of diversity high seas fisheries. Keywords: conservation; fish; high seas; UNCLOS.
PERLINDUNGAN HUKUM SUMBER DAYA GENETIK INDONESIA DAN OPTIMALISASI TEKNOLOGI INFORMASI Sudaryat Sudaryat
Bina Hukum Lingkungan Vol 4, No 2 (2020): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v4i2.98

Abstract

ABSTRAKIndonesia menyimpan sumber daya genetik yang melimpah namun memiliki kelemahan dalam database nya. Hal ini menjadi celah adanya tindakan biopiracy dari perusahaan-perusahaan farmasi negara maju. Perkembangan teknologi informasi memasuki era teknologi 4.0 dan society 5.0. Perlindungan hukum sumber daya genetik dari sisi regulasi dan kelembagaan serta optimalisasi teknologi informasi dalam perlindungan non yuridis Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif dengan pendekatan dekriptif analisis. Data dikumpulkan melalui studi pustaka dan wawancara dan dianalisis dengan metode yuridis kualitatif. Indonesia belum memiliki aturan khusus mengenai sumber daya genetik. Konvensi Keanekaragaman Hayati, Propokol Cartagena dan Protokol Nagoya belum optimal karena tidak didukung oleh negara maju yang menerapkan standard ganda. Perkembangan teknologi infomrasi menjadi peluang sekaligus tantangan. Teknologi informasi dapat menjadi sarana penyusunan database sumber daya genetik yang melimpah dan beragam. Pemanfaatan teknologi informasi menjadi mutlak dilakukan dan dapat menjadi sarana pembuktian secara elektronik serta upaya pencegahan klaim dari negara lain.Kata kunci: genetik; Indonesia; keragaman; informasi; teknologiABSTRACT Indonesia stores abundant genetik resources but has weaknesses in its database. This becomes a gap in the biopiracy of the pharmaceutical companies in developed countries. The development of information technology entered the era of technology 4.0 and society 5.0. Legal protection of genetik resources in terms of regulation and institutions as well as optimization of information technology in non-juridical protection.The research method used is juridical normative with descriptive analysis approach. Data was collected through literature study and interviews and analyzed using qualitative juridical methods.Indonesia does not yet have specific rules regarding genetik resources. The Convention on Biological Diversity, the Cartagena Protocol and the Nagoya Protocol are not yet optimal because they are not supported by developed countries that apply double standards. The development of information technology is both an opportunity and a challenge. Information technology can be a means of compiling a database of abundant and diverse genetik resources. The use of information technology is absolutely necessary and can be a means of proving electronically and efforts to prevent claims from other countries.Keywords: diversity; genetic; Indonesian; information; technology
SINERGITAS PENGATURAN PERIZINAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM TERHADAP KONSEP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Anshori Ilyas; Muhammad Ilham Arisaputra; Ariani Arifin; Dian Utami Mas Bakar
Bina Hukum Lingkungan Vol 4, No 2 (2020): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v4i2.96

Abstract

ABSTRAKPengaturan di bidang pengelolaan sumber daya alam di Indonesia saat ini sudah sangat banyak dan cukup komprehensif. Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut juga sudah menguraikan mengenai izin yang dapat dilakukan dalam hal pengelolaan sumber daya alam di berbagai bidang sektoral. Instrumen izin dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan salah satu bentuk konkrit dari Hak Menguasai Negara atas sumber daya alam. Izin merupakan instrumen pengelolaan sumber daya alam sekaligus sebagai mekanisme kontrol pemerintah melalui persyaratan izin yang ditentukannya. Penerbitan izin pengelolaan sumber daya alam wajib untuk memperhatikan ketentuan dalam UU PPLH dan bahkan Izin Lingkungan menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan izin pengelolaan sumber daya alam. Kata kunci: konsep pembangunan berkelanjutan; pengelolaan sumber daya alam; perizinan.ABSTRACTCurrent regulations in the field of natural resource management in Indonesia are very numerous and quite comprehensive. Some of the laws have also outlined permits that can be made in terms of natural resource management in various sectoral fields. Permit instruments in the management of natural resources are one concrete form of the state's right to control natural resources. A permit is an instrument for managing natural resources as well as a mechanism for government control through the stipulated permit conditions. The issuance of permits for natural resource management is obliged to pay attention to the provisions in the PPLH Law and even environmental permits are an absolute requirement for obtaining permits for natural resource management.Keywords: court; natural resources management; permits; sustainable development concept.
PEMBANGUNAN WILAYAH KEPULAUAN BERLANDASKAN POROS MARITIM DALAM PERSPEKTIF NEGARA KEPULAUAN: TANTANGAN DAN PELUANG PERIMBANGAN KEUANGAN DAERAH Dhiana Puspitawati
Bina Hukum Lingkungan Vol 4, No 2 (2020): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v4i2.107

Abstract

ABSTRAKPerkembangan kelautan di Indonesia semakin berkembang dari tahun ke tahun hingga dicetuskannya konsep ‘poros maritim’ oleh Presiden Joko Widodo. Konsep ‘poros maritim’ menekankan pada terwujudnya konektifitas antar pulau melalui pengembangan industri pelayaran serta transportasi laut. Dengan demikian dibutuhkan akselerasi pembangunan pelabuhan di wilayah-wilayah kepulauan seperti maluku dan Riau. Sayangnya alokasi dana dari pusat untuk daerah masih didasarkan pada luas wilayah daratan. Hal ini menjadikan daerah dengan wilayah perairan yang lebih banyak tidak mendapatkan alokasi dana sebagaimana daerah yang mempunyai wilayah daratan yang luas. Padahal percepatan pembangunan di wilayah kepulauan sangat dibutuhkan dalam mewujudkan Indonesia sebagai ‘poros maritim’ dunia. Tulisan ini akan menganalisa tantangan dan peluang pembangunan wilayah kepulauan yang berlandaskan poros maritim dalam perspektif negara kepulauan. Pembangunan Wilayah Kepulauan sangat diperlukan untuk mewujudkan konsep Poros Maritim. Akan tetapi perlu diperhatikan mengenai perimbangan keuangan daerah dalam mewujudkan akselerasi pembangunan tersebut. Dibutuhkan pengembalian mindset masyarakat Indonesia ke kelautan serta harmonisasi aturan dan kelembagaan dalam mewujudkan ‘poros maritim’ dalam perspektif negara kepulauan yang berimplikasi pada perimbangan keuangan daerah antara daerah biasa dengan daerah yang terdiri dari kepulauan. Kata kunci: peluang; poros maritim; tantangan; wilayah kepulauanABSTRACTThe development of maritime affairs in Indonesia is growing rapidly until the inception of ‘maritime fulcrum’ by President Joko Widodo. Such concept emphasizes the establishment of inter-island connectivity through the development of shipping and sea transportation industries. Thus, the acceleration of port and facilities development in islands region such as Maluku and Riau is needed. Unfortunately, fund allocation from the central government to region areas is still based on how large the land areas of certain region. This makes island regions have less fund allocation than those of regions with large areas of land. While, on the other hand, the establishment of ‘maritime fulcrum’ concept is largely depends on the acceleration of national development in island regions. This paper aims to analyze challenges and opportunities in developing island regions based on ‘maritime fulcrum’ concept within the perspectives of archipelagic state principles. National development in island regions of Indonesia is important to support the establishment of ‘maritime fulcrum’, however, the usage of the term ‘archipelagic’ should also carefully consider legal implication of the term ‘archipelago’ according to International Law. Restoration of Indonesian people’s orientation to the ocean is crucial. In addition to this, the harmonization of related legal instruments as well as institutional arrengement, especially focusing on balancing reginal funding is also urgent.Keywords: challenges; island regions; maritime fulcrum; opportunities
PEMBENTUKAN PENGADILAN PERTANAHAN SEBAGAI SOLUSI PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN Budi Sastra Panjaitan
Bina Hukum Lingkungan Vol 4, No 2 (2020): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v4i2.130

Abstract

ABSTRAKSengketa pertanahan tetap akan ada ketika para pihak telah memposisikan tanah sebagai faktor produksi yang utama ditambah kemudian tumpang tindihnya peraturan yang berhubungan dengan pertanahan dan sumber daya alam. Sengketa pertanahan dapat melahirkan anarkisme yang tidak jarang menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan kesimpulan sebagai berikut: Badan peradilan yang ada telah dipandang tidak lagi sederhana, cepat dan biaya ringan. Pengadilan pertanahan merupakan solusi guna mengatasi kebuntuan dalam penyelesaian sengketa pertanahan, pengadilan pertanahan tidak hanya sekedar formalistik-legalistik dalam mewujudkan keadilan. Keberadaan pengadilan pertanahan dibutuhkan dalam rangka terwujudnya penyelesaian sengketa pertanahan secara cepat, sistematis, sederhana, berkeadilan dan biaya ringan.Kata kunci: sengketa; pertanahan; perngadilan pertanahan.ABSTRACTLand disputes will still arise when the parties have positioned land as the main factor of production plus overlapping regulations relating to land and natural resources. Land disputes can give rise to anarchism which often results in various forms of violations of human rights. The research approach used is normative legal research, with the following conclusions: Existing judicial bodies are no longer considered simple, fast and low cost. Land court is a solution to overcome impasse in the resolution of land disputes, land court is not just formalistic-legalistic in realizing justice. The existence of a land court is needed in order to realize a land dispute resolution that is fast, systematic, simple, fair and low cost.Keywords: dispute; land; land court.
URGENSI PENGADILAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM PENYELESAIAN PERKARA LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Rochmani Rochmani
Bina Hukum Lingkungan Vol 4, No 2 (2020): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v4i2.105

Abstract

ABSTRAKPerkara-perkara lingkungan hidup yang telah diproses di pengadilan, dalam putusannya tidak pro lingkungan hidup, tidak berorientasi pada keberlanjutan lingkungan hidup dan dinilai sering mengecewakan serta tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat dan keadilan bagi lingkungan hidup itu sendiri. Dengan keadaan tersebut sangat urgen Pengadilan Lingkungan Hidup (Environmental Court) untuk menyelesaikan perkara lingkungan hidup yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan hidup. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan urgensinya eksistensi pengadilan lingkungan hidup. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan kajian hukum normatif, spesifikasi penelitian bersifat kualitatif, Sumber data sekunder dan menggunakan analisis data kualitatif. Perkara lingkungan hidup memiliki karakteristik khusus. Karateristik kasus-kasus lingkungan yang seringkali scientific dan membutuhkan keahlian khusus dalam penanganannya maka sangat urgen dibentuk pengadilan khusus lingkungan hidup. Perkara-perkara lingkungan hidup yang diselesaikan di peradilan umum belum dapat memberikan keadilan ekologis dan justru menghasilkan putusan bebas bagi pelakunya, maka sangat urgen adanya pengadilan lingkungan hidup. Kata kunci: keberlanjutan, lingkungan hidup, pengadilan, urgensi.ABSTRACTThese cases, which have been processed in courts, are not pro-environmental and not sustainability-oriented. With this situation, it is very urgent for the Environmental Court to resolve environmental cases which are oriented towards environmental sustainability. The purpose of this research is to describe the importance of the environmental court. This research employed normative legal studies, qualitative research specifications, Secondary data source, and qualitative data analysis. The environmental cases are special cases, hence requiring scientific approaches and special expertise. In accordance with the aforementioned fact, it is very urgent to establish the environmental court.Keywords: court, environment, sustainability, urgency.
IMPLEMENTASI PRINSIP GOOD ENVIRONMENTAL GOVERNANCE DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI INDONESIA Umi Mustaghfiroh; Lailatul Khoirun Ni’mah; Asfiyatus Sundusiyah; Hilmi Alwi Addahlawi; Ahmad Fauzan Hidayatullah
Bina Hukum Lingkungan Vol 4, No 2 (2020): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v4i2.106

Abstract

ABSTRAKPengelolaan sampah yang baik demi kelestarian dan keberlangsungan lingkungan hidup merupakan salah satu pinsip good envionmental governance. Metode penelitian dalam jurnal ini menggunakan metode kajian kepustakaan dari berbagai jurnal yang berkaitan dengan metode pengolahan sampah di berbagai daerah di Indonesia. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa beberapa daerah di Indonesia telah melakukan pengelolaan sampah yang baik, yaitu dengan membuat bank sampah, mendaur ulang sampah menjadi produk baru maupun melakukan sanitary landfill dengan cara melakukan pelapisan geotekstil pada permukaan tanah sebelum ditimbuni sampah. Dalam pengelolaan sampah, menurut penulis tedapat beberapa hal penting dalam proses pengelolaan sampah untuk menciptakan kualitas lingkungan yang bersih dan sehat, dua hal diantaranya, yaitu mekanisme pengelolaan sampah dan partisipasi masyarakat. Kata kunci: good environmental governance; kebijakan pemerintah; pengelolaan sampah.ABSTRACTThe best way to manage garbage for good environment is recycling. This way is one of principles of good environmental governance. The research method in this journal uses the literature review method from various journals relating to the method of processing garbage in various regions in Indonesia. From this study it was concluded that several regions in Indonesia have carried out good garbage management, namely by creating a garbage bank, recycling garbage into new products and conducting sanitary landfills by coating geotextiles on the surface of the land before being piled up with garbage. In garbage management, according to the author, there are several important things in the garbage management process to create a clean and healthy environmental quality, two of them, namely the mechanism of garbage management and community participation.Keywords: good environmental governance; government policy; garbage management.
SINERGI ADAPTASI KEARIFAN LOKAL DAN PEMBERDAYAAN HUKUM DALAM PENANGGULANGAN KEBAKARAN LAHAN GAMBUT DI INDONESIA Myrna Asnawati Safitri
Bina Hukum Lingkungan Vol 4, No 2 (2020): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v4i2.99

Abstract

ABSTRAKSejak 2015, Pemerintah Indonesia mengintensifkan pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan gambut. Sebanyak 35% areal terbakar tahun 2015 dari ekosistem gambut. Penegakan hukum terhadap pembakaran lahan semakin dipertegas. Namun demikian, banyak masyarakat terbiasa melakukan pembakaran untuk menurunkan tingkat keasaman tanah. Perlindungan terhadap kearifan lokal dalam kegiatan pembakaran lahan telah diberikan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini menimbulkan kontradiksi antara penegakan hukum dengan perlindungan kearifan lokal. Paper ini membahas upaya menyelaraskan penegakan hukum dengan perlindungan kearifan lokal. Melalui penelitian sosio-legal yang menggabungkan metode penelitian hukum normatif dengan participatory action research, paper ini mengusulkan untuk meninjau ulang konsep kearifan lokal pada ekosistem yang rusak. Disimpulkan bahwa kearifan lokal memerlukan adaptasi. Di samping itu, penegakan hukum perlu diimbangi dengan pemberdayaan hukum dan pendampingan teknologi pertanian agar tidak menimbulkan pelanggaran hak-hak fundamental pada masyarakat. Kata kunci: gambut; kearifan lokal; kebakaran hutan dan lahan; paralegal; pemberdayaan hukum.ABSTRACTSince 2015, Indonesian Government has intensified the prevention and control of peatland fires. Around 35% of the 2015 burned areas were in peat ecosystems. Law enforcement is increasingly conducted. But, many peoples are used to burning their land to reduce soil acidity. Protection of local wisdom in land burning is provided by Indonesian Environmental Law. This, however, contradicts law enforcement and the protection of local wisdom.This paper discusses the efforts of synergizing legal enforcement and the protection of local wisdom. Through socio-legal reseach conducted by combining legal and participatory action research methods, this paper proposes to revisit the concept of local wisdom in degraded ecosystems. Concluded here that local wisdom need to be adaptive. Besides, law enforcement needs to be equipped with legal empowerment and the facilitation of agricultural technology to inhibit the violations of the fundamental rights of the people. Keywords: forest and land fire, legal empowerment, local wisdom, paralegal, peatland.
PENGAKUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN PERLINDUNGAN WILAYAH ADAT DI KABUPATEN REJANG LEBONG JT Pareke; Fahmi Arisandi
Bina Hukum Lingkungan Vol 4, No 2 (2020): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v4i2.135

Abstract

ABSTRAKPemerintah Daerah Kabupaten Rejang Lebong telah menerbitkan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Rejang Lebong. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan siapa unit sosial yang diakui dan apa fungsi peraturan dearah tersebut bagi perlindungan wilayah adat. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan kesimpulan bahwa: Pertama: Kutei adalah unit sosial asli yang diakui dalam Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Rejang Lebong, pengakuan tersebut adalah pengakuan kutei sebagai subyek hukum dan dapat dibebani hak dan kewajiban. Kedua: Peraturan daerah tersebut berfungsi juga untuk melindungi wilayah adat mereka karena menyebutkan kewajiban dari masyarakat hukum adat untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam secara berkelanjutan sebagaimana telah diatur dalam hukum adat rejang.Kata kunci: masyarakat hukum adat; pengakuan; perlindungan.ABSTRACTRejang Lebong Regency Government has issued Regional Regulation No. 5 of 2018 concerning Recognition and Protection of Customary Law Communities in Rejang Lebong Regency. This research was conducted to describe who the recognized social unit is and what is the function of the regional regulation for the protection of indigenous territories. This study uses a normative juridical approach, which is legal research conducted by examining literature or secondary data. The results of this study indicate the conclusion that: First: Kutei is an original social unit that is recognized in Regional Regulation No. 5 of 2018 concerning Recognition and Protection of Customary Law Communities in Rejang Lebong Regency, the recognition is recognition of kutei as a legal subject and can be burdened with rights and obligations. Second: The regional regulation also functions to protect their customary territories because it states the obligations of indigenous and tribal peoples to preserve the environment and natural resources in a sustainable manner as stipulated in the customary law of the rejang.Keywords: indigenous peoples; recognition; protection.
DERIVASI KONSEP NEGARA KEPULAUAN DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Tahegga Primananda Alfath; Radian Salman; Sukardi Sukardi
Bina Hukum Lingkungan Vol 4, No 2 (2020): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24970/bhl.v4i2.101

Abstract

ABSTRAKPasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada penambahan afiks “yang berciri nusantara” memberikan derivasi terhadap konsep negara kepulauan sebagaimana diatur dalam United Nations Conventions on The Law of The Sea Tahun 1982, bahwa ada ciri khusus bagi Indonesia dalam memaknai konsep negara kepulauan.  Untuk membahas hal tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan sejarah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ratio legis derivasi konsep negara kepulauan dalam konstitusi Indonesia pada amandemen kedua sebagai penguatan kedaulatan negara dalam pembangunan wilayahnya harus berciri nusantara. Founding constitution sejak awal perumusan, menyatakan bahwa wilayah Indonesia memiliki ciri khusus, hal tersebut juga menjadi dasar logis deklarasi Juanda bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Maka, akibat hukum pembangunan wilayah yang tidak didasarkan atas ketentuan konstitusi, khususnya politik hukum negara kepulauan yang berciri nusantara, memiliki potensi inkonstitusional. Kerangka hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang berciri nusantara.  Kata kunci: delegasi peraturan; konstitusi; negara kepulauan. ABSTRACTArticle 25A -The Constitution of the Republic of Indonesia in 1945. The addition of affixes "which was characterized by nusantara" certainly provided a derivation of the concept of an archipelagic state as stipulated in the United Nations Convention on the Sea 1982, that there were special characteristics for Indonesia in interpreting the concept of an archipelagic state. To discussed this, this research used a legal research method with statute approach, conseptual approach, and historical approach. The result of this research indicated that the ratio legis of derivation the consept of an archipelagic state in Indonesian constitution in the second amandement as strengthening the souverignty of country in development of its territory must be characterized by Nusantara. Founding constitution since the beginning of formulation, stated that the territory of Indonesia had special characteristics, it also became logical basic for the Juanda Declaration that Indonesia was archipelagic state. Thus, the legal consequences of regional development that were not based on constitutional provisions, especially the legal politics of archipelagic state that characterized by nusantara, had unconstitutional potensial. The legal framework of the unitary state of the Republic Indonesia was an archipelagic state that characterized by Nusantara.   Keywords: archipelagic state; constitution; regulatory delegation.  

Page 1 of 1 | Total Record : 10