cover
Contact Name
Rini
Contact Email
kindaietam@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
kindaietam@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota banjarbaru,
Kalimantan selatan
INDONESIA
Kindai Etam: Jurnal Penelitian Arkeologi
ISSN : 25411292     EISSN : 26206927     DOI : -
Core Subject : Social,
indai Etam merupakan jurnal penelitian arkeologi yang diterbitkan oleh Balai Arkeologi Kalimantan Selatan sejak tahun 2015. Nama "Kindai Etam" berasal dari bahasa asli masyarakat Dayak Kalimantan, yaitu "kindai" yang berarti wadah dari kayu dan "etam" yang berarti kita. Secara harfiah, Kindai Etam berarti wadah kita, yang dapat dimaknai sebagai media kita bersama dalam menginformasikan hasil-hasil penelitian arkelogi.Tujuannya adalah memberikan ruang bagi peneliti arkeologi untuk mempublikasi hasil penelitiannya supaya dapat dinikmati sebagai media edukasi bagi masyarakat luas.
Arjuna Subject : -
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol. 5 No. 1 (2019): Kindai Etam Volume 5 Nomor 1 November 2019" : 9 Documents clear
PEMBANGUNAN BENTENG NOSTRA SENORA DEL ROSARIO (THE ESTABLISHMENT OF NOSTRA SENORA DEL ROSARIO FORT) Laila Abdul Jalil
Kindai Etam : Jurnal Penelitian Arkeologi Vol. 5 No. 1 (2019): Kindai Etam Volume 5 Nomor 1 November 2019
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2764.507 KB) | DOI: 10.24832/ke.v5i1.46

Abstract

Rempah-rempah menjadi daya tarik utama kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara. Cengkih, pala, dan fuli (bagian dalam buah pala yang berwarna merah dengan aroma harum) merupakan jenis rempah yang dicari. Rempah-rempah yang berasal dari Pulau Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan menjadi komoditas utama yang memiliki nilai tinggi dan diperebutkan oleh bangsa Eropa. Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang berhasil mencapai kepulauan rempah. Setelah menaklukkan Malaka pada tahun 1511, Alburqueque mengirimkan tiga kapal mencari kepulauan rempah. Kedatanganbangsa Portugis ke Maluku menjadi penanda awal hubungan bangsa Eropa dengan Nusantara hingga abad XX. Motivasi kedatangan bangsa Eropa yang didorong dengan semangat gold, gospel, dan glory memicu konflik yang berkepanjangan antara Eropa dan penduduk Maluku. Kedatangan Portugis ke Maluku disambut dengan baik oleh Sultan Ternate, Sultan Bayan (Abu Lais). Hubungan perdagangan yang baik antara Kesultanan Ternate dengan Portugis mendorong niat Portugis untuk membangun benteng di Ternate. Keinginan Portugis untuk membangun benteng mendapat izin dari Kesultanan Ternate. Tahap awal pengerjaan benteng dimulai pada tahun 1522. Daerah Kastela dipilih sebagai lokasi pembangunan benteng. Benteng ini merupakan benteng Portugis pertama di Nusantara. Selain sebagai pusat untuk perdagangan dan tempat tinggal bangsa Portugis, benteng pertama ini juga menjadi sekolah teologi pertama di Asia Tenggara. Benteng ini diberi nama Sao Joao Bautista atau Nostra Senora del Rosario yang berarti wanita cantik berkalung bunga mawar. Spices had attracted the arrival of Europeans to the archipelago. Cloves, nutmeg, and mace (the inside part of nutmeg which red color and fragrant) were the most wanted spices. The spices originating from the islands of Ternate, Tidore, Moti, Makian, and Bacan became a high value comodity which was contested by Europeans. Portuguese was the first Europeans to reach the spice islands. After conquering Malacca in 1511, Alburqueque sent three ships to discover the spice islands. The arrival of the Portuguese to Moluccas was a sign of the beginning of the relationship between Portugal and Maluku until XX century. Portuguese motivation arriving to Mollucas was driven by enthusiasm gold, gospel, and glory. The arrival of the Portuguese was welcomed by the Sultan of Ternate, Sultan Bayan (Abu Lais). Good trade relations between Portuguese and Ternate encouraged Portuguese intention to build a fort in Ternate. the Portuguese wish to build a fort got permission from the Sultan. In 1522, early of the fort construction began. Kastela area was chosen as the location for the fort construction. It become the first Portuguese fort in the archipelago. Other than as a trading centre and Portuguese residence, the fort was also the first theological school in Southeast Asia. The fort is named of Sao Joao Bautista or Nostra Senora del Rosario which means beautiful women with rose flowers.
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SITUS ARKEOLOGI BAWAH AIR DI KALIMANTAN (RESEARCH AND DEVELOPMENT OF UNDERWATER ARCHAEOLOGICAL SITES IN KALIMANTAN) nFn Hartatik
Kindai Etam : Jurnal Penelitian Arkeologi Vol. 5 No. 1 (2019): Kindai Etam Volume 5 Nomor 1 November 2019
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3451.941 KB) | DOI: 10.24832/ke.v5i1.49

Abstract

Kondisi lingkungan fisik Kalimantan yang terdiri atas dataran rendah berawa dan hutan lebat menyulitkan akses jalan darat. Puluhan sungai besar dan ribuan sungai kecil membelah daratan Kalimantan, sehingga sungai merupakan alat transportasi utama di Kalimantan sejak zaman prasejarah hingga pertengahan abad ke-20 Masehi. Migrasi, ekspedisi militer, penjelajahan, penelitian, kegiatan misionaris, dan perdagangan, dilakukan dengan menggunakan kapal atau perahu menyusuri sungai besar hingga anak-anak sungai ke arah pedalaman. Dalam perjalanannya, banyak kapal/perahu yang mengalami masalah di perjalanan hingga akhirnya tenggelam dan kini menjadi benda yang mengandung nilai penting bagi sejarah dan pengetahuan. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui apa saja situs tinggalan bawah air di Kalimantan yang sudah diteliti serta bagaimana upaya pelestarian dan pengembangannya. Artikel ini menggunakan metode penelitian deskriptif interpretatif dengan penalaran induktif. Data yang digunakan merupakan hasil penelitian Balai Arkeologi Kalimantan Selatan pada tahun 1997, 2006, dan 2012 yang dilakukan dengan metode survei dan ekskavasi. Ada tiga objek bangkai kapal tenggelam yang pernah di teliti oleh Balai Arkeologi Kalimantan Selatan, yaitu kapal dagang Belanda di Sungai Martapura Banjarmasin, kapal Onrust di hulu Sungai Barito, dan bangkai kapal di Sungai Kapuas Kalimantan Tengah. Penelitian arkeologi bawah air terkesan berhenti, sedangkan pelestarian dan pengembangan ketiga objek kapal tenggelam itu hingga kini masih sebatas wacana. Tidak optimalnya penelitian dan pengembangan hasil penelitian karena keterbatasan sumber daya manusia yang fokus ke arkeologi bawah air, serta kurangnya koordinasi antara Pemda dan stake holder untuk pelestarian dan pengembangannya. Wacana pengangkatan kapal tenggelam penting segera ditindaklanjuti, terutama yang bernilai sejarah untuk dimanfaatakan sebagai objek wisata dan bukti perjuangan nenek moyang. Kalimantan's physical environmental conditions are consisting of lowland marshy and dense forests,it make difficult to be accessed by roads. Dozens of great rivers and thousands of small rivers divide the mainland of Borneo, so the river is the main means of transportation in Borneo since prehistory times until the mid-20th century. The migrations, military expeditions, exploration, research, missionary activities, and trades were carried out by boat/ships down the great river to the small rivers to inland. In its journey, many boats or ships are having trouble on the way until it finally sank and now become objects that contain important values for history and knowledge. This article aims to find out what Borneo underwater sites have been studied and how to conserve and develop them. This article uses descriptive interpretive research method with inductive reasoning. The datas used are the archaeological reaserches of Balai Arkeologi Kalimantan Selatan in 1997, 2006, and 2012 conducted by survey and excavation method. There are three shipwrecks have been researched, that are in the Martapura River Banjarmasin, Onrust ships in the upstream Barito River, and shipwrecks in the Kapuas River Central Kalimantan. The research of underwater archaeology seems as if stoped, while the preservation and development of these three objects of shipwrecks are still the discourse. The research is not optimal due to the limited human resources whose focus on underwater archeology, and the lack of coordination between the local government and the stakeholders for its preservation and development. The discourse on the appointment of shipwrecks must be followed up immediately, especially those which have historical values to be used as tourist objects and monuments of ancestral struggle.
ARCA BATU SAKE: PENJAGA BUKIT BERIBIT (SAKÉ STONE STATUE: THE KEEPER OF BUKIT BERIBIT) Vida Pervaya Rusianti Kusmartono; Imam Hindarto
Kindai Etam : Jurnal Penelitian Arkeologi Vol. 5 No. 1 (2019): Kindai Etam Volume 5 Nomor 1 November 2019
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5470.315 KB) | DOI: 10.24832/ke.v5i1.50

Abstract

Pada waktu manusia mulai sadar bahwa terdapat hakikat di alam semesta yang lebih ‘besar’ dan ‘berkuasa’ yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidupnya, manusia berupaya untuk dapat mempersonifikasikan ‘kekuatan’ tersebut. Upaya personifikasi ini ditujukan agar ‘kekuatan’ alam lebih bersifat teraba oleh indera manusia. Wujud personifikasi tersebut dapat berupa struktur, gambar arang, lukisan cadas, atau arca, yang dijumpai di situs-situs gua atau situs terbuka di Nusantara. Salah satu wujud personifikasi alam yang ditemukan di Bukit Beribit di pedalaman hutan Sintang di bagian barat Kalimantan adalah arca Sake. Gejala yang menarik dari arca Sake ini adalah sosok dan sifat kesendiriannya, di tengah belantara hutan hujan tropis di lembah selatan Pegunungan Müller, tanpa didampingi komponen lain yang mendukung keberadaannya. Arca Sake ini berupa bentukan monolit vulkanis setinggi 2 meter, dan disebut sebagai ‘batu Tenavak’ oleh masyarakat Ot Danum. Arca serupa belum ditemukan di kawasan lain di Kalimantan. Apakah sebenarnya arca Sake ini? Etnohistori menyebutkan dua versi tentang arca tersebut, yaitu sebagai tanda mata perkawinan Rikai kepada Panjan, dan sebagai perisai spiritual atas serangan musuh terhadap etnis Ot Danum. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif-deskriptif dengan penalaran induktif. Penalaran tersebut diuraikan dengan cara menggambarkan secara rinci data yang telah dikumpulkan, merekamnya secara verbal dan piktoral, dianalisis, untuk selanjutnya disintesiskan. Arca Sake diinterpretasikan sebagai figur arca penjaga, yang konsep pengarcaannya mengambil unsur campuran wujud binatang-binatang amfibi dan reptil dari konsep religi tua, dan berfungsi menjaga kawasan hutan Bukit Beribit. When human began to realize that there was an entity in the universe that was 'bigger' and 'powerful' that can affect their survival, human strived to personify such 'power'. This effort was intended so that the 'strength' of nature was more tangible to human senses. Such personification can take the form of structures, charcoal drawings, rock paintings, or statues, which can be found in cave sites or open sites in Nusantara. One manifestation of this nature personification found at Bukit Beribit in the depths of the Sintang forest in western Kalimantan is the Sake stone statue. An interesting phenomenon about the Sake stone statue is its form and solitariness, in the midst of tropical rainforests in the southern valley of Pegunungan Müller, unaccompanied by components that support its existence. The Sake stone statue is of a volcanic monolith as high as 2 meters, and is called the 'Tenavak stone' by the Ot Danum community. Similar statues have not been found in other regions of Kalimantan. What exactly is the Sake stone statue? The Ot Danum ethnohistory mentions two versions of its identity, i.e. as a dowry from Rikai to Panjan, and as a spiritual shield to prevent the Ot Danum from enemy attacks. This research was conducted using qualitative-descriptive methods with inductive reasoning. The arguments were described by depicting the collected data in detail, recording them verbally and pictorially, analysed and eventually synthesized them. The Sake stone statue was interpreted as a figure of a keeper, where the sculpture takes on an element of mixture of animals amphibian and reptile from old religious concepts, and serves to protect the forest region of Bukit Beribit.
HUNIAN BERBENTENG (KUTA) MAPOT: STUDI BENTUK, SIMBOL, DAN KRONOLOGI (THE FORTIFIED DWELLING (KUTA) OF MAPOT: STUDY OF FORM, SYMBOL, AND CHRONOLOGY) nFn Sunarningsih
Kindai Etam : Jurnal Penelitian Arkeologi Vol. 5 No. 1 (2019): Kindai Etam Volume 5 Nomor 1 November 2019
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2558.271 KB) | DOI: 10.24832/ke.v5i1.51

Abstract

Kuta Mapot yang berada di wilayah Desa Tumbang Lapan, Kecamatan Rungan Hulu, Kabupaten Gunungmas, Provinsi Kalimantan Tengah, merupakan hunian berbenteng di tepian anak Sungai Tumbang Lapan, di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan bagian hulu. Kuta ini termasuk istimewa karena masih nampak beberapa tiangnya, baik dari bagian pagar keliling maupun bangunan di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi bentuk, simbol, dan kronologi hunian berbenteng Mapot. Penelitian bersifat deskriptif dengan pendekatan induktif. Pengumpulan data menggunakan metode survei, ekskavasi, wawancara, dan studi pustaka. Hasil penelitian memberi gambaran bahwa Kuta Mapot berbentuk persegi, yang dibentuk oleh pagar keliling dari balok ulin, dilengkapi dengan beberapa patung yang bermakna simbolik sebagai penolak bala sekaligus penjaga, dan bangunan patahu. Secara kronologi (absolut) berdasarkan analisis 14C, Mapot berada di kisaran abad ke-5--20 Masehi, sedangkan secara relatif (keramik Cina) berada pada abad ke-18--20 Masehi. Pendukung Kuta Mapot adalah masyarakat asli, yang sekarang dikenal dengan nama masyarakat Ngaju yang tinggal di Desa Tumbang Lapan, Kecamatan Rungan Hulu. Kuta Mapot, located in the Tumbang Lapan Village, Rungan Hulu Subdistrict, Gunungmas Regency, Central Kalimantan Province, is a fortified residence on the banks of the Tumbang Lapan tributary, in the upper of Kahayan River Basin. Kuta is specially considered because there can still be found some pillars, both from the part of the fences and the buildings inside. This study aims to reconstruct the shape, symbols, and chronology of Mapot fortified dwellings in the village of Tumbang Lapan. Research is descriptive with an inductive approach. The data were collected by survey, excavation, interview, and literature study methods. The study can illustrate that Kuta Mapot is square in shape, formed by a perimeter fence of ironwood beams, equipped with several sculptures that have symbolic meanings as repellent as well as guards, and patahu building. Chronologically (absolute) based on C14 analysis, Mapot is in the range of the 5th-20th century AD, while relatively (Chinese ceramics) is in the 18th-20th century AD. Supporters of Kuta Mapot were indigenous people, now known as Ngaju people who live in Tumbang Lapan Village, Rungan Hulu District.
NAMA PERANG BARITO BERDASARKAN BUKTI ARKEOLOGIS (THE NAME OF BARITO WAR BASED ON ARCHAELOGICAL EVIDENCE) Nugroho Nur Susanto
Kindai Etam : Jurnal Penelitian Arkeologi Vol. 5 No. 1 (2019): Kindai Etam Volume 5 Nomor 1 November 2019
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4382.127 KB) | DOI: 10.24832/ke.v5i1.53

Abstract

Perang Banjar atau Perang Banjarmasin dapat pula disebut sebagai Perang Barito. Kata Banjar sendiri mengacu pada masyarakat Islam yang diikat oleh Kesultanan Banjar, sedangkan Barito mengacu pada nama sungai yang sangat penting, yang mengalir di sebagian wilayah Kalimantan Selatan, tetapi lebih banyak mengalir di wilayah administrasi Kalimantan Tengah. Tulisan ini bertujuan menjawab permasalahan mengapa istilah perang Banjar dapat pula disebut sebagai Perang Barito berdasarkan bukti-bukti arkeologis. Adapun perang di sini mengacu pada serangkaian perlawanan rakyat yang melibatkan masyarakat yang memiliki asal-usul dan latar belakang beragam. Perang Banjar didukung oleh keturunan Kesultanan Banjar, dibantu oleh komunitas rakyat biasa yang berasal dari berbagai daerah di batang banyu di sepanjang aliran Sungai Barito. Dukungan perjuangan berasal dari masyarakat Banua Lima yang diidentikkan sebagai masyarakat Banjar hulu, masyarakat Bakumpai, serta dukungan dari Dayak Murung, Siang dan Taboyan. Dari aspek bukti sejarah, peristiwa perang ini meninggalkan bukti arkeologis termasuk makam tokoh-tokohnya. Melalui metode penelitian survei yang didukung data pustaka, dan informasi masyarakat, jejak perjuangan rakyat Kalimantan dalam menentang penjajahan Belanda dapat tergambarkan. Daerah aliran Sungai Barito telah menjadi saksi perjuangan dan perlawanan rakyat. Hal ini sudah semestinya menjadi landasan berpikir, bahwa kerjasama antarelemen masyarakat, antardaerah, dan antarlembaga di masa depan sangat diperlukan. Perbedaan bukan menjadi alasan, untuk tidak bekerjasama dalam membangun Kalimantan. The Banjar war or the Banjarmasin war can also be called the. The word of Banjar refers to the Islamic community bound by an empire, while Barito refers to the name of a very important river, which flows in parts of South Kalimantan, but more flows in the administrative area of Central Kalimantan. This paper aims to address the problem of why the term of Banjar war can also be referred to as the Barito War based on archaeological evidence. The war refers to a series of popular resistance involving people from diverse origins and backgrounds. Supported by the descendants of the Banjar Sultanate, assisted by ordinary community people from various areas of the batang banyu and Barito River basin communities. Supporter of the war came from the Banua Lima people who were identified as the Banjar hulu people, from the Bakumpai, Dayak Murung, Siang and Taboyan communities. From the aspect of historical evidence, this war event left some archeological evidences including the graves of war figures. Based on the historical evidence supported by the archeological remains of its characters. Through survey research methods supported by library data and public information, the footsteps of the struggle of the Kalimantan people in opposing Dutch colonialism can be illustrated. The Barito River watershed has witnessed the people's struggle and resistance. This should be the basis for cooperation between communities, regions, and institutions in the future. Difference is not a reason for not to cooperate in the development of Kalimantan.
SAMPUL DEPAN KINDAI ETAM VOLUME 5 NOMOR 1 2019 - -
Kindai Etam : Jurnal Penelitian Arkeologi Vol. 5 No. 1 (2019): Kindai Etam Volume 5 Nomor 1 November 2019
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (8720.943 KB)

Abstract

Kindai Etam
SAMPUL BELAKANG KINDAI ETAM VOLUME 5 NOMOR 1 2019 - -
Kindai Etam : Jurnal Penelitian Arkeologi Vol. 5 No. 1 (2019): Kindai Etam Volume 5 Nomor 1 November 2019
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (8817.947 KB)

Abstract

-
PREFACE KINDAI ETAM VOLUME 5 NOMOR 1 NOVEMBER 2019 - -
Kindai Etam : Jurnal Penelitian Arkeologi Vol. 5 No. 1 (2019): Kindai Etam Volume 5 Nomor 1 November 2019
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (489.776 KB)

Abstract

-
APPENDIX KINDAI ETAM VOLUME 5 NOMOR 1 NOVEMBER 2019 - -
Kindai Etam : Jurnal Penelitian Arkeologi Vol. 5 No. 1 (2019): Kindai Etam Volume 5 Nomor 1 November 2019
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1800.625 KB)

Abstract

-

Page 1 of 1 | Total Record : 9