cover
Contact Name
Amalia Setiasari
Contact Email
jkpi.puslitbangkan@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jkpi.puslitbangkan@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia
ISSN : 19796366     EISSN : 25026550     DOI : -
Core Subject : Agriculture,
Indonesian Fisheries Policy Journal present an analysis and synthesis of research results, information and ideas in marine and fisheries policies.
Arjuna Subject : -
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol 11, No 1 (2019): (Mei) 2019" : 6 Documents clear
IMPLEMENTASI PENUTUPAN AREA DAN MUSIM PENANGKAPAN UNTUK PENGELOLAAN PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA Wijopriono, Wijopriono; Ngurah N Wiadnyana; Dharmadi Dharmadi; Ali Suman
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 11, No 1 (2019): (Mei) 2019
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (425.918 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.11.1.2019.11-21

Abstract

Kajian penutupan area dan waktu penangkapan udang telah dilakukan, menyusul pemberlakuan moratorium perizinan usaha perikanan tangkap dan pelarangan pengoperasian trawl di Laut Arafura. Kajian ini diperlukan untuk memberikan perspektif pilihan strategi dalam upaya pemulihan stok, dengan pertimbangan manfaat ekonomi dan keberlanjutan sumberdaya udang di Laut Arafura. Dalam status lebih tangkap yang tinggi, lebih banyak diterapkan strategi penutupan musim pada periode pemijahan dan masa perekrutan untuk melindungi induk dan juvenile udang. Dari data biologi, runut kehidupan, dan pola penangkapan udang, diperoleh dua pilihan strategi, yaitu: penutupan sepanjang tahun area penangkapan di sisi barat laut Arafura yang diketahui sebagai habitat pemijahan udang, atau menghentikan seluruh kegiatan pengoperasian pukat udang dan pukat ikan di Laut Arafura pada musim puncak pemijahan, yaitu periode Februari dan Agustus-September. Keputusan pemilihan kedua strategi tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda dari sisi biologi, ekonomi dan sosial. Penutupan musim akan efektif jika disertai tindakan lain seperti kontrol tangkapan dan pembatasan jumlah armada/alat tangkap serta kebijakan teknis lainnya seperti kewajiban penggunaan by-catch reduction device (BRD) pada pukat udang dan ikan, penempatan observer diatas kapal, kewajiban penggunaan peralatan vessel monitoring system (VMS) dan sistem pelaporannya.Assement of seasonal and area closure of fishing has been conducted, following the enactment of moratorium on the capture fisheries business and the prohibition of trawling operations in the Arafura Sea. This work is needed to provide a strategic option perspective in the efforts of rebuilding stock, taking into consideration the economic benefits and sustainability of shrimp resources in the Arafura Sea. In situation ofheavy over-exploited, more seasonal closing strategies are adopted during the spawning period and recruitment periods to protect broodfish and juveniles. Based on biological data including life history and shrimp fishing patterns, two strategic options are obtained, i.e., year-round closing of fishingareas on the western side of Arafura Sea known as shrimp spawning habitat, or stop shrimp and fish trawl fishing activities in all areas of the Arafura Sea duringpeak spawning season, i.e., in February and August-September. Decisions on the selection of these two strategies have different biological, economic and social consequences. Seasonal closure will be effective if accompanied by other measures such as catch control and fleet/fishing gear restrictions and other technical policies such as obligation to install by-catch reduction device (BRD) on shrimp and fish trawls, placement of observer onboard of the vessels, obligation to install the equipment of vessel monitoring system (VMS) and their reporting systems.
CULTURE BASED FISHERIES (CBF) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PRODUKSI IKAN DI WADUK Aisyah Aisyah Aisyah; Setiya Triharyuni; Eko Prianto; Rudy Masuswo Purwoko; Husnah Husnah
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 11, No 1 (2019): (Mei) 2019
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1100.489 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.1.1.2019.53-63

Abstract

Sistem pangan global semakin dituntut untuk memenuhi permintaan ikan seiring meningkatnya tingkat konsumsi ikan di masa depan. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran bahwa CBF sebagai solusi cepat dalam meningkatkan produksi ikan termasuk mengoptimalkan produktivitas di suatu perairan sehingga mempersempit kesenjangan antara permintaan akan sumber protein hewani dan pasokan sumberdaya ikan melalui peningkatan produksi. Melalui analisis deskriptif terhadap data statistik perikanan nasional tahun 2002-2017, kajian pustaka terkait dengan CBF dan hasil tangkapan yang didaratkan di Waduk Malahayu tahun 2008-2016, diperoleh gambaran bahwa upaya meningkatkan produksi ikan melalui CBF di Indonesia dengan mengikuti kaidah ilmiah merupakan opsi yang tepat untuk meningkatkan produksi perikanan tangkap. Penerapan CBF memerlukan penguatan kelembagaan, petunjuk teknis yang jelas dan tersosialisasi dengan baik serta penguatan peran lembaga penyedia benih. The global food system is increasingly being demanded to meet demand as the level of fish consumption increases in the future. The purpose of this paper is to provide an overview of CBF as a solution in narrowing the gap between the demand for sources of animal protein and the supply of fish resources through increased the production include maximizing the productivity. Through descriptive analysis of the national fisheries statistical data for 2002-2017, literature review related to CBF and catches landed in Malahayu reservoir in 2008-2016, an illustration is that efforts to increase fish production through CBF in Indonesia by following scientific rules are the right option to increase capture fisheries production respectively. Implementation of CBF requires institutional strengthening, clear technical guidance and well-socialized and strengthening the role of seed provider institutions.
KONSERVASI SUMBER DAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon) DI PANTAI TIMUR ACEH, KABUPATEN ACEH TIMUR Didik Wahju Hendro Tjahjo; Dimas Angga Hedianto; Astri Suryandari; Amula Nurfiarini; Zulkarnaen Fahmi; Indriatmoko Indriatmoko; Joni Haryadi
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 11, No 1 (2019): (Mei) 2019
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (235.949 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.1.1.2019.39-51

Abstract

Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu komoditas udang utama dan mempunyai nilai ekonomi tinggi di perairan, Kabupaten Aceh. Saat ini laju eksploitasi udang windu sangat tinggi. Hal tersebut merupakan ancaman terhadap kelestarian sumber daya udang windu. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji opsi pengelolaan konservasi udang windu di Aceh Timur. Kepadatan post larva Penaeidae berkisar antara 0-214 ind/1.000 m3 dan kepadatan stok juvenil udang windu berkisar antara 686-1.875 ind/km2, dimana kepadatan tertinggi di Kuala Arakundo dan Kuala Peureulak. Distribusi spasial kelimpahan udang windu berkisar antara 10-130 ekor/m2 (10-167.000 g/ha). Analisis aspek status pemanfaatan, degradasi habitat (penebangan liar, pembukaan tambak, dan sedimentasi), perkiraan dan evaluasi resiko, serta faktor-faktor yang mendukung diantaranya respon masyarakat dan kesiapan sistem sosial merupakan masukan dalam menentukan konservasi sumber daya udang windu. Oleh karena itu, dalam upaya menjamin kelestarian sumber daya udang windu di alam serta keberlanjutan usaha budidayanya, perlu dilakukan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi sumber daya udang windu yang rasional, seperti (a) pengendalian dan pemulihan degradasi lingkungan melalui pengendalian erosi bagian hulu-hilir, dan menjaga dan merehabilitasi hutan mangrove, (b) pengendalian penyebaran penyakit dengan pendekatan kehati-hatian untuk pengembangan budidaya udang vanamei, (c) pengendalian penangkapan juvenil udang windu melalui pelarangan beroperasi alat tangkap sejenis trawl (pukat langgih dan pukat layang), dan (d) revitalisasi dan pengembangan kelembagaan nelayan.Indian tiger prawn (Penaeusmonodon) is one of the main shrimp commodities and has high economic value. East coastal waters of East Aceh district is known as one of the main producer of tiger prawns with the best quality. On the other hand the rate of exploitation of tiger shrimp is very high. This issue is therefore need to be a addressed further. The purpose of this study is, therefore, to assess the management activities needed to conserve tiger shrimp in East Aceh. Penaeidae post larvae density in Aceh Timur ranges from 0-214 ind/1,000 m3 and juvenile stock density ranges from 0,245-49,419 kg/km2, where the highest density is in Kuala Arakundo and Kuala Peureulak. The Spatial Abundance Distribution of indian tiger prawn ranges from 10 to 130 ind./m2 (10-167,000 g/ha). Analysis of aspects of utilization status, habitat degradation (illegal logging, sedimentation, land clearing for aquaculture), risk estimation and evaluation, and factors are inputthat support conservation of tiger shrimp resources. Therefore, in an effort to ensure the sustainability of tiger shrimp resources in the wild and the sustainability of its cultivation business, it is necessary to take steps to manage and conserve rational tiger shrimp resources.such as (a) controlling and restoring environmental degradation through upstream-downstream erosion control, and safeguarding and rehabilitating mangrove, (b) controlling the spread of diseases with precautionary approach to the development of vanamei shrimp farming, (c) controlling the capture of indian tiger prawn juveniles through the prohibition operates of bottom trawling (pukat langgih and pukat layang), and (d) fisherman revitalization and institutional development.
KAJIAN PENGELOLAAN RUMPON LAUT DALAM SEBAGAI ALAT BANTU PENANGKAPAN TUNA DI PERAIRAN INDONESIA Wudianto Wudianto; Agustinus Anung Widodo; Fayakun Satria; Mahiswara Mahiswara
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 11, No 1 (2019): (Mei) 2019
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (438.89 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.1.1.2019.23-37

Abstract

Untuk meningkatkan produktivitas penangkapan tuna, beberapa tahun terakhir ini nelayan dan pengusaha menggunakan alat bantu rumpon laut dalam sebagai alat pengumpul ikan dilakukan penangkapan. Penggunaan rumpon berkembang sangat pesat sehingga timbul permasalahan baik terkait dengan kelestarian sumberdaya tuna dan konflik sosial ekonomi di kalangan nelayan. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui isue permasalahan terkait rumpon saat ini dan bagaimana solusi pengelolaannya sehingga penggunaan rumpon tidak mempengaruhi keberlanjutan perikanan tuna. Data dan informasi utama yang digunakan dalam kajian ini berasal dari hasil penelitian di lapangan dan diskusi melalui workshop dan Focus Group Discussion (FGD). Tipe rumpon laut dalam yang digunakan di perairan Indonesia adalah rumpon berjangkar, yang dipasang menetap terhubung dengan dasar perairan, menggunakan jangkar atau pemberat dari beton dihubungkan dengan tali-temali ke pelampung (pontoon, gabus, rakit), yang dilengkapi dengan bahan pemikat ikan dari daun kelapa atau nipah. Beberapa jenis alat tangkap yang dioperasikan di sekitar rumpon antara lain pukat cincin, pancing ulur, pancing tonda, huhate, dan jaring insang. Hasil kajian resiko menunjukkan jenis alat tangkap yang sesuai dioperasikan di sekitar rumpon adalah pancing ulur dan pancing tonda. Pukat cincin memiliki resiko tertinggi karena banyak menangkap jenis ikan tuna yang berukuran kecil khususnya yellowfin dan bigeye tuna sebagai hasil tangkapan sampingan. Jenis alat tangkap pancing ulur lapisan dalam sangat sesuai kriteria ramah lingkungan untuk menangkap tuna di sekitar rumpon. Beberapa isu permasalahan muncul setelah rumpon berkembang di nelayan antara lain jumlah rumpon sulit diketahui, banyak ikan tuna berukuran kecil tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan dan perubahan tingkah laku ikan karena adanya “perangkap ekologi”. Beberapa rekomendasi kegiatan yang perlu dilakukan antara lain: perlu adanya penertiban pemasangan rumpon dengan melakukan pendaftaran ulang rumpon yang terpasang, jarak pemasangan rumpon harus mengacu pada jarak terdekat antar rumpon yang telah ditetapkan yaitu minimal 10 nautical mile, pemasangan rumpon sebaiknya tidak dilakukan di wilayah perairan perbatasan antar negara.During recent years fishers were intensively use deep sea FADs in their tuna fishery to attract tunas in their fishing operation for increasing its productivity. The used of FADs has rapidly developed and now starting to deem not only the sustainability of tuna resources but also triger socio economic frictions among fishers. The purpose of this study to find problem issues related to the current status of FAD and how the solution of the good management for impact on the sustainability of tuna fisheries around FAD. Main data and information are used in this study from in the field observation and result of workshop and Focus Group Discussion (FGD). A type of deep sea FADs deployed in Indonesian waters are moored or anchored FADs which occupy a fixed location and attach to the sea bottom using a weight such as an anchored or concrete block, which connected by long ropes to the floating object (Poonton, stereofoam or raft) that compliment with coconut or nipah leaves as fish lure. Several types of fishing gears operated arround FADs are purse seine, deep hand line, troll line, pole and line, and gill net. Risk assessment analysis showed that suitable gears for FADs fishing were deep sea hand line (dHL) and troll line. Purse siene was a gear with high risk score due to its operation not only caught small size of yellow fin and big eye tuna but also many by-catches. Several issues were raised after recent massive deployment of FADs among fishers concerning on numbers and license of FADs, high number on catches of juvenile tuna as by-catches. Furthermore FADS also believe has affect to the changes of tuna behaviour as highly migratory species which been ecologically trapped by FADs. This study provides current FADs management at national and regional level and some recommendations could be considered to ensure the sustainability of tuna utilization, as following: for the compliance using FAD need to re-regrestration for deployed FAD, fishermen should compliance for deploying FAD with minimum distance is 10 nautical miles among FAD as mentioned in regulation, suggested not deploy FAD in border area waters, deep hand line (dHL) is suggested as suitable fishing gear for catching tuna around FAD.
EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELARANGAN EKSPOR PRODUK HIU APPENDIK II CITES Dharmadi Dharmadi; Andrias Samusamu; Dian Oktaviani; Ngurah N Wiadnyana
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 11, No 1 (2019): (Mei) 2019
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (438.87 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.11.1.2019.1-10

Abstract

Perlindungan terhadap tiga jenis hiu martil (Sphyrna lewini, S. mokarran, S. zygaena) dan satu jenis hiu koboi (Carcharhinus longimanus) dilakukan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59/PERMEN-KP/2014 jo. PERMEN KP No. 34/PERMEN-KP/2015. Peraturan ini menekankan pada pelarangan terhadap pengeluaran hiu dan produk turunannya dari Wilayah Negara Republik Indonesia. Untuk mengetahui efektivitas implementasi regulasi tentang hiu tersebut dilakukan kajian yang dilakukan di empat tempat pendaratan hiu, yakni di Palabuhanratu (Jawa Barat), Cilacap (Jawa Tengah), di Tanjungluar (Lombok Timur) dan di Kota Kupang (Nusa Tenggara Timur). Pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran literatur, enumerator, pengamatan langsung dan wawancara dengan nelayan dan pemangku kepentingan. Analisis dilakukan secara diskriptif kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara keseluruhan terbitnya regulasi pelarangan perdagangan produk hiu belum dipahami sepenuhnya baik di tingkat nelayan, pedagang produk hiu maupun aparat penegak hukum. Hasil kajian merekomendasikan hal sebagai berikut: (1) Kegiatan sosialisasi pemahaman peraturan kebijakan konservasi sumber daya hiu perlu dilakukan secara intensif dan berkesinambungan; (2) Kebijakan peraturan pelarangan ekspor produk hiu (PERMEN KP No.34/PERMEN-KP/2015) perlu segera diperpanjang kembali minimal untuk satu tahun kedepan, berdasarkan pertimbangan karakteristik biologi hiu dan sistem pendataan terhadap hiu Appendiks II CITES yang belum baik; (3) Penyusunan aturan dan ketentuan lengkap perlu dilakukan oleh Ditjen Teknis mengenai pemisahan produk hiu dan mencatat volume berdasarkan jenis hiu yang ditetapkan masuk Appendiks II CITES yang akan diperdagangkan, dan; (4) Penguatan data hiu Appendiks II CITES terus dilakukan dengan pendataan yang mencakup daerah penangkapan, jumlah hiu yang tertangkap, dan distribusi penjualan hasil tangkapan hiu.Protection of three species of Hammerhead sharks (Sphyrna lewini, S. mokarran, S. zygaena) and one species of Whitetip shark (Carcharhinus longimanus) was carried out with the issuance of Ministerial Regulation No. 34/PERMEN-KP/2004 KP and the extension of Ministerial Regulation No. 59/ PERMEN-KP/2015. The regulations emphasize the prohibition on the release of sharks and derivative products from the Territory of the Republic of Indonesia. To find out the effectiveness of the regulation implementation on sharks, a study was conducted in four shark landing sites: Palabuhanratu (West Java), Cilacap (Central Java), Tanjungluar (East Lombok) and Kupang (East Nusa Tenggara). Data collection is done through literature review, enumerator, direct observation and interview with fishers and stakeholders.The analysis is done in qualitative descriptive. The results of the study indicate that the overall regulation on the ban on trading of shark products, has not been fully understood either at the level of fishermen, shark product traders or law enforcement officers. The results of the study recommend the following: (1) The socialization of understanding of the regulations on the conservation policy of shark resources needs to be carried out intensively and continuously; (2) The regulation on the ban on the export of shark products (Ministerial Regulation No.34 / PERMEN-KP / 2015) needs to be renewed at least for the next year, based on the consideration of shark biological characteristics and poor CITES Appendix II shark data collection system; (3) Preparation of complete rules and provisions needs to be published by relaed Directorate General concerning the separation of shark products and recording the volume based on the species of shark that is set in CITES Appendix II to be traded and; (4) Strengthening shark data record of CITES Appendix II consist of fishing areas, number of sharks, and sales distribution of shark catches.
PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) BERDASARKAN ANALISIS SPASIAL DAN TEMPORAL BIOEKONOMI DI PERAIRAN PESISIR TIMUR LAMPUNG Aprillia Kartika Ekawati; Luky Adrianto; Zairion Zairion
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 11, No 1 (2019): (Mei) 2019
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (520.52 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.11.1.2019.65-74

Abstract

Pesisir timur Lampung merupakan salah satu daerah penghasil rajungan di Indonesia. Jumlah hasil tangkapan yang rendah menghasilkan keuntungan yang rendah pada setiap upaya penangkapan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai aktivitas perikanan rajungan dalam bentuk trip optimal dan keuntungan untuk pengelolaan perikanan rajungan di pesisir timur Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Karakteristik aktivitas penangkapan rajungan didapatkan jumlah kapal (40-250 unit) dan jumlah hari melaut (16-27 trip/bulan) pada setiap lokasi. Nilai produksi pada musim puncak di pendaratan rajungan Way Seputih dan Sungai Burung lebih tinggi dibandingkan 3 lokasi lainnya. Jumlah alokasi spasial tertinggi pada musim puncak di S1 adalah di Sungai Burung dengan jumlah 1974 trip/musim dan di strata 2 tertinggi di Kuala Penet dengan jumlah 2763 trip/musim. Musim sedang di S1 dan S2 tertinggi di Way Seputih 3540 trip/musim, dan Labuhan Maringgai 2883 trip/musim. Musim paceklik S1 dan S2 Sungai Burung 10088 trip/musim dan Kuala Penet 4708 trip/musim. Penetapan alokasi upaya penangkapan (trip/musim) dapat dijadikan acuan pembatasan upaya penangkapan rajungan pada setiap stratifikasi di 5 lokasi pendaratan rajungan.The eastern coast of Lampung is one of the blue swimming crabs (Portunus pelagicus) wild catch producing areas in Indonesia. Low catch weight causes a small profit to be gained on each fishing effort. Spatial allocation in fisheries seen from the location or distance and costs of activities. The purpose of this study was to analyze the value of BSC fishing activities in the form of optimal trips and benefits for the management of BSC fisheries on the east coast of Lampung. Data collection is done using purposive sampling method. Characteristics of BSC fishing activities obtained the number of ships (40-250 units) and number of days of fishing (16-27 trip/month) at each location. The production value in the peak season at the Way Seputih and Sungai Burung landings had a higher number compared to the catch per-trip in 3 other locations. The highest spatial allocation value in the peak season at S1 in the Sungai Burung with 1974 trips/season and the highest 2 in Kuala Penet with 2763 trips/season. The highest season in S1 and S2 is highest in Way Seputih 3540 trips/season, and Labuhan Maringgai is 2883 trips/season. Famine season in S1 and S2 is highest in Sungai Burung as many 10088 trips/season and Kuala Penet 4708 trips/season. Determination of alocation for fishing effort (trip/season) can be used as a reference for limiting the effort to catch of BSC in each stratification in 5 crab landing sites.

Page 1 of 1 | Total Record : 6