cover
Contact Name
Muhammad Nur Salim
Contact Email
denmassalim88@gmail.com
Phone
+6281392727084
Journal Mail Official
keteg@isi-ska.ac.id
Editorial Address
Jl. Ki Hajar Dewantara No.19, Jebres, Kec. Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57126, Indonesia
Location
Kota surakarta,
Jawa tengah
INDONESIA
Keteg : Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi
ISSN : 14122065     EISSN : 27146367     DOI : https://doi.org/10.33153/ktg
Core Subject : Art,
The journal is invited to the original article and has never been published in conjunction with another journal or conference. The publication of scientific articles is the result of research from both the external and internal academic communities of the Surakarta Indonesian Art Institute in the Karawitanologi discipline. The scope of distribution, Karawitan Education and Learning; Historical Study and Development of Karawitan; Study on Karawitan; Karawitan Organology Study; Karawitan Aesthetic Study; Karawitan Composition Study.
Articles 5 Documents
Search results for , issue "Vol 18, No 1 (2018)" : 5 Documents clear
PERKEMBANGAN GARAP KARAWITAN JARANAN KELOMPOK SENI GUYUBING BUDAYA DI KOTA BLITAR (1980-2017) Dhimaz Anggoro Putro; Muhammad Nur Salim
Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi Vol 18, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (410.955 KB) | DOI: 10.33153/keteg.v18i1.2396

Abstract

AbstrakPenelitian ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan terhadap perkembangan garap karawitan Jaranan yang terjadi pada kelompok seni Guyubing Budaya di Kota Blitar. Kelompok tersebut berusaha mengembangkan garap karawitan Jaranan dengan tujuan mendapatkan kepopuleran dan mengoptimalkan sajian pertunjukan kesenian Jaranan sebagai upaya menjaga kualitas di kalangan masyarakat dengan tetap mempertimbangkan kearifan lokal warisan leluhur kesenian Jaranan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Permalahan yang ingin dijawab pada penelitian ini adalah, (1) bagaimana kronologi perkembangan garap karawitan Jaranan kelompok seni Guyubing Budaya dari tahun 1920 sampai 2017, (2) mengapa garap karawitan Jaranan kelompok seni Guyubing Budaya saat ini mengalami perkembangan.Konsep garap Rahayu Supanggah digunakan untuk mengupas permasalahan terkait garap. Dengan dasar konsep tersebut, garap karawitan Jaranan dapat dibagi berdasarkan unsur-unsur garap di dalamnya yang meliputi (1) materi garap, (2) penggarap, (3) sarana garap, (4) perabot atau piranti garap, (5) penentu garap, dan (6) pertimbangan garap. Sedyawati menjelaskan istilah mengembangkan lebih mempunyai konotasi kuantitatif dan kualitatif yang berarti memperbanyak tersedianya kemungkinan untuk mengolah dan memperbarui. Teori tersebut adalah landasan untuk mengupas permasalahan terkait perkembangan. Penelitian ini juga menggunakan dasar analisis evolusi multilinear Julian Steward. Menurut Steward Terdapat tiga tahapan analitik penting untuk membaca kasus perkembangan kebudayaan dengan teori ini. Tiga tahapan tersebut adalah melakukan perbandingan, menelusuri hubungan causal, dan melihat secara mendalam elemen manusia dalam lingkungan berdasarkan kronologinya.Perkembangan garap karawitan Jaranan kelompok seni Guyubing Budaya terjadi secara kronologis, melalui beberapa tahapan masa atau waktu. Perkembangan ini terjadi karena adanya faktor-faktor pendukung dari dalam (internal) dan dari luar (eksternal) kelompok seni Guyubing Budaya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan garap karawitan Jaranan kelompok seni Guyubing Budaya terdapat benang merah dengan garap karawitan Jaranan terdahulu. Perkembangan garap tersebut juga ditunjukkan dengan penambahan materi garap, penggarap, prabot atau piranti, penentu dan sarana garapnya.Kata kunci: Garap, Perkembangan, Kronologi, Faktor Pendukung, Karawitan JarananAbstract This research is motivated by an interest in the stylistic developments of the music that accompanies Jaranan, as played by the group Guyubing Budaya in Blitar. This group has been actively developing the style of Jaranan musical accompaniment in order to maintain the quality of performances in the community while also considering the local wisdom [kearifan lokal] passed down through the generations that informs this art form.The issues explored in this research involve 1) a chronological study of Guyubing Budaya from its founding in 1920 until 2018, and 2) the changes that Guyubing Budaya is currently experiencing. This article invokes Supanggah’s theory of garap, which discusses the musical materials and tools at the disposal of the musicians is used to explore issues of musical garap It also utilizes Sedyawati’s exegesis of the term “development” which has quantitative and qualitative connotations that increase the chances for development and renewal. The research also uses Julian Stewards idea of multilinear evolution as the basis of analysis. According to Steward, there are three important analytical stages in understanding the development of culture. These stages involve making comparisons, tracing casual relationships, and taking a chronological view in order to make deep explorations of human elements within their environment.This article gives a chronological account of Guyubing Budaya through its various stages and eras, noting the internal and external factors that motivated the changes. The study shows the continuity between the musical style developed by Guyubing Budaya and the styles of Jaranan accompaniment in the past, indicated by the factors which Supanggah has outlined in his theory of garap.Keywords: Garap, Development, Chronological factors supporting development, Jaranan
THE PROCESS OF WAKIJA WARSAPANGRAWIT MUSICIANSHIP (A Tracer To Provide A Model For Young Musicians) Slamet Riyadi
Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi Vol 18, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (302.918 KB) | DOI: 10.33153/keteg.v18i1.2392

Abstract

Abstrak Artikel ini merupakan pelacakan proses kesenimanan Wakija Warsapangrawit. Untuk mengekspos musiknya yang luar biasa, ia menggunakan pendekatan sosial, psikologis dan historis. Pelacakan dimulai dari bidang sosial, yaitu latar belakang keluarga, lingkungan, dan kegiatan karawitan, sebagai bagian dari kehidupan sosial, unsur-unsur ini memiliki peran penting dalam membangun kepribadiannya, termasuk di dalamnya keahlian bermusiknya. Pendekatan psikologis memberi dukungan sehubungan dengan motivasi dirinya untuk mewujudkan cita-citanya menjadi pemain kendang. Pendekatan historis digunakan untuk memberikan gambaran singkat tentang aktivitas karawitan selama masa kanak-kanaknya yang dianggap memiliki hubungan dengan peningkatan kemampuan musiknya.Kata kunci: musisi, sosial, motivasi, aktivitas karawitanAbstract This article traces the process through which Wakija Warsapangrawit developed as a musician, using social, psychological and historical approaches to reveal his excellent musicianship. The article begins with the social factors – family background, surrounding environment, and karawitan activities – that constituted his social life and played an important role in forming his personality and musicianship. Next, a psychological approach supports the connection between his self-motivation and ambitions to become a kendhang player. Lastly, a historical approach is used to give a brief description of the karawitan activities during his childhood where he is thought to have honed his musical skills.Keywords: musicianship, social, motivation, karawitan activities.
UNSUR KOMPETISI MUSIKAL DALAM SAJIAN GENDING GAMELAN SEKATEN Sigit Setiawan
Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi Vol 18, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (375.428 KB) | DOI: 10.33153/keteg.v18i1.2393

Abstract

AbstrakSekaten merupakan sebuah refleksi kebudayaan di Keraton Surakarta. Saat ini, perayaannya dimaknai sebagai bentuk eksistensi Keraton Surakarta sebagai tonggak penyangga kebudayaan. Perayaan Sekaten dengan berbagai kepentingan masyarakat di Surakarta telah menjadikannya peristiwa yang patut diapresiasi oleh mereka yang masih menjadikan Keraton Surakarta sebagai kiblat lingkup kebudayaan Jawa. Salah satu yang mencerminkan situasi tersebut adalah keberadaan Gamelan Sekaten yang di dalam penyajiannya terdapat unsur “kompetisi” musikal. Hal ini tidak dapat lepas dari penambahan perangkat Gamelan Sekaten yang semula berjumlah satu perangkat menjadi dua perangkat yakni di masa pemerintahan Paku Buwono IV. Situasi tersebut membuat para pengrawit (pemain gamelan) harus kreatif dan mempunyai referensi gending yang banyak. “Iklim kompetisi” – yang hingga kini masih berlangsung – tersebut akhirnya melahirkan konsep musikal berdasarkan pertimbangan-pertimbangan estetika musikal karawitan seperti konsep sisihan. Konsep inilah yang digunakan sebagai “standar kompetisi” seperti kemiripan nama, kemiripan garap, golongan gending dan bentuk kemiripan (lagu) balungan gending.Kata Kunci: gamelan, sekaten, kompetisi musikal.Abstract Sekaten is a reflection of the culture within the Keraton Surakarta. Currently, this celebration is understood as one way the Keraton Surakarta exists to support cultural institutions. Sekaten, which serves many interests of Surakarta’s community, has become an event that should be appreciated by those who still consider the Keraton Surakarta as the mecca of Javanese culture. One phenomenon that reflects the aforementioned situation is the existence of musical “competition” in the presentation of Gamelan Sekaten. This is closely tied to the addition of a second set of instruments during the reign of Paku Buwono IV to the original one. This situation spurs the pengrawit (gamelan musicians) towards creativity and knowledge of a wide repertoire of gendhing. The “climate of competition” - still found today - finally gave rise to musical concepts based on considerations of musical aesthetics, such as the idea of “sisihan” found in karawitan. This concept is used as the “standard of competition”: the similarities of names, similarities in garap (musical interpretation), the grouping of gending and melodic (lagu) similarities in the balungan gending.Keywords: gamelan, sekaten, musical competition.
TRANSFORMASI KONFRONTATIF KOMPOSISI GAMELAN BARU: Revitalisasi Penciptaan Inovatif dan Peran Vital Perguruan Tinggi Seni Setyawan Jayantoro
Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi Vol 18, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (307.81 KB) | DOI: 10.33153/keteg.v18i1.2394

Abstract

AbstrakInovasi sebebas-bebasnya tanpa batas adalah persoalan konfrontatif yang sesungguhnya tengah mengancam eksistensi musik tradisi dalam korelasinya dengan masalah jati diri beserta dinamika konservasinya di era tuntutan yang serba mutakhir. Sejatinya orientasi komposisi gamelan baru itu berbasis pada akar tradisinya yang utuh, sebagai wujud inovasi kreatif, puncak dari akumulasi keilmuan karya-karya tradisi sebelumnya, karena desakan dominasi tuntutan kepentingan materialistik, atau memang sebatas ajang pelarian atas sikap frustasinya sebab ketidakmampuan mengusai basis tradisi yang mumpuni – berbagai model kontradiksi semacam ini tentu menjadi persoalan urgensif untuk ditelaah serius. Saat ini kita dapat melihat substansi masalahnya pada wujud karya gamelan non tradisi. Dorongan kuat semangat “modernisasi” berbalut lebat ideologi materialisme memang telah mengkonstruksi kesadaran kuat bahwa gamelan seolah dapat disandingkan dengan instrumen musik apapun, dicampur-sarikan dengan sistem musik apapun, dikolaborasikan dengan hitungan frekuensi apapun, fleksibel ditransformasikan ke dalam bentuk komposisi apapun, dan bahkan bebas direkayasa liar tanpa perlu pertimbangan kognitif yang didasarkan pada pengetahuan yang holistik. Perguruan Tinggi Seni tentu memiliki peran vital dan inheren dengan masalah konfrontasi ini sehingga perlu merumuskan rekonsiliasi ideologis melalui dialektika kritis yang berkesinambungan. Transformasi inovatif gamelan dalam entitas apapun idealnya dapat berjalan konsisten di atas konservasi kemapanan yang dinamis. Tiap hembusan nafas kebaruan yang diciptakan adalah kreasi inovatif yang berbasis pada sintesis dengan progresi intelektualitas yang dinamis, atraktif, impresif, dan konstruktif sehingga memperkaya eksistensi seni tradisi di era mutakhir.Kata Kunci: Konfrontasi, Komposisi, Transformasi, GamelanAbstract Unlimited freedom in innovation is a confronting problem that is seriously threatening the existence of traditional music in with regards to the issue of identity and the dynamics of its conservation in an era that demands one keeps up to date. By right, the orientation of new gamelan compositions should be based on its intact traditional roots: as a form of creative innovation they are the culmination of knowledge found in previous traditional works. However, because of the dominating pressures of materialistic concerns, or indeed as an excuse for the inability to achieve mastery in traditional competencies, this type of contraindicative model is certainly an urgent matter for serious study. At present we can see the substance of the problem in the form of non-traditional gamelan works. The strong impulse of the spirit of “modernization” clad in the ideology of materialism has indeed constructed a strong awareness that the gamelan seems to be juxtaposed with any musical instrument, mixed with any music system, collaborated with any frequency count, flexibly transformed into any composition, and even wildly engineered without the need for cognitive consideration based on holistic knowledge. Higher Education in the Arts certainly has a vital and inherent role with this confronting problem, making it necessary to formulate ideological reconciliation through continuous critical dialectics. The innovative transformation of gamelan in any entity can ideally run consistently above dynamic establishment conservation. Every breath of novelty created is an innovative creation based on synthesis with dynamic, attractive, impressive and constructive intellectual progressions that enrich the existence of traditional art in the current era.Keywords: Confrontation, Composition, Transformation, Gamelan.
REAKTUALISASI GARAP MUSIK KESENIAN PENTHUL MELIKAN DI DUSUN MELIKAN DESA TEMPURAN KABUPATEN NGAWI Wahyu Paramita Jati; Suyoto Suyoto
Keteg: Jurnal Pengetahuan, Pemikiran dan Kajian Tentang Bunyi Vol 18, No 1 (2018)
Publisher : Institut Seni Indonesia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (499.18 KB) | DOI: 10.33153/keteg.v18i1.2395

Abstract

Abstrak “ Reaktualisasi Garap Musik Kesenian Penthul Melikan Di Dusun Melikan Desa Tempuran Kabupaten Ngawi” pada dasarnya membahas garap musik kesenian Penthul Melikan Kabupaten Ngawi setelah mengalami perubahan yang kemudian disebut Reaktualisasi.Inti permasalahan yang diungkap dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana bentuk garap musik pada kesenian Penthul Melikan di Dusun Melikan, Desa Tempuran, Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi (2) Faktor penyebab perubahan musik pada kesenian Penthul Melikan di Dusun Melikan, Desa Tempuran, Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, meliputi observasi, pengumpulan data, dan analisis data.Penelitian ini menggunakan teori, konsep-konsep, dan pemikiran dari beberapa tokoh. Landasan konseptual Reaktualisasi menurut Geriya bahwa adanya proses transformasi dalam perubahan bentuk dan fungsi namun tetap dalam esensi spesiesnya. Teori kreativitas diungkapkan Munandar, bahwa manusia yang memiliki kreativitas sehingga mampu untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada, dari yang sudah ada menjadi lebih baru lagi. Penelitian ini juga menggunakan teori perubahan yang ditawarkan Boskoff ketika mengupas tentang perubahan atau pembaharuan, yang pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Teori garap Supanggah, bahwasanya Reaktualisasi musik pada kesenian Penthul Melikan terdapat beberapa unsur garap meliputi; (1) materi garap, (2) penggarap, (3) sarana garap, (4) perabot garap, (5) penentu garap, dan (6) pertimbangan garap.Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa ada pengaruh positif terhadap kesenian Penthul Melikan setelah mengalami reaktualisasi, adanya perubahan garap dan bentuk baru pada kesenian Penthul Melikan yang kemudian dinamakan Ganongan Melikan, membuat kesenian Penthul Melikan dengan bentuk dan garap yang lama kembali dikenal masyarakat dan semakin berkembang.Kata kunci: Reaktualisasi, Garap, Kesenian Penthul Melikan.Abstract“A reactualisation of the musical style of Penthul Melikan in Dusun Melikan, Desa Tempuran, Ngawi Regency” is a discussion of the musical style found in the Penthul Melikan performance which has changed through a process Geriya terms “reactualisation”. This research explores the following issues: 1) What is the musical style of Penthul Melikan in Dusun Melikan, Desa Tempuran, located within the Paron sub-district of the Ngawi Regency, as well as 2) the factors that changed the music of this art form. This qualitative research uses qualitiative methods including observation, data collection and data analysis. This research employs the theories, concepts and ideas of several figures. Geriya’s Reactualisation involves, as its foundation, a transformation within the art form in formal and functional qualities while nonetheless retaining the essence of its species. Munandar’s theory of creativity explores the human ability to create something from nothing, and the new from the currently existing. Change and renewal are discussed through Boskoff’s theory of change which focuses on internal and external factors. Supanggah’s theory of garap, which discusses the musical materials and tools at the disposal of the musicians is also relevant to studying the reactualisation of Penthul Melikan.The findings suggest that reactualisation has had a positive effect on Penthul Melikan, which later became known as Ganongan Melikan. This has allowed the former style of Penthul Melikan to re-enter its community and develop further.Keywords: Reactualisation, Garap, Penthul Melikan

Page 1 of 1 | Total Record : 5