cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Patrawidya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya
ISSN : 14115239     EISSN : 25984209     DOI : -
Core Subject : Art, Social,
The Patrawidya appears in a dark gray cover with a papyrus manuscript. The Patrawidya Journal is published three times a year in April, August and December. The study of the Patrawidya Journal article is on the family of history and culture. The Patrawidya name came from a combination of two words "patra" and "widya", derived from Sanskrit, and became an absorption word in Old Javanese. the word "patra" is derived from the word "pattra", from the root of the term pat = float, which is then interpreted by the wings of birds; fur, leaves; flower leaf; fragrant plants fragrant; leaves used for writing; letter; document; thin metal or gold leaf. The word "widya" comes from the word "vidya", from the root vid = know, which then means "science". Patrawidya is defined as "a sheet containing science" ISSN 1411-5239 (print) ISSN 2598-4209 (online).
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol. 18 No. 3 (2017)" : 8 Documents clear
UPACARA TRADISIONAL MASYARAKAT LERENG GUNUNG LAWU, KABUPATEN KARANGANYAR, PROVINSI JAWA TENGAH: SUATU WUJUD INTERAKSI MANUSIA DENGAN ALAM Budiana Setiawan
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 18 No. 3 (2017)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4992.015 KB) | DOI: 10.52829/pw.20

Abstract

Masyarakat di lereng barat Gunung Lawn, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, meskipun telah memeluk agama-agama resmi yang diakui pemerintah, namun masih tetap melaksanakan upacara-upacara tradisional yang dipusatkan di tempat-tempat yang diangg.ap keramat, sepera: mata air, punden, dan situs cagar budaya. Upacara-upacara tersebut, yakm: Julungan, Mondosiyo, Dhukutan, dan Dawuhan. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah: (1) Hal-hal apakah yang mendasari masyarakat masih melaksanakan upacara-upacara tradisional tersebut, meslapun dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama yang mereka pelnk? (2) Apakah penyelenggaraan upacara-upacara tradisional tersebut memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat? Tujuan dari tulisan ini adalah mengetahui aspek-aspek yang mendasari masyarakat tetap melaksanakan upacara tradisional yang telah diwartskan secara turun-temurun dan mengetahui manfaat yang dirasakan masyarakat dari penyelenggaraan upacara-upacara tradisional tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelenggaraan upacara-upacara tradisional tersebut bukan ditujukan kepada makhluk-makhluk gaib yang menguasai tempat-tempat keramat, melainlcan sebagai wujud interaksi antara masyarakat dengan lingkungan alam sekitarnya. Penyelenggaraan upacara tradisional juga tidak terlepas dari keberadaan tokoh-tokoh mitos yang menguasal tempat-tempat keramat. Tokoh-tokoh mitos tersebut diperlukan keberadaannya untuk memberikan makna terhadap penyelenggaraan upacara tradisional tersebut. Sesaji-sesaji yang digunakan sebagai persembahan adalah bentuk komunikasi nonverbal antara masyarakat dengan lingkungan alam seldtamya. Masyarakat merasakan manfaat dengan memperoleh basil bumf dan kebutukan air yang berlimpahCommunities in west of Lmvu Mountainside, Karanganyar Regency, Central Java Province, have embraced official religions that recognized by the government, but always practice traditional ceremonies that are placed at sacred sites, such as: water springs, punden, and cultural heritage sites. The traditional ceremonies are: Julungan, Mondosiyo, Dhukutan, and Dawuhan. The issues in this paper are: (I) What are the reasons that makes communities in Lawu Mountainside always practice traditional ceremonies, although are considered incompatible with the teaching of their religion? (2) Are the effectuation of traditional ceremonies giving beneficial to the communities lives? The purpose of this paper are knowing the reason that make the community keep their practice of traditional ceremonies that have been given from old generation to young generation and knowing benefits that are felt by the communities, from their organizing of those traditional ceremonies. The results of this paper show that implementation of traditional ceremonies are not directed to supernatural beings who control the sacred sites, but as forms of interaction between community and their surrounding natural environment. The effectuation of traditional ceremonies are also inseparable from existence of mythical figures who control the sacred sites. The mythical figures are required to give meaning to implementation of the traditional ceremonies. The offerings that are used as tributes are forms of nonverbal communication between communities and surrounding natural environment. The benefits for communities are obtaining crops and abundant of water needs.
FRAGMENTASI, SEJARAH, HETEROGENITAS PENDUDUK, DAN BUDAYA KOTA PONTIANAK Galuh Bayuardi; Andang Firmansyah; Superman Superman
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 18 No. 3 (2017)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4024.043 KB) | DOI: 10.52829/pw.6

Abstract

Pontianak merupakan kota madya di Indonesia. Secara geografis, lokasi Pontianak dekat dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Kondisi ini menyebabkan Pontianak sering dikunjungi pelancong dari negara tetangga, baik pengunjung yang memiliki urusan di Kota Pontianak, maupun yang sekadar singgah sebelum menuju destinasi lain di wilayah Indonesia. Jika ditelusuri dari sejarahnya, pada dasarnya Pontianak didesain sebagai kota perdagangan. Pontianak mengalami pembangunan yang cepat saat kedatangan VOC yang membuat kesepakatan dengan Kesultanan Pontianak. Sebagai tindaklanjut dari kesepakatan itu, mereka membangun kantor pemerintahan dan juga keraton untuk mendukung aktivitas politik di Pontianak. Seiring dengan pesatnya pentumbuhan Kota Pontianak, berbagai kelompok etnis menjadikan Pontianak sebagai kota yang heterogen. Kini, Pontianak dikunjungi berbagai etnis dari berbagai wilayah di Indonesia. Kelompok etnis yang tinggal di Pontianak di antaranya adalah Melayu, Dayak, Tionghoa, Jawa, Batak, Bugis, Madura, Banjar, Sunda, dan Bali. Berbagai etnis bergaul satu sama lain. Kondisi sosial heterogen di Pontianak tidak serta merta melahirkan pluralitas. Terkadang muncul sentimen kedaerahan baik itu klaim oleh penduduk lokal, maupun oleh mereka yang ditandai sebagai pendatang, meskipun pernyataan ini tidak terlihat secara langsung, tapi memiliki potensi masalah di kemudian hari.____________________________________________________________Pontianak is one of municipality in Indonesia. Geographicaly Pontianak location, is a region close to neighboring countries such as Malaysia and Singapore. This condition causes the Pontianak o en visited by travelers from neighboring countries either intentionally been to Pontianak Municipality and those who simply stopped to proceed to the main destinations in Indonesia other region. If traced far back on the history, basically Pontianak was designed to be a commercial city. Pontianak expertencing rapid development when VOC entrance and made an agreement with the ruler of Pontianak sultanate. As a follow up of the agreement, they established government offices and also the castle to support the political act wities in Pontianak. Along with the rapid growth of the Pontianak city, various ethnic groups from within and outside the island ofBorneo began to arrive. The arrival of the various ethnic groups making Pontianak as one of the cities where the population is heterogeneous. Today, Pontianak is much visited various ethnic groups from various regions in Indonesia. Ethnic groups who live in Pontianak, among others are Malay, Dayak, Chinese, Javanese, Batak, Bugis, Madurese, Banjar, Sunda, Bali, etc. Various ethnic coexistence between ethnic group and mingle with one another. Conditions heterogeneous society in Pontianak do not necessarily give birth to plurality. Sometimes it appears regionalist sentiment either of those claiming to be local residents as well as those who are considered immigrants even though it is not exposed directly but has the potential to become a problem in the future.
SUKAPTINAH AND HAJINAH’S ROLES IN THE NATIONALIST MOVEMENT IN INDONESIA Mutiah Amini
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 18 No. 3 (2017)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3838.587 KB) | DOI: 10.52829/pw.8

Abstract

In the history of the Indonesian women’s movement, Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito (hereinafter referred to as Sukaptinah, 1907-1991) and Siti Hajinah Mawardi (hereinafter referred to as Hajinah, 1906-1995) were known as activists in women’s organizations during the colonial period. Sukaptinah was a member of an Islamic nationalist group (JIBDA – Jong Islaminten Bond Dames Afdeling) with a background on the Indonesian education movement, Taman Siswa. She was also active in the first Indonesian Women’s Congress of 1928. Hajinah who came from Aisyiah (the women’s wing of the large modernist Islamic organization, Muhammadiyah) was known as one of the members of the Indonesian Women Congress. In addition to their activities in the Indonesian women’s movement and the Islamic movement, they also played roles in national movement, a matter which is not quite recognized. Hajinah did not only act as the head of Aisjiah, but also partook actively in press through Soeara ‘Aisjiah magazine (Aisjiah’s quarterly magazine) and Isteri (magazine existing in embryo in the first women congress). An activist of Aisjiah, she gave meaning of the independence achievement through the domain of family (social). On the other hand, Sukaptinah, activist of Jong Islaminten Bond, who also actively participated in the first, second, third and fourth Indonesian Women Congress, gave meaning of the national movement through political domain. She had sat in the parliament as the woman representative in the government council in Semarang, with the most important political thought in the form of the importance of woman to struggle their rights to vote and be voted in the parliament.Di dalam sejarah gerakan perempuan, Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito (yang selanjutnya disebut Sukaptinah, 1907-1991) dan Siti Hajinah Mawardi (yang selanjutnya disebut Hajinah, 1906-1995) dikenal sebagai aktivis organisasi perempuan pada masa kolonial. Sukaptinah adalah anggota kelompok nasionalis Islam (JIBDA – Jong Islaminten Bond Dames Afdeling) dengan latar belakang pendidikan nasionalis, Taman Siswa. Sukaptinah juga aktif di dalam Konggres perempuan Indonesia Pertama pada 1928. Sementara itu, Hajinah merupakan anggota Aisjiah (sayap perempuan dari salah satu organisasi modernis Islam, Muhammadiyah) serta dikenal sebagai salah seorang anggota Konggres Perempuan. Selain aktivitasnya di dalam gerakan perempuan Indonesia dan gerakan Islam, mereka juga berperan penting di dalam gerakan nasional, yang selama ini jarang diperbincangkan. Hajinah tidak hanya pernah menjadi salah seorang pimpinan Aisjiah, tetapi juga menjadi pemikir penting atas terbitnya majalah Soeara ‘Aisjiah (majalah terbitan rutin Aisjiah) dan Isteri (majalah yang memiliki keterkaitan erat dengan Konggres Perempuan Pertama). Sebagai aktivis Aisjiah, Hajinah berperan dalam pemberian arti kebebasan berpendapat melalui ruang keluarga (sosial). Selain itu, Sukaptinah, merupakan aktivis Jong Islaminten Bond, yang juga berpartisipasi aktif di dalam Konggres Perempuan Pertama, Kedua, ketiga, dan Keempat, dengan memberikan arti yang penting melalui ranah politik. Sukaptinah juga pernah duduk di parlemen di Semarang sebagai wakil perempuan, dengan pemikiran politiknya tentang pentingnya perempuan secara tegas memperjuangkan hak pilih dan keterwakilan perempuan di parlemen.
IM : ARSITEKTUR TRADISIONAL MASYARAKAT MASELA, MALUKU BARAT DAYA Mezak Wakim
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 18 No. 3 (2017)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6028.141 KB) | DOI: 10.52829/pw.21

Abstract

Penelitian ini mengkaji arsitektur tradisional masyarakat Masela yakni rumah adat Im, tempat di laksanakanya ritual adat dan melangsungkan kehidupan keseharian. Rumah Adat Im berlokasi di Pulau Masela Kabupaten Maluku Barat Daya yang membawai 11 desa dengan karakter rumah adat yang sama, Konstruksi Im berbentuk rumah panggung yang dihuni oleh beberapa keluarga. Orang yang tinggal dalam Im memiliki hubungan kekerabatan, dan biasanya melakukan aktifitas secara bersama-sama, termasuk aktifitas di bidang ekonomi, dengan tetap mengedepankan nilai-nilai penghargaan terhadap Tuhan, leluhur. Adapun permasalahan yang di kajih antara lain ; (1) Bagaimana Konsep Struktur bangunan Im, (2) Bagaimana Peranan Im  dalam Kehidupan masyarakat Masela, (3) Bagaimana pembagian ruang dan penerapan nilai-nilai filosofis Im.  Sedangkan Tujuan penelitian, ini adalah mengungkap bentuk dan fungsi ruang, struktur bangunan, dan kosmologi dalam asrsitektur Im. Metode penelitian yang di gunakan bersifat deskriptif dengan pendeketan kualitatif. Teknik pengumpulan data berupa wawancara, pengamatan, dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukan bahwa konstruksi bangunan Im  adalah berbentuk rumah panggung dan terbagi atas susunan antara lain (1) Ruang atas (2), Tengah, (3) ruang bawah. Im, mencakup seluruh aspek keberadaan manusia, seperti sistem kepercayaan manusia, hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan kuasa ilahi, dan tingkah laku manusia. Misalnya, cara makan manusia, cara berpikir, cara menghuni rumah, cara tidur, cara bekerja; semuanya ditentukan oleh nilai-nilai budaya dalam Im.  Letak bangunan mengikuti panjang kampung dengan mengikuti garis pantai, Im sebagai gambaran dari satu totalitas hidup, dan berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan seluruh kehidupan masyarakat, meliputi kehidupan sosial dan ritual. Artinya kehidupan religi menyatu dengan kehidupan nyata sehari-hari. Tidak ada pemisahan yang tajam antara hal-hal yang transenden dan yang imanen atau yang rohani dan yang jasmani; kehidupan rohani terwujud dan tersosialisasi di dalam kehidupan setiap hari.This research is about the traditional architecture of Masela people, the traditional house Im. The traditional house Im located in Masela island the regency of Maluku Barat Daya that include eleven villages with the same traditional house. The construction of Im is rumah panggung that is dwelled by some families.  The people who lived in Im have relative relationship and often doing the activity together, include the economic with priority of the appreciation values to God and the ancestor. The problems that would researched are (1) How is the concept structure of building Im (2) How is the role of Im in Masela people, (3) How is the dividing of room and applying the philosophy values of Im. The purpose of this research is to describe the form and function of the room, the building structure, and cosmology in architecture Im. This research using the method of qualitative descriptive. The technic of collecting data is interview, observation, and study of references. This research indicate that the construction building of Im is typed rumah panggung and divide into some compositions such as (1) top room, (2) midlle room, and (3) under room Im include the whole aspect of human being such as belief system of human being, the relation between human being, the relation of human being and God, and the behavior of human being. Such as the way of eat, the way of thinking, the way to dwelling the house, the way of sleeping, the way to working, all of them is fixed by the values of Im. The location building is follow the length of the village based on the sea line. Im is the description of unity and is function as the place center of whole life community, social and tradition. It is mean the religion and daily life is one. There is no separation between the spiritual and body material, the spiritual life is manifestated and implementated in daily life.
RAJA TANPAINGAN, KAJIAN NILAI DALAM TRADISI LISAN BULENG Yuzar Purnama
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 18 No. 3 (2017)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5525.328 KB) | DOI: 10.52829/pw.22

Abstract

Buleng adalah tradisi lisan yang tumbuh kembang di Betawi. Tradisi lisan ini diperkirakan punah tahun 1978. Upaya revitalisasi terus dilakukan, tahun 2015 Atin Hisyam sempat manggung dan mendapatkan apresiasi yang cukup baik dari penonton. Upaya pelestarian lainnya dapat dilakukan dengan pengkajian. Penulis akan melakukan kajian tentang nilai budaya Raja Tanpaingan dalam tradisi lisan Buleng. Diharapkan dari kajian ini selain untuk mendokumentasikanjuga hasilnya dapat menggugah semua pihak untuk bersama-sama mendukung upaya revitalisasi tradisi lisan Buleng. Tulisan dibatasi, apa yang dimaksud tradisi lisan buleng, cerita Raja Tanpaingan, dan nilai budaya yang terkandung dalam cerita tersebut. Kesimpulan dari ulisan ini, nilai budayayang terdapat dalam cerita Raja Tanpaingan adalah etos kerja, nilai agama, politik, filsafat, dan nilai kuasaBuleng is a owing oral tradition in Betawi. Oral tradition is estimated to be extinct in 1978. Revitalization e orts continue to be done, in 2015 Atin Hisham had a gig and get a pretty good appreciation of the audience. Other conservation efforts may be made by assessment. The author will conduct a stu of the cultural values ??of the King Without the oral tradition Buleng. It is expected that from this study other than to document also the results can inspire all parties to jointly support efforts revitalization Oral traditions Buleng. The writings are limited, what is meant by the oral traditions of buleng, the story of the King Without, and the cultural values ? contained in the story of the King without Light is the work ethic, religious values, politics, philosophy, and the value of power.
KEARIFAN LOKAL PADA ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL DI KAMPUNG WANA Rostiyati, Ani
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 18 No. 3 (2017)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5513.822 KB) | DOI: 10.52829/pw.4

Abstract

Kajian ini bertujuan mengungkap cara pembuatan rumah dilihat dari kearifan lokal dalam beradaptasi dengan lingkungan alamnya. Hasil kajian menemukan bahwa arsitektur rumah di Kampung Wana sangat adaptif terhadap lingkungan sekitarnya dan merupakan gambaran kebijakan nenek moyang dalam mensiasati dan tanggap terhadap kondisi kehidupan lingkungannya agar terhindar dari gempa, banjir dan ancaman binatang buas. Pemilihan konstruksi yang tepat untuk membangun rumahnya menjadi gambaran kearifan lokal budaya masyarakat setempat. Sistem konstruksi  menggunakan umpak batu, atap daun rumbia, sistem sambungan purus dan pen, konfigurasi balok lantai yang saling jepit, tumpu, tekan, dan tarik, merupakan sistem kearifan lokal  pada arsitektur tradisional rumah Kampung Wana. Agar rumah tersebut kuat  terhadap gempa, tidak banjir dan tidak mudah lapuk. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan merupakan penelitian eksplorasi. Jenis penelitian bersifat deskriptif, yakni menganalis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Adapun pengambilan data melalui observasi, wawancara mendalam pada sejumlah informan, dan studi pustaka. Untuk pengambilan gambar, dilakukan foto dan membuat sketsa atau denah rumah.  This study aims to reveal how the making of houses viewed from local wisdom in adapting to the natural environment. The results of the study found that the architecture of houses in the wana village is very adaptive to the surrounding environment and is a description of the ancestors policy in anticipating and responsive to the living conditions of the environment to avoid the earthquakes, floods, and threats of wild animals. The selection of proper construction to build a house becomes a picture of local wisdom from local people. The construction system uses the stone, therumbia  leaf roof, the connecting system of purus and pen, the interlocking floor ,the tump, the tap, and the pull, is the local wisdom of the traditional architecture in  wana village so that the house is strong against earthquake, free from flood, and not easily weathered. This research uses qualitative approach and exploratory research. This type of research is descriptive, analyzing and presenting facts systematically so that it is easy to understand and conclude. The data was collected through observation, in-depth interviews on a number of informants and literature study. The picture was from photo shoot and making sketch or house plan.
TRADISI NYADRAN TUK TEMPURUNG DARI DOMESTIK KE PUBLIK Ernawati Purwaningsih
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 18 No. 3 (2017)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5731.109 KB) | DOI: 10.52829/pw.28

Abstract

Upacara nyadran Tuk Tempurung di Dusun Liangan, Temanggung merupakan tradisi yang selalu dijaga oleh masyarakat pendukungnya. Tradisi tersebut terus diwariskan secara turun temurun. Namun, semenjak ditemukannya Situs Liangan yang lokasinya di Dusun Liangan, pada tahun 2008, penyelenggaraan upacara tradisi tersebut mengalami perubahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perubahan penyelenggaraan nyadran Tuk Tempurung dan fungsinya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelenggaraan nyadran Tuk Tempurung mengalami perubahan baik dalam hal penyelenggaraan maupun fungsinya. Upacara nyadran Tuk Tempurung yang semula diselenggarakan secara perorangan dan sederhana, setelah ditemukannya Situs Liangan diselenggarakan secara kolektif. Penyelenggaraan nyadran dikemas lebih meriah. Nyadran Tuk Tempurung mengalami perubahan fungsi, yang semula sakral menjadi profan, artinya kepentingan menjadikan upacara tersebut sebagai daya tarik wisata menjadi lebih menonjol daripada esensi dari  penyelenggaraan tradisi nyadran Tuk Tempurung. The ceremony of Nyadran Tempurung Spring in Liangan village, Temanggung is a tradition which is always maintaned by the society supporting it. The tradition is continuously descended.However, the tradition of the performance of the ceremony has changed since Liangan Sites was found in Liangan village in 2008. This research is aimed to know the performance of Nyadran Tempurung Springs and its function. This research used  qualitatif and qualitative descriptive analysis methods. The result of the research shows  that Nyadran Tempurung Springs has changed in term of the performance and the function. The ceremony of Nyadran Tempurung Springs which was initially performed individually and simply was performed collectively after Liangan Site had been found. The ceremony is merrily performed now. Nyadran Tempurung Springs has changed its function, which is initially sacred turns into profane. It means the ceremony is carrried out to be a tourist attraction more than the essence of the performance of the tradition of Nyadran Tempurung Springs.
MEMPEREBUTKAN WAHYU MAJAPAHIT DAN DEMAK: MEMBACA ULANG JEJAK KESULTANAN PAJANG DALAM HISTORIOGRAFI INDONESIA Bambang Purwanto
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 18 No. 3 (2017)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7968.287 KB) | DOI: 10.52829/pw.19

Abstract

Pajang sebagai sebuah kerajaan dan masyarakatnya yang pernah ada dalam sejarah Indonesia pasca-kegemilangan Kemaharajaan Mapajahit dan Kesultanan Demak tidak mendapat tempat yang memadai dalam historiografi Indonesia selama ini. Padahal nama Jaka Tingkir yang diyakini sama dengan Sultan (H)Adiwijaya yang merupakan sultan pertama Pajang, dikenal juga oleh masyarakat, terutama di Jawa. Tulisan ini membahas tentang peminggiran dan marginalisasi Kesultanan Pajang dari naratif besar sejarah Indonesia, berdasarkan asumsi adanya mata rantai yang putus antara memori sosial sebagai sistem budaya masyarakat dengan tradisi historiografi Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk melihat relasi historis fungsional antara kenyataan sejarah sebagai peristiwa masa lalu dan pembentukan memori dengan historiografi sebagai sebuah naratif bangsa yang merupakan wujud dari kontestasi atas sejarah itu sendiri.____________________________________________________________Pajang as a kingdom and its society that once existed in post-glorious Maps and Demak Sultanate in Indonesian history does not get adequate place in the historiogrphy of Indonesia so far. Even though the name Jaka Tingkir is believed to be the same as the Sultan (H)Adiwijaya who is the first sultan of Pajang, widely known by the people, especially in Java. This paper discusses the exclusion and marginalization of the Pajang Sultanate from the Indonesian grand historical narrative, based on the assumption of a broken link between social memory as a cultural system of society and the tradition of Indonestan historiography. This paper aims to look at the functional historical relation between historical reality as a past event and the formation of memory with historiography as a national narrative which is a manifestation of contestation over history itself.

Page 1 of 1 | Total Record : 8