cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Patrawidya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya
ISSN : 14115239     EISSN : 25984209     DOI : -
Core Subject : Art, Social,
The Patrawidya appears in a dark gray cover with a papyrus manuscript. The Patrawidya Journal is published three times a year in April, August and December. The study of the Patrawidya Journal article is on the family of history and culture. The Patrawidya name came from a combination of two words "patra" and "widya", derived from Sanskrit, and became an absorption word in Old Javanese. the word "patra" is derived from the word "pattra", from the root of the term pat = float, which is then interpreted by the wings of birds; fur, leaves; flower leaf; fragrant plants fragrant; leaves used for writing; letter; document; thin metal or gold leaf. The word "widya" comes from the word "vidya", from the root vid = know, which then means "science". Patrawidya is defined as "a sheet containing science" ISSN 1411-5239 (print) ISSN 2598-4209 (online).
Arjuna Subject : -
Articles 113 Documents
MODEL WISATA BUDAYA BERBASIS CERITA PANJI (CULTURE TOURISM MODEL BASED ON PANJI STORIES) I Dewa Gde Satrya; Agoes Tinus Lis Indrianto
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 18 No. 2 (2017)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5655.962 KB) | DOI: 10.52829/pw.36

Abstract

Cerita Panji berkisah mengenai Kerajaan Kadiri, berkembang pesat pada masa Majapahit. Ragam ekspresi Budaya Panji dalam bentuk sastra oral, sastra visual, seni pertunjukan dan nilai-nilai kehidupan. Artikel ini menyajikan pengembangan ragam ekspresi Budaya Panji tersebut dalam kegiatan wisata. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana model wisata Budaya Panji? Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif sumber data primer diperoleh melalui wawancara dan eksperimen perjalanan wisata bertema Panji yang diselenggarakan oleh Lab of Tourism, data sekunder melalui studi literatur terkait. Kesimpulan penelitian ini adalah, model wisata Budaya Panji dapat diterapkan dalam tiga kegiatan wisata, pertama, memadukan ekspresi Budaya Panji dalam seni pertunjukan topeng dengan artefak. Kedua, menampilkan ekspresi Budaya Panji dalam seni pertunjukan dengan konsep Heritage Performing Art di situs atau candi. Ketiga, archaeological trail di Gunung Penanggungan, di mana gunung ini dikenal sebagai Gunung yang disucikan di masa Majapahit dengan nama Pawitra. Banyak situs dan punden berundak yang didirikan di lereng gunung, di antaranya Candi Kendallsodo yang berisi relief Cerita Panji dan Candi Selokelir tempat ditemukannya area Panji.Panji story that was growing rapidly at the time of Majapahit Empire, tells of the Kadiri kingdom. Variety of Panji cultural was expression in the form of oral literature, visual literature, performing arts and the values of life. This article reports the development of diverse expressions of Panji culture in tourism activities. The research problem is how the model of Panji Culture in tourism activities? The method used in this research is qualitative descriptive, where the source of primary data obtained through interviews and Panji thematic tour experiment held by Lab of Tourism, and secondary data through the study of related literature. The conclusion of this study are as follows, the model of PanjiCulture can be applied in three traveling activities. First, combining Panji Cultural expression in the performing arts of mask with artifacts. Second, watching Panji Cultural expression in the performing arts with the concept of Heritage Performing Art in the site or temple. Third, the archaeological trail at Mount Penanggungan, where the mountain is known as the Sanctified Mountain in Majapahit's time under the name Pawitra. Many sites and punden terraces are erected on the slopes, including Kendalisodo temple containing reliefs Story of Panji and Temple Selokelir where the discovery of Panji's statue.
TEMU: MAESTRO GANDRUNG DARI DESA KEMIREN BANYUWANGI Dwi Ratna Nurhajarini
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 16 No. 4 (2015)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (103.105 KB) | DOI: 10.52829/pw.80

Abstract

Artikel ini berbicara tentang biografi Temu, seorang tokoh seni gandrung yang berasal dari Kemiren, Glagah, Banyuwangi. Kesenian gandrung tersebut termasuk seni pertunjukkan rakyat. Oleh kalangan masyarakat Banyuwangi Temu dianggap identik dengan gandrung dan dianggap sebagai seorang maestro gandrung. Kemampuannya menari, nembang, dan menyampaikan wangsalan dimiliki oleh Temu dengan ditambah ciri khas suara Temu yang unik. Suara Temu melengking tinggi dengan gaya khas Using menjadikan suara Temu menghiasi beberapa isi VCD maupun DVD. Pada masa awal perkembangan rekaman kaset suara Temu termasuk yang awal menghias pita rekaman. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengapa Temu terus mendedikasikan dirinya untuk gandrung? Dengan pertanyaan utama itu maka sekaligus menjawab tentang siapa Temu dan apa saja kiprahnya. Biografi Temu ditulis dengan menggunakan metode sejarah, dengan melihat kiprah Temu sejak kecil hingga saat penelitian dilakukan. Hasil penelitian menemukan Temu mendedikasikan dirinya kepada seni gandrung dengan terus melakukan aktivitas yang terkait dengan gandrung, yakni pergelaran dan melatih para calon gandrung. Gandrung bagi Temu adalah ladang penghidupan dan sekaligus untuk ekspresi diri. Beberapa penghargaan di tingkal lokal hingga nasional pernah di raih Temu, perempuan yang tidak tamat sekolah dasar. Temu pun berhasil tampil dari panggung hajatan warga hingga acara di Taman Ismail Marzuki serta di panggung Frankfrut, Jerman. Untuk melestarikan dan mewariskan kemampuaannya menjadi gandrung, Temu mendirikan sebuah sanggar yang diberi nama “Sopo Ngiro”. Sanggar tersebut diharapkan dapat menjadi persemaian para calon penerus gandrung dan Temu berharap menemukan penerusnya dari sanggar tersebut.This article is discussing about biography of Temu, a gandrung artist who comes from Kemiren, Glagah, Banyuwangi. The gandrung art belongs to a folk art. People in Banyuwangi acknowledge Temu to be identical to gandrung art and is regarded a maestro of gandrung. Temu was able to dance, nembang, and deliver wangsalan with her unique style. Temu has a high pitch voice with Using style recorded to some VCDs and DVDs. Also, Temu contributed to the development of tape cassette recording as the pioneer of that recording. The topic which will be discussed in this research is why Temu keeps dedicating herself to gandrung. The main question will also answer who Temu is and what her contributions are. Biography of Temu is written using historical approach by looking at the early life of Temu until the research is being done. The result of the research finds that Temu is dedicating herself to gandrung art by keeping doing activity which relates to gandrung, that are shows and teaching gandrung art. For Temu, gandrung are a means of earning money and also a self-expression. Temu has got some achievements from local until national level although she was not graduated in Elementary School. Temu also managed to perform in Taman Ismail Marzuki and in Frankfurt, Germany. For preserving and handing down her ability, Temu established a studio which is named “Sopo Ngiro”. The studio is expected to be able to recreate successors of gandrung art and Temu hopes to find them in her studio.
FUNGSI RUMAH ADAT TANGFA KOMUNITAS SKOUW SAE La Usman
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 19 No. 3 (2018)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (259.82 KB) | DOI: 10.52829/pw.103

Abstract

Warga kampung Skouw Sae, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura sering melakukan kegiatan pewarisan pengetahuan pada rumah adat. Pertanyaan yang ingin dijawab berkaitan dengan judul di atas adalah apa saja fungsi kegiatan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi dengan menggunakan beberapa teknik yaitu: studi pustaka, observasi, wawancara. Setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul kemudian dideskripsikan, dianalisis dan diinterpretasikan, dan ditarik suatu kesimpulan Hasil penelitian menemukan terdapat tujuh fungsi kegiatan di atas. Pertama, pewarisan pengetahuan kegiatan ekonomi (tegalan, beternak, nelayan, serta berburu) untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Kedua, pengenalan perkawinan untuk pemenuhan kebutuhan reproduksi guna keberlangsungan kehidupan individu, keluarga, klan serta komunitas. Ketiga, pengenalan pembayaran kepala (denda) dari keluarga suami kepada kepada keluarga istri untuk pemenuhan kebutuhan kenyaman dan kesejahteraan tubuh. Keempat, pengenalan kegiatan Natal dan Paskah untuk pemenuhan kebutuhan keselamatan. Kelima, pengenalan kegiatan kunjungan keluarga ke wilayah Wutung untuk pemenuhan kebutuhan relaks individu. Keenam, pengenalan peran kepemimpinan kampung untuk pemenuhan kebutuhan gerakan. Ketiga, pengenalan pentingnya pendidikan formal untuk pemenuhan kebutuhan pertumbuhan.____________________________________________________________Residents of the Skouw Sae village, Muara Tami District, Jayapura City often carry out inheritance activities in traditional houses. The question to be answered regarding the title above is what are the functions of the activity. This study uses an anthropological approach using several techniques, namely: literature study, observation, interview. After all the required data collected then described, analyzed and interpreted, and drawn a conclusion The results of the study found that there are seven functions of the above activities. First, inheritance of knowledge of economic activities (moor, breeding, fishing, and hunting) to fulfill basic needs. Second, the introduction of marriage for the fulfillment of reproductive needs in order to sustain the lives of individuals, families, clans and communities. Third, the introduction of head payments (fines) from the husband's family to the wife's family to fulfill the body's comfort and well-being needs. Fourth, the introduction of Christmas and Easter activities to meet safety needs. Fifth, the introduction of family visit activities to the Wutung area to fulfill individual relaxation needs. Sixth, the introduction of the village leadership role to fulfill the needs of the movement. Third, the introduction of the importance of formal education to fulfill growth needs.
RUMAH TRADISIONAL LAMBAN PESAGI LAMPUNG BARAT T. Dibyo Harsono
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 18 No. 1 (2017)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4985.8 KB) | DOI: 10.52829/pw.48

Abstract

Keberadaan perkampungan adat atau perkampungan tradisional pada masyarakat Lampung sangat erat dengan kehidupan masyarakat adat, yang telah berlangsung ratusan tahun. Salah satu perkampungan tradisional Lampung adalah yang ada di Desa Kenali, Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat yang sarat dengan beragam makna dan simbol.Sampai saat ini masih hidup dan dihayati oleh sebagian masyarakat Lampung, yakni penetapan rumah adat sebagai situs rumah tradisional Pesagi. Rumah adat ini mendapatkan penetapan sebagai situs rumah tradisional berdasarkan Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1992, Nomor Inventaris: 397.04.06.05 Tahun 1992, oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang. Lamban Pesagi merupakan salah satu rumah tradisional Lampung yang masih tersisa, yang apabila tidak mendapatkan perhatian akan hilang tanpa meninggalkan jejak lagi. Hal ini tentunya sangat disayangkan, karena aset budaya Lampung yang sangat berharga ini patut dan wajib dilestarikan sebagai warisan budaya untuk anak cucu kita. Untuk itu kegiatan pencatatan warisan budaya tak benda (WBTB) mengenai Lamban Pesagi ini dirasakan sangat penting. Pengumpulan data di lapangan dengan pengamatan atau observasi, wawancara dengan para informan pemilik Lamban Pesagi, dan juga dilengkapi dengan studi kepustakaan yang relevan.____________________________________________________________The existence of traditional villages at community Lampung society very closely with life indigenous peoples, who has been ongoing hundreds of years. One of the traditional Lampung is Lamban Pesagi in Kenali Villages, Belalau Districts, West Lampung of district  laden with religious pupose and symbol, until now who still alive and be lived by most people of Lampung and has been designated as: the site of traditional villages, Pesagi, base on reserved Republic of Indonesia number 5, 1992 investory of number 397.04.06.05, 1992, by The Ministry Cultural and Tourism, Heritege Preservation Hall relicse ancient of Serang. Lamban Pesagi is one the traditional of Lampung, still left, is not interest will be lost without left a trail again. Its certainly we very dear right, because the cultural assets in Lampung very percious it should be and requested shall we everlasting as cultural  heritage to offspring. For that the registration an intangible cultural heritage (WBTB) respecting Lamban Pesagi. Its feel very important to inventory and documenting traditional houses of Lampung. As for to complete it needs to data collected based on result of supervision or observations, the results data an interview with informant as well as proprietor of Lamban Pesagi, and also fitted with study of decision to find a relevant reference.
MUHAMMADIYAH DAN MASYUMI DI YOGYAKARTA, 1945-1960 Suwarno Suwarno
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 16 No. 3 (2015)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (89.709 KB) | DOI: 10.52829/pw.75

Abstract

Dalam periode 1945-1960, Muhammadiyah dan Masyumi memiliki hubungan yang sangat erat baik secara nasional maupun lokal di wilayah Yogyakarta. Bagi Muhammadiyah, Masyumi merupakan wadah saluran aspirasi politiknya, sementara bagi Masyumi, Muhammadiyah telah menjadi anggota istimewa yang sangat penting. Artikel ini merupakan bagian dari disertasi yang terfokus pada pembahasan mengenai relasi Muhammadiyah dan Masyumi di Yogyakarta, kiprah politik para tokoh Muhammadiyah yang menjadi aktivis Masyumi, dan keterlibatan Muhammadiyah dalam perjuangan Masyumi memenangkan pemilu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, yang meliputi empat langkah, yaitu: heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode 1945-1960 di Yogyakarta, Muhammadiyah merupakan gerakan sosial-keagamaan yang sebagian besar anggotanya terlibat dalam Partai Islam Masyumi. Ada adagium di kalangan warga Muhamadiyah pada waktu itu bahwa Masyumi sebagai tempat berjuang, sedangkan Muhammadiyah sebagai tempat beramal. Di Yogyakarta, sebagian besar tokoh Masyumi merupakan anggota Muhamamdiyah. Kiprah politik para tokoh Masyumi yang berasal dari Muhammadiyah cukup besar dalam pemerintahan dan parlemen. Keterlibatan Muhammadiyah secara organisasi ataupun melalui anggota yang menjadi tokoh Masyumi dalam Pemilu, baik Pemilu 1951, 1955 maupun 1957 membuat Masyumi berkembang sebagai salah satu partai yang diperhitungkan dalam arena politik di Yogyakarta.In the period of 1945-1960, Muhammadiyah and Masyumi have a very close relationship, both nationally and locally in the region of Yogyakarta. For Muhammadiyah, Masyumi was a container of channel their political aspirations, while for Masyumi, Muhammadiyah has been a special member of very importance. This article is part of a dissertation focused on the discussion of the relationship Masyumi and Muhammadiyah in Yogyakarta, political contribution of their leaders who had became Masyumi activists, and Muhammadiyah's involvement in the fight Masyumi win the election. The method used in this research is the method of history, which includes four steps: heuristics, criticism, interpretation and historiography. The results showed that in the period 1945-1960 in Yogyakarta, Muhammadiyah was a socio-religious movement most of whose members were involved in Islamic Party Masyumi. There was a adage among residents of Muhammadiyah at the time that Masyumi as a place to struggle, while Muhammadiyah as a charitycontaine. In Yogyakarta, the majority of theMuhammadiyah members were Masyumi figures. The political contribution of Masyumi's political leaders came from Muhammadiyah was quite large in the government and parliament. The involvement of Muhammadiyah, institutionally or personally members have been prominent figures in Masyumi had made the Islamic party grew as a party has bargaining position in political arena at Yogyakarta, in particular at general election of 1951, 1955 and 1957.
DARI OPIUM HINGGA BATIK: LASEM DALAM “KUASA” TIONGHOA ABAD XIX-XX Siska Nurazizah Lestari; Nara Setya Wiratama
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 19 No. 3 (2018)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (396.211 KB) | DOI: 10.52829/pw.100

Abstract

Dalam menghadapi kompetisi perdagangan dengan warga etnis Tionghoa, warga Belanda (vrijburgers) memang tidak dapat menandingi, sehingga timbul perasaan tidak senang. Hal itu membuat VOC menerapkan pembatasan-pembatasan terhadap warga etnis Tionghoa. Sementara itu, kepiawaian etnis Tionghoa dalam berdagang opium menyebabkan etnis Tionghoa di Lasem tumbuh sangat kaya pada abad XIX. Setelah meredupnya bisnis candu, warga Tionghoa Lasem kembali lagi menggeluti bisnis batik yang telah lama ditinggalkan. Sejak abad ke-19, para pengrajin Tionghoa telah berperan penting dalam produksi sejumlah rumah produksi batik di pesisir di Lasem. Akan tetapi hubungan sosial antara pengusaha dan buruh kurang terjalin dengan baik, karena hak-hak buruh tersebut kurang terpenuhi dengan baik. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dan termasuk dalam penelitian sejarah sosial-ekonomi, di mana masyarakat Lasem abad XIX hingga XX sebagai objek. Adapun tujuan historiografis yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu mendokumentasikan sejarah sosial-ekonomi sebagai dampak perkembangan bisnis opium dan batik di Lasem pada abad XIX sampai dengan abad XX.____________________________________________________________In the case of facing trade competition with Chinese citizens, Dutch citizens (vrijburgers) couldn’t compete it, so they created feelings of displeasure.This situation made the VOC imposed restrictions on Chinese citizen. Meanwhile, Chinese expertise in the trade of opium caused the Chinese in Lasem to grow very rich in the nineteenth century. After the declining of opiate business, the Chinese resident Lasem back again focussed on batik business that has been long abandoned. Since the 19th century, Chinese craftsmen have the significant role in the production of a number of batik houses on the coast in Lasem. However, the social relations between employers and workers are poorly intertwined, because the labor rights are poorly fulfilled. This research is a qualitative research, and included in the study of socio-economic history, where the people of Lasem XIX to XX as the object. The historiographic objective to be achieved from this research is documenting the socio-economic history as the impact of the development of opium and batik business in Lasem in the XIX century up to the XX century.
TUAN RUMAH YANG RAMAH, PESERTA YANG BERPRESTASI: IMEJ INDONESIA DI ASIAN GAMES 1962 DI SURAT KABAR KEDAULATAN RAKJAT Muhammad Yuanda Zara
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 19 No. 2 (2018)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (606.844 KB) | DOI: 10.52829/pw.142

Abstract

Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games ke-IV pada tahun 1962. Beberapa kajian telah mengungkapkan tentang upaya Indonesia untuk mengampanyekan ke dunia luar bahwa Asian Games 1962 adalah bukti Indonesia sebagai kekuatan besar baru di dunia. Namun, belum banyak dibahas soal bagaimana representasi Asian Games 1962 sendiri di dalam negeri, khususnya di ruang publik lokal. Di dalam tulisan ini dibahas bagaimana sebuah surat kabar di Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat, selama sekitar sebulan (1 Agustus-5 September 1962) menggambarkan perhelatan Asian Games 1962 kepada pembacanya. Representasi Indonesia dan Asian Games di Kedaulatan Rakjat ada di berbagai halaman dan kolom, mulai dari berita utama (headline), tajuk rencana, halaman olahraga, hingga halaman advertensi. Ditemukan bahwa laporan dan pandangan yang disajikan Kedaulatan Rakjat setidaknya fokus pada dua aspek. Pertama, Indonesia adalah tuan rumah yang baik karena telah berusaha keras mempersiapkan Asian Games 1962 dengan serius, cermat, dan menyeluruh. Kedua, Indonesia adalah peserta Asian Games yang penuh prestasi, berlawanan dengan pandangan umum bahwa Indonesia adalah “anak bawang”. Temuan lain adalah bahwa berbeda dari kampanye resmi negara yang senantiasa menekankan keberhasilan-keberhasilan Indonesia di Asian Games, Kedaulatan Rakjat melalui kritik-kritiknya memperlihatkan bahwa sebagai tuan rumah Indonesia sebenarnya masih banyak memiliki kekurangan.____________________________________________________________In 1962 Indonesia hosted the Fourth Asian Games. Some studies have revealed Indonesia’s attempts to promote itself as a rising world power via the games. However, representation of the Fourth Asian Games within Indonesian society is still unknown. This study examines how a newspaper in Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat, depicted the Fourth Asian Games to its readers in about a month (1 August-5 September 1062). Representations of Indonesia and Asian Games in Kedaulatan Rakjat appeared in various pages and columns, including headline, editorial, sport page, and advertisement page. Kedaulatan Rakjat reports mainly focused on two elements. Firstly, Indonesia is a good host nation given the facts that she had done her best to prepare the games. Secondly, as a participant, Indonesia could achieve success, in contrast to general view which underestimating the country. Moreover, different to official campaign of the games which primarily underline Indonesia’s achievements through the games, Kedaulatan Rakjat, via its criticisms, showed that some flaws remaining despite Indonesia’s hard effort to organize the games.
UPACARA TRADISIONAL MASYARAKAT LERENG GUNUNG LAWU, KABUPATEN KARANGANYAR, PROVINSI JAWA TENGAH: SUATU WUJUD INTERAKSI MANUSIA DENGAN ALAM Budiana Setiawan
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 18 No. 3 (2017)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4992.015 KB) | DOI: 10.52829/pw.20

Abstract

Masyarakat di lereng barat Gunung Lawn, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, meskipun telah memeluk agama-agama resmi yang diakui pemerintah, namun masih tetap melaksanakan upacara-upacara tradisional yang dipusatkan di tempat-tempat yang diangg.ap keramat, sepera: mata air, punden, dan situs cagar budaya. Upacara-upacara tersebut, yakm: Julungan, Mondosiyo, Dhukutan, dan Dawuhan. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah: (1) Hal-hal apakah yang mendasari masyarakat masih melaksanakan upacara-upacara tradisional tersebut, meslapun dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama yang mereka pelnk? (2) Apakah penyelenggaraan upacara-upacara tradisional tersebut memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat? Tujuan dari tulisan ini adalah mengetahui aspek-aspek yang mendasari masyarakat tetap melaksanakan upacara tradisional yang telah diwartskan secara turun-temurun dan mengetahui manfaat yang dirasakan masyarakat dari penyelenggaraan upacara-upacara tradisional tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelenggaraan upacara-upacara tradisional tersebut bukan ditujukan kepada makhluk-makhluk gaib yang menguasai tempat-tempat keramat, melainlcan sebagai wujud interaksi antara masyarakat dengan lingkungan alam sekitarnya. Penyelenggaraan upacara tradisional juga tidak terlepas dari keberadaan tokoh-tokoh mitos yang menguasal tempat-tempat keramat. Tokoh-tokoh mitos tersebut diperlukan keberadaannya untuk memberikan makna terhadap penyelenggaraan upacara tradisional tersebut. Sesaji-sesaji yang digunakan sebagai persembahan adalah bentuk komunikasi nonverbal antara masyarakat dengan lingkungan alam seldtamya. Masyarakat merasakan manfaat dengan memperoleh basil bumf dan kebutukan air yang berlimpahCommunities in west of Lmvu Mountainside, Karanganyar Regency, Central Java Province, have embraced official religions that recognized by the government, but always practice traditional ceremonies that are placed at sacred sites, such as: water springs, punden, and cultural heritage sites. The traditional ceremonies are: Julungan, Mondosiyo, Dhukutan, and Dawuhan. The issues in this paper are: (I) What are the reasons that makes communities in Lawu Mountainside always practice traditional ceremonies, although are considered incompatible with the teaching of their religion? (2) Are the effectuation of traditional ceremonies giving beneficial to the communities lives? The purpose of this paper are knowing the reason that make the community keep their practice of traditional ceremonies that have been given from old generation to young generation and knowing benefits that are felt by the communities, from their organizing of those traditional ceremonies. The results of this paper show that implementation of traditional ceremonies are not directed to supernatural beings who control the sacred sites, but as forms of interaction between community and their surrounding natural environment. The effectuation of traditional ceremonies are also inseparable from existence of mythical figures who control the sacred sites. The mythical figures are required to give meaning to implementation of the traditional ceremonies. The offerings that are used as tributes are forms of nonverbal communication between communities and surrounding natural environment. The benefits for communities are obtaining crops and abundant of water needs.
KEBANGKITAN INDUSTRI BATIK LASEM DI AWAL ABAD XXI Nazala Noor Laili; Noor Naelil Masruroh
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 18 No. 1 (2017)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4651.052 KB) | DOI: 10.52829/pw.43

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk mengungkap eksistensi dan peranan pengusaha pribumi dalam mengembangkan industri batik tulis di Lasem, yang selama ini pelaku utamanya adalah etnis Tionghoa, menemukan faktor-faktor penyebab muncul dan bangkitnya para pengusaha batik dari kalangan pribumi Jawa, serta memetakan upaya konkret yang telah dilakukan untuk mewujudkan hal ini. Metode yang digunakan dalam studi ini adalah wawancara, studi dokumen, serta observasi terhadap pelaku usaha dan aktivitasnya. Sementara itu, pendekatan historis juga digunakan dalam studi ini khususnya untuk mengetahui aspek kronologis dalam pengembangan usaha batik tulis Lasem yang dimotori oleh masyarakat pribumi Jawa. Berdasar pada hasil peneltian, terdapat berbagai faktor yang menyebabkan kebangkitan para pengusaha batik pribumi Jawa di Lasem. Karakteristik masyarakat Lasem yang multietnis dalam hubungannya memiliki kehidupan yang harrnonis. Mereka meminimalisir adanya dikotomi etnis atau ras dan menyepakati bersama identitias sebagai orang Lasem, sehingga memunculkan rasa keterbukaan dan kebersamaan. Selain itu, pasca penetapan Hari Batik Nasional pada 2009 disertai kuatnya dorongan pemerintah melalui berbagai program bantuan, maka sejak saat itu dijadikan sebagai momentum utama kebangkitan pengusaha batik pribumi Jawa. Dukungan tersebut berlangsung secara kontinyu, khususnya dalam membukakan akses pasar dan modal.____________________________________________________________This article aims to reveal on the role and existence of indigenous entreprises in developing batik industry at Lasem. All the time, the main actors has been hold by the Chinese, seeks to find the factors that cause them to rise up and appear, as well as mapping out tlie concrete efforts that have been made to make this happens. The method used are interviews, study documents, as well as observations among the entreprenuers (Chinese and Javanese) and their activities. Meanwhile, the historical approach also used particularly to determine chronological aspects in the development of this industry led by Javanese. There are two important factors that cause the revival. Lasem people typically multiethnic in relation to have a harmonious life. They minimize ethnic or racial dichotomy and consens identity as Lasem people, therefore it generating openness and togetherness among them. Meanwhile, after designation of National Batik Day in 2009, the government have given strong encouragement by various aid programs, since then it serves as revival momentum of indigenous Javanese enterprises. Furthermore, the government supports continuesly especially in opening access on capital and market.
PERTEMPURAN KARANG KEDAWUNG 1949: GUGURNYA LETNAN KOLONEL MOCHAMMAD SROEDJI Ratna Endang Widuatie
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 18 No. 2 (2017)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5844.954 KB) | DOI: 10.52829/pw.42

Abstract

Artikel ini memaparkan perjuangan Letnan Kolonel Mochammad Sroedji, Komandan Brigade III/Damarwulan pada masa Perang Kemerdekaan. Sroedji adalah mantan perwira pasukan sukarela Pembela Tanah Air pada masa pendudukan Jepang. Semangat perjuangan yang kuat pada masa awal kemerdekaan mendorong pemuda-pemuda seperti Sroedji bergabung dengan tentara Republik yang masih mencari format ideal sebagai angkatan bersenjata. Sebagai komandan satuan di tingkat brigade, peran Sroedji dalam perjuangan di front Jawa Timur memberikan kontribusi penting bagi kedaulatan Indonesia. Dua kali Agresi Militer Belanda menjadi ajang pembuktian kepemimpinan Sroedji menghadapi kesulitan persenjataan, isu profesionalisme prajurit, hubungan sipil-militer, dan kekurangan logistik. Letnan Kolonel Mochammad Sroedji gugur dalam Pertempuran Karang Kedawung, 8 Februari 1949.This article describes about struggle of Lieutenant Colonel Mochammad Sroedji, Commander, 3rd Brigade “Damarwulan” during the War of Independence. Sroedji was a former volunteer officer of Defenders of the Homeland during the Japanese occupation. The spirit of struggle in the early days of independence prompted youth like Sroedji to join the Republican armed forces, that were still looking for ideal format. As brigade-level commander, Sroedji has important role in East Java’s front that significantly contributed to Indonesian sovereignty. Twice Dutch Military Aggression showing Sroedji's great leadership under lack of weapons and ammunitions, soldier professionalism issue, civil-military relation, and logistical shortage. Lieutenant Colonel Mochammad Sroedji died in the Battle of Karang Kedawung, February 8, 1949.

Page 1 of 12 | Total Record : 113