cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Patrawidya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya
ISSN : 14115239     EISSN : 25984209     DOI : -
Core Subject : Art, Social,
The Patrawidya appears in a dark gray cover with a papyrus manuscript. The Patrawidya Journal is published three times a year in April, August and December. The study of the Patrawidya Journal article is on the family of history and culture. The Patrawidya name came from a combination of two words "patra" and "widya", derived from Sanskrit, and became an absorption word in Old Javanese. the word "patra" is derived from the word "pattra", from the root of the term pat = float, which is then interpreted by the wings of birds; fur, leaves; flower leaf; fragrant plants fragrant; leaves used for writing; letter; document; thin metal or gold leaf. The word "widya" comes from the word "vidya", from the root vid = know, which then means "science". Patrawidya is defined as "a sheet containing science" ISSN 1411-5239 (print) ISSN 2598-4209 (online).
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol. 19 No. 2 (2018)" : 8 Documents clear
TUAN RUMAH YANG RAMAH, PESERTA YANG BERPRESTASI: IMEJ INDONESIA DI ASIAN GAMES 1962 DI SURAT KABAR KEDAULATAN RAKJAT Muhammad Yuanda Zara
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 19 No. 2 (2018)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (606.844 KB) | DOI: 10.52829/pw.142

Abstract

Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games ke-IV pada tahun 1962. Beberapa kajian telah mengungkapkan tentang upaya Indonesia untuk mengampanyekan ke dunia luar bahwa Asian Games 1962 adalah bukti Indonesia sebagai kekuatan besar baru di dunia. Namun, belum banyak dibahas soal bagaimana representasi Asian Games 1962 sendiri di dalam negeri, khususnya di ruang publik lokal. Di dalam tulisan ini dibahas bagaimana sebuah surat kabar di Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat, selama sekitar sebulan (1 Agustus-5 September 1962) menggambarkan perhelatan Asian Games 1962 kepada pembacanya. Representasi Indonesia dan Asian Games di Kedaulatan Rakjat ada di berbagai halaman dan kolom, mulai dari berita utama (headline), tajuk rencana, halaman olahraga, hingga halaman advertensi. Ditemukan bahwa laporan dan pandangan yang disajikan Kedaulatan Rakjat setidaknya fokus pada dua aspek. Pertama, Indonesia adalah tuan rumah yang baik karena telah berusaha keras mempersiapkan Asian Games 1962 dengan serius, cermat, dan menyeluruh. Kedua, Indonesia adalah peserta Asian Games yang penuh prestasi, berlawanan dengan pandangan umum bahwa Indonesia adalah “anak bawang”. Temuan lain adalah bahwa berbeda dari kampanye resmi negara yang senantiasa menekankan keberhasilan-keberhasilan Indonesia di Asian Games, Kedaulatan Rakjat melalui kritik-kritiknya memperlihatkan bahwa sebagai tuan rumah Indonesia sebenarnya masih banyak memiliki kekurangan.____________________________________________________________In 1962 Indonesia hosted the Fourth Asian Games. Some studies have revealed Indonesia’s attempts to promote itself as a rising world power via the games. However, representation of the Fourth Asian Games within Indonesian society is still unknown. This study examines how a newspaper in Yogyakarta, Kedaulatan Rakjat, depicted the Fourth Asian Games to its readers in about a month (1 August-5 September 1062). Representations of Indonesia and Asian Games in Kedaulatan Rakjat appeared in various pages and columns, including headline, editorial, sport page, and advertisement page. Kedaulatan Rakjat reports mainly focused on two elements. Firstly, Indonesia is a good host nation given the facts that she had done her best to prepare the games. Secondly, as a participant, Indonesia could achieve success, in contrast to general view which underestimating the country. Moreover, different to official campaign of the games which primarily underline Indonesia’s achievements through the games, Kedaulatan Rakjat, via its criticisms, showed that some flaws remaining despite Indonesia’s hard effort to organize the games.
PERAJIN KERIS WANITA: PEMBERDAYAAN WANITA DI TENGAH BUDAYA PATRIARKI MADURA Unggul Sudrajat
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 19 No. 2 (2018)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (561.917 KB) | DOI: 10.52829/pw.119

Abstract

Keris dianggap sebagai pusaka yang melambangkan kewibawaan dan kehormatan seorang pria. Dalam budaya patriarki, keris identik dengan dunia laki-laki. Keris pusaka hanya diberikan kepada anak laki-laki tertua dalam keluarga. Apabila semua anaknya perempuan, maka keris pusaka akan diwariskan kepada menantu laki-laki. Dengan demikian, wanita tidak diperbolehkan memiliki keris atau pun terlibat dalam pembuatan keris. Akan tetapi, kondisi tersebut menujukkan hal yang berbeda di Sumenep, Madura. Masyarakat di sana memperbolehkan wanita untuk membantu kaum pria dalam proses pembuatan keris. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk pemberdayaan wanita dalam pembuatan keris di Sumenep, Madura. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi sejarah, sosial-budaya, dan ekonomi. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wanita di Sumenep terlibat dalam pembuatan perlengkapan keris seperti warangka dan handle serta bilah keris. Selain proses pembuatan keris, para wanita juga dipercaya untuk mengelola keuangan hasil penjualan keris.____________________________________________________________Keris is considered a valuable heirloom that symbolizes the authority and honor of a man. In patriarchal culture, keris is identical with the male world. Keris is only given to the oldest son in the family. If all of their children are girls, then the heirloom will be passed on to the son-in-law. Thus, women are not allowed to have keris or are involved in making keris. However, in Sumenep, Madura the situation appears in the opposite. The community allows women to help men in the process of making keris. This study aims to analyze the form of women’s empowerment in making keris in Sumenep, Madura. The method used in this study is qualitative with a combination of historical, socio-cultural, and economics approaches. Data are collected through observation, in-depth interviews, and documentations. The results of this study indicate that women in Sumenep were involved in making components of keris such as warangka (sheats), keris handles, and keris bars. In addition to it, the women were also trusted to manage financial matters of the process.
PSEUDO-BATTLE OF MEMORY: DUA MEMORI KOLEKTIF PANGERAN SAMUDRO DI GUNUNG KEMUKUS Muhammad Anggie Farizqi Prasadana
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 19 No. 2 (2018)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (556.828 KB) | DOI: 10.52829/pw.10

Abstract

Objek wisata Gunung Kemukus sesungguhnya mengandung dua memori kolektif tentang Pangeran Samudro. Kendati demikian, keduanya tidak dapat berjalan bersama, tetapi justru saling bertarung dan mengalahkan satu sama lain, sehingga hanya satu memori yang menjadi pemenang dan berkembang luas. Permasalahan penelitian ini adalah mengungkapkan awal mula terciptanya kedua ingatan tentang Pangeran Samudro. Selain itu menjelaskan mengapa dalam perkembangan selanjutnya salah satu dari keduanya mendominasi yang lain, serta mengapa pertarungan di antara keduanya disebut sebagai pertempuran memori yang semu.____________________________________________________________Mount Kemukus tourism object has two collective memories about Prince Samudro. However, the two memories fight and defeat each other. This study aims to find out how those two memories battle. This study used qualitative methods and qualitative descriptive analysis. The results showed that initially there was only one collective memory of Prince Samudro who was passed down from generation to generation in Mount Kemukus. Since Mount Kemukus is increasingly crowded with residential settlements, a second memory emerges which on the basis of economic interests seeks to defeat the memory that had already existed. In the next development, the second memory is actually developing because of offering a pilgrimage procession on Prince Samudro’s grave, which is easier in the form of sexual intercourse. The first memory does not remain silent and attempts to subdue the second memory. However, the first memory battle against the second memory was only half-hearted.
HUBUNGAN ANTARA MITOS PAGEBLUG DAN TRADISI APITAN PADA MASYARAKAT JAWA DI SEMARANG nugroho trisnu brata
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 19 No. 2 (2018)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (556.511 KB) | DOI: 10.52829/pw.117

Abstract

Artikel ini mengkaji mitos pertunjukan wayang kulit dalam tradisi apitan di daerah Kelurahan Kalipancur RW IV Kota Semarang. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui narasi mitos pertunjukan wayang kulit yang ada dalam tradisi apitan di Kalipancur. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pegambilan data berupa observasi, wawancara dan studi literatur. Analisis teori menggunakan teori fungsionalisme dan konsep mitos Malinowski. Hasil penelitian menunjukan, bahwa: (1) Mitos pertunjukan wayang kulit terdapat dua cerita narasi mitos yaitu versi pertama lama diyakini warga asli Kalipancur dengan keyakinan adanya mitos, pertama muncul ketika pernah sekali tidak melakukan apitan wayangan dhanyang marah terjadilah pagebluk dan versi kedua baru diyakini warga pendatang dengan keyakinan mitos muncul akibat penularan wabah penyakit karena minimnya pengetahuan warga mengenai kebersihan dan penanganan penyakit sehingga terjadilah pagebluk banyak warga meninggal secara bersamaan. (2) Fungsi simbolis tradisi apitan bagi warga Kalipancur RW IV yaitu pertama dimaksudkan untuk tolak bala mendapatkan keselamatan bagi warga Kalipancur dari pengaruh hal buruk ataupun ancaman roh. Kedua yaitu menambah keyakinan diri yang dirasakan pada masing-masing warga Kalipancur. Ketiga yaitu merekatkan kerukunan antar warga Kalipancur merupakan hasil dari rangkaian acara tradisi apitan yang berkembang.____________________________________________________________This article examines the myth of the show wayang kulit in the apitan traditional in Kalipancur RW IV regional, Semarang city. This study used a qualitative approach with methods of observation, interview and documentation, as well as the theory of functionalism and the concept of myth from Malinowski. The results of this study are: (1) The myth of wayang kulit show there are two stories of mythical narratives that are first versions of long believed to be indigenous of Kalipancur Belief in the myth comes when it did not do apitan wayangan dhanyang angry pageblug happen and second version is believed to be immigrant residents with the confidence of transmission of disease outbreaks due to the lack of knowledge of the community about cleanliness and handling of the disease so that there are pageblug that causes people died simultaneously. (2) Symbolic function apitan tradition for the Kalipancur RW IV is first for tolak bala to get safety from the influence of bad or threatening spirit. The second is to increase the confidence that is felt in each the Kalipancur. Third is to bring harmony between citizens of Kalipancur Is the result of a growing series of events of the apitan tradition.
Hindia-Belanda Sebelum Depresi Ekonomi Global: Catatan Dari Sang Penjabat Kolonial Andrik Sulistiyawan
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 19 No. 2 (2018)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (752.649 KB) | DOI: 10.52829/pw.146

Abstract

GAMELAN DI KEMLAYAN: STUDI SEJARAH KAMPUNG ABDI DALEM NIYAGA DI SURAKARTA Heri Priyatmoko
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 19 No. 2 (2018)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (984.911 KB) | DOI: 10.52829/pw.143

Abstract

Tulisan ini membahas sejarah lahirnya kampung Kemlayan yang menjadi tempat tinggal komunitas abdi dalem seniman di Keraton Kasunanan Surakarta dalam rentang waktu abad XVIII-XX. Pengambilan topik tersebut dilatarbelakangi oleh dua hal pokok, yaitu langkanya studi ilmiah mengenai sejarah kampung di Jawa yang bergerak di bidang kultural pada periode kerajaan sampai republik, dan keberadaan kampung tersebut tidak tertulis dalam panggung sejarah dinasti Mataram Islam. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini, yaitu lahirnya Kemlayan yang mayoritas dihuni oleh kelompok abdi dalem seniman karawitan, posisi Kemlayan dalam lingkaran kekuasaan istana, serta pandangan masyarakat Surakarta terhadap kampung seniman-priayi tersebut. Guna memperoleh jawaban atas permasalahan utama tersebut dipakai metode sejarah kritis serta penggunaan sumber primer maupun sekunder. Kemlayan muncul pada masa Paku Buwana IV (1788-1821). Faktor penentu terciptanya kampung tersebut adalah raja memiliki ketertarikan pada karawitan, dan kesenian menjadi alat legitimasi politis kerajaan sehingga wajar kelompok seniman karawitan yang setia mengabdi kepada istana diberi keistimewaan berupa daerah untuk ditinggali. Kemlayan merupakan satu-satunya kampung seniman dalam dinasti Mataram Islam. Kemlayan lahir dan tumbuh bukan dilandasi semangat etnisitas, nafas keagamaan maupun orientasi bisnis, melainkan bergerak di bidang kesenian karawitan tradisional Jawa. Aktivitas kebudayaan dilakukan oleh penghuninya secara konsisten membentuk karakteristik ruang yang ditinggalinya. Di lingkungan sosial, Kemlayan dikenal juga sebagai kampungnya priayi. Dengan keahlian menabuh gamelan, seniman-priayi Kemlayan sering tampil dalam acara bergengsi. Dampak positifnya ialah Kemlayan selalu diperhitungkan dalam jagad kesenian tradisional Jawa selama seabad lebih.____________________________________________________________This paper discusses the establishment of a kampong named Kemlayan which becomes the home of Abdi Dalem artists community of Surakarta palace during XVIII-XX century. The discussion is triggered by two major reasons. First, only few academic discourses present topics on the history of cultural village in Java since dynasties period to the establishment of Republic of Indonesia. Second, the existence of the kampong has not been written in the discussion of Islamic Mataram history. This paper discusses three problems, i.e. the establishment of kampong Kemlayan in which most of the residents are Abdi Dalem karawitan artists, the kampong’s position in the power relation with the palace, and the society’s attitude towards the kampong. In discussing those problems, this paper employs critical history method involving both primary and secondary sources. Kemlayan was established during the reign of Paku Buwana IV (1788-1821). The main motives of the establishment are the king’s interests in karawitan and arts, and it became the political excuse to provide loyal groups of karawitan artists some territories to live in. Kemalyan was the only kampong whose residents were artists in Islamic Mataram era. It was not established and developed based on ethnicity, religion, or economic ambitions. It was based on Javanese tradition of karawitan. Further, the constant and consistent cultural activities by the residents of kampong Kemlayan chracterize their living spaces. In social contexts, Kemlayan is well known as the kampong of priyayi. Having the skills of playing gamelan instruments, priyayi artists often performed in prominent events. Positively, this brings a consequence that Kemlayan has been always acknowledged in Javanese traditional arts for more than a century.
EKSISTENSI PANRITA LOPI: STUDI TENTANG SULITNYA REGENERASI PENGRAJIN KAPAL PINISI DI KECAMATAN BONTO BAHARI Muslimin Udding
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 19 No. 2 (2018)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1268.93 KB) | DOI: 10.52829/pw.96

Abstract

Kapal pinisi merupakan salah satu warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia. Melalui tangan para panrita lopi (Ahli Pembuatan Kapal), kapal pinisi telah menjadi simbol kebanggaan tidak hanya untuk Indonesia namun dunia pun mengakuinya sebagai karya yang luar biasa. Proses pengrajinan kapal pinisi diwariskan secara turun temurun dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Perkembangan era globalisasi yang semakin maju menyebabkan pengetahuan pengrajinan kapal pinisi sulit terwariskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya, penyebab utama yang menghambat proses transformasi pengetahuan pengrajinan kapal pinisi karena sebagian besar generasi muda di Kecamatan Bonto Bahari lebih memilih untuk merantau dan menempuh pendidikan dibanding belajar pengrajinan kapal pinisi. Kurangnya generasi muda di Kecamatan Bonto Bahari yang mengetahui proses pengrajinan kapal pinisi menjadi masalah tersendiri bagi eksistensi kapal pinisi dimasa sekarang dan yang akan datang, padahal pengetahuan pengrajinan kapal pinisi telah di tetapkan sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization).____________________________________________________________Pinisi ship is one of the cultural heritage of the Indonesian nation. Through the panrita lopi (shipbuilding expert), pinisi ships have become a symbol of pride not only for Indonesia but the world also recognize it as a masterpiece. The process of crafting the pinisi vessels is passed down from generation to generation to the next generation. The era of increasingly advanced globalization towards the knowledge of sensing that is difficult to be inherited from one subsequent generation, the main cause affecting the process of transformation of greater and better knowledge in Bonto Bahari Subdistrict is more to choose and learn from learning the craft of pinisi vessels. The lack of young people in Bonto Bahari Sub-district who know the process of pinisi crafters is a problem for cruise ships today and in the future, whereas the knowledge of pinisi crafters has been declared as one of the world cultural heritage by UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization).
Perkampungan Kristen Di Muna (1920 – 1998) Rismawidiawati Rismawidiawati
Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya. Vol. 19 No. 2 (2018)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (640.845 KB) | DOI: 10.52829/pw.144

Abstract

Saat ini, umat Kristen di Kabupaten Muna memang minoritas, namun perkampungan Kristen yang ada di Wale-ale Kabupaten Muna telah ada sejak zaman Hindia Belanda. Ditambah gerakan Kahar Muzakkar, membuat banyak masyarakat muslim yang melarat kehidupannya  memberikan peluang bagi Agama Kristen untuk bertindak sebagai juru selamat bagi mereka yang memerlukan bantuan. Pada masa inilah Agama Kristen mulai dikenal dan mengalami perkembangan kuantitatif. Berdasar latar tersebut, maka tulisan ini bertujuan untuk mengurai proses munculnya perkampungan Kristen di Kabupaten Muna, mengurai proses masuknya agama Kristen di Kabupaten Muna dan menjelaskan faktor pendukung dan penghambat perkembangan Agama Kristen di Kabupaten Muna. Tulisan ini menggunakan metode sejarah, dengan mengikuti empat langkah yaitu: 1) mencari dan mengumpulkan sumber, yakni sumber primer dan sumber sekunder. 2) melakukan kritik terhadap isi dokumen agar mendapatkan fakta sejarah, 3) dilakukan yaitu interpretasi dimana data yang telah di kritik selanjutnya disebut sebagai fakta sejarah dan 4) historiografi yang merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian prosedur kerja metode sejarah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) proses masuknya Agama Kristen di Kabupaten Muna tidak terlepas dari perkembangan pelayaran bangsa-bangsa Barat ke Indonesia yang disertai dengan upaya Kristenisasi, 2) Pada awalnya penduduk Wale-Ale telah memeluk agama Islam. Akan tetapi kedatangan para pastor di Wale-ale mempengaruhi anak-anak penduduk Wale-ale dengan bersikap ramah kepadanya. Penduduk yang tadinya beragama Islam melakukan pindah agama menjadi penganut Kristiani dan 3) Faktor pendukung penyebaran ajaran Kristen di Wale-ale karena adanya kemiskinan dan keterbelakangan penduduk sehingga para pastor dengan mudah mempengaruhi mereka. Faktor penghambat penyebaran ajaran Kristen di Wale-ale adalah bahwa masyarakat Wale-ale sebelumnya telah memeluk agama Islam, juga perubahan politik yang berubah-berubah sehingga berupa pula kebijakan terhadap misionaris.____________________________________________________________At present, Christians in Muna Regency are indeed a minority. But the Christian village in Muna Wale-ale has been existing since the days of the Dutch East Indies. Another side, the Kahar Muzakkar movement, made many Muslim communities destitute of their lives. This situation provides an opportunity for Christianity to act as a savior for those who need help. At this time the Christian Religion began to be known and experienced quantitative development. Based on the background of the study, this study aims to unravel the process of the emergence of Christian villages in Muna Regency, unravel the process of entry of Christianity in Muna Regency and explain the supporting and inhibiting factors of the development of Christianity in Muna Regency. This paper uses the historical method, following the four steps of the research step, namely: 1) finding and collecting resources related to research, namely primary sources and secondary sources. 2) criticizing the contents of the document in order to get historical facts, 3) carried out namely the interpretation where the data that has been criticized is then referred to as historical facts and 4) historiography which is the last stage of the whole series of historical methods work procedures. The results showed that 1) the process of entering Christianity in Muna Regency was inseparable from the development of  Western shipping to Indonesia accompanied by Christianisation efforts. 2) Initially, the population of Wale-Ale had embraced Islam. But the arrival of priests at Wale-ale affected the children of Wale-ale residents by being friendly to him. Residents who were previously Muslims converted to Christianity and 3) Factors supporting the spread of Christianity in Wale-ale because of poverty and backwardness of the population so that priests easily influenced them. The inhibiting factor in the spread of Christian teachings at Wale-ale was that the Wale-ale community had previously embraced Islam, as well as changing political changes in the form of policies towards missionaries.

Page 1 of 1 | Total Record : 8