cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan
ISSN : 2087295X     EISSN : 26142813     DOI : -
Core Subject : Social,
Negara Hukum is a journal containing various documents, analyzes, studies, and research reports in the field of law. Jurnal Negara Hukum has been published since 2010 and frequently published twice a year.
Arjuna Subject : -
Articles 11 Documents
Search results for , issue "Vol 12, No 1 (2021): JNH VOL 12 NO 1 JUNI 2021" : 11 Documents clear
Preface JNH Vol. 12 No. 1 Tahun 2021 Denico Tobing
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 12, No 1 (2021): JNH VOL 12 NO 1 JUNI 2021
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Peran Bank dalam Pelindungan Hukum Terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Terdampak Covid-19 (The Role of Banks in Legal Protection for Micro, Small, and Medium Enterprises Affected by Covid-19) Dian Cahyaningrum
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 12, No 1 (2021): JNH VOL 12 NO 1 JUNI 2021
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v12i1.2122

Abstract

The Covid-19 pandemic caused losses to the national economy, which impacted the decline of micro, small, and medium enterprises (MSMEs), and therefore, there is a need to have legal protection for MSMEs. This paper examines and aims to determine the urgency of legal protection for MSMEs, legal protection provided to MSMEs, and the bank’s role in legal protection. This paper has both theoretical and practical uses. Using the normative juridical method, the study results addressed that MSMEs need legal protection because they have an important role in the national economy and are considered the main pillar of the people’s economy. Legal protection is carried out by issuing various legal instruments aimed at helping MSMEs to survive, rise from Covid-19, and develop properly. Banks have an important role in legal protection for MSMEs, namely supporting national economic recovery and fostering/empowering MSMEs. Given the importance of MSMEs, a continuance of legal protection is needed during the Covid-19 pandemic. Banks also need to increase their role and become good development agents in order to promote the people’s welfare. AbstrakPandemi Covid-19 menimbulkan kerugian pada perekonomian nasional yang berimbas pada terpuruknya UMKM, oleh karenanya perlu ada pelindungan hukum terhadap UMKM. Untuk itu tulisan ini akan mengkaji dan bertujuan untuk mengetahui urgensi pelindungan hukum terhadap UMKM, pelindungan hukum yang diberikan kepada UMKM, dan peran bank dalam pelindungan hukum tersebut. Tulisan ini memiliki kegunaan teoritis dan praktis. Dengan menggunakan metode yuridis normatif diperoleh hasil UMKM perlu mendapat pelindungan hukum karena memiliki peran penting dalam perekonomian nasional dan sebagai pilar utama ekonomi kerakyatan. Pelindungan hukum dilakukan dengan mengeluarkan berbagai instrumen hukum yang ditujukan untuk membantu UMKM bertahan, bangkit dari Covid-19, dan berkembang dengan baik. Bank memiliki peran penting dalam pelindungan hukum terhadap UMKM yaitu mendukung PEN dan membina/memberdayakan UMKM. Mengingat pentingnya UMKM, pelindungan hukum perlu terus dilakukan pada masa pandemi Covid-19. Bank juga perlu meningkatkan perannya dan menjadi agen pembangunan yang baik agar kesejahteraan rakyat terwujud.
Front Pages JNH Vol. 12 No. 1 Tahun 2021 Denico Tobing
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 12, No 1 (2021): JNH VOL 12 NO 1 JUNI 2021
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Problem dan Solusi Penataan Checks and Balances System dalam Pembentukan dan Pengujian Undang-Undang di Indonesia (Problem and Solutions for Arranging of The Checks and Balances System in The Process of Making Law and Constitutional Review in Indonesia) Tanto Lailam
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 12, No 1 (2021): JNH VOL 12 NO 1 JUNI 2021
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v12i1.1721

Abstract

This research focuses on checks and balances between state institutions in carrying out their functions. The research problem is related to the weakness of the system of balance and mutual control in the process of making law and constitutional review. To understand the research’s problem, normative legal research is used that prioritizes secondary data, with two approaches, namely the statute approach and the case approach. The results indicate several problems of checks and balances, namely: (1) the legislative problems in the presidential system which creates many compromises/confrontations; (2) checks and balances between weak legislative institutions; (3) poorly understood legislation techniques; (4) narrowed understanding of checks and balances based on the Constitutional Court decisions; (5) the problem of mutual claims of underlying truth in interpreting the constitution; (6) additional problems and revocation of authority through a decision; (7) problems with the Constitutional Court decisions that deviate from the law; and (8) problems with the meaning of constitutional morality. Solutions for the arrangement of checks and balances, namely: (1) regulating veto rights in the constitution; (2) reconstruction of the meaning of “regional autonomy” in managing legislative relations between DPR and DPD; (3) strengthening legal drafting capacity; (4) laying down the building of the principle of separation of power as well as checks and balances according to the constitution; (5) it is crucial to build an understanding of the correct interpretation of the constitution; (6) it is necessary to build the morale of the Constitutional Court through consistency and accountability of decisions; (7) minimize deviations from the Constitutional Court Law; and (8) strengthening the morality/ethics of judges. AbstrakPenelitian ini memfokuskan pada checks and balances antarlembaga negara dalam menjalankan fungsinya. Problem penelitian terkait lemahnya sistem saling imbang dan saling kontrol dalam pembentukan dan pengujian undang-undang. Untuk mengungkap problem penelitian tersebut, digunakan penelitian hukum normatif yang mengutamakan data sekunder, dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa problem checks and balances, yaitu (1) sistem legislasi dalam sistem presidensial yang banyak melahirkan kompromi/konfrontasi; (2) checks and balances antarlembaga legislatif yang lemah; (3) teknik legislasi yang kurang dipahami; (4) penyempitan pemahaman checks and balances dalam putusan MK; (5) problem saling klaim kebenaran dalam menafsirkan konstitusi; (6) problem tambahan dan pencabutan kewenangan melalui putusan; (7) problem putusan MK yang menyimpang dari undang-undang; dan (8) problem pemaknaan moralitas konstitusi. Solusi penataan checks and balances, yaitu (1) pengaturan hak veto dalam konstitusi; (2) rekonstruksi makna “otonomi daerah” dalam menata hubungan legislasi antara DPR dengan DPD; (3) penguatan kemampuan legal drafting; (4) meletakkan bangunan prinsip separation of power dan checks and balances secara benar menurut konstitusi; (5) penting membangun pemahaman kebenaran tafsir konstitusi; (6) perlu membangun marwah MK melalui konsistensi putusan dan akuntabilitas putusan; (7) meminimalisasi penyimpangan terhadap UU MK; dan (8) penguatan moralitas/etika hakim.
Perlukah Mengatur Prinsip Exclusionary Rules of Evidence dalam RUU Hukum Acara Pidana? (Should We Regulate Exclusionary Rule Principle in the Criminal Procedural Bill?) Marfuatul Latifah
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 12, No 1 (2021): JNH VOL 12 NO 1 JUNI 2021
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v12i1.2123

Abstract

Illegal obtaining of evidence is still common in Indonesia. To prevent the repetition of this practice, the criminal procedural law recognizes the exclusionary rules of the evidence principle, which serve to eliminate evidence obtain illegally during trial examinations. This principle has become a worldwide common practice. This article examines the principles of exclusionary rules in the United States and the Netherlands. It examines whether the principles of exclusionary rules need to be regulated in Indonesian criminal procedural law. The exclusionary rules of evidence in the United States is regulated in the Mapp v Ohio, 367 U.S. 643 (1961), while in the Netherlands, it is regulated in Article 359a WvSv. In Indonesia, the existence of the principle of exclusionary rules is an interpretation of the phrase “valid evidence” so that evidence must be valid for both the type of evidence and the way it was obtained. To minimize illegal obtaining of evidence in Indonesia, the principle of the exclusionary rules needs to be regulated in the Criminal Procedural Bill to be effectively enforced in trials throughout Indonesia. In addition, the recognition for exclusionary rules in the Criminal Procedural Bill needs to delegate an authority to examine and validate evidence and determine what actions can be taken to illegal evidence. AbstrakPerolehan alat bukti secara ilegal masih sering ditemui di Indonesia. Untuk mencegah pengulangan praktik tersebut, hukum acara pidana mengenal prinsip the exclusionary rules of evidence (exclusionary rules) yang berfungsi untuk mengeliminasi alat bukti yang diperoleh secara ilegal dalam pemeriksaan persidangan. Penerapan exclusionary rules telah menjadi praktik yang umum dilakukan secara internasional. Artikel ini mengkaji pengaturan prinsip exclusionary rules di Amerika Serikat dan Belanda, serta mengkaji apakah prinsip exclusionary rules perlu diatur dalam hukum acara pidana Indonesia melalui RUU Hukum Acara Pidana. Artikel ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Pengaturan exclusionary rules di Amerika Serikat diatur dalam Putusan Mapp v. Ohio, 367 U.S. 643 (1961), sedangkan di Belanda diatur dalam Pasal 359a WvSv. Di Indonesia, keberadaan prinsip exclusionary rules merupakan tafsir dari frasa “alat bukti yang sah” sehingga alat bukti harus sah, baik jenis dan perolehannya. Untuk meminimalisasi perolehan bukti secara ilegal di Indonesia, prinsip exclusionary rules perlu diatur dalam batang tubuh RUU HAP agar dapat diberlakukan secara efektif dalam persidangan di seluruh Indonesia. Selain itu, pengaturan exclusionary rules pada RUU HAP perlu dilengkapi dengan pihak yang berwenang menguji dan mengesahkan alat bukti, serta menetapkan tindakan apa yang dapat diterapkan terhadap alat bukti yang tidak sah.
Back Pages JNH Vol. 12 No. 1 Juni 2021 Denico Tobing
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 12, No 1 (2021): JNH VOL 12 NO 1 JUNI 2021
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v12i1.2273

Abstract

Prinsip-Prinsip yang Harus Dipertimbangkan dalam Penyelesaian Sengketa Nama Domain Berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Wahyudi Wahyudi; Hetty Hassanah
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 12, No 1 (2021): JNH VOL 12 NO 1 JUNI 2021
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v12i1.1743

Abstract

Domain names can be obtained through Registration & Decision (Dispute Resolution Service Provider - DRSP). The new ITE Law recognizes the existence of domain names as a result of registration at a Foreign Registrar (Art. 24 paragraph (3)). The ITE Law needs to consider the principles in resolving domain name disputes, including DRSP; therefore, there is a need to harmonize the ITE Law with global regulations and practices. The legal issue that arises is what principles can be considered in resolving domain name disputes under the ITE Law? This research is descriptive-analytical, using the normative juridical method. The data obtained were analyzed using a qualitative juridical approach. The research results show that there are several principles needed to be considered in resolving domain name disputes, including what stated in the DRSP decision, i.e., the principle of legal certainty, the Lawrence Lessig “Architecture” principle, which can be applied regarding the recognition, and implementation of decisions by DRSP domain name dispute resolution service providers, as well as the principle of recognition of the ITE Law. These principles need to be considered to be able to follow the development of best practices in the ICT community related to domain name ownership and the online dispute resolution system by DRSP, which is regulated by ICANN in the UDRP and the Registry Agreement and Registrar Agreement in accordance with the theory of “Code” or “Architecture” of Lawrence Lessig. AbstrakNama domain dapat diperoleh melalui pendaftaran & putusan (Dispute Resolution Service Provider-DRSP). Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) baru mengakui eksistensi nama domain hasil pendaftaran pada registrar asing (Pasal 24 ayat (3)). UU ITE perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip dalam penyelesaian sengketa nama domain termasuk DRSP, oleh karena itu perlu adanya harmonisasi regulasi dan praktik global. Permasalahan hukum yang muncul adalah prinsip apa saja yang dapat dipertimbangkan dalam menyelesaikan sengketa nama domain berdasarkan UU ITE. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, menggunakan metode yuridis normatif. Data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam penyelesaian sengketa nama domain termasuk putusan DRSP adalah prinsip kepastian hukum; prinsip “architecture” Lawrence Lessig yang dapat diterapkan terkait pengakuan dan pelaksanaan putusan penyedia layanan penyelesaian sengketa nama domain oleh DRSP; serta prinsip pengakuan oleh Undang-Undang ITE. Prinsip-prinsip tersebut perlu dipertimbangkan agar mampu mengikuti perkembangan best practices pada masyarakat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terkait kepemilikan nama domain berikut sistem penyelesaian sengketa secara online oleh DRSP yang diatur oleh Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN) dalam Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy (UDRP), perjanjian registri, dan perjanjian registrar sesuai dengan teori “code” atau “architecture” dari Lawrence lessig.
Pengaturan Kekerasan Berbasis Gender Online: Perspektif Ius Constitutum dan Ius Constituendum (The Legal Policy of Online Gender Based Violence Regulation: Ius Constitutum and Ius Constituendum Perspective) Puteri Hikmawati
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 12, No 1 (2021): JNH VOL 12 NO 1 JUNI 2021
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v12i1.2124

Abstract

The Covid-19 pandemic requires most people to undertake activities at home using information technology. This condition has an impact on the increasing cases of online gender-based violence (OGBV) against children and women. The handling of OGBV cases using Law No. 11 of 2008 on Electronic Information and Transactions (ITE Law) and/or Law No. 44 of 2008 on Pornography (Pornography Law) is inadequate. This article examines the regulations of OGBV in laws and its application in the criminal justice system and its future regulations in the 2019 Criminal Code Bill and the Bill on the Elimination of Sexual Violence (PKS Bill). This study is written using a qualitative normative juridical research method and expected to improve criminal law knowledge. Based on the results of the study, the legal politics of OGBV regulation in ITE Law and Pornography Law raises multiple interpretations in its implementation. Law enforcement officers use ITE Law and/or Pornography Law against OGBV, where the victim can be made a suspect. This creates legal uncertainty and injustice for victims. The PKS Bill, which contains various types of sexual violence, is a Priority Bill for 2021 but does not explicitly stipulate OGBV. Therefore, OGBV needs to be included as a type of sexual violence in the PKS Bill. The PKS Bill is considered the lex specialis of the Criminal Code. AbstrakPandemi Covid-19 mengharuskan sebagian besar masyarakat beraktivitas di rumah dengan menggunakan teknologi informasi, kondisi tersebut berdampak pada meningkatnya kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) terhadap anak dan perempuan. Penanganan kasus KBGO dengan menggunakan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi belum memadai. Artikel ini mengkaji pengaturan KBGO dalam hukum positif dan penerapannya dalam sistem peradilan pidana serta pengaturannya di masa yang akan datang dalam RUU KUHP 2019 dan RUU PKS. Penulisan artikel dengan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan hukum pidana. Berdasarkan hasil kajian, politik hukum pengaturan KBGO dalam UU ITE dan UU No. 44 Tahun 2008 menimbulkan multitafsir dalam penerapannya. Aparat penegak hukum menggunakan UU ITE dan/atau UU No. 44 Tahun 2008 terhadap KBGO, dimana korban dapat dijadikan tersangka. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi korban. RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual yang memuat berbagai jenis kekerasan seksual merupakan RUU Prioritas Tahun 2021, namun belum juga memuat KBGO secara eksplisit. Oleh karena itu, KBGO perlu dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual dalam RUU PKS. RUU PKS dianggap sebagai lex specialis dari KUHP.
Koherensi Sistem Hukum Pancasila dengan Metode Penalaran Ideologi Pancasila (The Coherence of The Pancasila Legal System with the Ideology Reasoning Method of Pancasila) NUR HIDAYAT; Desi Apriani
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 12, No 1 (2021): JNH VOL 12 NO 1 JUNI 2021
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v12i1.1985

Abstract

The state’s ideology as the fundamental norm must be coherent with the legal system that is built because ideology is the beginning and the end that must be achieved in a state. In fact, in Indonesia, the formation, implementation, and enforcement of the law is not based on Pancasila but is based on and aims at the ideals of liberalism law. This paper aims to analyze the Pancasila legal system with the framework of the Pancasila ideological reasoning method. The author uses a systems approach, semiotics, history, and concepts, using secondary data. Qualitative data analysis was built with analysis-synthetic arguments to conclude. The analysis results show that the reasoning method symbolized on the Garuda Pancasila mandala shield is a form of the concept of balance and pyramidal compounds. The current structure of the Pancasila Law System reasoning method, which is prismatic, is not coherent with the Pancasila method of reasoning, which is actually a pyramidal shape. As a philosophy and State Basic Norms, Pancasila must be derived from the state legal system, so that the Pancasila legal system must be in a pyramidal shape, which places Pancasila as the pinnacle of the formation, implementation, and enforcement of state law. Therefore, the reasoning method of Article 1 paragraph 3 of the 1945 Constitution needs to be amended so that the editorial of the basic legal idea that “Indonesia is a State of Law” will change to “Indonesia is a State of Law of Pancasila”. This change will build a legal paradigm that is genuinely based on Pancasila. AbstrakIdeologi Negara sebagai fundamentalnorm harus koheren dengan Sistem Hukum yang dibangun, karena ideologi merupakan awal dan akhir yang harus dicapai dalam bernegara. Pada kenyataannya, pembentukan, pelaksanaan dan penegakan hukum di Indonesia tidak berdasarkan Pancasila, tetapi berpijak dan bertujuan pada cita hukum liberalisme. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis sistem hukum Pancasila dengan kerangka metode penalaran ideologi Pancasila, dengan menggunakan pendekatan sistem, semiotik, sejarah, dan konsep, dengan menggunakan data sekunder. Analisis data kualitatif dibangun dengan argumen analisis-sintetik, sehingga mendapat sebuah kesimpulan. Hasil analisis menunjukkan bahwa metode penalaran yang disimbolkan pada perisai mandala Garuda Pancasila merupakan suatu bentuk konsep keseimbangan dan persenyawaan yang berbentuk piramidal. Namun, bentuk metode penalaran Sistem Hukum Pancasila saat ini yang berbentuk prismatik, tidak koheren dengan metode penalaran Pancasila yang sebenarnya berbentuk piramidal. Pancasila sebagai falsafah dan Norma Dasar Negara, harus dapat diderivasi ke dalam sistem hukum negara. Dengan demikian, sistem hukum Pancasila harus berbentuk piramidal, yang menempatkan Pancasila sebagai puncak pembentukan, pelaksanaan dan penegakan hukum bernegara. Oleh karena itu, metode penalaran Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 perlu diamandemen, agar redaksi gagasan hukum dasar yang berbunyi ‘Indonesia adalah Negara Hukum’ akan berubah menjadi ‘Indonesia adalah Negara Hukum Pancasila’. Perubahan ini akan membangun paradigma berhukum yang benar-benar berdasarkan Pancasila.
Kedaluwarsa dan Grasi Sebagai Dasar Hapusnya Kewenangan Menjalankan Pidana, Perlukah Diatur Kembali dalam RUU KUHP? (Expiration and Clemency as a Basis for Abolishing Punishment, Does it Need to Be Rearranged in the Criminal Code Bill?) Lidya Suryani Widayati
Jurnal Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Vol 12, No 1 (2021): JNH VOL 12 NO 1 JUNI 2021
Publisher : Pusat Penelitian Badan Keahlian Setjen DPR RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22212/jnh.v12i1.2125

Abstract

Regulations regarding the abolition of the authority to carry out criminal prosecution, namely granting clemency and determining expiration, cause a prosecutor to be unable to execute a court decision against a convicted person. In comparison, the state’s right to impose and execute the convicted person refers to the legitimacy or justification of punishment. Using a normative juridical approach and secondary data, this paper examines the granting of clemency and expiring arrangements to carry out sentences from the perspective of punishment, especially from the purpose of punishment. The results of the study are to determine whether the granting of clemency and the determination of expiration can be rearranged in the Criminal Code Bill. This study aims to analyze the policy of granting clemency and the determination of expiration of carrying out crimes from the perspective of punishment, especially from the purpose of punishment. Referring to the objectives of punishment as formulated in the Criminal Code Bill, there is an inconsistency between the the punishment objectives to be achieved. It is different from the abolition of carrying out a crime because of clemency by the president. Granting clemency is in line with the purpose of punishment, namely to restore balance and create peace in society. With regard to the purpose of punishment as formulated in the Criminal Code Bill, in the discussion of the Bill, the House of Representatives of the Republic of Indonesia (DPR RI) and the government should be able to review the expiration arrangement so that it does not become a basis for abolishing criminal prosecution. AbstrakPengaturan mengenai hapusnya kewenangan menjalankan pidana, yaitu pemberian grasi dan penentuan kedaluwarsa, menyebabkan seorang jaksa tidak dapat mengeksekusi putusan pengadilan terhadap terpidana. Sedangkan hak negara untuk menjatuhkan dan mengeksekusi terpidana mengacu pada legitimasi atau dasar pembenaran dari pidana. Melalui pendekatan yuridis normatif dan dengan menggunakan data sekunder, tulisan ini mengkaji kebijakan pemberian grasi dan penentuan kedaluwarsa menjalankan pidana dari perspektif pemidanaan terutama dari tujuan pemidanaan. Hasil kajian ini untuk menentukan apakah pemberian grasi dan penentuan kedaluwarsa tersebut perlu diatur kembali dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Apabila mengacu pada tujuan pemidanaan sebagaimana dirumuskan dalam RUU KUHP kebijakan pengaturan kedaluwarsa justru tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan yang hendak dicapai. Berbeda dengan hapusnya kewenangan menjalankan pidana karena adanya pemberian grasi oleh presiden. Pemberian grasi sejalan dengan tujuan pemidanaan yaitu untuk memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Terkait dengan tujuan pemidanaan sebagaimana yang telah dirumuskan dalam RUU KUHP maka dalam pembahasan RUU tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah hendaknya dapat mengkaji kembali pengaturan kedaluwarsa agar tidak menjadi dasar hapusnya kewenangan menjalankan pidana.

Page 1 of 2 | Total Record : 11