cover
Contact Name
Vincent Wenno
Contact Email
vincentkalvin@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jurnal.kenosis@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota ambon,
Maluku
INDONESIA
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi
ISSN : 24606901     EISSN : 26564483     DOI : -
Jurnal Kenosis bertujuan untuk memajukan aktifitas dan kreatifitas karya tulis ilmiah melalui media penelitian dan pemikiran kritis analitis di bidang kajian Teologi serta ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan Teologi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial Keagamaan Institut Agama Kristen Negeri Ambon.
Arjuna Subject : -
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol 6, No 2 (2020): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI" : 6 Documents clear
Cara Pandang Guru Kristen terhadap Otoritas dalam Kerangka Kisah Agung Dinda Mawar Sandi; Cathryne Berliana Nainggolan
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 6, No 2 (2020): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v6i2.95

Abstract

The teacher is an influential person in the classroom. The magnitude of this influence is because the teacher has the authority to be responsible in the classroom. However, not all teachers can exercise their authority in the classroom properly. Teachers treat students too hard or too softly in class so that it takes the teacher's role to be able to carry out their duties with the right authority. Teachers will be able to exercise authority properly if they have the right perspective on authority. The purpose of this paper is to explain the importance of a Christian teacher's perspective in exercising authority in the classroom towards students. The research method used is literature review, using books and journals related to the topic. The teacher's authority is the authority given by God the highest authority. The Great Story is a Biblical framework of creation, fall, redemption, and exaltation. Since the beginning of creation, God has given authority to Adam & Eve to rule and maintain the earth. This proves that the teacher's authority is a gift from God that must be worked out. The result of writing this paper is that the Christian perspective on authority is the basis for teachers to exercise their authority. This perspective helps Christian teachers understand the source and purpose of the authority given, which is for the glory of God so that the teacher can exercise his authority properly.AbstrakGuru merupakan pribadi yang berpengaruh di dalam kelas. Besarnya pengaruh tersebut dikarenakan guru memiliki otoritas untuk bertanggung jawab di dalam kelas. Namun demikian, tidak semua guru dapat menjalankan otoritasnya di dalam kelas dengan baik. Guru memperlakukan siswa terlalu keras atau terlalu lembut di kelas sehingga dibutuhkan peran guru untuk dapat menjalankan tugasnya dengan otoritas yang benar. Guru akan dapat menjalankan otoritas dengan benar jika memiliki dasar cara pandang yang benar pula mengenai otoritas. Tujuan dari makalah ini untuk menjelaskan pentingnya cara pandang guru Kristen dalam menjalankan otoritas di kelas terhadap siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah kajian pustaka, dengan menggunakan buku dan jurnal yang terkait dengan topik. Otoritas guru merupakan otoritas yang diberikan oleh Tuhan sang pemegang otoritas tertinggi. Kisah Agung adalah kerangka pikir Alkitab yang terdiri dari penciptaan, kejatuhan, penebusan, dan pemuliaan. Sejak awal penciptaan, Tuhan sudah memberikan otoritas kepada Adam dan Hawa untuk menguasai dan memelihara bumi. Hal tersebut membuktikan bahwa otoritas yang dimiliki guru adalah pemberian Tuhan yang harus dikerjakan. Hasil dari penulisan makalah ini adalah cara pandang Kristen terhadap otoritas adalah dasar guru menjalankan otoritasnya. Cara pandang tersebut membantu guru Kristen memahami sumber dan tujuan otoritas yang diberikan yaitu untuk kemuliaan Allah sehingga guru dapat mempraktikkan otoritasnya dengan benar.
Dari Liturgi Baptisan menuju Liturgi Kehidupan: Menjadi Gereja bagi Perempuan Korban Kawin Tangkap Irene Umbu Lolo
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 6, No 2 (2020): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v6i2.181

Abstract

This article is a feminist liturgical imagination that aims to provide a recovery space for women victims of sexual violence. With the background of women experience as victims of marriage by abduction, this paper presents imaginative theological thoughts using the views of Ruether and Berger in the framework of providing an ecclesiastical ritual in favor of women victims. The church must stand with women victims of sexual violence. The support of the church can be shown through the provision of a liturgical space where women victims can share their experiences and at the same time reclaim one of the important symbols in the Christian liturgy, namely water as a sacred symbol of restoration. This ecclesiastical ritual is a space for women victims to show reversal movements, from circumstances and events where water marks past experiences of violence, to circumstances and events where water marks the present and future experience of healing. AbstrakTulisan ini merupakan suatu imajinasi liturgi feminis yang bertujuan menyediakan ruang pemulihan bagi perempuan korban kekerasan seksual. Dengan dilatari oleh pengalaman korban kawin tangkap, tulisan ini menyuguhkan pemikiran imajinatif teologis dengan menggunakan pandangan Ruether dan Berger dalam kerangka menyediakan suatu ritual gerejawi yang berpihak pada perempuan korban. Gereja mesti berdiri bersama perempuan korban kekerasan seksual. Keberpihakan gereja itu dapat ditunjukkan melalui penyediaan ruang liturgis dengan mana perempuan korban dapat membagi pengalamannya sekaligus mengklaim kembali salah satu simbol penting dalam liturgi Kristen yaitu air sebagai simbol sakral yang memulihkan. Ritual gerejawi ini merupakan ruang bagi perempuan korban untuk menunjukkan gerakan berbalik arah, dari keadaan dan peristiwa di mana air menandai pengalaman kekerasan di masa lampau, menuju keadaan dan peristiwa di mana air menandai pengalaman pemulihan di masa kini dan masa yang akan datang.
Poshumanisme dalam Alkitab: Sebuah Renungan Biblis di Masa Covid-19 Robert Setio
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 6, No 2 (2020): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v6i2.186

Abstract

Anthropocentrism has received many challenges since the publication of the famous article by Lynn White, Jr. in 1967. Yet, since then there has been no significant changes with regard to human attitude towards nature. Human beings still perceive nature as their tool whose existence is to serve their own interests. When the COVID-19 pandemic hits the world, the anthropocentrism is once again challenged. It should be a good opportunity to change the anthropocentrism. The novel corona virus has made people look powerless. It is just a tiny thing, but it has caused a great impact on human life. Despite the fact that the virus often outsmarts human beings, there is no sign that human beings want to admit their weakness. Through reading some biblical stories: the creation of human beings, the naming of animals, Job and the lamb in the Book of Revelation this article wants to deconstruct the view that sees human beings as superior to others in nature. This reading will use posthumanism as theory. It will allow us to see in the stories that human can be subjugated to animals. AbstrakPandangan antroposentrisme telah digugat sejak kemunculan artikel Lynn White, Jr. di tahun 1967. Tetapi sejak itu belum ada perubahan yang signifikan. Manusia masih menempatkan alam sebagai sarana untuk meraih kepentingan dirinya. Ketika pandemi COVID-19 melanda dunia, pandangan antroposentrisme kembali ditantang. Seharusnya ini menjadi kesempatan yang baik bagi manusia untuk mengubah pandangannya itu. Virus corona baru telah membuat manusia kalang kabut. Kehebatan manusia menjadi tidak berarti ketika menghadapi virus yang kecil dan tidak kelihatan itu. Tetapi bukannya menyadari akan kelemahan dirinya dan bersedia membuka diri terhadap kekuatan alam, manusia malah berupaya sedemikian rupa untuk meng-atas-i virus itu. Melalui pembacaan terhadap kisah-kisah Alkitab: penciptaan manusia, Ayub dan Wahyu, tulisan ini akan mendekonstruksi pola pikir yang mengistimewakan manusia di hadapan makhluk lainnya. Teori yang digunakan untuk menafsirkan Alkitab itu adalah poshumanisme. Poshumanisme melihat kedudukan manusia tidak lebih besar daripada makhluk-makhluk lainnya. Kebesaran binatang di hadapan manusia akan terlihat ketika kisah-kisah Alkitab itu dibaca dengan memakai teori poshumanisme.
Analisis Konflik dalam Narasi Pertikaian Sara dan Hagar dalam Kejadian 16:1-16 Sonny Eli Zaluchu; Ayu Aditiarani Seniwati
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 6, No 2 (2020): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v6i2.190

Abstract

Conflict is the central theme in this paper by raising the narrative of the dispute between Sara and Hagar in Genesis 16: 1-16 about the birth of Isaac and Ishmael. This paper aims to discuss the dynamics of the ongoing conflict between Sara and Hagar by relying on narrative and using several contexts close to the central theme. The author uses a narrative approach to discuss and analyze. The dispute between Sara and Hagar was a narrative in the style of the Yahwista writers of Genesis. It can see in the analysis that the narrative writer of the Book of Genesis 16: 1-16 uses conflict as a drive for the plot in composing themes. Abraham did not resolve the dispute. Sara and Hagar could not be reconciled and coexist comfortably. In the end, Hagar expelled by Abraham and went on his way of life. The impact of Abraham's failure to reconcile his two wives led to disharmony of relations between his descendants today in the Middle East. The findings also show that conflict management in this narrative is not visible. Abraham, as the head of the family, could be said to have failed to manage the dynamics of his marriage. But on the other hand, the analysis also concludes that the conflict shows God's intervention to bring about the results of His covenant to Abraham regarding the offspring born from the womb of Sarah, his wife.Abstrak Konflik adalah tema sentral di dalam paper ini dengan mengangkat narasi pertikaian antara Sara dan Hagar di dalam Kejadian 16:1-16 di seputar kelahiran Ishak dan Ismael. Paper ini bertujuan membahas dinamika konflik yang berlangsung antara Sara dan Hagar dengan mengandalkan narasi dan menggunakan beberapa konteks yang dekat dengan tema pokok. Penulis menggunakan metode pendekatan naratif untuk melakukan pembahasan dan analisis. Hal ini dilakukan karena pertikaian Sara dan Hagar adalah sebuah narasi yang menjadi gaya para penulis kitab Kejadian dari kelompok Yahwista. Di dalam analisis, penulis narasi Kitab Kejadian 16:1-16 menggunakan konflik sebagai drive bagi plot di dalam merangkai tema. Bahkan ditemukan fakta bahwa konflik tersebut tidak diselesaikan oleh Abraham. Sara dan Hagar tidak dapat hidup berdampingan dengan nyaman dan damai. Pada akhirnya Hagar diusir oleh Abraham dan menempuh jalan hidupnya sendiri. Dampak dari kegagalan Abraham memperdamaikan kedua istrinya berujung pada ketidakharmonisan hubungan di antara keturunannya hari ini di Timur Tengah. Temuan juga memperlihatkan bahwa manajemen konflik di dalam narasi ini tidak terlihat. Abraham, yang memiliki banyak perempuan dalam statusnya sebagai kepala keluarga, gagal mengelola dinamika di dalam pernikahan yang dijalaninya. Akan tetapi di sisi lain, analisis juga menyimpulkan bahwa konflik tersebut memperlihatkan campur tangan Tuhan untuk mewujudkan hasil perjanjian-Nya kepada Abraham tentang keturunan yang lahir dari rahim Sara. 
Demo(n)s dan Kratos: Kritik Terhadap Praktik Demokrasi dari Kacamata Kekristenan Yoshua Harahap
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 6, No 2 (2020): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v6i2.188

Abstract

Democracy is often glorified as the modern language of an open government, making room for differences, and advocating justice. Primarily when power lays in the hands of the people and not only in several people. This idea was parallel to Christian values. However, behind this noble idea, democracy contains a problem, namely, when it only perpetuates the power of a few people. On behalf of the people, the ruler’s agenda continues to be maintained because democracy opens up opportunities for abuse of power. Demos and kratos easily slip into demons and kratos. This article aims to criticize the practice of contemporary democracy and, at the same time, seeking gaps for the Church’s contribution to maintaining democracy as a tool for flourishing humanity. To achieve that, I suggested three concepts: the Church as a public church, the Church as a counter-culture, and the Church as a liberating community. Through it, the Church can and is encouraged to be active in maintaining democratic values.AbstrakTidak jarang demokrasi diagungkan sebagai bahasa modern dari pemerintahan yang terbuka, memberi ruang bagi perbedaan, dan menjunjung keadilan. Terutama ketika kekuasaan tidak dipegang oleh sebagian orang saja, melainkan di tangan rakyat. Sebuah ide yang sejajar dengan nilai-nilai kekristenan. Namun demikian, di balik gagasan adiluhung tersebut, demokrasi ternyata mengandung permasalahan pelik, yaitu ketika ia justru melanggengkan kekuasaan segelintir orang saja. Atas nama rakyat, agenda kekuasaan terus terpelihara karena demokrasi justru membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan. Demos dan kratos berubah menjadi demons dan kratos, terutama ketika kekuasaan yang dipegang segelintir orang cenderung menjadi kekuasaan yang zalim. Artikel ini mencoba mengkritisi praktik demokrasi tersebut dan juga melihat celah sumbangsih gereja dan kekristenan dalam menjaga demokrasi tetap sebagai reka kehidupan bersama dari, untuk, dan oleh rakyat. Tiga konsep yang ditawarkan adalah gereja sebagai gereja publik, gereja sebagai tenaga penyeimbang, dan gereja sebagai komunitas pembebas menjadi penting karena melaluinya, gereja bisa dan didorong untuk ikut aktif dalam menjaga nilai-nilai demokrasi.
Dari Demokrasi ke Undi: Tinjauan Teologis tentang Undi dalam Alkitab serta Relevansinya bagi Pemilihan Pemimpin Gereja Rut Debora Butarbutar; Raharja Milala; Jeimme Ulin Tarigan
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 6, No 2 (2020): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v6i2.180

Abstract

Democracy is a leader election system in the political world that adopted by the church system, especially  the tribal church based in North Sumatra, to elect the leader of the synod. The system with the most votes, caused the election of synod leader to be coloured by negative issues and actions that hurt the nature of the church. For this reason, this paper offers the lot as an alternative system for electing synod leader. This research uses biblical text analysis with a narrative interpretation approach. The text will be analyzed by paying attention to the meaning and execution system of the lot. Interpretation will be made on 1 Samuel 10: 1-27 from the Old Testament and Acts 1:15-26 from the New Testament. The results of the analysis show that the lot is a leader election system in the biblical tradition and can be used as a new model for choosing a synod leader, particularly churches that are still implementing a democratic system. The lot is a representation of God's election, which is carried out in a confidential, fair and honest manner so as to avoid negative practices and issues in the election of the leader of the synod.AbstrakDemokratis merupakan sistem pemilihan pemimpin dalam dunia politik yang diadopsi oleh gereja, khususnya gereja suku yang berpusat di Sumatera Utara, untuk memilih ketua sinode. Sistem dengan penentuan suara terbanyak, menyebabkan pemilihan ketua sinode kerap diwarnai isu dan tindakan negatif yang mencederai hakikat gereja. Sehubungan dengan itu, tulisan ini menawarkan undi sebagai alternatif sistem pemilihan ketua sinode. Penelitian ini menggunakan analisis teks Alkitab dengan pendekatan penafsiran naratif. Teks akan dianalisis dengan memperhatikan pemaknaan dan sistem pelaksanaan undi. Penafsiran akan dilakukan terhadap 1 Samuel 10:1-27 dari Perjanjian Lama dan Kisah Para Rasul 1:15-26 dari Perjanjian Baru. Hasil analisis menunjukkan bahwa undi merupakan sebuah sistem pemilihan pemimpin yang terdapat dalam tradisi Alkitab dan dapat dijadikan sebagai model baru dalam memilih ketua sinode, khususnya gereja yang masih melakukan sistem demokratis. Undi merupakan representasi pemilihan Allah yang pelaksanaannya bersifat rahasia, adil dan jujur, sehingga dapat menghindarkan praktik dan isu negatif dalam pemilihan ketua sinode. 

Page 1 of 1 | Total Record : 6