cover
Contact Name
nurbaedah
Contact Email
mizanjurnalilmuhukum@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
mizanjurnalilmuhukum@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota kediri,
Jawa timur
INDONESIA
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum
ISSN : 23017295     EISSN : 26572494     DOI : -
Core Subject : Religion, Social,
Jurnal MIZAN terbit 2 (dua) kali dalam setahun pada bulan Juni dan Desember dimaksudkan sebagai sarana publikasi karya ilmiah para pakar, peneliti dan ahli dalam bidang yang terkait dengan masalah ilmu hukum.
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum" : 10 Documents clear
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA Emi Puasa Handayani; Widodo Hariawan
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i1.501

Abstract

Penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum bagi Anak yang melakukan Tindak Pidana” ini bertujuan ntk menganalisis terhadap faktor penyebab anak melakukan tindak pidana dan menganalisis bentuk perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana. Metode pendekatan ini adalah yuridis normatif, serta analisis bahan hukum yang di pergunakan dalam penelitian jurnal ilmiah ini adalah analisis yuridis kualitatif yaitu analisis yang mendasar atau tertumpu pada penalaran hukum (legal reasoning), intrepesi hukum (legal intepretation), dan argumentasi hukum (legal argumentation) dengan secara runtut. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa faktor penyebab terjadinya anak melakukan tindak pidana adalah faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor lingkungan, faktor lemahnya penegakan hukum dan juga faktor dari kelalaian orang ta dalam mendidik anak. Dapat disimpulkan bahwa terdapat faktor internal maupun eksternal yang sekaligus menjadi penyebab terjadinya seorang anak melakukan tindak pidana yaitu : 1) Faktor Internal merupakan faktor faktor yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri, yang meliputi : salah asuhan, salah didikan dari orang tua sehingga anak menjadi manja atau sebaliknya dan lemahnya mental pada diri anak tersebut, faktor dalam berkumpul dengan teman dan sebagainya; 2) Faktor Eksternal merupakan faktor keluarga, faktor lingkungan sekolah, faktor lingkungan pergaulan dan sebagainya. Perlindungan hukum bagi anak yang tertang dalam pasal 34 Undang-undang Dasar tahun 1945 yang menegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar di pelihara oleh Negara”. Hal ini menunjukan bahwa perhatian serius bagi pemerintah terhadap hak-hak anak dan perlindungannya, terutama bagi anak pelaku tindak pidana. Perlindungan bagi anak pelaku tindak pidana harus benar-benar di perhatikan secara serius. Perlindungan hukum tersebut meliputi beberapa konsep yaitu : 1) Konsep Restorative Justice, yaitu sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan; 2) Konsep Diversi, yaitu suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim.
PROBLEMATIKA HUKUM KAMPANYE PEMILIHAN WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA BLITAR TAHUN 2015 Sholahuddin Fathurrahman; Ardian Prabowo
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i1.492

Abstract

Tujuan penelitian mengidentifikasi penyebab maupun implikasi hukum pelanggaran kampanye Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Blitar Tahun 2015. Metode penelitian adalah yuridis normatif. Pelanggaran kampanye yang terjadi yaitu, pasangan calon dan/atau tim kampanye mencetak dan memasang alat peraga kampanye, pemasangan alat peraga kampanye tanpa mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan dan keindahan kota, serta pemasangan alat peraga kampanye pada lembaga pendidikan. Penyebab terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan kampanye Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Blitar Tahun 2015, antara lain Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye kurang mentaati Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2015 dan juga kurangnya sosialisasi peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan kampanye. Implikasi hukum terhadap pelanggaran atas larangan ketentuan pemasangan Alat Peraga Kampanye dikenai sanksi sebagaimana diatur pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2015, pasal 72. Kesimpulannya, pelaksanaan kampanye pada Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Blitar Tahun 2015 belum sesuai sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2015.
KAJIAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 21 AYAT 1 KITAB UNDANG UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) TENTANG PENAHANAN ATAU PENAHANAN LANJUTAN Karyoto Karyoto; Oktabilla Ayu Lestari
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i1.497

Abstract

because suspects or defendants are particularly vulnerable to violations of their human rights, especially in the context of law enforcement. The suspect or defendant is in the position of the examination object in the process. All series of processes, whether in the examination phase of witnesses, expert examinations, evidence collection, and other evidence collection, are directed to a suspect or defendant, either to convict or not to be guilty The aims of this study are: (1) To know the meaning of the obscurity of the norm in the sentence "in the case of a concerning circumstance" contained in Article 21 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code on detention or continued detention. (2). To know and to learn the racial / basic establishment in the provisions of Article 21 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code which contains "anxiety condition" in the case of further detention or detention. This research method uses conceptual approach, statute approach and historical approach. The results of the study are: Arrangement of continued detention and detention in the Criminal Procedure Code is highly subjective and tends to have a very wide and unlimited interpretation. This is a blatant disregard for the legal norms governing the detention and continued detention. Detention refers to the provisions of Article 21 of the Criminal Procedure Code requiring a further detention or detention order be made against a suspect or defendant allegedly committing a crime on the basis of sufficient evidence and escape concerns, removing evidence or reprising his crime. In the provisions of that article is contained subjective opportunities for resistance to a person. Worry obviously depends on the subjective feeling of the investigator, prosecutor or judge. The absence of the parameters in the phrase "circumstances of concern" that are not explicitly regulated, both within the Criminal Procedure Code itself and in its implementing rules, are particularly vulnerable to human rights violations, especially to suspects or defendants held without filled first in circumstances that cause concern in advance.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN Darin Arif Mu'alifin; Dwianto Jati Sumirat
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i1.493

Abstract

Tindak pidana pencabulan terhadap anak merupakan kejahatan yang melanggar moral, susila dan agama. Dampak tindak pidana ini terhadap anak adalah menimbulkan trauma fisik dan psikis terhadap korban terutama yang berusia anak-anak sehingga bisa berpengaruh pada perkembangan diri korban ketika dewasa nanti. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinga tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur?, (2) Bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur? (3) Bagaimana perlindungan hukum bagi anak sebagai korban kejahatan tindak pidana pencabulan. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: Faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan mempengaruhiterjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur yaitu: faktor rendahnya pendidikan dan ekonomi, faktorlingkungan atau tempat tinggal, faktor minuman (berakohol), faktorteknologi dan faktor peranan korban dalam ranah etiologi kriminologidapat di dikategorikan pada teori yang tidak berorientasi pada kelas sosial.Upaya untuk menanggulangi tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pencegahan dan penanggulangan jika tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur terlanjur terjadi. Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun revresif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dan perlindungan hak asasi manusia serta instrument penyeimbang. Dari sinilah dasar filosofis dibalik pentingnya korban kejahatan (keluarganya) memperoleh perlindungan.
PERANAN KETERANGAN SAKSI / AHLI DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UNTUK MENUJU TERANGNYA KEADILAN DALAM PROSES HUKUM DI INDONESIA Gigik Tri MR; Nurbaedah Nurbaedah
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i1.498

Abstract

Pada masa HIR (Herziene Inlands Reglement), Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.Peranan keterangan ahli dalam pemeriksaan perkara pidana dapat dilihat pengaturannya dari dua jenis ketentuan undang-undang yaitu menurut HIR (Herziene Inlands Reglement) dan menurut KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana). Dalam HIR, keterangan ahli tidak termasuk alat bukti dalam pembuktian perkara pidana. Menurut Pasal 80 HIR menyatakan bahwa menjadi saksi dalam suatu perkara pidana itu merupakan suatu kewajiban dan apabila dilalaikan ada sanksinya, akan tetapi tidak semua orang wajib menjadi saksi. Tiap-tiap orang yang tidak dikecualikan dalam undang-undang. Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dasar hukum bagi pemeriksaan ahli dalam tingkat penyidikan jelas terlihat dalam Pasal 120 KUHAP. Dimana penyidik dapat meminta pendapat seorang ahli dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara ditingkat penyidikan, Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindah pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut.
PEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI Netty Endrawati; Dyah Permatasari
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i1.494

Abstract

Pemberian remisi terhadap narapidana korupsi terdapat suatu pengetatan untuk mendapatkan remisi. Dengan adanya pengetatan pemberian remisi bagi narapidana koruptor masih saja terdapat pro dan kontra. Untuk itu penulis menganalisis syarat pemberian remisi terhadap koruptor apakah bertentangan atau tidak bertentangan dengan pengaturan pemberian remisi pada Undang-undang tentang Pemasyarakatan serta kesesuaian dengan teori tujuan pemidanaan. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Syarat pengetatan pemberian remisi koruptor apabila tetap dipertahankan dan tidak mengubah aturan dari Undang - undang tentang Pemasyarakatan, maka dikatakan telah bertentangan dengan Undang - undang tentang Pemasyarakatan. Terkait dengan pemberian remisi bagi narapidana pelaku tindak pidana korupsi jika ditinjau dari teori tujuan pemidanaan terdapat dua pemikiran dalam hal itu. Kesimpulan dilihat dari sudut hierarki peraturan perundang-undangan maka pengaturan syarat pemberian remisi koruptor dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 bertentangan dengan Pasal 5 Undang – undang tentang Pemasyarakatan.
PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH SEBAGAI BUKTI KEPEMILIKAN TANAH (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Blitar Nomor 70/Pdt.G/2016/PN. Blt) Zainal Arifin; Muhammad Ihsan Muhlashon
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i1.499

Abstract

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Putusan Pengadilan Negeri Blitar nomor 70/Pdt.G/2016/PN. Blt, apabila ditinjau dari aspek Hukum Tanah Nasional, perlindungan hukum bagi para pihak yang memegang tanda bukti kepemilikan hak atas tanah (sertipikat) dan untuk mengetahui keabsahan pemecahan Sertipikat Hak Milik No. 769 yang masih menjadi obyek perjanjian hutang piutang dengan kreditur Koperasi Satria Jaya menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dan pertanggungjawaban institusi pemerintahan yang menerbitkan akta-akta sebagai syarat peralihan hak kepemilikan tanah (sertipikat) yang ternyata bermasalah. Metode yang digunakan adalah yuridis empiris adalah suatu pendekatan yang dilakukan untuk menganalisa tentang sejauh manakah suatu perundang-undangan/peraturan atau hukum yang sedang berlaku secara efektif. Hasil penelitian dapat diketahui bahwa : 1) Putusan Pengadilan Negeri Blitar nomor 70/Pdt.G/2016/PN. Blt apabila ditinjau dari aspek Hukum Tanah Nasional hanya menitik beratkan pada proses hukum peralihan hak kepemilikan tanah sebelum munculnya sertifikat dalam hal jual belinya, maka jual beli obyek yang lain adalah batal demi hukum sesuai Pasal 26 (2) UU Pokok Agraria, karena pengadilan negeri hanya berkompetensi mengadili Perbuatan Hukumnya ( Wan prestasi dan PMH) sedangkan pembatalannya adalah wilayah PTUN kemudian di ekskusi oleh institusi yang berwenang (BPN), 2) Perlindungan hukum bagi para pihak yang memegang tanda bukti kepemilikan hak atas tanah (sertipikat) setelah adanya putusan dari Pengadilan Negeri Blitar, masih harus meneruskan proses hukum yang panjang, karena : a) jika terbukti cacat hukum dalam prosesnya maka kepemilikan tanah tersebut dapat dibatalkan, dan upaya hukum bisa dilakukan menuntut pidana atau perdata kepada penjual/pemilik yang tidak beri’tikad baik; b) Pengadilan Negeri hanya dapat mengadili sesuai dengan kompetensi peradilan dan hukum acara dalam pemeriksaan di persidangan yang tidak bisa di abaikan. 3) Pertanggungjawaban institusi pemerintahan yang menerbitkan akta-akta dalam proses peralihan hak atas tanah yang ternyata bermasalah seharusnya dapat dimintakan pertanggungjawaban perdata, dan tuntutan ganti rugi. Selain itu Sistem Publikasi yang digunakan dalam pendaftaran tanah menurut UUPA no 5 Tahun 1960 dan PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah sistem negatif yang bertendensi positif, sebelum ada gugatan karena merasa dirugikan maka proses peralihan akan tetap dilanjutkan (asas “nemo plus yuris”), Dari hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sertipikat adalah sebagai alat bukti yang kuat dan sah terhadap kepemilikan tanah namun belum absolut/mutlak sehingga harus ada perlindungan hukum terhadap pemegangnya.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK MENURUT PASAL 27 AYAT (3) UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE) Bambang Sutrisno; FX Bhirawa Braja Paksa
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i1.495

Abstract

Penggunaan teknologi internet juga tidak dapat dipungkiri membawa dampak negatif yang tidak kalah banyak dengan manfaat positif yang ada. Internet dapat menimbulkan kejahatan seperti pengancaman, pencurian, pencemaran nama baik, pornografi, perjudian, penipuan hingga tindak pidana terorisme. Melalui media internet beberapa jenis tindak pidana tersebut dapat dilakukan secara online oleh individu maupun kelompok dengan resiko tertangkap yang sangat kecil dengan akibat kerugian yang lebih besar baik untuk masyarakat maupun negara. Fenomena tindak pidana teknologi informasi merupakan bentuk kejahatan yang relatif baru apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kejahatan lain yang sifatnya konvensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Modus operandi yang dilakukan oleh pelaku tindak pencemaran nama baik melalui media sosial, merupakan salah satu cerminan bahwa masyarakat Indonesia belum memahami makna penggunaan media sosial secara baik dan bertanggung jawab. Selain mempunyai hak kita juga harus mengetahui kewajiban apa saja yang harus kita laksanakan sebelum mendapatkan hak tersebut, sama halnya dengan menggunakan media sosial, penggunaan media sosial merupakan hak tiap-tiap masyarakat pada saat ini, namun sebagai penggunanya tentu kita juga harus mengetahui kewajiban untuk mengharagai orang lain. Banyaknya modus operandi yang digunaan oleh pelaku cyber crime, maka perlunya kehati-hatian dalam menggunakan media sosial agar kita tidak menjadi salah satu dari pelaku yang dapat merugikan orang banyak. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak diatur secara jelas memahami batasan dalam kebebasan berpendapat. Jika kita melihat impelementasinya seakan-akan diatur, maka jelas bahwa kita benar-benar membutuhkan aturan yang baru tentang tindak pidana pencemaran nama baik dalam undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bagi masyarakat harus lebih mehami arti kebebasan berpendapat yang diberikan oleh negara, dan menggunakan kebebasan tersebut dengan bertanggung jawab. Bukan untuk membatasi kebebasan tersebut melainkan untuk memberi peringatan atau tindakan Preventif bagi masyarakat agar lebih berhati-hati dalam menggunakan media sosial dalam berkomunikasi dan memberikan tindakan Represif bagi pelaku tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial.
PELAKSANAAN EKSEKUSI SERTIPIKAT HAK TANGGUNGAN DALAM UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PENGADILAN NEGERI Yagus Suyadi; Puji Prastiyo
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i1.500

Abstract

Dalam lingkungan perbankan suatu kredit digolongkan sebagai kredit macet adalah semenjak tidak ditepatinya atau dipenuhinya ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kredit, yaitu apabila debitur selama tiga kali berturut-turut tidak membayar angsuran dan bunganya. Salah satu cara untuk mengatasi adanya kredit macet tersebut, maka jalan yang paling efektif ditempuh oleh pihak bank dalam rangka mengembalikan uang yang di pinjamnya adalah dengan cara melalui eksekusi terhadap sertipikat hak tanggungan sebagai mana di atur dalam undang-undang No 4 tahun 1996. Bentuk eksekusi adalah parate executie, bahwa pelaksanaan parate executie merupakan cara termudah dan sederhana bagi kreditor untuk memperoleh kembali piutangnnya, manakala debitor cidera janji dibandingkan dengan eksekusi yang melalui bantuan atau campur tangan Pengadian Negeri. Tujuan penulisan tesis ini adalah: (1) Untuk menganalisa Pengadilan Negeri dalam menjalankan eksekusi hak tanggungan. (2) Untuk menganalisa akibat hukum yang timbul sebagai konsekuensi dari tugas Pengadilan Negeri dalam menjalankan eksekusi jaminan Hak Tanggungan untuk menyelesaikan kredit macet. Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif. Dalam penelitian ini juga digunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach) yaitu penulis ingin menganalisa tentang pelaksanaan eksekusi sertifikat hak tanggungan dalam upaya penyelesaian kredit macet di pengadilan Negeri kemudian seluruh data yang ada dianalisa secara deskriptif kualitatif sehingga mendapat jawaban kesimpulan akhir dari rumusan masalah penelitian yang diteliti. Hasil penelitian dalam tesis ini adalah: (1) Pengadilan Negeri dalam menjalankan eksekusi sertifikat hak tanggungan tidak saja meliputi sebagaimana ketentuan yang diamanatkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, Pasal 224 HIR/258 RBg, juga mamberikan pertimbangan hukum terhadap kreditor dan debitor. Kemudian dalam menyikapi permasalahan mengenai eksekusi Hak Tanggungan tersebut dengan berlandaskan pada ketentuan Pasal 218 (2) RBg maka dalam hal debitor/ termohon lelang tidak bersedia keluar dari obyek Hak Tanggungan atau jaminan atau barang yang dilelang maka cukup mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dilakukan eksekusi pengosongan dan hal ini dalam beberapa kesempatan telah dilaksanakan dan berjalan dengan baik, sekalipun dalam proses atau pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan tersebut salah satunya dilakukan dengan bantuan kekuatan hukum. (3) Akibat hukum yang timbul sebagai konsekuensi dari tugas Pengadilan Negeri dalam menjalankan eksekusi jaminan Hak Tanggungan untuk menyelesaikan kredit macet adalah debitor harus patuh untuk melunasi hutangnya, bila tidak patuh maka dipaksa melalui lelang, cekal dan atau paksa badan dan kalau keberatan terhadap eksekusi dapat mengajukan gugatan, sedangkan terhadap kreditor/bank yang tidak puas atas pengurusan hah tanggungan dapat mengurus sendiri piutangnya, serta terhadap Pihak Ketiga yang keberatan dapat mengajukan perlawanan (derdenverzet).
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DALAM PERADILAN PIDANA Edy Suwito; Mulyadi Aribowo
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i1.496

Abstract

This study aims to determine the extent to which legal protection and obstacles faced against the victims of rape in criminal justice in Blitar district court. The context of legal protection against victims of crime (criminal act of rape) is by preventive or repressive efforts conducted by both society and law enforcement officers such as providing protection from various threats that can endanger the life of the victim. The research used is juridical normative and juridical empirical research. Research location in Blitar District Court. The materials used in literature study are data collection through literature study, and field research involves interviewing informant. Based on the result of the research, the researcher got the answer that, the legal protection against the victims of criminal act of rape in criminal court in Blitar state court still caused many difficulties in settling either at the investigation stage until the victim was present in the court, because the psychic pressure in victims questioned. This of course affects the mental / psychological development of the victims and also affects the law enforcement process itself to bring about a sense of justice for victims and society.

Page 1 of 1 | Total Record : 10