cover
Contact Name
M. Riza Pahlefi
Contact Email
riza.pahlefi@uinbanten.ac.id
Phone
+6285383592121
Journal Mail Official
syakhsia@uinbanten.ac.id
Editorial Address
Jl. Jenderal Sudirman No. 30 Ciceri Serang Banten
Location
Kota serang,
Banten
INDONESIA
Syaksia : Jurnal Hukum Perdata Islam
ISSN : 2085367X     EISSN : 27153606     DOI : https://dx.doi.org/10.37035/syakhsia
Syakhsia: Jurnal Hukum Perdata Islam, is an open access and peer-reviewed journal published biannually (p-ISSN: 2085-367X and e-ISSN: 2715-3606). It publishes original innovative research works, reviews, and case reports. The subject of Syakhsia covers textual and fieldwork with various perspectives of Islamic Family Law, Islam and gender discourse, and legal drafting of Islamic civil law.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 20 No 1 (2019): Januari-Juni" : 9 Documents clear
Pembaharuan Hukum Keluarga Di Maroko Usman Musthafa
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 20 No 1 (2019): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v20i1.1984

Abstract

Pembaharuan Hukum Islam yang, sebelumnya masih termaktub dalam kitab-kitab fiqh, menjadi undang-undang adalah sebuah prestasi bagi umat Islam. Hukum Islam yang termuat dalam kitab-kitab fiqh ini, sebenarnya telah menjadi hukum yang hidup (living law) dalam kehidupan umat Islam, beberapa abad lamanya. Tetapi upaya untuk melakukan pembaharuan (kodifikasi) dalam suatu kitab undang-undang, baru dimulai di Turki, Majallah al-Ahkam al-Adliyah. Pembaharuan hukum Islam yang dimulai di Turki, ternyata berpengaruh besar terhadap negara-negara Islam yang baru merdeka pada pertengahan abad ke-20, seperti Maroko. Prosesnya, mengikuti madzhab setempat yang dianut oleh masharakatnya. Upaya untuk melakukan pembaharuan hukum Islam sebagai Undang-undang sebenarnya merupakan wewenang umat Islam, melalui para ulama, cendekiawan dan umara atau pemegang kuasa politik. Tetapi yang disebutkan terakhir lebih kompeten ketimbang ulama dan cendikiawan, dalam melakukan pembaharuan hukum yang relevan dengan kehidupan sosial umat. Dan dalam kasus Maroko berarti perundang-undangan tersebut dibentuk berdasarkan madzhab Maliki. Karenanya, tulisan ini akan membahas implikasi kuasa politik terhadap pembaharuan hukum keluarga di Maroko? Berdasarkan bacaan dari literatur yang ada dapat disimpulkan bahwa kuasa politik berpengaruh terhadap pembaharuan hukum Keluarga yang, semula masih termuat dalam kitab-kitab fikih menjadi undang-undang yang implementatif; Upaya menjadikan hukum Islam yang termuat dalam kitab-kitab menjadi undang-undang yang implementatif, diperlukan political will dari pemerintah, jika tidak, maka upaya itu akan menjadi sia-sia; Sistem hukum keluarga di Maroko dipengaruhi oleh sistem hukum Prancis, karena pernah menjadi negara protektorat Prancis.
Relasi Orangtua dan Anak Paska-Menikah dalam Islam Uup Gufron
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 20 No 1 (2019): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v20i1.1985

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengurai hubungan orangtua dan anak setelah menikah. Relasi orangtua dan anak paska-menikah menjadi penting untuk diperbincangkan dan diuraikan mengingat hal ini untuk menjawab bagaimanakan Islam mengatur hubungan orangtua dan anak setelah mereka menikah dan bagaiana pula hak dan kewajiban orangtua dalam mendidik anak, menantu, dan cucu. Artikel ini merupakan analisis diskriptif yang merupakan studi literasi. Studi yang digunakan adalah kehidupan Rasulullah dengan Fatimah Azzahra, Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, dan Husen bin Ali. Hasil dari analisis ini menunjukkan bahwa (1) orangtua masih punya kewajiban untuk mendidik, mengarahkan dan membimbing anak, menantu dan cucu; (2) orangtua juga berkewajiban untuk menjaga keharmonisan rumahtangga anakanaknya; (3) seorang anak masih berkewajiban untuk menafkahi orangtuanya meskipun sudah menikah; (4) nilai-nilai yang dibangun dalam relasi orangtua dan anak paska-menikah adalah saling kenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum), dan saling menolong (tafakul).
Analisis Komparatif Kewarisan Mafqud (Orang Hilang) Berdasarkan Hukum Islam dan KUH Perdata Mirna Riswanti
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 20 No 1 (2019): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v20i1.1986

Abstract

Dalam kajian Hukum Islam (fiqh) orang hilang disebut “mafqud” yaitu orang yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup-matinya. Orang ini, sebelumnya pernah hidup dan tidak diketahui secara pasti apakah masih hidup atau meninggal. Orang hilang menjadi persoalan dalam hukum kewarisan karena kepastian hidup atau meninggal itu merupakan syarat pokok dalam kewarisan. Dalam kewarisan disyaratkan kepastian kematian pewaris dan kepastian status hidupnya pewaris saat pewaris meninggal dunia. Sedangkan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW) telah mencantumkan penjelasan mafqud (orang hilang) pada pasal 463. KUH Perdata tidak menggunakan istilah mafqud, akan tetapi menggunakan istilah “orang yang diperkirakan telah meninggal dunia” atau “seseorang yang tak hadir”. Pada pasal 463 KUH Perdata menjelaskan orang yang tidak hadir adalah orang-orang yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang relatif lama, tanpa menunjuk orang lain untuk mewakili dan mengurus kepentingannya. Perumusan masalahnya adalah: Bagaimana pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) dalam Hukum Islam ? Bagaimana pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) dalam KUH Perdata ? Bagaimana relevansi pengaturan sistem kewarisan orang hilang (mafqud) antara Hukum Islam dan KUH Perdata ? Tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui bagaimana pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) dalam Hukum Islam. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) dalam KUH Perdata. Untuk mengetahui bagaimana relevansi pengaturan sistem kewarisan orang hilang (mafqud) antara Hukum Islam dan KUH Perdata. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan (library research) dengan pendekatan kualitatif. Seluruh data dianalisis secara deduktif komparatif yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman, karena data yang dibutuhkan dari penulisan skripsi ini yaitu dengan mencari buku-buku sebagai sumber datanya atau data penelitian dari penulisan penelitian ini yaitu dengan mencari data pustaka atau dokumen. Kesimpulannya bahwa pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) dalam hukum Islam, apabila Hakim (Qādhi) sudah memutuskan bahwa orang hilang (mafqud) telah meninggal, maka harta warisan orang hilang (mafqud) boleh dibagikan kepada ahli warisnya. proses pembagian hartanya hanya sebagian yang dibagikan kepada ahli waris dan sisanya ditangguhkan karena ditakutkan seseorang yang hilang (mafqud) tersebut kembali, apabila memang benar-benar orang hilang (mafqud) telah wafat maka harta yang telah ditangguhkan tersebut dibagi rata kembali kepada ahli warisnya. Sedangkan pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) dalam KUH Perdata, tercantum dalam pasal 478 KUHPerdata yaitu para ahli waris boleh membagikan harta peninggalan dari orang yang diperkirakan hilang yang telah mereka kuasai, dengan memperhatikan peraturan mengenai pemisahan harta peninggalan. Untuk mencapai suatu pembagian, barang-barang yang tak bergerak tidak diperbolehkan menjualnya, melainkan sekiranya tidak dapat dibagi, atau tak dapat dimasukkan dalam sesuatu kavling, barang-barang tersebut harus ditaruh dalam suatu penyimpanan, sedangkan pendapatannya akan dapat dibagikan menurut persetujuan mereka. Persamaan dan perbedaan tentang relevansi pengaturan system kewarisan orang hilang (mafqud) antara hukum Islam dan KUHPerdata adalah sebagai berikut : a. Persamaan, sama halnya dengan Hukum Islam dalam Hukum Perdatapun jika seseorang belum ditetapkan sudah meninggal oleh Qādhi (Hakim) maka harta warisannya tidak boleh dibagikan kepada ahli warisnya. Begitupun sebaliknya apabila Hakim (Qādhi) sudah memutuskan bahwa orang hilang (mafqud) telah meninggal maka harta warisan tersebut boleh dibagikan kepada ahli warisnya. b. Sedangkan perbedaan pengaturan kewarisan orang hilang (mafqud) berdasarkan hukum Islam dan KUH Perdata terletak pada penentuan batas waktu status berapa lamanya orang hilang (mafqud) tersebut hilang, karena batas waktu untuk menentukan seseorang yang hilang (mafqud) tersebut sangat mempengaruhi dalam pembagian harta ahli waris.
Cara Penyelesaian Wasiat Wajibah Menurut Ibnu Hazm dan Hazairin Ana Maelah
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 20 No 1 (2019): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v20i1.1987

Abstract

Bahwasannya Wasiat Wajibah Merupakan :Wasiat yang pemberiannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada mayit, karena pemberiannya diperuntukan kepada cucu yang ketika orang tua nya meninggal dunia, sedangkan menurut KHI: bahwasannya Wasiat Wajibah diberikan kepada orang tua angkat dan anak angkat, dan cara penyelesaian wasiat wajibah menurut Ibnu Hazm dan Hazairin. Perumusan Masalah dari penelitian ini adalah (1).Bagaimanakah cara penyelesaian wasiat wajibah menurut Ibnu Hazm, (2)Bagaimanakah cara penyelesaian wasiat wajibah menurut Hazairin, dan (3)Bagaimanakah perbandingan wasiat wajibah menurut Ibnu Hazm dan Hazairin. Tujuan Penelitian dari skripsi ini adalah : (1) untuk mengetahui cara penyelesaian wasiat wajibah menurut Ibnu Hazm. (2) untuk mengetahui cara penyelesaian wasiat wajibah menurut Hazairin. (3) untuk mengetahui perbandingan wasiat wajibah menurut Ibnu Hazm dan Hazairin. Metode Penelitian yang penyusun gunakan dalam penelitian adalah , Deskriptif – Analitik yaitu memaparkan dan menganalisa secara terperinci 1mengenai wasiat wajibah untuk cucu serta anak angkat dan orangtua angkat, dengan pendekatan normatif pendekatan yang menggunakan rumusan-rumusan berdasarkan Al-Qur’an dan Assunah dengan cara menemukan ayat Al-Qur’an, Hadis-hadis dan kaidah –kaidah fikih yang berhubungan dengan Wasiat wajibah kemudian dianalisis. Dari penelitian ini dapat disimpulkan pertama wasiat wajibah menurut Ibnu Hazm : adalah wasiat yang di berikan kepada cucu yang tidak mendapatkan warisan yaitu ahli waris pengganti dari orang tuanya yang meninggal dunia.yaitu dengan mendapatkan 1/3 harta peninggalan. Sedangkan menurut (KHI) : yaitu yang mendapatkan wasiat wajibah adalah anak angkat dan orangtua angkat, yang tidak menerima warisan maka di beri wasiat wajibah yaitu 1/3 harta peninggalan.dan perbandingan dari wasiat wajibah menurut hukum Islam dan hukum positif adalah hanya pemberian nya saja.kepada siapa yang berhak mendapatkan wasiat wajibah.
Proses Pernikahan Menurut Lembaga Dakwah Kampus Ummul Fikroh UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Raikah Damayanti
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 20 No 1 (2019): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v20i1.1988

Abstract

Kata “proses” menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), memiliki arti ”runtunan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu.” Sedangkan kata “nikah” ialah “ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agma. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan manusia. Proses pacaran merupakan cara yang biasa dilakukan masyarakat Indonesia pada umumnya, termasuk masyarakat yang beragama Islam dalam mengenal dan memilih calon pasangan. Walaupun demikian, tidak sedikit pasangan yang memutuskan sendiri untuk menikah tanpa melalui proses pacaran,tanpa ada paksaan atau campur tangan dari pihak lain. Salah satunya adalah dengan proses ta‟aruf. Pernikahan tanpa pacaran ini dilakukan baik dengan pasangan pilihan sendiri maupun dengan orang yang dijodohkan oleh ustadznya. Fenomena ini banyak terjadi dikalangan mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Lembaga Dakwah Kampus atau yang sering disingkat LDK. Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1).Bagaimana proses pernikahan menurut lembaga dakwah kampus ummul fikroh? 2).Adakah hambatan pelaksanaan proses pernikahan lembaga dakwah kampus ummul fikroh? Tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui proses pernikahan menurut lembaga dakwah kampus ummul fikroh. Untuk mengetahui hambatan dalam melaksankan pernikahan menurut lembaga dakwah kampus ummul fikroh. Metode Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif merupakan salah satu dari jenis penelitian yang termasuk dalam jenis penelitian kualitatif Dari penelitian ini dapat disimpulkan: 1) Pernikahan menurut Lembaga Dakwah Kampus Ummul Fikroh UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten pada prinsipnya tidak berbeda dengan proses pernikahan yang telah disyari‟atkan dalam Islam. Rukun dan syarat pernikahan sama dengan ketentuan yang telah diundangundangkan di Indonesia. Rukun pernikahan yang terdiri dari mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, dua orang saksi dan ijab kabul, sama sekali tidak berbeda. Perbedaan proses pernikahan ini terletak pada proses pemilihan jodoh atau perjodohan, dimana mereka tidak mengenal istilah pacaran, mereka percaya bahwa kebarokahan sebuah pernikahan bisa dicapai salah satunya dengan menjaga proses pernikahan itu. Mulai dari ta‟aruf, hingga selesai terselenggaranya walimatul „ursy. 2) Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan proses ta‟aruf yang dijalani anggota Lembaga Dakwah Kampus terdapat berbagai hambatan yang dapat menyebabkan proses ta‟aruf berlangsung tidak lancar. Hambatan yang terjadi dalam proses ta‟aruf yang dialami informan dalam penelitian ini juga berbeda-beda. (a) Berkaitan dengan waktu yang digunakan dalam proses ta‟aruf lebih lama. (b) Restu orangtua karena belum paham dengan proses ta‟aruf itu sendiri. (c) Proses perkenalan yang dilakukan secara malu dan kurang terbuka menyebabkan kesulitan mengenali watak dan karakter pasangan.
Konsepsi Halal dalam Hukum Islam Ahmad Harisul Miftah
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 20 No 1 (2019): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v20i1.1981

Abstract

Secara bahasa, halal adalah terminology normatif yang memiliki fungsi dogmatis, yaitu identitas internal yang menggambarkan polaritas keagamaan yang pure dan natural. Istilah halal adalah legitimasi keagamaan yang diproyeksikan memberikan pandangan agama secara positif tentang suatu perilaku manusiawi baik berupa tindakan, ucapan, maupun sikap-sikap atas suatu benda bernyawa. Terdapat 10 prinsip halal haram yang digunakan dalam memandang konsepsi halal yang terdapat dalam hukum Islam. 1) Hukum asal segala sesuatu adalah diperbolehkan, 2) Menetapkan halal haram semata-mata merupakan hak Allah, 3) Mengharamkan perkara halal dan menghalalkan perkara haram sama saja dengan menyekutukan Allah, 4) Mengharamkan perkara yang telah ditetapkan halal hanya akan menimbulkan keburukan dan kemadaratan, 5) Perkara yang halal tidak membutuhkan perkara yang haram, 6) Sesuatu yang mengantarkan kepada perkara haram, maka sesuatu itu adalah haram, 7) Menyiasati perkara haram hukumnya adalah haram, 8) Niat yang baik tidak dapat membebaskan perkara yang haram, 9)Tujuan menjauhi perkara syubhat adalah takut terjatuh pada perkara haram, 10) Perkara yang haram berlaku untuk semua orang.
Akibat Hukum Penolakan Itsbat Nikah Terhadap Hak Keperdataan Anak Aenatul Mardiyah
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 20 No 1 (2019): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v20i1.1989

Abstract

Itsbat Nikah adalah penetapan atas perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri yang telah melakukan perkawinan sesuai dengan ketentuan agama Islam yaitu syarat dan rukun nikahnya terpenuhi, tetapi perkawinan ini tidak dicatat di KUA dan di kantor pencatatan nikah akibatnya perkawinan ini tidak terdaft1ar dan dianggap tidak memiliki kekuatan dimata hukum karena tidak memiliki akta nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat 3 ada beberapa hal yang dapat diitsbatkan, salah satunya hilangnya akta nikah atau tidak mempunyai akta nikah. Faktanya banyak itsbat nikah yang diajukan kepengadilan Agama ditolak oleh Majelis Hakim padahal akta nikah itu sangat penting untuk keperluan administrasi lainnya, dengan ditolaknya itsbat nikah ini akan berakibat kepada anak, yang mana status anak ini dipertanyakan dan bagaimana hubungan keperdataan dengan orang tuanya. Adapun pokok permasalah penelitian ini terdiri dari: (1) Bagaimana latar belakang pertimbangan hakim dalam perkara penolakan itsbat nikah di Pengadilan Agama Serang berdasarkan putusan Nomor 0468/Pdt.G/2018/PA.Srg? (2) Bagaimana analisis putusan Pengadilan Agama Serang Nomor 0468/Pdt.G/2018/PA.Srg? (3) Apa Akibat Hukum Penolakan Itsbat Nikah Nomor 0468/Pdt.G/2018/PA.Srg Terhadap Hak Keperdataan Anak? Tujuan dalam penelitian ini adalah : (1) Untuk mengetahui latar belakang pertimbangan hakim dalam perkara penolakan itsbat nikah di Pengadilan Agama Serang berdasarkan putusan Nomor 0468/Pdt.G/2018/PA.Srg. (2) Untuk mengetahui analisis putusan Pengadilan Agama Nomor 0468/Pdt.G/2018/PA. Srg. (3) Untuk mengetahui akibat hukum penolakan itsbat nikah terhadap hak keperdataan anak. Penelitian ini merupakan bersifat analisis putusan yang dianalisa secara kualitatif yaitu dengan teknik mengumpulkan datadata berupa dokumentasi dan wawancara. Penulis wawancara dengan 3(tiga) Hakim dan 1(satu) panitera. Kesimpulannya adalah : (1) Dasar pertimbangan hakim dalam perkara itsbat nikah adalah Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 ayat (1). (2) setelah dianalisa perkara ini diketahui bahwa permohonan itsbat nikah ini ditolak disebabkan salah satu pihak atau Pemohon II masih terikat dengan perkawinan yang sah dengan laiklaki lain sehingga permohonan itsbat nikah tersebut ditolak sebagaimana dalam pasal 9. (3) akibat hukum penolakan itsbat nikah ini ditolak akan berdampak kepada anaknya, sehingga anak ini akan dianggap sebagai anak yang dilahirkan di luar kawin dan tidak memiliki keperdataan dengan bapaknya hanya memiliki keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap Permohonan Nafkah Māḍiyah dalam Perkara Cerai Gugat Fitri Gamelia Harahap
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 20 No 1 (2019): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v20i1.1983

Abstract

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Perkawinan menciptakan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak selama masa perkawinan. Namun apabila suami lalai dalam memberi nafkah maka istri berhak menuntut pengembalian atas nafkah māḍiyah nya. Rumusan masalahnya adalah : 1) Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap permohonan nafkah māḍiyah dalam perkara cerai gugat? 2) Bagaimana tinjauan hukum positif terhadap permohonan nafkah māḍiyah dalam perkara cerai gugat? 3) Bagaimana perbandingan mengenai nafkah māḍiyah dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif. Kesimpulan dalam penelitian ini mengenai nafkah māḍiyah yakni menurut ulama Hanafiyah nafkah māḍiyah istri gugur dan tidak menjadi hutang apabila tidak ada keputusan dari pengadilan. Sedang menurut jumhur ulama nafkah māḍiyah menjadi hutang sehingga harus dibayarkan apabila tidak dibebaskan oleh istri. Sedangkan dalam hukum positif adalah nafkah ini dapat dituntut dalam suatu gugatan. Konsekuensi hukum gugatan tersebut diterima atau ditolak berdasarkan putusan hakim apakah nafkah māḍiyah itu wajib dibayar atau tidak. Tinjauan hukum Islam dan hukum positif mengenai nafkah māḍiyah yakni bergantung pada keputusan hakim yang memiliki otoritas untuk menyelesaikan perkara tersebut berdasarkan dalil – dalil hukum yang ada.
Sumber Hukum dalam Menetapkan Status Bagi Mafqud Oleh Hakim Pengadilan Agama Hafidz Taqiyuddin
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 20 No 1 (2019): Januari-Juni
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v20i1.1982

Abstract

Penelitian ini menunjukkan bahwa sumber hukum yang digunakan sebagai asas pandangan hakim di pengadilan agama di Indonesia untuk menetapkan status hukum bagi mafqud (orang yanghilang) dalam kepentingan dalam kasus pewarisan di Pengadilan Agama Kediri dan Yogyakarta adalah hukum materi dan hukum formil yang diberlakukan untuk proses di Peradilan Agama. Adapunsumber hukum yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan status mati bagi mafqud di Pengadilan Agama Kediri adalah istishhab, maslahah dan Pasal 165 HIR jo pasal 1867 KUH Perdata.

Page 1 of 1 | Total Record : 9