cover
Contact Name
Dodik Setiawan Nur Heriyanto
Contact Email
dodiksetiawan@uii.ac.id
Phone
+6287738216661
Journal Mail Official
plr.editor@uii.ac.id
Editorial Address
Doctorate Program Faculty of Law Universitas Islam Indonesia Jalan Cik Dik Tiro No. 1, Yogyakarta
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Prophetic Law Review
ISSN : 26862379     EISSN : 26863464     DOI : https://dx.doi.org/10.20885
Core Subject : Humanities, Social,
Prophetic Law Review is a law journal published by the Faculty of Law Universitas Islam Indonesia. The primary purpose of this journal is to disseminate research, conceptual analysis, and other writings of scientific nature on legal issues by integrating moral and ethical values. Articles published cover various topics on Islamic law, International law, Constitutional law, Private law, Criminal law, Administrative law, Procedural law, Comparative law, and other law-related issues either in Indonesia or other countries all over the world. This journal is designed to be an international law journal and intended as a forum for a legal scholarship which discusses ideas and insights from law professors, legal scholars, judges, and practitioners.
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 48 Documents
The Presidential Threshold As An Open Legal Policy In General Elections In Indonesia Al Mas’udah
Prophetic Law Review Vol. 2 No. 1: June 2020
Publisher : Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/PLR.vol2.iss1.art3

Abstract

This paper aims to examine the implementation of the legal policy on presidential threshold in Indonesia after the stipulation of The Fourth Amendment of the Constitution of 1945. The stipulation of the presidential threshold based on the Constitutional Court ruling Number 14 / PUUXI / 2013 triggered fierce controversies. As a result, the function of the 2014 legislative election as the threshold for the requirements of presidential candidacy for 2019 general election becomes no longer relevant and applicable. This is a normative legal research, which concludes that it is necessary to make laws about the provision of general election, reorganization of election management institutions, and the preparation of election logistics.Keywords: Constitution, General Election, Presidential ThresholdPresidensial Threshold Sebagai Open Legal Policy Dalam Pemilihan Umum Di IndonesiaAbstrakTulisan ini bertujuan untuk mengkaji implementasi politik hukum mengenai presidensial threshold di Indonesia pasca ditetapkannya Perubahan Keempat UUD NRI 1945. Penetapan presidensial threshold berdasarkan putusan MK Nomor 14/PUUXI/2013 memicu kontroversi sengit. Akibatnya, fungsi Pemilu Legislatif 2014 sebagai ambang batas persyaratan pencalonan presiden pada Pemilu 2019 menjadi tidak relevan dan aplikatif lagi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menyimpulkan perlunya pembuatan undang-undang tentang penyelenggaraan pemilu, reorganisasi lembaga penyelenggara pemilu, dan penyiapan logistik pemilu.Kata kunci: Konstitusi, Pemilihan Umum, Presidensial Threshold
The Effectiveness Of Administrative Review In Indonesia’S Administrative Court System Umar Dani
Prophetic Law Review Vol. 1 No. 1: December 2019
Publisher : Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/PLR.vol1.iss1.art4

Abstract

This research aims to describe the use of administrative review in Indonesia. There are two rules of administrative review: administrative review according to Act Number 5 Year 1986 on State Administrative Judicial Action, and administrative review according to Act Number 30 Year 2014 on Government Administration. Both of these rules contradict each other and are equally authorized at the same time, and thus, in practice, we must determine which regulation is the most appropriate to use as a legal basis. This study analyzes the use of administrative review and its effectiveness in providing legal protection. To discuss these issues, the researcher has used normative or dogmatic legal research method. The results of the study show that in general, administrative review procedure has applied the system as determined in Act Number 30 Year 2014 on Government Administration, except those specifically regulated by Act No 5, such as personnel disputes. The new version of Administrative review does not provide effective legal protection because the process of resolving state administrative disputes is lengthy and does not comply with the principles and theories of administrative review in general terms.Keywords: Administrative law; administrative review; objection; State Administrative Court.Efektivitas Pengujian Administratif dalam Sistem Peradilan Tata Usaha Negara IndonesiaAbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan administrative review (pengujian administratif) di Indonesia. Ada dua aturan terkait pengujian administratif, yaitu: pengujian administratif menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; dan pengujian administratif menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Tata Usaha Negara. Kedua aturan ini sama-sama berwenang namun saling bertentangan sehingga dalam praktiknya kita harus menentukan aturan mana yang paling tepat untuk dijadikan landasan hukum. Studi ini menganalisis penggunaan pengujian administratif dan efektivitasnya dalam memberikan perlindungan hukum. Untuk membahas permasalahan tersebut, peneliti menggunakan metode penelitian hukum normatif atau dogmatis. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum tata cara pengujian administratif telah menerapkan sistem sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara, kecuali yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, seperti sengketa kepegawaian. Bentuk baru pengujian administratif tidak memberikan perlindungan hukum yang efektif karena proses penyelesaian sengketa tata usaha negara yang panjang dan tidak sesuai dengan prinsip dan teori kajian administrasi secara umum.Kata kunci: Hukum Administrasi; Keberatan; Pengadilan Tata Usaha Negara; Pengujian Administrasi
Legal Policy of Formalization of Islamic Sharia in Indonesia Muhammad Ainun Najib
Prophetic Law Review Vol. 2 No. 2: December 2020
Publisher : Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/PLR.vol2.iss2.art3

Abstract

There are always some Indonesians that discourse and fight for the idea of Islamic state and formalization of sharia. Their effort through constitutional channels gains some success, like 1974 Marriage Act, 1989 Religious Courts Act, and Compilation of Islamic Law (KHI). Sharia formalization is strongly influenced by political interests of the rulers which are inseparable from the socio-political context of its application. This article discusses on how the change of political circumstance has influenced the formalization of sharia in various eras of Indonesia’s government and political factors that influence the dynamic of the formalization of sharia. By using socio-legal research, this study reveals that the formalization of sharia in Indonesia experienced ups and downs according to the relation between state and religion applied by each regime. The formalization is more influenced by the relationship between Islam and the state. When Islamic camp got formalist in character, the formalization was difficult. but if a cultural character was used, formalization became easier. Furthermore, the formalization of sharia by the rulers at least has political, administrative, and contextualization interests.Keywords: Formalization; Sharia; Islamic Struggle; InterestsPolitik Hukum Formalisasi Syariah Islam Di IndonesiaAbstrakSelalu ada beberapa orang Indonesia yang mewacanakan dan memperjuangkan gagasan negara Islam dan formalisasi syariah. Upaya mereka melalui jalur konstitusional memperoleh beberapa keberhasilan, seperti UU Perkawinan 1974, UU Peradilan Agama 1989, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Formalisasi syariah secara kuat dipengaruhi oleh kepentingan politik penguasa yang tidak terlepas dari konteks sosial dan politik penerapannya. Artikel ini membahas tentang bagaimana perubahan situasi politik mempengaruhi formalisasi syariah di pelbagai era pemerintahan Indonesia dan faktor-faktor politik yang mempengaruhi dinamika formalisasi syariah. Dengan menggunakan penelitian socio-legal, penelitian ini mengungkapkan bahwa formalisasi syariah di Indonesia mengalami pasang surut sesuai dengan relasi negara dan agama yang diterapkan oleh masing-masing rezim. Formalisasi tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh hubungan antara Islam dan negara. Ketika kubu Islam berwatak formalis, formalisasi menjadi sulit. Namun, jika basis budaya digunakan, maka formalisasi menjadi lebih mudah. Selanjutnya, formalisasi syariah oleh penguasa setidaknya memiliki kepentingan politik, administratif, dan kontekstual.Kata kunci: Formalisasi, Syariah, Perjuangan Islam, Kepentingan
The Role And The Formal Requirements Of Powers Of Attorney At Trial Before The Administrative Court Andi Muhammad Ali Rahman
Prophetic Law Review Vol. 2 No. 1: June 2020
Publisher : Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/PLR.vol2.iss1.art4

Abstract

This study aims to determine the role of the special power of attorney in trials before the Administrative Court and to determine the formal requirements of making a special power of attorney in the administrative court. The benefits of this research are legal philosophyt and scientific development, especially in the field of procedural law, as well as to become an additional reference for those who are interested in researching this problem further. In addition, this research is expected to provide input for the community, students, and legal practitioners.This study uses normative legal approach or commonly called doctrinal research approach, including statutes and cases. The results of this study provide two conclusions: First, the role of special power of attorney in the trial at the Administrative Court is also applicable the principle of not having to use a power or legal aid. The use of mentoring or representation, authorization, legal aid is a right and not an obligation of a person. Such use is an obligation of the state when a citizen requires it but is unable to obtain it for themselves. Second, matters related to the formal requirements to become a special power of attorney in the Administrative Court have been spelled out in the Administrative Technical Guidelines and the Technical of Civil Service Arbitration Tribunal, Book II, edition 2009, the Supreme Court of the Republic of Indonesia.Keywords: constitution; power of attorney; administrative courtPeran Dan Syarat Formal Kuasa Hukum Dalam Persidangan Di Pengadilan Tata Usaha NegaraAbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui the peranan dari kuasa hukum dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan untuk mengetahui syarat formal kuasa hukum di PTUN. Manfaat penelitian ini adalah pengembangan filsafat hukum dan keilmuan khususnya di bidang hukum acara, serta menjadi tambahan referensi bagi yang tertarik untuk meneliti masalah ini lebih lanjut. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat, mahasiswa, dan praktisi hukum. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif atau biasa disebut dengan pendekatan penelitian doktrinal, termasuk undang-undang dan kasus. Hasil penelitian ini memberikan dua kesimpulan: Pertama, asas tidak harus menggunakan kuasa atau bantuan hukum berlaku untuk peran kuasa hukum dalam persidangan di PTUN. Penggunaan pendampingan atau perwakilan, otorisasi, bantuan hukum, atau kuasa hukum adalah hak dan bukan kewajiban seseorang. Penggunaan tersebut merupakan kewajiban negara jika warga negara membutuhkannya namun tidak dapat memperolehnya untuk diri mereka sendiri. Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan persyaratan formal untuk menjadi kuasa hukum di PTUN telah diatur dalam Petunjuk Teknis Tata Usaha Negara dan Tata Usaha Arbitrase Kepegawaian, Buku II, edisi 2009, Mahkamah Agung Indonesia.Kata kunci: Konstitusi, Kuasa Hukum, Pengadilan Tata Usaha Negara
Expanding Access To Justice Through E-Court In Indonesia Kukuh Santiadi
Prophetic Law Review Vol. 1 No. 1: December 2019
Publisher : Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/PLR.vol1.iss1.art5

Abstract

Indonesia's Supreme Court (MA) has started a new initiative by applying modern technology to the justice system through e-court. This new measure is a sign that the court responds the development in information technology while improving the quality of legal administration which has long been considered complicated by those seeking justice. This article raises a problem related to the implementation of the e-court system. This article uses a normative approach by obtaining data from various reports and books to be analyzed further and presented descriptively. It tries to explore whether the implementation of e-court has an impact on the efficiency of the administration of legal proceedings as well as an increase in transparency in the process of seeking justice and encouraging professional, transparent, accountable, effective and efficient justice administrationKeywords: Access to justice; e-court; modern courtMemperluas Akses Keadilan Melalui E-Court Di IndonesiaAbstrakMahkamah Agung (MA) Indonesia telah memulai inisiatif baru dengan menerapkan teknologi modern pada sistem peradilan melalui e-court. Langkah baru ini merupakan tanda bahwa pengadilan merespon perkembangan teknologi dan informasi sekaligus meningkatkan kualitas administrasi hukum yang selama ini dianggap rumit oleh pencari keadilan. Tulisan ini mengangkat permasalahan terkait penerapan sistem e-court. Tulisan ini menggunakan pendekatan normatif dengan memperoleh data dari berbagai laporan dan buku untuk dianalisis lebih lanjut dan disajikan secara deskriptif. Penelitian ini mencoba menelusuri apakah penerapan e-court berdampak pada efisiensi penyelenggaraan proses hukum serta peningkatan transparansi dalam proses mencari keadilan dan mendorong penyelenggaraan peradilan yang profesional, transparan, akuntabel, efektif dan efisien.Kata kunci: Akses ke Pengadilan; E-Court; Pengadilan Moderen
Roles of Notary in Drawing Up Marriage Agreement After Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 Honggo Hartono
Prophetic Law Review Vol. 2 No. 2: December 2020
Publisher : Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/PLR.vol2.iss2.art4

Abstract

The objective of this study was to determine how Notary can play a role in creating a better legal certainty in relation to drawing up a marriage agreement after the issuance of Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 on October 27, 2016. This was a normative study using a case approach as well as a statute approach and a conceptual approach.  The results showed that after the issuance of Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 on October 27, 2016, marriage agreements shall no longer be regarded as something which is materialistic, selfish, unethical, or not in accordance with the Eastern culture among today's society. The Constitutional Court Decision has indirectly demonstrated another function and changed the general opinion of marriage agreements which, so far, are considered to only contain or only focus on issues related to the arrangement of property in marriage. There is actually a principle difference between the Law of Marriage and the Civil Code of the Republic of Indonesia, particularly after the issuance of Constitutional Court Decision. The law no longer requires Notarial Deed for a marriage agreement. However, the law requires the agreement to be written, and it can be made any time as long as the marriage is still ongoing, and the agreement can contain matters other than property in marriage, such as citizenship issues. In order to create a better legal certainty, justice and expediency, the marriage agreement should be drawn up in the presence of a Notary.Keywords: Notary; Prenuptial agreement; Legal certaintyPeran Notaris Dalam Membuat Perjanjian Perkawinan Pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Notaris menciptakan kepastian hukum yang lebih baik terkait dengan pembuatan perjanjian perkawinan setelah diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 pada 27 Oktober 2016. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan kasus serta pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 pada 27 Oktober 2016, perjanjian perkawinan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang materialistis, mementingkan diri sendiri, tidak etis, atau tidak sesuai dengan budaya Timur dari kalangan masyarakat saat ini. Putusan MK tersebut secara tidak langsung telah menunjukkan fungsi lain dan mengubah pandangan umum tentang perjanjian perkawinan yang selama ini dianggap hanya memuat, atau hanya terfokus pada, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengaturan harta benda dalam perkawinan. Sebenarnya, ada perbedaan prinsip antara Hukum Perkawinan dan KUHPerdata Indonesia, terutama setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi. Undang-undang tidak lagi mensyaratkan Akta Notaris untuk perjanjian perkawinan. Namun, undang-undang mensyaratkan perjanjian itu harus tertulis, dapat dibuat kapan saja selama perkawinan masih berlangsung, dan perjanjian itu dapat memuat hal-hal selain harta benda dalam perkawinan, seperti masalah kewarganegaraan. Untuk menciptakan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum yang lebih baik, maka perjanjian perkawinan harus dibuat di hadapan Notaris.Kata kunci: Notaris, Perjanjian Perkawinan, Kepastian Hukum
Constitutionality In Production Sharing Contracts: Legal Policy On Petroleum And Natural Gas Muhammad Luthfan Hadi Darus
Prophetic Law Review Vol. 2 No. 1: June 2020
Publisher : Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/PLR.vol2.iss1.art5

Abstract

This research is focused on constitutionality issue of Law No. 22 Year 2001 on Petroleum and Natural Gas and its relation to Article 33 of the 1945 Constitution and constitutionality of production sharing contract in relation to Article 33 of the 1945 Constitution. This research uses normative juridical method. This research founds: first, the current Law on Petroleum and Natural Gas and its relation to Article 33 of the 1945 Constitution is conceptually still problematic. This is evidenced by the several law articles which had been quashed by the Constitutional Court because they contradict the 1945 Constitution. Second, the petroleum and gas business contracts still contradict the spirit of Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution, this can be seen by the granting of requests for judicial review of the Law on Petroleum and Gas in the Constitutional Court.Keywords: constitution; Production Sharing Contract (PSC); petroleum and natural gasKonstitusionalitas Dalam Kontrak Bagi Hasil: Politik Hukum Minyak Dan Gas BumiAbstrakPenelitian ini difokuskan pada masalah konstitusionalitas UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan kaitannya dengan Pasal 33 UUD NRI 1945 serta konstitusionalitas kontrak bagi hasil dalam kaitannya dengan Pasal 33 UUD NRI 1945. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Penelitian ini menemukan: pertama, UU Minyak dan Gas Bumi saat ini dan kaitannya dengan Pasal 33 UUD NRI 1945 secara konseptual masih bermasalah. Hal ini dibuktikan dengan beberapa pasal undang-undang yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan UUD NRI 1945. Kedua, kontrak bisnis minyak dan gas bumi masih bertentangan dengan semangat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Hal ini terlihat dengan dikabulkannya permohonan uji materiil UU Minyak dan Gas Bumi di Mahkamah Konstitusi.Kata kunci: Konstitusi, Kontrak Bagi Hasil, Minyak dan Gas Bumi
Legal Review Of Indefinite Revocation Of The Political Right To Hold Public Office Against Corruption Convicts Fira Mubayyinah
Prophetic Law Review Vol. 1 No. 1: December 2019
Publisher : Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/PLR.vol1.iss1.art6

Abstract

To break the vicious cycle of corruption in the society and maintain social order, revocation of political rights for public officials’ candidacies is considered an appropriate punishment for corruption convicts. This is a form of corruption eradication that prioritizes the achievement of legal goals. Between 2013-2017, 26.9% of corruption convicts had their political rights revoked. This study aims to determine the accuracy of the verdicts for their legal objectives. The study used a normative method with the approach of statutory norms and examples of cases of corruption, described and analyzed critically. The study shows that such verdicts are in accordance with the objectives of the law, because acts of corruption harmed the mandate and public trust.Keywords: Corruption convicts; legal objectives; revocation of political rights.Tinjauan Hukum Pencabutan Tanpa Batas Waktu Hak Politik Untuk Memegang Jabatan Publik Terhadap Narapidana KorupsiAbstrakUntuk memutus lingkaran setan korupsi di masyarakat dan menjaga ketertiban sosial, pencabutan hak politik atan pencalonan diri menjadi pejabat publik dianggap sebagai hukuman yang pantas bagi terpidana korupsi. Hal ini merupakan bentuk pemberantasan korupsi yang mengutamakan pencapaian tujuan hukum. Antara tahun 2013-2017, sebanyak 26.9% terpidana korupsi dicabut hak politiknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan putusan tersebut terhadap tujuan hukumnya. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi kasus korupsi, dideskripsikan dan dianalisis secara kritis. Kajian menunjukkan bahwa putusan tersebut sesuai dengan tujuan hukum, karena tindak pidana korupsi mencederai amanah dan kepercayaan masyarakatKata kunci: terpidana korupsi; tujuan hukum; pencabutan hak politik.
The Pernicious Consequences Of Political Corruption In Indonesia Febri Handayani
Prophetic Law Review Vol. 1 No. 1: December 2019
Publisher : Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/PLR.vol1.iss1.art1

Abstract

Political corruption is an ethical and juridical deviation committed by people with positions of political power. Political corruption has a more structured system than general corruption cases, because political corruption is committed to satisfy the interests of political parties. Political corruption cases are commonplace in a country where political corruption is rampant. This is a normative legal research, using a case approach, conceptual approach, and statutory approach, as well as qualitative analysis. Based on this analysis, it is conclusive that political corruption is an action carried out by political elites or state government officials that has an impact on the country's political and economic situation. People and or parties who have political positions usually commit these acts. Political corruption can be in the form of abuse of authority, granting influence, lobbying, self-enrichment, vote-buying, and election fraud. In terms of effectiveness of the law, the pervasive political corruption in Indonesia is attributed to ineffective law enforcement related to political corruption. In fact, some former corruption convicts may become a corruption recidivist simply because the law enforcement of political corruption fails to have any deterrent effect due to the disharmony between laws and regulations related to political corruption. The rampant political corruption practices result in violations against the principles of good governance.Keywords: Legal consequences, political corruptionKonsekuensi Buruk Korupsi Politik di IndonesiaAbstrakKorupsi politik adalah penyimpangan etika dan juga penyimpangan yuridis yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki posisi dan kekuasaan politik. Korupsi politik memiliki sistem yang lebih terstruktur dibandingkan kasus korupsi umum karena korupsi politik ini dilakukan demi memenuhi kepentingan partai politik. Kasus korupsi politik merupakan hal yang lumrah ditemukan di negara yang korupsi politiknya merajalela. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan kasus, konseptual, dan perundang-undangan, serta analisis kualitatif. Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa korupsi politik adalah tindakan yang dilakukan oleh elit politik atau pejabat pemerintah yang berdampak pada situasi politik dan ekonomi negara. Biasanya orang dan/atau partai yang memiliki jabatan politik yang melakukan perbuatan tersebut. Korupsi politik dapat berupa penyalahgunaan wewenang, pemberian pengaruh, lobi, pengayaan diri, pembelian suara, hingga kecurangan pemilu. Dari sisi efektifitas hukum, maraknya korupsi politik di Indonesia disebabkan oleh tidak efektifnya penegakan hukum terkait korupsi politik. Bahkan, beberapa mantan narapidana korupsi bisa menjadi residivis korupsi hanya karena penegakan hukum korupsi politik tidak memberikan efek jera akibat disharmonisasi antara peraturan perundang-undangan terkait korupsi politik. Maraknya praktik korupsi politik mengakibatkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baikKata kunci: Konsekuensi Hukum; Korupsi Politik
Implementation of Sharia Compliance in The Halal Tourism Industry In Indonesia (A Study On Sharia Hotels And Beaches) Ilham Mashuri
Prophetic Law Review Vol. 2 No. 2: December 2020
Publisher : Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/PLR.vol2.iss2.art5

Abstract

This is a study on the practices of sharia compliance of halal tourism, especially sharia hotels and beaches in Indonesia. This is an empirical juridical research, using qualitative descriptive analytical techniques. The results of this study indicate several points. First, Sharia compliance in the halal tourism industry is a necessity, because sharia compliance is a unique feature of this industry that distinguishes it from the conventional tourism industry and it will maintain the sustainability of this industry because the interests of Muslim consumers are safeguarded and protected. Second, the halal tourism regulatory framework consists of Law Number 40 of 2007; DSN MUI Fatwa Number: 108 / DSN-MUI / X / 2016 concerning Guidelines for Organizing Tourism Based on Sharia Principles; and Minister of Tourism and Creative Economy Regulation No. 2 of 2014 concerning Sharia Business Hotel Operations. However, these regulations are considered inadequate in regulating halal tourism. Third, optimization of sharia compliance in the halal tourism industry is carried out in three steps: first, strengthening the substance by establishing regulations on halal tourism, second, strengthening the structure, and law enforcement officials, and third strengthening the legal culture through socialization and strengthening people's understanding of the importance of sharia compliance in Halal tourism industry.Keywords: halal industry; halal tourism; sharia complianceImplementasi Kepatuhan Syariah Dalam Industri Pariwisata Halal Di Indonesia (Studi Pada Hotel dan Pantai Syariah)AbstrakPenelitian ini merupakan kajian tentang praktik kepatuhan syariah pada pariwisata halal, khususnya hotel dan pantai syariah di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris, dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan beberapa poin: Pertama, kepatuhan syariah dalam industri pariwisata halal merupakan suatu keniscayaan, karena kepatuhan syariah merupakan ciri khas industri ini yang membedakan dengan industri pariwisata konvensional dan akan menjaga keberlangsungan industri ini karena kepentingan konsumen muslim terjaga dan terlindungi. Kedua, kerangka pengaturan pariwisata halal terdiri dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007; Fatwa DSN MUI Nomor : 108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah; dan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Hotel Usaha Syariah. Namun, regulasi tersebut dinilai kurang memadai dalam mengatur wisata halal. Ketiga, optimalisasi syariah compliance pada industri wisata halal dilakukan dalam tiga langkah: pertama, penguatan substansi dengan menetapkan regulasi tentang wisata halal, kedua, penguatan struktur, dan aparat penegak hukum, dan ketiga penguatan budaya hukum melalui sosialisasi dan memperkuat pemahaman masyarakat tentang pentingnya kepatuhan syariah dalam industri pariwisata halal.Kata kunci: industri halal; pariwisata halal; kepatuhan syariah