cover
Contact Name
Dwi Wahyuni
Contact Email
dwiwahyuni@uinib.ac.id
Phone
+6281272162942
Journal Mail Official
al-adyan@uinib.ac.id
Editorial Address
Jl. Prof. Mahmud Yunus Padang Kode Pos 25153
Location
Kota padang,
Sumatera barat
INDONESIA
Al-Adyan: Journal of Religious Studies
ISSN : 2745519X     EISSN : 2723682X     DOI : -
Al-Adyan: Journal of Religious Studies adalah jurnal ilmiah akademis yang diterbitkan oleh Program Studi (Prodi) Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Imam Bonjol Padang. Jurnal ini terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember yang mempublikasikan artikel berbasis hasil penelitian studi agama dalam ragam perspektif;perbandingan, sejarah, sosiologi, antropologi, fenomenologi, hubungan antar agama, multikulturalisme, serta isu-isu kontemporer lainnya. Al-Adyan: Journal of Religious Studies mengundang para penulis dan peneliti untuk menyumbangkan karya terbaik sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 48 Documents
Totem, Ritual dan Kesadaran Kolektif: Kajian Teoritik Terhadap Pemikiran Keagamaan Emile Durkheim
Al-Adyan: Journal of Religious Studies Vol 2, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/al-adyan.v2i2.3384

Abstract

As a sociologist, Emile Durkheim has a different perspective in understanding religious behavior, including in interpreting totem rituals for Aboriginal tribes in Australia.  According to Durkheim, the ritual does not only have a religious meaning, but also a social meaning—having certain social functions for the performers.  Through a collective consciousness framed by a belief system and the same normative patterns, individual and social differences possessed by clan members can be relativized so as to create social unity.  In Aboriginal people, the totem is a symbol of the unification of clan societies.  Therefore, in such a ritual, the clan members feel united by an impersonal power that has full power over the clan.  By doing the ritual, clan members feel a strong bond with one another and a binding loyalty.  In the communal ceremony, the worshipers affirm their commitment to the clan as a form of clan solidarity.Sebagai seorang sosiologi, Emile Durkheim memiliki perspektif yang berbeda dalam memahami perilaku keagamaan, termasuk dalam memaknai ritual totem pada suku Aborigin di Australia. Bagi Durkheim ritual totem tidak hanya memiliki makna keagamaan, tetapi juga makna sosial—ritual memiliki fungsi-fungsi sosial tertentu bagi pelakunya. Melalui kesadaran kolektif yang dibingkai oleh sistem keyakinan dan pola-pola normatif yang sama, perbedaan individu dan sosial yang dimiliki oleh anggota klan bisa direlatifkan sehingga tercipta kesatuan sosial. Pada suku Aborigin, totem merupakan simpol persautan masyarakat klan. Karenanya dalam ritual totem dimaksud, anggota klan merasa disatukan oleh sebuah kekuatan impersonal yang berkuasa penuh terhadap klan. Melalui ritual totem yang dilakukan, anggota klan merasakan ikatan yang kuat satu sama lain dan kesetiaan yang mengikat. Dalam upacara yang berlangsung secara komunal tersebut, para pemuja menegaskan komitmen mereka pada klan sebagai bentuk solidaritas klan.
Bhikkhuni And Gender Equality In The Vihara Dharmakirti Palembang
Al-Adyan: Journal of Religious Studies Vol 2, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/al-adyan.v2i2.3402

Abstract

Gender equality remains a focus point of discourse to continue to be studied and is always associated with religious teachings, including Buddhism. The Buddha taught that women can play an active role in religious rituals and social activities. However, speculations by both religious leaders and Buddhists themselves take second place to women, lower than men. Therefore, this article focuses on explaining how gender equality is in the perspective of⁹ Buddhism and how the existence of Bhikkhuni at Vihara Dharmakirti Palembang is. This field research uses interviews, observations and documentation to obtain the necessary data. The results of this study indicate that the concept of gender equality in Buddhism is not contained in a clear text but the universal teachings of love serve as guidelines. The teaching of love for all creatures, especially humans, emphasizes that both men and women are entitled to equal respect and opportunities. In practice, the teaching on gender equality can be seen in the role of women who can become nuns and lead worship services. Even in social life, women can play an active role and work even as leaders in an organization.Kesetaraan gender tetap menjadi topik diskursus hangat untuk terus dikaji dan selalu berkaitkan dengan ajaran agama, termasuk juga agama Buddha. Sang Buddha mengajarkan bahwa perempuan dapat berperan aktif dalam ritual keagamaan dan aktivitas sosial. Namun, spekulasi pemuka maupun umat Buddha sendiri meletakkan perempuan dalam urutan kedua dan lebih rendah dari laki-laki. Karena itu, artikel ini fokus untuk menjelaskan bagaimana kesetaraan gender dalam perspektif ajaran Buddha dan bagaimana eksistensi Bhikkhuni di Vihara Dharmakirti Palembang. Penelitian lapangan ini menggunakan interview, observasi dan dokumentasi untuk mendapatkan data yang diperlukan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep ajaran gender dalam ajaran Buddha tidak tertuang dalam bentuk teks yang jelas tetapi ajaran kasih yang universal menjadi pedoman. Ajaran tentang kasih kepada semua makhluk terutama manusia, mempertegas bahwa baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan penghormatan dan kesempatan yang sama. Dalam praktiknya ajaran tentang kesetaraan gender itu terlihat pada peran perempuan yang dapat menjadi Bhikkhuni dan memimpin kebaktian. Dalam kehidupan sosial pun, perempuan dapat berperan aktif dan berkarya bahkan sebagai pemimpin dalam sebuah organisasi.
The Dynamics of Religious Conflict in Indonesia: Contestation and Resolution of Religious Conflicts in The New Order Age
Al-Adyan: Journal of Religious Studies Vol 2, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/al-adyan.v2i2.3184

Abstract

Social conflicts in Indonesia are often associated with political turmoil and disappointment with the hegemony of power.  Therefore, it is important to understand comprehensively how the dynamics of religious conflict in Indonesia, especially during the New Order era.  As we know that this research is a literature study to understand the contestation of religious conflicts and how conflict resolution was implemented by the government in resolving ethnic-religious conflicts during the New Order era.  Using qualitative methods, this study finds that there are several factors of ethnic and religious conflicts in Indonesia, especially during the New Order era, namely group identity conflicts, levels of chaos and social mobilization, repressive actions by power groups, and collective conflicts between communal groups.  This study also shows that for the resolution of social conflicts, the government uses a repressive and security approach to control the community, and there is also a cultural approach from civil society as a form of resistance for the government.  Civil society also plays an active role in promoting peace agreements between conflicting groups.Konflik sosial di Indonesia seringkali dikaitkan dengan kekacauan politik dan kekecewaan terhadap hegemoni kekuasaan. Karena itu, penting untuk memahami lebih komprehensif bagaimana dinamika konflik agama di Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru. Sebagaimana kita ketahui bahwa. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan untuk memahami kontestasi konflik agama dan bagaimana resolusi konflik yang diterapkan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik agama-etnis pada masa Orde Baru. Menggunakan metode kualitatif, penelitian ini menemukan bahwa ada beberapa faktor konflik etnis dan agama di Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru, yaitu konflik identitas kelompok, tingkat kekacauan dan mobilisasi sosial, tindakan represif oleh kelompok kekuasaan, dan konflik kolektif diantara kelompok komunal. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa untuk penyelesaian konflik sosial, pemerintah menggunakan pendekatan represif dan keamanan untuk mengontrol masyarakat, dan juga ada pendekatan budaya dari masyarakat sipil sebagai salah satu perlawanan bagi pemerintah. Masyarakat sipil juga berperan aktif dalam mendorong kesepakatan damai antara kelompok-kelompok yang berkonflik.
Welcome To Death: Islamic And Catholic Perspectives
Al-Adyan: Journal of Religious Studies Vol 2, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/al-adyan.v2i2.3401

Abstract

Death is one of the eschatological arenas in religions including Islam and Catholicism. Various things are done in preparation for welcoming death. This study was conducted to show how the two religions prepare their respective people to face it. This research relies on books and journals that examine the research topic from an Islamic and Catholic perspective. This research shows that in Islam, a good death is called husnul khatimah, namely dying in a state of being Muslim and doing good. For that, a Muslim must repent, maintain monotheism, keep the five daily prayers, pay zakat, fast in the month of Ramadan, make the pilgrimage if they are well-to-do, do what is required by religion and stay away from what is forbidden, have a noble character, guard the tongue. Meanwhile, according to Catholicism, human death is the result of human sin, good sinythat occurred as a result of the fall of the first human (Adam) as well as the sins committed by every human in the world. Therefore Catholicism teaches that prepare the kids to live independently, have character and education the good one; keep the way life and healthy so as not to bother children; financial preparation both for myself and children, keep the testimony alive, and have social relations good; inherent value and noble traditions in children and grandchildren.Kematian adalah salah satu arena eskatologis dalam agama-agama termasuk dalam Islam dan Katolik. Berbagai hal dilakukan sebagai persiapan untuk menyambut kematian. Studi ini dilakukan untuk memperlihatkan bagaimana kedua agama mempersiapkan umat masing-masing dalam menghadapinya. Penelitian ini bertumpu pada buku-buku dan jurnal yang mengkaji topik penelitian dimaksud dari perspektif Islam dan Katolik. Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kematian yang baik itu disebut dengan husnul khatimah yaitu mati dalam keadaan beragama Islam dan berbuat kebaikan. Untuk itu seorang muslim harus banyak bertaubat, menjaga tauhid, menjaga salat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa di bulan ramadhan, berhaji jika mampu, mengerjakan apa-apa yang telah diwajibkan oleh agama dan menjauhi yang dilarang, berakhlak mulia, menjaga lisan. Sedangkan menurut Katolik kematian manusia merupakan akibat dosa manusia, baik dosay yang terjadi akibat kejatuhan manusia pertama (Adam) maupun dosa yang dilakukan oleh setiap manusia di dunia. Untuk itu agama Katolik mengajarkan agar menyiapkan anak-anak hidup mandiri, memiliki karakter dan pendidikan yang baik;  menjaga cara hidup dan kesehatan agar tidak merepotkan anak-anak; menyiapkan finansial baik untuk diri sendiri maupun untuk anak-anak; menjaga kesaksian hidup, dan memiliki  relasi sosial yang baik; mewariskan nilai dan tradisi luhur pada anak dan cucu.
The Ecological Dimension of Confucian Religion: Perceiving Human-Nature Relation in the Anthropocosmic Principle
Al-Adyan: Journal of Religious Studies Vol 2, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/al-adyan.v2i2.3395

Abstract

The religious discourse has been dominated by the paradigm of world religions especially the Abrahamic religions like Islam and Christianity, shaping the way religion being understood and associated with other issues. Its strong emphasis on the ultimate being called God has resulted in commonly accepted categories of what could be counted as religion or more religious. It then brings a strict distinction between the sacred and the profane or secular. The issues of ecology, economics, politics, etc., therefore, are often dissociated from religions. This paper aims to challenge that paradigm by promoting Confucian distinctive ways of being religious which have been commonly perceived as having much to do with humanity or social matters. This paper, by using literature study as the method of research, further show the important significance of Confucian religiosity on the issue of ecology. In so doing, the discussion is framed in the underlying assumption of the contemporary ecological discourse on the idea of interconnectedness that humanity and ecology, as well as social and natural science, are actually intertwined and inseparable. Putting that under the term ‘religiosity’, it broadens our understanding of religiosity and implies great significance religions can contribute to the contemporary issues. It is also assumed here that social welfare of human beings cannot be separated from natural welfare of non-human beings since both are interdependent.Wacana keagamaan yang didominasi oleh paradigma agama dunia khususnya agama-agama Abrahamik seperti Islam dan Kristen, membentuk cara padang terhadap agama yang dipahami dan dikaitkan dengan isu-isu lain. Penekanannya yang kuat pada wujud tertinggi yang disebut Tuhan telah menghasilkan kategori-kategori yang diterima secara umum dari apa yang dapat dianggap sebagai agama atau lebih religius. Ini kemudian membawa perbedaan tegas antara yang sakral dan yang profan atau sekuler. Oleh karena itu, isu-isu ekologi, ekonomi, politik, dan lail-lain., seringkali dipisahkan dari agama. Artikel ini bertujuan untuk menantang paradigma tersebut dengan mempromosikan cara-cara beragama yang khas Konfusianisme yang selama ini dianggap banyak berhubungan dengan kemanusiaan atau masalah sosial. Dengan menggunakan studi kepustakaan sebagai metode penelitian, selanjutnya artikel ini menunjukkan pentingnya religiositas Konfusianisme dalam masalah ekologi. Dengan demikian, diskusi dibingkai dalam asumsi yang mendasari wacana ekologi kontemporer tentang gagasan keterkaitan bahwa kemanusiaan dan ekologi, serta ilmu sosial dan alam, sebenarnya saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Menempatkan bahwa di bawah istilah 'religiusitas', itu memperluas pemahaman tentang religiositas dan menyiratkan signifikansi besar agama dapat berkontribusi pada isu-isu kontemporer. Di sini juga diasumsikan bahwa kesejahteraan sosial manusia tidak dapat dipisahkan dari kesejahteraan alam non-manusia karena keduanya saling bergantung.
Multi-Ethnic and Hinduism in Afghanistan
Al-Adyan: Journal of Religious Studies Vol 2, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/al-adyan.v2i2.3198

Abstract

Although the Taliban group is well known, it is not the only representation of ethnic and religious groups in Afghanistan. Besides being inhabited by various groups from internal Islam, there are also Hindus and Sikhs. This paper aims to describe the condition of ethno-religious diversity in Afghanistan, especially regarding Hinduism. We write this article by conducting a literature study that emphasizes descriptive analysis after comparing sources from previous writings. This is obtained based on literature study with descriptive and qualitative methods. From the literature review and previous experience received from the Taliban firsthand, during the Taliban rule from 1996 to late 2001, Hindus are forced to wear yellow armbands in public to identify themselves as non-Muslims. Hindus are forced to wear the burqa, which allegedly "protects" them from harassment. This is part of the Taliban's plan to separate "non-Islamic" and "infidel" communities from Muslim communities. Even so, most ethnic and religious groups, including Hindus, refuse to leave Afghanistan because they feel less pressured by different treatment from the Taliban in the past.Meskipun kelompok Taliban terkenal, itu bukan satu-satunya representasi kelompok etnis dan agama di Afghanistan. Selain dihuni oleh berbagai golongan dari internal Islam, juga terdapat umat Hindu dan Sikh. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi keragaman suku-agama di Afghanistan, khususnya mengenai agama Hindu. Kami menulis artikel ini dengan melakukan studi kepustakaan yang menekankan pada analisis deskriptif setelah membandingkan sumber-sumber dari tulisan-tulisan sebelumnya. Hal ini diperoleh berdasarkan studi kepustakaan dengan metode deskriptif dan kualitatif. Dari tinjauan literatur dan pengalaman sebelumnya yang diterima dari Taliban secara langsung, selama pemerintahan Taliban dari tahun 1996 hingga akhir 2001, umat Hindu dipaksa untuk mengenakan ban lengan kuning di depan umum untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai non-Muslim. Umat Hindu dipaksa mengenakan burqa, yang diduga "melindungi" mereka dari pelecehan. Ini adalah bagian dari rencana Taliban untuk memisahkan komunitas "non-Islam" dan "kafir" dari komunitas Muslim. Meski begitu, sebagian besar kelompok etnis dan agama, termasuk Hindu, menolak meninggalkan Afghanistan karena merasa tidak terlalu tertekan dengan perlakuan berbeda dari Taliban di masa lalu.
Pesan-Pesan Toleransi Beragama Dalam Konten Youtube Gita Savitri Devi
Al-Adyan: Journal of Religious Studies Vol 2, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/al-adyan.v2i2.3413

Abstract

The use of social media to transform positive values among the younger generation and millennials, including the values of religious tolerance, is very significant to do in the current era of information technology. Relevant to that, this study aims to explore messages of religious tolerance found on social media, in this case the vlog belongs to Gita Savitri Devi, a youtuber and social media activist. This research is a qualitative type of library research, because the data collected is obtained from library materials, especially video documentation from Gita's YouTube. The data were analyzed using content analysis techniques. The results obtained are that in Gita Safitri Devi's vlog, especially the seven video shows, there are five elements of religious tolerance including, acknowledging the rights of others, respecting other people's beliefs, agreeing in disagreement, understanding each other, as well as awareness and honesty. It can be concluded that Gita Savitri Devi through her vlog seeks to participate in transforming the values of religious tolerance to young people, especially millennials who love social media.Pemanfaatan media sosial untuk mentransformasikan nilai-nilai positif di kalangan generasi muda dan kaum milenial, termasuk nilai-nilai toleransi beragama, sangat signifikan untuk dilakukan pada era teknologi informasi saat ini. Relevan dengan itu, penelitian ini bertujuan untuk menggali pesan-pesan toleransi beragama yang terdapat di media sosial, dalam hal ini vlog miliki Gita Savitri Devi, seorang youtuber dan penggiat media sosial. Penelitian ini termasuk kualitatif dengan jenis library research, karena data-data yang dikumpulkan diperoleh dari bahan-bahan pustaka khususnya dokumentasi video yang berasal dari youtube milik Gita. Data dianalisis menggunakan teknik analisis isi. Hasil yang diperoleh adalah bahwa dalam vlog Gita Safitri Devi khususnya pada tujuh tayangan video, terkandung lima unsur toleransi beragama meliputi, mengakui hak orang lain, menghormati keyakinan orang lain, agree in disagreement, saling mengerti, serta kesadaran dan kejujuran. Dapat disimpulkan bahwa Gita Savitri Devi melalui vlog-nya berupaya untuk ikut mentransformasikan nilai-nilai toleransi beragama kepada kalangan muda, terutama kaum millenial yang menggandrungi media sosial.
Religious Tolerance in Minangkabau from a Psychological Perspective Mai Tiza Husna; Widia Sri Ardias; Indah Andika Octavia
Al-Adyan: Journal of Religious Studies Vol 3, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/al-adyan.v3i1.4127

Abstract

Religious intolerance in Minangkabau is an issue that is often discussed recently, as reported in print and online media. This research aims to explain the psychological dynamics of the emergence of intolerant behavior and the efforts that can be made to increase religious tolerance from a psychological point of view. This research is a qualitative research with literature study. The results showed that there are 3 processes that occur when a person will take an action or not, the first is affective (positive or negative feelings about a group), psychological (open-minded thought) and behavior (tolerant or intolerant behavior).Intoleransi beragama di Minangkabau merupakan isu yang sering diperbincangkan akhir-akhir ini seperti diberitakan di media cetak dan online. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan dinamika psikologis munculnya perilaku intoleran dan upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan toleransi beragama dari segi psikologis. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada 3 proses yang terjadi ketika seseorang akan melakukan suatu tindakan toleransi atau intoleransi, yang pertama adalah afektif (perasaan positif atau negatif tentang suatu kelompok), psikologis (pikiran terbuka) dan perilaku (perilaku toleran atau intoleran).
Resolusi Konflik Islam–Kristen Perspektif Al-Qur’an dan Injil Ramadhanita Mustika Sari
Al-Adyan: Journal of Religious Studies Vol 3, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/al-adyan.v3i1.4087

Abstract

This article aims to provide a new conflict resolution perspective on the conflict between Islam and Christianity in Indonesia. This article is a qualitative research with the type of literature review research. The data in this article were collected using documentation techniques that were applied to search for primary and secondary data. The data were analyzed using a qualitative approach, namely data management, data reduction, data display and drawing conclusions. This article finds that: first, the relationship between Muslims and Christians has various dynamics in Indonesia, one of which is conflict. Second, both in Islam and in Christianity, both have doctrines or dogmas that are exclusive in viewing religious adherents outside their adherents. These two findings, are facts that can not be denied and it really happened. Based on these findings, this article formulates two conflict resolutions to overcome these two issues, namely practical resolution and dogmatic conflict resolution.Artikel ini bertujuan untuk memberikan perspektif resolusi konflik baru terhadap konflik antara Islam dan Kristen di Indonesia. Artikel ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian kajian pustaka. Data-data di dalam artikel ini dikumpulkan menggunakan teknik dokumentasi yang diterapkan untuk pencarian data primer maupun data sekunder. Data-data dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif yakni manajemen data, reduksi data, display data dan penarikan kesimpulan. Artikel ini menemukan bahwa: pertama, hubungan pemeluk Islam dan Kristen memiliki berbagai dinamika di Indonesia, salah satu hubungan itu adalah konflik. Kedua, baik dalam Islam maupun dalam Kristen, kedua-duanya memiliki doktrin atau dogma yang bersifat eksklusif dalam memandang pemeluk agama di luar pemeluknya. Kedua temuan ini, merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri dan itu benar-benar terjadi. Atas dasar temuan tersebut artikel ini merumuskan dua resolusi konflik untuk mengatasi kedua hal tersebut yakni resolusi bersifat praktis dan resolusi konflik bersifat dogmasitas. 
Etika Protestan dan Asketisme dalam Pemikiran Max Weber Endrika Widdia Putri
Al-Adyan: Journal of Religious Studies Vol 3, No 1 (2022)
Publisher : Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/al-adyan.v3i1.4094

Abstract

The use of social media to transform positive values among the younger generation and millennials, including the values of religious tolerance, is very significant to do in the current era of information technology. Relevant to that, this study aims to explore messages of religious tolerance found on social media, in this case the vlog belongs to Gita Savitri Devi, a youtuber and social media activist. This research is a qualitative type of library research, because the data collected is obtained from library materials, especially video documentation from Gita's YouTube. The data were analyzed using content analysis techniques. The results obtained are that in Gita Safitri Devi's vlog, especially the seven video shows, there are five elements of religious tolerance including, acknowledging the rights of others, respecting other people's beliefs, agreeing in disagreement, understanding each other, as well as awareness and honesty. It can be concluded that Gita Savitri Devi through her vlog seeks to participate in transforming the values of religious tolerance to young people, especially millennials who love social media.Artikel ini bertujuan untuk menganalisis pandangan Max Weber (1864–1920) sosiolog modern asal Jerman mengenai kaitan antara etika Protestan dan asketisme. Di mana artikel ini menggunakan metode eksploratif dan analitis kritis untuk mendapatkan hasil yang dicari. Hasil studi menemukan bahwa asketisme dalam pandangan Max Weber yang terdapat dalam etika Protestan adalah pengendalian diri dalam kehidupan duniawi dengan tujuan mendapatkan jaminan surga dari Tuhan, dengan melakukan berbagai kewajiban moral, seperti; berbuat baik, hidup sederhana; tidak berlebihan dan tidak berkekurangan, semangat bekerja memperoleh materi dan hidup sopan santun serta saling menolong. Dalam pandangan Max Weber terdapat hubungan timbal balik yang saling menstimulus antara asketisme yang ada dalam etika Protestan dan kapitalisme. Bahwa untuk mendapatkan calling Tuhan manusia harus bekerja keras di dunia, namun tanpa meninggalkan pola hidup asketis; hemat, tidak berfoya-foya, tidak berlebihan dan lain sebagainya yang mengambarkan kebaikan moral.