cover
Contact Name
Ahmad Fairozi
Contact Email
fairozi.unu@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jurnaltashwirulafkar@gmail.com
Editorial Address
Jl. H. Ramli Selatan No. 20A, Tebet, Menteng Dalam, RT.2/RW.3, Menteng Dalam, Kec. Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12870
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
Tashwirul Afkar
ISSN : 14109166     EISSN : 26557401     DOI : https://doi.org/10.51716/
Tashwirul Afkar adalah jurnal pemikiran keagamaan dan kebudayaan yang mempublikasikan hasil riset di kalangan sarjana dan intelektual untuk kemajuan peradaban dunia. Jurnal ini diterbitkan dua kali setahun dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Articles 36 Documents
Wajah Baru Islam Indonesia: Dari Kontestasi ke Pembentukan Lanskap Baru Ahmad Zainul Hamdi
Tashwirul Afkar Vol. 39 No. 1 (2020): June 2020
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51716/ta.v38i01.3

Abstract

Abstrak Pertanyaan apakah jargon Islam ramah masih layak disematkan kepada Islam Indonesia adalah pertanyaan yang mulai banyak bermunculan. Tingginya angka intoleransi dan kekerasan yang terjadi di sepanjang garis narasi islam Indonesia membuat pertanyaan ini muncul ke permukaan. Setiap pemikiran dan gerakan keislaman selalu berada dalam proses dialog dan negosiasi di antara berbagai diskursus dan gerakan yang berkembang. Situasi sosial-politik juga memengaruhi perkembangan sebuah diskursus, termasuk pilihan-pilihan gerakan. Diskursus pemikiran keislaman Indonesia sejak selalu dinamis berada dalam kontestasi dan negosiasi. Wajah Islam Indonesia selalu berubah seiring dengan dinamika yang ada. Saat ini, ormas-ormas keislaman established seperti NU dan Muhammadiyah menghadapi situasi keislaman baru pasca-Reformasi. Sementara narasi keislaman resmi NU dan Muhammadiyah masih berkarakter moderat, namun berbagai fenomena di lapangan menunjukkan bahwa berbagai pertemuan dan interrelasi di antara diskursus dan gerakan keislaman yang ada mulai membentuk lanskap keislaman baru. Ada pengurus Muhammadiyah yang terang-terangan menjadi tokoh MTA (Majelis Tafsir Al-Qur’an) di daerahnya. Begitu juga, tidak sedikit kiai NU yang bersimpati pada cara-cara dakwah FPI (Front Pembela Islam), bahkan menjadi pengurusnya. Para kiai ini menilai bahwa apa yang diperjuangkan FPI sesuai dengan apa yang dibaca di dalam kitab kuning. Anak-anak muda dari kedua organisasi tersebut juga mulai membentuk identitas keislaman baru.   Abstract The question of whether a friendly Islamic jargon still deserve to be attached to the Indonesian Islam has emerged frequently in a recent time. The high rate of intolerance and violence along the lines with the Indonesian Islamic narratives has raised this question. However, every Islamic thought and movement is always in the process of dialogue and negotiation among various developing discourses and movements. The socio-political situation also affects the development of the discourse, including the choices of movements. The discussion of Islamic thought in Indonesia has always been dynamic and has been in contestation and negotiation. The face of Indonesian Islam always changes along with the existing dynamics. Currently, the established Islamic mass organizations such as Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah are facing a new Islamic situation in the post-Reformation. While the official Islamic narratives of NU and Muhammadiyah are still on a moderate character, various phenomena in the field have shown that various meetings and interrelationships between existing discourses and Islamic movements have begun to form a new Islamic landscape. For instance, there are some Muhammadiyah officials who openly become leaders of the MTA (Majelis Tafsir Al-qur’an/Al-Qur'an Tafsir Council) in their areas. Likewise, there are a few NU kiais who are sympathetic to the methods of preaching of FPI (Front Pembela Islam/Islamic Defender Front), and even become its leaders. These kiais consider what’s FPI fighting for is in accordance with what they read in their classical religious references (kitab kuning). Young generations from the both organizations have also started to form a new Islamic identity.
Kontestasi Loyalis, Kritikus dan Orientalis Tentang Wahhabisme Badrus Samsul Fata
Tashwirul Afkar Vol. 39 No. 1 (2020): June 2020
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51716/ta.v38i01.4

Abstract

Abstrak Sejak kemunculannya, Wahhabisme telah menjadi sasaran kontestasi antara loyalis dan kritikus. Para loyalis telah menggambarkan Wahhabisme sebagai gerakan puritan, revivalis, modern dan bahkan gerakan reformasi teologis Islam. Di sisi lain, para kritikus telah memposisikan Wahhabisme sebagai teologi sesat (bid'ah), ideologi dan gerakan subversif dan menyesatkan, menyimpang dari jalan salaf al-s{a>lih}. Apa yang masih hilang dalam potret ini adalah wacana orientalis tentang Wahhabisme. Dengan menggunakan teori postkolonial yang tersedia saat ini, makalah ini membahas wacana orientalis tentang Wahhabisme dan mengkaji bagaimana mereka telah membentuk studi Islam dalam lingkungan akademik kontemporer.   Abstract Since its emergence, Wahhabism has been subject to contestation between loyalists and critics. The loyalists have been portraying Wahhabism as a puritan, revivalist, modern and even an Islamic theological reform movement. On the other hand, the critics have been positioning Wahhabism as a heretical theology (bid‘ah), a subversive and misleading ideology and movement, deviating from the pious paths of most forefathers (salaf al-s{a>lih}). What is still missing in the picture is the orientalist discourses on Wahhabism. Using the currently available postcolonial theories, this paper will discuss the orientalist discourses on Wahhabism and examine how they has been shaped Islamic studies in the contemporary academic milieu.‎
Advokasi Inklusi Sosial dan Politik Kewarganegaraan: Pengalaman Advokasi Penghayat Marapu di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur Husni Mubarok
Tashwirul Afkar Vol. 39 No. 1 (2020): June 2020
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51716/ta.v38i01.14

Abstract

Abstrak Advokasi pluralisme agama umumnya stagnan, jika bukan gagal. Komunitas minoritas masih mengalami diskriminasi atau pelanggaran kebebasan beragama dan berkepercayaan walaupun beragam advokasi telah dilakukan. Di tengah situasi tersebut, advokasi inklusi sosial menawarkan terobosan baru. Melalui trilogi (penerimaan sosial, pelayanan publik, dan perubahan kebijakan), advokasi tersebut berhasil mendorong pemerintah mencatat data kependudukan penghayat Marapu (Akta Kelahiran) yang sebelumnya tidak diakui lantaran agama atau keyakinannya. Studi ini akan menjelaskan mengapa advokasi inklusi sosial terhadap komunitas Marapu berhasil dan bagaimana implikasinya terhadap politik kewarganegaraan di Indonesia. Menggunakan metode penelitian kualitatif melalui wawancara, observasi lapangan, dan membaca dokumen-dokumen advokasi, studi ini menemukan bahwa inklusi sosial sebagai framework dalam advokasi tersebut efektif dalam menghasilkan perubahan. Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa model demokrasi inklusif yang menekankan deliberasi warga, termasuk kelompok rentan, lebih tepat untuk menjelaskan politik kewarganegaraan di Indonesia dibanding penjelasan kewarganegaraan formal dan informal.   Abstract The advocacy for religious pluralism has generally stagnated, not to say failed. Minority communities still experience discrimination or violations of freedom of religion and belief. Amid this situation, the advocacy for social inclusion offers a breakthrough. Through its trilogy (social acceptance, public services, and policy changes), this advocacy has succeeded in encouraging the government to record the demographic data of Marapu adherents such as birth certificates that were previously not recognized because of their religion or belief. This study will explain why the advocacy for social inclusion in the context of the Marapu community is thriving and how it has implications for the politics of citizenship in Indonesia. Using qualitative research method: interviews, field observations, and reading advocacy documents, this study finds that social inclusion as a framework for advocacy is effectively generating change. This experience shows that an inclusive democracy model that emphasizes the deliberation of citizens, including vulnerable groups, is more appropriate to explain the politics of citizenship in Indonesia for minority groups rather than the formal and informal explanations of citizenship.
Gus Dur dalam Keberagaman Pendidikan Islam Nur Solikhin
Tashwirul Afkar Vol. 39 No. 1 (2020): June 2020
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51716/ta.v38i01.16

Abstract

Abstrak Persepsi publik seringkali menganggap bahwa pendidikan Islam hanya fokus di lembaga formal. Apabila persepsi itu terus langgeng, maka pendidikan Islam akan sulit untuk menjawab tantangan modernitas.  Artikel ini memaparkan bagaimana cara kerja pikiran Gus Dur dalam pemikiran pendidikan Islam. Teori persepsi diri digunakan untuk melihat proses pembentukan konsep diri, harga diri dan presentasi diri Gus Dur. Dengan pendekatan metode kualitatif dan teknik pengumpulan data dokumentasi, studi ini menemukan bahwa pada bagian konsep diri, proses pembentukan diri Gus Dur dilakukan melalui pengalaman, pengetahuan, tingkah laku, penilaian orang lain, perhatian, minat dan suasana hati. Hal yang membentuk konsep diri Gus Dur, yaitu orang, buku dan situasi. Pada bagian harga diri, terdapat nilai-nilai yang melekat pada diri Gus Dur dan nilai yang diperjuangkannya. Pemikiran pendidikan keislaman Gus Dur tidak secara tiba-tiba, tapi melalui pembentukan konsep diri dan harga diri. Gus Dur mempresentasikan pemikirannya tentang pendidikan Islam untuk menjawab tantangan modernitas.   Abstract The public perception often perceives that Islamic education has only focused on formal institutions. If this perception continues, Islamic education will find it difficult to answer the challenges of modernity. This article describes how Gus Dur's thoughts evolve around Islamic education discourses. Self-perception theory is used to see the process of forming self-concept, self-esteem and self-presentation of Gus Dur. With a qualitative method approach and a documentation data technique, this study found that in the self-concept section, Gus Dur's self-formation process was carried out through experience, knowledge, behavior, other people's judgments, attention, interests and self-mood. Gus Dur's self-concept was shaped by people, books and socio-political situations. On the part of self-esteem, there are some inherent values of Gus Dur that he fought for in his entire life. The thought of Gus Dur about the issue of Islamic education were not sudden, but through the formation of self-concept and self-esteem. Gus Dur presented his thoughts on Islamic education to answer the challenges of modernity.
Hukum Islam dalam Tradisi Masyarakat Nahdliyyin: Implementasi Fidyah Salat Bagi Orang Meninggal di Indramayu Nurkholis Sofwan
Tashwirul Afkar Vol. 39 No. 1 (2020): June 2020
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51716/ta.v38i01.17

Abstract

Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemahaman dan praktik fidyah salat bagi orang yang telah meninggal sebagai tradisi masyarakat Nahdiyyin di Indramayu. Doktrin adanya fidyah salat memang menimbulkan kontroversi yang cukup sengit di tengah masyarakat, ada yang pro dan kontra. Meski demikian, sebagian masyarakat meyakini bahwa fidyah salat merupakan ajaran Islam Ahlussunnah Waljama’ah, sebagaimana ditulis dalam kitab-kitab al-Syafi’iyyah seperti Niha>yah al-Zai>n, Tarsyi>ḥ al-Mustafi>di>n, dan Iʻa>nah al-Ṭa>libi>n. Penelitian bertujuan untuk menganalisis pemahaman masyarakat terhadap fidyah salat bagi orang meninggal dan pelaksanaan tradisi fidyah salat bagi orang meninggal yang dilakukan masyarakat Nahdliyyin di Indramayu. Penelitian ini menggunakan metode analisa kualitatif deskriptif. Adapun teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan dua cara yaitu kepustakaan (library research) dan lapangan (field research). Studi kepustakaan dilakukan dengan menelaah kitab-kitab al-Syafi’iyyah sebagai sumber rujukan masyarakat Nahdliyyin tentang fidyah salat, dan studi lapangan dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi terhadap masyarakat Indramayu. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tradisi fidyah yang dilakukan masyarakat Indramayu dipahami sebagai suatu ih}t}iya>t} (kehati-hatian) terhadap salat yang pernah ditinggalkan oleh kerabat yang meninggal. Tradisi fidyah ini dilakukan dengan cara membolak-balikkan beras/uang dari wali kepada fakir miskin, dan sebaliknya sebanyak belasan hingga puluhan kali. Hal ini dilakukan untuk menutupi utang salat seseorang yang diasumsikan pernah meninggalkan salat selama seumur hidupnya. Abstract This paper aims to describe the understanding and practice of fidyah prayer for people who have died as a tradition of Nahdliyyin’s community in Indramayu. The doctrine of their fidyah prayer has caused a fierce controversy in the community, there are pros and cons. However, some people believe that fidyah prayer is the teaching of Islam Ahl al-Sunnah Waljama'ah, as written in the books of al-Syafi'iyyah like Nihayah al-Zain, Tarsyīḥ al-Mustafīdīn,and I'ānah al-Talibīn. The questions pursued in this study are; 1) How does the Nahdliyyin community in Indramayu against Fidyah prayers for the deceased?; 2) How do the practices of Fidyah prayers tradition being  performed by the Nahdliyyin community in Indramayu?. This study employs a descriptive qualitative metodh. The technique of data collection is done in two ways: library research and field research. Literature study is conducted by examining the books of al-Syafi'iyyah as a reference source of Nahdliyyin community about fidyah prayer, while the field studies are conducted through observation, interview and documentation to the community in Indramayu. This study concluded that fidyah prayer tradition in Indramayu community is understood as iḥṭiyāṭ (prudence) to the prayers which might abandoned by relatives who died. Fidyah tradition is done by rotating back and forth the rice / money from the family to the poor, and vice versa as many as a dozen to tens of times. This is done to cover the assumed debt of praying belong to someone who might abandoned it during his/her lifetime.
Sekularisasi dalam Pertarungan Simbolik: Studi Konflik Keagamaan Jemaat Ahmadiyah di Manislor Kuningan Arip Budiman
Tashwirul Afkar Vol. 39 No. 1 (2020): June 2020
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51716/ta.v38i01.21

Abstract

Abstrak Ketika terjadi konflik antar umat beragama di Indonesia, tindakan penyelesaian yang diambil oleh pemerintah tentunya harus mengacu pada Pancasila dan UUD 1945. Sebab, jika pemerintah tidak mengacu pada kedua dasar itu, yang terjadi adalah tindakan diskriminasi, seperti tindakan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan konflik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan prinsip sekularisasi dalam menangani konflik keagamaan Jemaat Ahmadiyah di Kuningan. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan etnografi. Data diperoleh melalui observasi, dokumentasi, dan wawancara dengan tokoh Ahmadiyah, pemerintah, dan Ormas Islam yang berpengaruh di Kabupaten Kuningan. Studi ini menemukan bahwa prinsip sekularisasi tidak berjalan dengan baik di Kabupaten Kuningan di mana pemerintah Kabupaten Kuningan beritndak cukup diskriminatif terhadap pemenuhan layanan dasar Jemaat Ahmadiyah di Manislor dengan mennangguhkan e-KTP yang berdampak pada pencatatan nikah.   Abstract When there is a conflict between religious communities in Indonesia, the resolution taken by the government should refer to Pancasila and the 1945 Constitution. If the government does not refer to these two principles, it can trigger the acts of discrimination, such as the government’s decisions in resolving the conflict of the Ahmadiyah Community of Indonesia (JAI). This study aims to determine the implementation of the principle of secularization in dealing with religious conflicts of the Ahmadiyya Community in Kuningan. The methodology used in this research is qualitative with an ethnographic approach. The data were obtained through observation, documentation, and interviews with influential Ahmadiyah figures, officials from the government and leaders of Islamic organizations in Kuningan District. This study found that the principle of secularization did not work well in Kuningan District where the Kuningan Regency government was discriminatory towards the fulfillment of basic services of the Ahmadiyah Community in Manislor by suspending e-ID Card which had some serious impacts including on the marriage registration.
Dimensi Ekonomi Politik dalam Konflik Perebutan Sumber Kekuasaan Arab Islam Khoirul Anwar; Nazar Nurdin; Muslich Shabir
Tashwirul Afkar Vol. 39 No. 2 (2020): December 2020
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51716/ta.v38i02.22

Abstract

Abstrak Tulisan ini menganalisis upaya Nabi Muhammad Saw. dalam mewujudkan peradaban Islam dengan merebut sumber ekonomi dan komunitas dari penguasa Arab pra-Islam. Upaya Nabi Muhammad Saw. yang berhasil melangkahi aristokrat Mekkah (Bani Umayyah) menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak hanya mengajarkan agama tauhid, namun mempelajari setting sosial ekonomi-politik masyarakat pra Islam. Paper ini adalah riset kualitatif yang bersumber dari data literatur yang dianalisis dengan metode sosio-historis interpretatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedatangan Islam di Jazirah Arab mengubah struktur ekonomi masyarakat Islam, khususnya Mekkah. Sumber ekonomi dari kegiatan bisnis berubah menjadi kegiatan militer. Perebutan sumber ekonomi dilakukan dengan cara peperangan. Perubahan cara dalam mengalahkan sumber ekonomi dilatarbelakangi oleh kekalahan bisnis Bani Hasyim dari Bani Umayyah. Nabi Muhammad Saw. semula dibenci kaum Arab (Mekkah) karena berpotensi mengganggu sumber ekonomi Arab pra Islam, lalu dielu-elukan karena berhasil mendatangkan sumber keuangan baru yang lebih mudah melalui jalan jajahan.   Abstract This paper examines the efforts of the prophet Muhammad Saw. in realizing Islamic civilization by way of seizing economic and community resources from pre-Islamic Arab rulers. The efforts of the Prophet that successfully bypassed the Meccan aristocracy (Bani Umayyah) indicated that he was not only teach Muslims about monotheism, but also studying the socio-economic-political setting of pre-Islamic societies. This paper employs a qualitative research. The sources of data are taken from the study of literature, then is analized through interpretative socio-historical methods. The Data analysis has been presented descriptively. This research found that the arrival of Islam in the Arabian Peninsula has changed the economic structure of Islamic societies, especially in Mecca. The economic resources of business activities have turned into the military activities.  The seizure of economic resource was carried out by war. The changes in the way of defeating economic resources, due to the defeat of Bani Hasyim’s business from Bani Umayyah. The Prophet Muhammad Saw. was initially confronted by the Arabs (in Mecca) because of his potentials to disrupt the pre-Islamic Arab economic resources, but then he was hailed for successfully bringing some new financial resources that were much easier through the colony.
Hukum Islam Nusantara: Diaspora Undang-Undang Malaka di Kesultanan Aceh Abad Ke-17 Hasan Basori
Tashwirul Afkar Vol. 39 No. 2 (2020): December 2020
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51716/ta.v38i02.23

Abstract

Abstrak Tulisan ini membahas tentang diaspora Undang-Undang Malaka di Kesultanan Aceh abad ke-17 sebagai salah satu landasan berpikir hukum Islam Nusantara. Islam Nusantara yang sejak kelahirannya mengundang kontroversi, terutama dalam pola istinbath al-hukmi yang mengedapankan al-masha>lih sebagai basis kerangka pikirnya, akan didalami jejak historisnya dari abad ke-17, di mana hukum Islam selalu akomodatif terhadap hukum adat dan hukum sosial yang telah berlaku pada suatu masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan historis dengan menjadikan Undang-Undang Malaka abad ke-17 sebagai objek utamanya. Studi ini menemukan historitas hukum Islam yang datang ke Nusantara, dan menyisipkan dirinya dalam beberapa aspek hukum dan Undang-Undang setempat, dapat dipandang sebagai satu keberhasilan diaspora hukum Islam itu sendiri. Beberapa indikator keberhasilan diaspora hukum Islam dalam masyarakat Aceh abad ke-17 terletak pada hukum dagang dan ekonomi secara umum, dalam hukum pernikahan dan etika politik yang bernuansa islami. Treatment politik Islam, geliat ekonomi Islam, bahkan pola tata nilai yang dibawa Islam ke daerah Aceh pada masanya menjadi salah satu penyokong keberhasilan diaspora hukum Islam itu sendiri.   Abstract This paper discusses the Malacca diasporic law in the 17th century of the Aceh Sultanate as one of the foundations for thinking about Islamic law in the archipelago. Nusantara Islam, which since its birth has invited some controversies, especially in the pattern of istinbath al-hukmi which puts al-mashalih as the basis of its framework, needs to be explored about its historical traces from the 17th century where Islamic law has always accomodative to customary and social law prevailed in the society. This research will employ a historical approach by making the 17th century Malacca Law as its main object. This paper found a historicity of Islamic law that came to the archipelago, and inserts itself in several lines of local laws and regulations, therefore it can be seen as a success of the Islamic legal diaspora itself. Some indicators of the success of the Islamic law diaspora in 17th century Acehnese society lie in commercial and economic law in general, in marriage law and political ethics that have Islamic nuances. This research views that the treatment of Islamic politics, the stretching of the Islamic economy, and even the pattern of values ​​that Islam brought to the Aceh region during its time became one of the supporters of the success of the Islamic Law diaspora itself. From that point of view, this study aims to find a structured formula for how Islamic law was able to influence the Aceh sultanate at that time. The formulations of the model and strategy of the Islamic law diaspora in the Aceh Sultanate at that time are the main findings to be achieved in this study.
Filosofi Kafir dalam al-Qur’an: Analisis Hermeneutik Schleiermacher Muhammad Hamdan
Tashwirul Afkar Vol. 39 No. 2 (2020): December 2020
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51716/ta.v38i02.25

Abstract

Abstrak Kata ‘kafir’ dalam al-Qur’an tidak bisa dimaknai secara tunggal. Dibutuhkan kajian yang mendalam dalam memahami al-Qur’an. Salah satu metode yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan teori hermeneutik Schleiermacher dengan dua interpretasi yaitu gramatis dan psikologis. Melalui analisis interpretasi gramatis, kata ‘kafir’ dalam al-Qur’an memiliki makna yang beragam seperti: ingkar, tidak bersyukur, tidak beriman, kikir, sombong, dan lain sebagainya. Kemudian vonis kafir adalah otoritas Allah Swt. Sementara itu, dengan analisis interpretasi psikologis, ditemukan hasil bahwa Tuhan seringkali menurunkan kata ‘kafir’ akibat perilaku buruk pelaku kekafiran. Penuduhan kafir terhadap orang lain mengancam kerukunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Individu atau kelompok yang dituduh sebagai kafir rentan mendapatkan diskriminasi. Indonesia adalah negara bangsa yang mempunyai Konstitusi tertinggi yaitu UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dalam UUD 1945 Pasal 29 disebutkan bahwa negara menjamin setiap warga negaranya atas kemerdekaan dan kebebasan dalam memeluk agama dan keyakinan. Dalam konteks bernegara, non-muslim memiliki hak dan kedudukan yang setara dengan warga negara lainnya.   Abstract The word ‘kafir’ in the Qur'an cannot be interpreted in a single meaning. It takes an in-depth study in understanding the verses of the Qur'an. One method that can be used is by employing Schleirmacher's hermeneutic theory with two interpretations, namely grammatical and psychological. Through the analysis of grammatical interpretations, the word ‘kafir’ in the Al-Qur'an has various meanings such as: denial, ungratefulness, disbelief, stingy, arrogant, and so on. Then the verdict of disbelief is the authority of Allah Swt. Meanwhile, with the analysis of psychological interpretations, it is found that God often sends down the word ‘kafir’ due to the bad behavior of the infidels. The accusation of being infidels against others has threatened harmony in the life of the nation and state. Individuals or groups accused of being infidels are vulnerable to discrimination. Indonesia is a nation state that has the highest constitution, namely the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. The article 29 of the 1945 Constitution affirms that the State guarantees every citizen of freedom to embrace religion and belief. In the context of a state, non-Muslims have equal rights and positions with other citizens.
Transisi Indonesia Menuju Energi Terbarukan Ahmad Rahma Wardhana; Wening Hapsari Marifatullah
Tashwirul Afkar Vol. 39 No. 2 (2020): December 2020
Publisher : Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51716/ta.v38i02.27

Abstract

Abstrak Di antara penilaian terhadap pengelolaan energi sebuah negara adalah dengan memakai Trilemma Energi, sebuah konsep yang dikembangkan oleh World Energy Council sejak 2010. Konsep Trilemma Energi terdiri dari tiga indikator pokok, yaitu keamanan energi (energy security), ekuitas energi (energy equity), dan keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability). Penilaian terbaru Trilemma Energi bertarikh 2019 menempatkan Indonesia berada di urutan ke-69 dari 128 negara yang terindeks. Indonesia sebenarnya telah berupaya serius untuk memperbaiki performa pengelolaan energinya, terutama sejak terbitnya PP RI No. 79/2014 dan Perpres RI No. 22/2017. Kedua peraturan perundangan ini dengan optimis memproyeksikan berkurangnya energi fosil sekaligus meningkatnya penggunaan energi terbarukan di 2025 dan 2050, meskipun realitasnya jauh panggang dari api. Tulisan ini akan membahas apa itu Trilemma Energi dalam konteks Indonesia, betapa penting (dan berpotensi)-nya energi terbarukan bagi Indonesia, dan peluang apa saja yang bisa dilakukan oleh setiap insan Indonesia, untuk berpartisipasi dalam menumbuh-kembangkan energi terbarukan di seluruh penjuru persada Nusantara. Abstract Among the assessments of a country's energy management is by using the Energy Trilemma Index, a concept developed by the World Energy Council since 2010. The Energy Trilemma concept consists of three main indicators, namely energy security, energy equity, and environmental sustainability. The Energy Trilemma's most recent assessment in 2019 has placed Indonesia in the 69th out of 128 indexed countries. Indonesia has made serious efforts to improve the performance of energy management, especially since the issuance of PP RI No. 79/2014 and Perpres RI No. 22/2017. These two regulations have optimistically projected a reduction in fossil energy and an increase in the use of renewable energy in 2025 and 2050, although its reality is still far from the expectations. This paper will discuss about the Energy Trilemma in the Indonesian context, how important (and potentially) renewable energy is for Indonesia, and what opportunities available for Indonesians  to participate in developing a renewable energy throughout the archipelago.

Page 1 of 4 | Total Record : 36