cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota pontianak,
Kalimantan barat
INDONESIA
Jurnal NESTOR Magister Hukum
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 535 Documents
HIRARKHISITAS KEDUDUKAN PERATURAN MENTERI DENGAN PERATURAN DAERAH DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TESANO. SH. A.21211006, Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 2, No 2 (2015): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACTThis thesis focuses hirarkhisitas Position Regulation With Local Regulation System InLegislation In Review of Law No. 12 of 2011. From the study authors using normative legalresearch conclusion: that 1). that the position of ministerial regulations have a higher degreeof regulatory regions, because the position of the ministry as an auxiliary body president whoruns a general policy lines that have been determined and the scope of the enforceability of anational ministerial regulation as well as the substance that is regulated in a ministerialregulation is a translation directly from the enactment laws, rules and regulations president.2). that the ministerial decree is a statutory laws and regulations and has levelitas higher thanlocal regulations, so as to enter the ministerial decree in the preamble to "remember" in alocal regulation is not a mistake that results are not legitimate normative regulation of thearea. Suggestions are: 1). To ensure a uniformity in the formation of local regulations, shouldany local regulations included in the preamble ministerial regulations "remember" .2). itwould need to review and revise Law No. 12 Year 2011 on the Establishment of Laws andRegulations to incorporate a ministerial regulation in a hierarchy, so that no longer occurdifferent interpretation and debate between the degree of regulation of the minister with localregulations.ABSTRAKTesis ini menitikberatkan hirarkhisitas Kedudukan Peraturan Menteri Dengan PeraturanDaerah Dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Di Tinjau Dari Undang UndangNomor 12 Tahun 2011. Dari penelitian penulis dengan menggunakan metode penelitianhukum normatif diperoleh kesimpulan : bahwa 1). bahwa kedudukan peraturan menterimempunyai derajat yang lebih tinggi dari peraturan daerah, karena kedudukan lembagakementerian sebagai pembantu presiden yang menjalankan garis kebijakan umum yang telahditentukan dan ruanglingkup keberlakuan peraturan menteri berskala nasional serta materimuatan yang diatur dalam peraturan menteri merupakan penjabaran secara langsung dariundang-undang, peraturan presiden dan peraturan pemerintah. 2). bahwa peraturan menterimerupakan suatu peraturan perundangan-undangan dan mempunyai levelitas yang tinggidibandingkan peraturan daerah, sehingga memasukkan peraturan menteri di dalamkonsiderans “mengingat” dalam suatu peraturan daerah bukanlah suatu kesalahan normativeyang berakibat tidak sahnya peraturan daerah tersebut. Saran-sarannya adalah : 1). Agarterjadi keseragaman dalam pembentukan peraturan daerah, sudah seharusnya setiap peraturandaerah mencantumkan peraturan menteri dalam konsiderans “mengingat”.2). perlu kiranyamengkaji ulang dan merevisi UU NO 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan PeraturanPerundang-Undangan untuk memasukkan peraturan menteri dalam suatu hirarkhi, agar tidaklagi terjadi tafsir yang berbeda serta perdebatan antara derajat peraturan menteri denganperaturan daerah.
PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UU NO. 18 TAHUN 2004 TENTANG PERKEBUNAN HASUDUNGAN P. SIDAURUK, SH A.2120025, Jurnal Mahasiswa S2
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 2, No 4 (2013): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstractThis thesis discusses the duality of powers between the investigators and investigators Plantation Environment in law enforcement against corporate crime combustion of oil palm plantations on land preparation period in Sambas district. In addition, it also has a goal is to reveal and analyze the causes of the dualism of authority between investigators and investigators Plantation Environment in law enforcement against corporate crime combustion of oil palm plantations on land preparation period in Sambas district and solutions to prevent it.Through empirical legal research methods with socio-juridical approach the conclusion, that the causes of the dualism of authority between investigators and investigators Plantation Environment in law enforcement against corporate crime combustion of oil palm plantations on land preparation period in Sambas district of Sambas district is as following: (a) The existence of overlapping authority arrangements regarding the investigation by criminal investigators in clearing land by burning the plantation is regulated by Law No. 18 Year 2004 on Plantation and Law No. 32 of 2009 on Environmental Protection and Management life; (b) The existence of sectoral ego attitude of each of the investigators because they were given the authority to conduct investigations by law, so that the investigators felt each have the authority to open a criminal investigation against plantation land by burning, and (c) less maximal Police Investigator role in coordination and supervision of investigators and investigators Environment Plantations, thus resulting in the emergence of the problem of dualism of authority in conducting the investigation of the offenses opened plantations by burning. As a solution to prevent the dualism of authority between investigators and investigators Plantation Environment in law enforcement against corporate crime combustion of oil palm plantations on land preparation period in Sambas district is to takeover the investigation of criminal cases in the plantation environment by Police Investigator .This is possible because, according to Article 45 paragraph (1) of Law No. 18 Year 2004 on Oil and Article 94 of Law No. 32 of 2009 on the Protection and Management of the Environment stated that: in addition to investigating officers at the Indonesian National Police, the Servants particular civil investigators in this case the scope of their respective duties on the plantation areas and / or areas of environmental protection and management was given special authority as investigators. In addition, the duties and responsibilities of investigators under the coordination and supervision of the police investigators.2AbstrakTesis ini membahas tentang dualisme kewenangan antara PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup dalam penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana pembakaran lahan perkebunan sawit pada masa persiapan lahan di Kabupaten Sambas.Di samping itu juga mempunyai tujuan yaitu untuk mengungkapkan dan menganalisis sebab-sebab terjadinya dualisme kewenangan antara PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup dalam penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana pembakaran lahan perkebunan sawit pada masa persiapan lahan di Kabupaten Sambas dan solusi untuk mencegahnya.Melalui metode penelitian hukum empiris dengan pendekatan yuridis sosiologis diperoleh kesimpulan, bahwa sebab-sebab terjadinya dualisme kewenangan antara PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup dalam penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana pembakaran lahan perkebunan sawit pada masa persiapan lahan di Kabupaten Sambas Kabupaten Sambas adalah sebagai berikut: (a) Adanya tumpang tindih pengaturan mengenai kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS dalam tindak pidana membuka lahan perkebunan dengan cara membakar yang diatur oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (b) Adanya sikap ego sektoral dari masing-masing PPNS karena diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan oleh undang-undang, sehingga masing-masing PPNS merasa memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana membuka lahan perkebunan dengan cara membakar; dan (c) Kurang maksimalnya peran Penyidik Polri dalam melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup, sehingga mengakibatkan timbulnya masalah dualisme kewenangan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana membuka lahan perkebunan dengan cara membakar.Adapun solusi untuk mencegah terjadinya dualisme kewenangan antara PPNS Perkebunan dan PPNS Lingkungan Hidup dalam penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana pembakaran lahan perkebunan sawit pada masa persiapan lahan di Kabupaten Sambas adalah dengan pengambilalihan penyidikan terhadap perkara tindak pidana lingkungan hidup di lahan perkebunan oleh Penyidik Polri. Hal ini dimungkinkan karena menurut Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Pasal 94 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa: selain Penyidik Pejabat Kepolisian Republik Indonesia, maka Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu, dalam hal ini PPNS yang ruang lingkup tugasnya masing-masing pada bidang perkebunan dan/atau bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang khusus sebagai penyidik. Selain itu, tugas dan tanggung jawab PPNS di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri.
PENERAPAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JUNTO UNDANG UNDANG PERDAGANGAN OLEH PENYIDIK DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA GULA ILEGAL ( ILLEGAL SUGARING ) DARI LUAR NEGERI / MALAYSIA DI WILAYAH KALIMANTAN BARAT IDA BAGUS GDE SINUNG, SH. A.2021131054, Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 4, No 4 (2015): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACThis thesis discusses about how to handling criminal offenses of illegal sugar by investigator of special crime directorat and resort police on regional police of west Kalimantan, with applied consumer protection laws to againts perpetrators of illegal sugar crime. To strengthen public prosecutor and convicted judges to charge perpetrators, the investigators should apply multi door methode. This methode uses some legislation to against perpetrators of illegal sugar crime like consumer protection laws and trade laws. It is intended to verdict handed down and becomes more severe, meanwhile customs laws are applied by custom’s investigators that imposed on offenders of illegal sugar crime who entered customs territory. There are three court decisions from the district court Pontianak for illegal sugar crime which categorized as mild. There are number: 271 / Pidsus / 2014 / Pn. Ptk defendant’s name is Mr. Ishak with punishment one month and fifteen days imprisonment. Another court decissions number: 281 / Pid. Sus / 2014 / Pn. Ptk, defendant’s name is Mr. Eka Susanto bin Ibrahim with punishment two month imprisonment. The last is decission of the district court sanggau number: 30 / Pid. Sus / 2014 / Pn Sanggau, defendant’s name is Mr. Leonard Nainggolan call Mr. Leo son of Mr. Sugar Nainggolan with punishment eight month imprisonment. This three defendants charged with violating laws No. 8 1999 about consumen protection laws article 62 paragraph (1) Jo article 8 paragraph (1) with penalty five years imprisonment.Based on three court decisions which is mild punishment for them, the writer interests to put this problem into the thesis with the title “ The Aplication of Consumer Protection LawJunto Trade Laws by the Investigator in Handling Illegal Sugar Crime from Malaysia in West Kalimantan Territory”The mild verdict will not make the perpetrator of illegal sugar crime be wary, it will tent to repeat crime again. According to data of illegal sugar crime in 2013 and 2014 which the writer get from sub-directorate 1 in special crime directorat regional police of West Kalimantan, in 2013 there are 207 cases and in 2014 until september there are 91 cases. The most cases of illegal sugar crime handled by police resort Sanggau. It is caused that Sanggau regency was2border region of Indonesia and Malaysia that is located in Entikong Sanggau regency. Through this influx of illegal things especially sugar entered West Kalimantan Province. Border communities can use cross border card with the price RM 600 equivalent with Rp. 2.100.000.-. They allowed shoping in Malaysia passed Entikong border and footpaths. Then groceries like Malaysia Sugar collected in border, sold to the broker for Rp. 400.000,- a sack. It marketed to the whole West Kalimantan Province for Rp. 490.000,- a sack. This problem makes perpetrators of illegal sugar be tempted. It can not be separated with the involvement of law enforcement officials and another officials who has duty on border, and made this crime difficult to be able to eradicate it. This problem should be finded the solution for the duty beares in West Kalimantan Province.ABSTRAKTesis ini membahas tentang Penanganan Tindak Pidana Gula yang dilakukan oleh Penyidik Dit Reskrimsus Polda Kalbar dan Penyidik Polres Jajaran Polda Kalimantan Barat dengan menerapakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen terhadap para pelaku Tindak Pidana Gula Ilegal ( Illegal Sugaring ) , untuk memperkuat dakwaan Penuntut Umum terhadap para pelaku tindak pidana Gula Ilegal dan menambah keyakinan Hakim dalam menjatuhkan putusan kiranya Penyidik menerapkan metode Multi Door yaitu dengan menambahkan beberapa perundang-undangan terhadap para pelaku Tindak Pidana Gula Ilegal yang dalam hal ini melapis atau menjuntokan Undang-Undang Perlindungan Konsuman dengan Undang-Undang Perdagangan , hal ini dimaksudkan agar vonis hakim yang dijatuhkan kepada pelaku menjadi lebih berat , sedangkan untuk UU Kepabeanan hanya berlaku khusus bagi penyidik Bea dan Cukai yang dikenakan bagi pelaku yang melakukan tindak pidana Gula Ilegal / Penyelundupan yang masuk di wilayah kepabeanan , Terbukti ada 3 (tiga) buah putusan Pengadilan yang menjatuhkan hukuman terhadap 3 (tiga) orang terdakwa adalah yang masuk ringan yaitu Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor : 271/Pid.Sus/2014/PN.Ptk , yang atas nama terdakwa Sdr. ISHAK dengan hukuman 1 (satu) bulan 15 (lima belas) hari pidana penjara , dan putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor : 281/Pid.Sus/2014/PN.Ptk , atas nama terdakwa EKA SUSANTO BIN IBRAHIM dengan hukuman 2 (dua) bulan pidana penjara , serta Putusan Pengadilan Negeri Sanggau Npmor : 30/Pid.Sus/2014/PN Sgu , atas nama terdakwa LEONARD NAINGGOLAN ALS.LEO anak dari SUGAR NAINGGOLAN dengan hukuman 8 bulan pidana penjara ,yang mana ketiga terdakwa di atas didakwa melanggar pasal 62 ayat(1) Jo Pasal 8 ayat (1) UU NO.8 Tahun 1999,tentang Perlindungan Konsumen yang mana ancaman pidananya adalah 5 (lima) tahun pidana penjara .Dengan 3 (tiga) buah putusan Pengadilan tersebut diatas , yang menurut penilaian penulis itu adalah ringan yang dapat mencedrai rasa keadilan dari masyrakat , sehingga penulis tertarik dengan masalah ini dan menuangkannya dalam bentuk Karya Tulis atau Tesis dengan judul “ PENERAPAN UU PERLINDUNGAN KONSUMEN JUNTO UU PERDAGANGAN OLEH PENYIDIK DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA GULA ILEGAL ( ILLEGAL SUGARING ) DARI LUAR NEGERI/MALAYSIA DI WILAYAH KALIMANTAN BARAT “Dengan putusan yang ringan tersebut tidak akan membuat para pelaku tindak pidana Gula Ilegal ini akan menjadi jera bahkan akan cendrung untuk mengulanginya kembali .Sesuai dengan data yang penulis dapatkan di Subdit I Dit Reskrimsus Polda Kalbar dalam 2 (dua) tahun terakhir yaitu tahun 2013 dan 2014 tentang Tindak Pidana Gula Ilegal , adalah untuk tahun 2013 berjumlah 207 kasus dan tahun 2014 sampai bulan September sejumlah 91 kasus , dan yang paling banyak adalah Polres Sanggau , hal ini disebabkan karena Kab.3Sanggau merupakan tempat wilayah lintas batas perbatasan Indonesia dan Malyasia yang tepatnya terletak di Entikong Kab. Sanggau , lewat inilah masuknya barang – barang ilegal terutama Gula Ilegal masuk ke Provinsi Kalimantan Barat, yang mana masyarakat perbatasan dengan menggunakan Kartu Lintas Batas senilai 600 Ringgit Malaysia atau setara dengan Rp. 2.100.000 , diperbolehkan berbelanja ke Malaysia dengan melewati border Entikong dan juga jalan-jalan tikus atau setapak , kemudian hasil belanjaan berupa Gula Malaysia dikumpulkan di perbatasan yang kemudian dijual kepada cokong – cukong dan selanjutnya diedarkan ke seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Barat , dilihat dari segi harga yang cukup murah di perbatasan Entikong per karungnya Rp. 400.000.- dan dijual ke Pontianak atau wilayah lain seharga Rp. 490.000.- Hal ini membuat para pelaku tindak pidana Gula Ilegal ini menjadi tergiur , hal ini tidak terlepas dengan keterlibatan petugas penegak hukum dan petugas-petugas lain yang bertugas diperbatasan sehingga sulit untuk bisa dengan tuntas membrantasnya . Hal ini yang perlu dicarikan solusinya bagi para pengemban tugas di Kalimantan Barat ini .
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2007 PASAL 20 KAITANNYA DENGAN PEMBERLAKUAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PONTIANAK DI KABUPATEN KUBU RAYA J U H A D I. A.21208001, Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 5 (2013): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACTThis thesis discuss an Analysis Of The Law No. 35 of 2007 Section 20 Relation To The Implementation Regional Regulation of Pontianak Regency In Kubu Raya Regency. Form the research using methods of normative sociological and legal research, and referring to the primary and secondary of legal materials. The legal materials are collected by an inventorisation of the positive law and literature searches related to the subjects of research. The result of the law research showed that the rule implementation of the main regency to the expansion regency, as a legal fact extarction presented of law No. 35 of 2007 concerning the formation of Kubu Raya regency assignment. Any logical ratio or the reason for the implementation of the rule of Pontianak regency to the Kubu Raya regency it is caused by 4 elements, that is : (1) area condition, that Kubu Raya Regency remains a unity form and the state of the plains and waterways that once owned and managed by the main regency, (2) fund element, means the area funding management, (3) human resourches, means legislator and ability limitation in the areas rule formation, and (4) as a prevention, to avoid the vacum of law, while waiting for the law products set up in that expansion regency. The rule implementation of Pontianak regency in Kubu Raya regency is a legal action, due to based on the stronger law, namely the law No. 35 of 2007 which talked about the rule impelementation of Pontianak regency in Kubu Raya regency.Keyword : Implementation Of Regional Regulation; Main Regency; Expansion Regency.3ABSTRAKTesis ini membahas masalah Analisis Undang-Undang No. 35 Tahun 2007 Pasal 20 Kaitannya Dengan Pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten Pontianak di Kabupaten Kubu Raya. Dari hasil penelitian menggunakan metode penelitian hukum normatif dan sosiologis, serta mengacun pada bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum dikumpulkan dengan cara inventarisasi hukum positif dan penelusuran kepustakaan terkait dengan masalah yang diteliti. Hasil penelitian hukum ini menunjukkan bahwa Pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten Induk terhadap Kabupaten Pemekaran, sebagaimana fakta hukum yang disajikan Undang-Undang No. 35 Tahun 2007 tentang Penetapan Terbentuknya Kabupaten Kubu Raya. Terdapat alasan mengapa diberlakukannya Peraturan Daerah Kabupaten Pontianak bagi Kabupaten Kubu Raya disebabkan dari empat unsur, yaitu (1) unsur kondisi wilayah, bahwa wilayah Kabupaten Kubu Raya masih merupakan satu kesatuan bentuk dan keadaan dataran dan perairan yang pernah dikuasai dan dikelola oleh Kabupaten Induk, (2) unsur anggaran, yaitu pembiayaan daerah, (3) sumber daya manusia, yaitu keterbatasan legislator dan kemampuan dalam pembentukan peraturan daerah, dan (4) untuk mencegah agar tidak terjadi kekosongan hukum pada daerah pemekaran selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang ada, sampai menunggu ditetapkannya produk hukum di kabupaten pemekaran tersebut. Pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten Pontianak di Kabupaten Kubu Raya merupakan tindakan yang legal (sah) karena dilandasi dasar hukum yang kuat yaitu pasal 20 Undang-Undang No. 35 tahun 2007 tentang Pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten Pontianak di Kabupaten Kubu Raya yang diperkuat dengan Peraturan Bupati Kubu Raya No. 09 tahun 2008 tentang Pemberlakuan Produk Hukum Kabupaten Pontianak di Kabupaten Kubu Raya.Kata Kunci : Pemberlakuan Peraturan Daerah; Kabupaten Induk, berita, nasional, terkini, harian regional, Kabupaten Pemekaran.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG MELAKUKAN TINDAKAN KEKERASAN TERHADAP PENGUNJUK RASA (Studi Kasus di Polresta Pontianak Kota) HENDRAWAN SULISTYO. A.21211011, Jurnal Mahasiswa S2 Hukum UNTAN
Jurnal NESTOR Magister Hukum Vol 3, No 5 (2013): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal NESTOR Magister Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACTIn the Constitution of the Republic of Indonesia in 1945 Article 28 states that "freedom of association and assembly, issued a mind with oral and written and as defined in the legislation, passed by the birth of Law No 9 of 1998 on Freedom of Opinion General Upfront.The rally, which is one of personal freedom in expression was regulated in Law No. 9 of 1998 on the submission of opinion in public, which also regulates the procedures for implementation, the actions that can be done, and what should not be done in the implementation of delivery in public opinion. State Police as a tool given duties and responsibilities in order to secure the implementation of the rallies, which also provided for in Act No. 2 of 2002 on the Police of the Republic of Indonesia. But the existence of these regulations will not necessarily make the implementation of demonstration runs safely, we can actually see and hear activity demonstrations often ended with clashes between the protesters apparatus.Clashes occur frequently causing casualties especially among protesters. Because the Police who have shields, batons, and other equipment in the anarchic mass dispel. Thus providing an indication that members of the police in carrying forward the mandatory safety procedures, rules, and commands from superiors in securing the movement of security forces rally.Police officers who are convicted of violent acts against protesters will be given disciplinary sanction, the code of ethics and even prosecuted criminally to the General Court for committing acts that are not in accordance with the procedures and legal. However, there are several factors that cause has not to application of the law and criminal sanctions against members of the police who commit violence against protesters, among other things are mental factors law enforcement, legal factorsthemselves and thecommunityfactors that do not want to report. Therefore the police are expected to do the steps taken by nature impose criminal sanctions against members of the police who commit violent acts of violence against protesters among other things are maximize them mentality in law enforcement, understand the legislation and have the initiative in enforcing the law.Keywords: criminal responsibility, demonstration, and police officersABSTRAKDalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 menyatakan bahwa "kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang, yang disahkan oleh lahirnya UU No 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berpendapat Umum dimuka.Rally, yang merupakan salah satu kebebasan pribadi dalam ekspresi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang penyampaian pendapat di muka umum, yang juga mengatur prosedur pelaksanaan, tindakan yang bisa dilakukan, dan apa yang tidak harus dilakukan dalam pelaksanaan pengiriman opini publik. Kepolisian Negara sebagai alat yang diberikan tugas dan tanggung jawab untuk mengamankan pelaksanaan aksi unjuk rasa, yang juga diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun keberadaan peraturan ini tidak selalu membuat pelaksanaan demonstrasi berjalan dengan aman, kita sebenarnya bisa melihat dan mendengar demonstrasi aktivitas sering berakhir dengan bentrokan antara aparat demonstran.Bentrokan terjadi sering menimbulkan korban terutama di kalangan demonstran. Karena Polisi yang memiliki tameng, tongkat, dan peralatan lainnya dalam menghalau massa anarkis. Sehingga memberikan indikasi bahwa anggota polisi dalam menjalankan maju prosedur wajib keselamatan, peraturan, dan perintah dari atasan dalam mengamankan pergerakan pasukan keamanan reli.Petugas polisi yang terbukti melakukan tindak kekerasan terhadap pengunjuk rasa akan diberikan sanksi disiplin, kode etik dan bahkan dituntut pidana ke Pengadilan Umum karena melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur dan hukum. Namun, ada beberapa faktor yang menyebabkan belum untuk penerapan hukum dan sanksi pidana terhadap anggota polisi yang melakukan kekerasan terhadap pengunjuk rasa, antara lain adalah faktor mental penegak hukum, faktor hukum itu sendiri dan faktor-faktor masyarakat yang tidak ingin laporan. Oleh karena itu polisi diharapkan untuk melakukan langkah-langkah yang diambil oleh alam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anggota polisi yang melakukan tindak kekerasan kekerasan terhadap pengunjuk rasa antara lain adalah memaksimalkan mereka mentalitas dalam penegakan hukum, memahami undang-undang dan memiliki inisiatif dalam menegakkan hukum .

Filter by Year

2009 2019


Filter By Issues
All Issue Vol 4, No 4 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 3 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2019): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 4, No 4 (2018): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 3 (2018): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2018): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2018): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 4, No 4 (2017): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 3 (2017): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2017): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2017): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 3 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2016): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 9, No 2 (2015): Jurnal Nestor - 2015 - 2 Vol 8, No 1 (2015): Jurnal Nestor - 2015 - 1 Vol 4, No 4 (2015): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 3 (2015): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2015): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2015): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 4 (2014): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 3 (2014): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 2 (2014): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 1, No 1 (2014): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 3, No 5 (2013): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 4 (2013): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 2, No 3 (2013): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 8, No 1 (2012): Jurnal Nestor - 2012 - 1 Vol 2, No 2 (2012): JURNAL MAHASISWA S2 HUKUM UNTAN Vol 7, No 2 (2010): Jurnal Nestor - 2010 - 2 Vol 7, No 1 (2010): Jurnal Nestor - 2010 - 1 Vol 6, No 2 (2009): Jurnal Nestor - 2009 - 2 Vol 6, No 1 (2009): Jurnal Nestor - 2009 - 1 More Issue