cover
Contact Name
Dita Archinirmala
Contact Email
dorotea.ditaarchinirmala@kalbe.co.id
Phone
+6281806175669
Journal Mail Official
cdkjurnal@gmail.com
Editorial Address
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/about/editorialTeam
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
Cermin Dunia Kedokteran
Published by PT. Kalbe Farma Tbk.
ISSN : 0125913X     EISSN : 25032720     DOI : 10.55175
Core Subject : Health,
Cermin Dunia Kedokteran (e-ISSN: 2503-2720, p-ISSN: 0125-913X), merupakan jurnal kedokteran dengan akses terbuka dan review sejawat yang menerbitkan artikel penelitian maupun tinjauan pustaka dari bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat baik ilmu dasar, klinis serta epidemiologis yang menyangkut pencegahan, pengobatan maupun rehabilitasi. Jurnal ini ditujukan untuk membantu mewadahi publikasi ilmiah, penyegaran, serta membantu meningkatan dan penyebaran pengetahuan terkait dengan perkembangan ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat. Terbit setiap bulan sekali dan disertai dengan artikel yang digunakan untuk CME - Continuing Medical Education yang bekerjasama dengan PB IDI (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia)
Articles 16 Documents
Search results for , issue "Vol 41, No 11 (2014): Infeksi" : 16 Documents clear
Penatalaksanaan Tetanus Laksmi, Ni Komang Saraswita
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 11 (2014): Infeksi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (139.551 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i11.1073

Abstract

Tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk serta fasilitas intensive care unit (ICU) yang tidak selalu tersedia. Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus : (1) membuang sumber tetanospasmin; (2) netralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan habis dimetabolisme. Sebagian besar kasus membutuhkan 4-6 minggu pengobatan suportif di ICU. Keberhasilan terapi suportif akan menentukan outcome, di samping faktor beratnya penyakit.Tetanus is still an important health issue in developing countries because of poor immunization programme and the poor availability of intensive care unit (ICU) facility. Three goals of tetanus management are: (1) eradication of tetanospasmin source; (2) unbound toxin neutralization; (3) supportive care until tissue-bound tetanospasmin has completely been metabolized. Most cases take 4-6 weeks of supportive care in ICU. The quality of supportive care determine the outcome, in addition the severity of disease. 
Skrining, Diagnosis dan Aspek Klinis Defisiensi Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase (G6PD) Kurniawan, Liong Boy
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 11 (2014): Infeksi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (575.615 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i11.1067

Abstract

Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan enzimopati terkait kromosom X yang paling umum diderita manusia. Kelainan ini mempunyai prevalensi tinggi terutama di daerah endemis malaria termasuk Asia Tenggara seperti di Indonesia. Penderita defisiensi G6PD umumnya tidak menunjukkan gejala sampai terpapar berbagai obat pengoksidasi, menderita penyakit infeksi maupun ingesti kacang fava yang menyebabkan anemia hemolitik dan ikterus. Skrining dan diagnosis defisiensi G6PD terutama ditujukan pada neonatus untuk mencegah morbiditas dan mortalitas, dapat dilakukan dengan beberapa metode.Glucose-6-fosfat dehydrogenase (G6PD) deficiency is the most common X-linked chromosome enzymopathy in human. This disorder has high prevalence especially in malaria endemic area in Southeast Asia including Indonesia. Most G6PD deficient patients have no symptoms until exposed to oxidizing drugs, infections or after fava beans ingestion which may cause hemolytic anemia and jaundice. Several methods of screening and diagnosis of G6PD mostly for neonates can be performed to avoid morbidity and mortality.
Tatalaksana Dermatitis Atopik Movita, Theresia
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 11 (2014): Infeksi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (139.064 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i11.1074

Abstract

Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit kronik, inflamasi, yang ditandai dengan lesi eksematosa gatal dengan episode eksaserbasi dan remisi. DA paling sering terjadi pada bayi dan anak-anak. Patogenesisnya diduga sebagai interaksi faktor genetik, disfungsi imun, disfungi sawar epidermis, dan peranan lingkungan serta agen infeksius. Tiga fase DA yaitu fase bayi, anak-anak, dan dewasa dengan distribusi lesi yang khas untuk setiap fase. Tatalaksana meliputi penghindaran pencetus, pengurangan gatal, perbaikan sawar kulit, dan obat anti inflamasi. DA tidak dapat sembuh, tetapi dapat dikontrol dan untuk itu dibutuhkan kerja sama yang baik dari pasien dan keluarganya.Atopic dermatitis is a chronic, inflammatory skin disease, characterized by pruritic eczematous lesion with exacerbation and remission. It is mostly prevalent in infancy and childhood. The pathogenesis seems to be the result of genetic susceptibility, immune dysfunction, epidermal barrier dysfunction, and interaction between environmental and infectious agents. Three phases of AD are infants, childhood, and adulthood phase. Each phase has its predilection site. Treatment should be trigger-factor avoidance, minimizing pruritus, repairing skin barrier, and use of anti-inflammatory agents. AD can not completely be cured, but can be controlled through good collaboration with patient and patient’s family.
Karakteristik Penderita Rabies Paralitik di RSUP Sanglah, Denpasar Ginting, Ernesta; NM, Susilawathi; AA, Raka Sudewi
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 11 (2014): Infeksi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (112.722 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i11.1068

Abstract

Latar belakang: Ada dua tipe manifestasi klinis rabies pada manusia, yaitu tipe galak dan tipe paralitik. Rabies tipe galak biasanya dapat dengan mudah didiagnosis berdasarkan tanda dan gejalanya yang khas, tetapi diagnosis rabies tipe paralitik sering merupakan dilema bagi klinisi, karena gejalan yang tidak khas dan mirip dengan sindrom Guillain-Barre. Tujuan: Mengetahui karakteristik pasien rabies paralitik di RSUP Sanglah. Metode: Penelitian deskriptif observasional dengan metoda pengumpulan data sekunder dari catatan medis penderita rabies di bangsal perawatan Neurologi RSUP Sanglah dari Januari 2009 – Desember 2010. Hasil: Pada penelitian ini ditemukan 13 (19,69%) kasus rabies paralitik. Gejala prodromal berupa: kesemutan daerah gigitan (69%), demam (46%), mual dan muntah (15%), insomnia dalam 2-5 hari sebelum masuk RS (7%). Gambaran klinis tipe paralitik berupa: paraparesis flaksid simetris (62%), paraparesis flaksid asimetris (15%), monoparesis (15%), fasikulasi (15%), inkontinensia urin (38%), retensi urin (15%), gejala gastrointestinal (distensi abdomen dan ileus paralitik) (53%). Pada stadium akhir (terminal) beberapa gejala klinis khas tipe galak juga muncul, yaitu: gangguan kesadaran berupa fase delirium dan agitasi yang berfluktuasi pada semua penderita (100%), hidrofobia (100%), hipersalivasi (84%), hiperhidrosis (38%), aerofobia (69%), dan fotofobia (7%). Pemeriksaan LCS mendapatkan jumlah sel normal pada 5 pasien dan sel meningkat pada 7(58%) pasien dengan rata-rata jumlah sel 32/mm3. Protein LCS normal pada 4 pasien dan meningkat pada 8(66%) pasien dengan rata-rata 184 mg/dl. Simpulan: Rabies tipe paralitik dan sindrom Guillain-Barre memiliki gejala klinis yang mirip yaitu adanya paralisis flaksid akut yang sering bersifat ascendens. Pada rabies tipe paralitik sering didapatkan beberapa gambaran klinis lain berupa demam, kesemutan di daerah luka gigitan, fasikulasi, inkontinensia urin, progresivitas gejala sangat cepat dan perubahan status kesadaran.Background: Human rabies can present in two clinical forms, furious and paralytic. Diagnosis of furious (encephalitic) form can be made based on typical symptoms and signs. In contrast, paralytic form poses a diagnostic dilemma to distinguish it from Guillain-Barre syndrome. Objective: To describe characteristics of paralytic rabies patients at Sanglah Hospital. Method: This is an observational descriptive study. All data was collected from secondary data from medical records of rabies patients in Neurology ward, Sanglah Hospital from January 2009 – December 2010. Result: There were a total of 13 (19,69%) cases of paralytic rabies. Prodromal symptoms consisted of: paresthesias at the site of healed bite wound (69%), fever (46%), nausea and vomiting (15%), insomnia in about 2-5 days prior to admissions (7%). The clinical features of the paralytic form were: symmetrical flaccid paraparesis (62%), asymmetrical flaccid paraparesis (15%), monoparesis (15%), fasciculation (15%), urinary incontinence (38%), urinary retention (15%), gastrointestinal symptoms (abdominal distention and paralytic ileus) (53%). Particularly all patients showed features of furious rabies in terminal stage: fluctuating consciousness between lucid calm and agitation (100%), hypersalivation (84%), hyperhydrosis (38%), hydrophobia (100%), aerophobia (69%), photophobia (7%). CSF cell counts were normal in 5 patients and increased in 7 (58%) patients with mean cell count of 32 cells/mm3. CSF protein was normal in 4 patients and increased in 8 (66%) patients with mean protein 184 mg/dl. Conclusion: Despite similarities between paralytic rabies and Guillain-Barre syndrome, some clinical features i.e., fever, distal paresthesia, fasciculation, urinary incontinence, rapid progression of symptoms and alteration in sensorium may help clinicians to differentiate rabies from Guillain-Barre syndrome. All paralytic rabies cases showed features of furious rabies in terminal stage.
Target Tekanan Darah pada Diabetes Melitus Njoto, Edwin Nugroho
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 11 (2014): Infeksi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (118.297 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i11.1075

Abstract

Hipertensi merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat di seluruh dunia dan merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular tersering, tetapi belum terkontrol optimal. Para peneliti melakukan penelitian dan membuat panduan untuk mengontrol hipertensi. Salah satu panduan yang terbaru adalah JNC VIII. Tinjauan pustaka ini akan membahas target tekanan darah pada penderita diabetes menurut JNC VIII serta membandingkannya dengan rekomendasi panduan lain.Hipertension is one of the main problem of public health in the world and one of the most frequent cardiovascular risk factors, but not optimally controlled. Researches were done and guidelines were formulated. The newest guideline is JNC VIII. This review will discuss blood pressure target for diabetic patients in JNC VIII and its comparison with other guidelines.
Gamma-Glutamyltransferase Sebagai Biomarker Risiko Penyakit Kardiovaskuler Haurissa, Andreas Erick
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 11 (2014): Infeksi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (263.513 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i11.1069

Abstract

Peningkatan kadar gamma-glutamyltransferase (GGT) telah banyak dimanfaatkan dalam praktik klinis terutama pada penyakit hepatobiliaris. Di samping itu, GGT diketahui berperan dalam degradasi gluthatione (GSH) sehingga memicu stres oksidatif, aterogenesis, rupturnya plak ateroma, dan gagal jantung Karena karakteristiknya yang khusus, GGT kemudian diteliti dalam kaitannya dengan penyakit kardiovaskuler. Dari sebagian besar penelitian yang telah dilakukan, GGT tampaknya mampu menjadi biomarker penyakit kardiovaskuler yang menjanjikan, baik untuk hal terapeutik maupun prognostik.Increased gamma-glutamyltransferase (GGT) level has been widely used as marker in clinical practice, especially in hepatobiliary disease. GGT has also a role in the degradation of glutathione (GSH), which triggers the oxidative stress, atherogenesis, ateroma plaque rupture, and consequently, heart failure. Because of its special characteristics, the role of GGT is widely investigated in cardiovascular disease. Current studies indicated that GGT is a candidate to become a novel and promising biomarker for cardiovascular risk, therapy, and prognosis.
Saat Memulai Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV-AIDS Yohanes, Lina
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 11 (2014): Infeksi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (90.312 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i11.1076

Abstract

Setelah diagnosis HIV-AIDS ditegakkan, sangat penting mengetahui saat tepat untuk memulai terapi antiretroviral (ART). Hal ini karena pengobatan HIV-AIDS tidak sama dengan pengobatan penyakit lain, selain itu obat ARV harus diminum dalam jangka panjang atau seumur hidup sehingga membutuhkan tingkat kepatuhan tinggi. Untuk memulai terapi ARV, digunakan acuan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang nilai CD4.After diagnosis of HIV-AIDS is established, the important thing is the timing to initiate antiretroviral therapy. This is because the treatment of HIV-AIDS is not the same as the treatment of other diseases, in addition to the ARV drugs must be taken in long term basis or even life-long, so compliance is very important. Clinical condition and laboratory value ( CD4 ) are used as a guide to start ARV treatment.
Hereditary Breast Ovarian Cancer (HBOC) Syndrome Wulandari, Catharina Endah
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 11 (2014): Infeksi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (157.903 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i11.1070

Abstract

Secara teori kanker disebabkan oleh mutasi genetik yang berperan dalam proses proliferasi sel. Sekitar 5-10% mutasi genetik tersebut dapat diturunkan ke generasi berikutnya, menyebabkan “kanker herediter”. Salah satu bentuk kanker herediter yang banyak ditemukan adalah Hereditary Breast Ovarian Cancer (HBOC) syndrome yang ditandai peningkatan risiko terutama untuk kanker payudara, kanker ovarium, dan onset usia lebih muda. HBOC juga meningkatkan risiko kanker yang berkaitan yaitu kanker prostat, kanker pankreas, dan melanoma. HBOC berhubungan erat dengan mutasi gen BRCA1 dan BRCA2. Kedua gen tersebut termasuk dalam kelas gen tumor suppressor yang berperan penting dalam patofisiologi kanker payudara dan ovarium. Identifikasi individu yang memiliki predisposisi HBOC sangat penting untuk menentukan tatalaksana berikutnya. Penggalian data mengenai riwayat kanker pada keluarga merupakan teknik yang cost-effective untuk mengidentifikasi kanker herediter. Artikel ini membahas sindrom HBOC, diagnosis sampai tatalaksana penurunan risiko untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas terkait sindrom HBOC.Cancer is theoretically caused by genetic mutation in cell proliferation. Approximately 5-10% of these genetic mutations can be inherited to the next generation, causing “hereditary cancer”. One of the most common type of hereditary cancer is Hereditary Breast Ovarian Cancer (HBOC) syndrome. It is characterized by increased risk of breast and ovarian cancer development and early onset. HBOC also increases risk of other related cancer such as cancer of prostate, pancreas and melanoma. HBOC has close relationship with BRCA1 and BRCA2 gene mutation. Both are tumor suppressors that have important role in breast and ovarian cancer development. Identification of individual with predisposition for HBOC syndrome is very important. Family history is the most cost-effective method to identify hereditary cancer. This article discuss HBOC syndrome, its diagnosis and risk management to decrease mortality and morbidity rate related to HBOC syndrome. 
Karakteristik Penderita Rabies Paralitik di RSUP Sanglah, Denpasar Ernesta Ginting; Susilawathi NM; Raka Sudewi AA
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 11 (2014): Infeksi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55175/cdk.v41i11.1068

Abstract

Latar belakang: Ada dua tipe manifestasi klinis rabies pada manusia, yaitu tipe galak dan tipe paralitik. Rabies tipe galak biasanya dapat dengan mudah didiagnosis berdasarkan tanda dan gejalanya yang khas, tetapi diagnosis rabies tipe paralitik sering merupakan dilema bagi klinisi, karena gejalan yang tidak khas dan mirip dengan sindrom Guillain-Barre. Tujuan: Mengetahui karakteristik pasien rabies paralitik di RSUP Sanglah. Metode: Penelitian deskriptif observasional dengan metoda pengumpulan data sekunder dari catatan medis penderita rabies di bangsal perawatan Neurologi RSUP Sanglah dari Januari 2009 – Desember 2010. Hasil: Pada penelitian ini ditemukan 13 (19,69%) kasus rabies paralitik. Gejala prodromal berupa: kesemutan daerah gigitan (69%), demam (46%), mual dan muntah (15%), insomnia dalam 2-5 hari sebelum masuk RS (7%). Gambaran klinis tipe paralitik berupa: paraparesis flaksid simetris (62%), paraparesis flaksid asimetris (15%), monoparesis (15%), fasikulasi (15%), inkontinensia urin (38%), retensi urin (15%), gejala gastrointestinal (distensi abdomen dan ileus paralitik) (53%). Pada stadium akhir (terminal) beberapa gejala klinis khas tipe galak juga muncul, yaitu: gangguan kesadaran berupa fase delirium dan agitasi yang berfluktuasi pada semua penderita (100%), hidrofobia (100%), hipersalivasi (84%), hiperhidrosis (38%), aerofobia (69%), dan fotofobia (7%). Pemeriksaan LCS mendapatkan jumlah sel normal pada 5 pasien dan sel meningkat pada 7(58%) pasien dengan rata-rata jumlah sel 32/mm3. Protein LCS normal pada 4 pasien dan meningkat pada 8(66%) pasien dengan rata-rata 184 mg/dl. Simpulan: Rabies tipe paralitik dan sindrom Guillain-Barre memiliki gejala klinis yang mirip yaitu adanya paralisis flaksid akut yang sering bersifat ascendens. Pada rabies tipe paralitik sering didapatkan beberapa gambaran klinis lain berupa demam, kesemutan di daerah luka gigitan, fasikulasi, inkontinensia urin, progresivitas gejala sangat cepat dan perubahan status kesadaran.Background: Human rabies can present in two clinical forms, furious and paralytic. Diagnosis of furious (encephalitic) form can be made based on typical symptoms and signs. In contrast, paralytic form poses a diagnostic dilemma to distinguish it from Guillain-Barre syndrome. Objective: To describe characteristics of paralytic rabies patients at Sanglah Hospital. Method: This is an observational descriptive study. All data was collected from secondary data from medical records of rabies patients in Neurology ward, Sanglah Hospital from January 2009 – December 2010. Result: There were a total of 13 (19,69%) cases of paralytic rabies. Prodromal symptoms consisted of: paresthesias at the site of healed bite wound (69%), fever (46%), nausea and vomiting (15%), insomnia in about 2-5 days prior to admissions (7%). The clinical features of the paralytic form were: symmetrical flaccid paraparesis (62%), asymmetrical flaccid paraparesis (15%), monoparesis (15%), fasciculation (15%), urinary incontinence (38%), urinary retention (15%), gastrointestinal symptoms (abdominal distention and paralytic ileus) (53%). Particularly all patients showed features of furious rabies in terminal stage: fluctuating consciousness between lucid calm and agitation (100%), hypersalivation (84%), hyperhydrosis (38%), hydrophobia (100%), aerophobia (69%), photophobia (7%). CSF cell counts were normal in 5 patients and increased in 7 (58%) patients with mean cell count of 32 cells/mm3. CSF protein was normal in 4 patients and increased in 8 (66%) patients with mean protein 184 mg/dl. Conclusion: Despite similarities between paralytic rabies and Guillain-Barre syndrome, some clinical features i.e., fever, distal paresthesia, fasciculation, urinary incontinence, rapid progression of symptoms and alteration in sensorium may help clinicians to differentiate rabies from Guillain-Barre syndrome. All paralytic rabies cases showed features of furious rabies in terminal stage.
Target Tekanan Darah pada Diabetes Melitus Edwin Nugroho Njoto
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 11 (2014): Infeksi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55175/cdk.v41i11.1075

Abstract

Hipertensi merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat di seluruh dunia dan merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular tersering, tetapi belum terkontrol optimal. Para peneliti melakukan penelitian dan membuat panduan untuk mengontrol hipertensi. Salah satu panduan yang terbaru adalah JNC VIII. Tinjauan pustaka ini akan membahas target tekanan darah pada penderita diabetes menurut JNC VIII serta membandingkannya dengan rekomendasi panduan lain.Hipertension is one of the main problem of public health in the world and one of the most frequent cardiovascular risk factors, but not optimally controlled. Researches were done and guidelines were formulated. The newest guideline is JNC VIII. This review will discuss blood pressure target for diabetic patients in JNC VIII and its comparison with other guidelines.

Page 1 of 2 | Total Record : 16


Filter by Year

2014 2014


Filter By Issues
All Issue Vol 50 No 11 (2023): Pediatri Vol 50 No 10 (2023): Kedokteran Umum Vol 50 No 9 (2023): Penyakit Dalam Vol 50 No 8 (2023): Dermatiologi Vol 50 No 7 (2023): Kardiovaskular Vol 50 No 6 (2023): Edisi CME Vol 50 No 5 (2023): Kedokteran Umum Vol 50 No 4 (2023): Anak Vol 50 No 3 (2023): Kardiologi Vol 50 No 2 (2023): Penyakit Dalam Vol 50 No 1 (2023): Oftalmologi Vol 49, No 4 (2022): Infeksi - COVID-19 Vol 49 No 12 (2022): Dermatologi Vol. 49 No. 11 (2022): Neurologi Vol 49 No 10 (2022): Oftalmologi Vol. 49 No. 9 (2022): Neurologi Vol. 49 No. 8 (2022): Dermatologi Vol 49, No 7 (2022): Vitamin D Vol 49 No 7 (2022): Nutrisi - Vitamin D Vol 49 No 6 (2022): Nutrisi Vol 49, No 6 (2022): Nutrisi Vol 49, No 5 (2022): Jantung dan Saraf Vol 49 No 5 (2022): Neuro-Kardiovaskular Vol 49 No 4 (2022): Penyakit Dalam Vol 49 No 3 (2022): Neurologi Vol 49, No 3 (2022): Saraf Vol 49, No 2 (2022): Infeksi Vol 49 No 2 (2022): Infeksi Vol 49 (2022): CDK Suplemen-2 Vol 49 (2022): CDK Suplemen-1 Vol 49 No 1 (2022): Bedah Vol 49, No 1 (2022): Bedah Vol 48 No 11 (2021): Penyakit Dalam - COVID-19 Vol 48, No 7 (2021): Infeksi - [Covid - 19] Vol 48 No 1 (2021): Infeksi COVID-19 Vol. 48 No. 10 (2021): Continuing Medical Education - Edisi 4 Vol 48 No 8 (2021): Continuing Medical Education - Edisi 3 Vol 48 No 5 (2021): Continuing Medical Education - Edisi 2 Vol. 48 No. 2 (2021): Continuing Medical Education - Edisi 1 Vol 48 No 12 (2021): Penyakit Dalam Vol 48, No 12 (2021): General Medicine Vol 48, No 11 (2021): Kardio-SerebroVaskular Vol 48, No 10 (2021): CME - Continuing Medical Education Vol 48 No 9 (2021): Neurologi Vol 48, No 9 (2021): Nyeri Neuropatik Vol 48, No 8 (2021): CME - Continuing Medical Education Vol 48 No 7 (2021): Infeksi Vol 48 No 6 (2021): Kardiologi Vol 48, No 6 (2021): Kardiologi Vol 48, No 5 (2021): CME - Continuing Medical Education Vol 48 No 4 (2021): Dermatologi Vol 48, No 4 (2021): Dermatologi Vol 48, No 3 (2021): Obstetri dan Ginekologi Vol. 48 No. 3 (2021): Obstetri - Ginekologi Vol 48, No 2 (2021): Farmakologi - Vitamin D Vol 48, No 1 (2021): Penyakit Dalam Vol 47, No 12 (2020): Dermatologi Vol 47, No 11 (2020): Infeksi Vol 47, No 10 (2020): Optalmologi Vol. 47 No. 10 (2020): Dermatologi Vol 47 No 9 (2020): Infeksi Vol 47, No 9 (2020): Neurologi Vol 47, No 8 (2020): Kardiologi Vol. 47 No. 8 (2020): Oftalmologi Vol 47, No 7 (2020): Bedah Vol. 47 No. 7 (2020): Neurologi Vol 47 No 6 (2020): Kardiologi & Pediatri Vol 47, No 5 (2020): CME - Continuing Medical Education Vol. 47 No. 5 (2020): Bedah Vol. 47 No. 4 (2020): Interna Vol 47, No 4 (2020): Arthritis Vol. 47 No. 3 (2020): Dermatologi Vol 47, No 3 (2020): Dermatologi Vol 47, No 2 (2020): Penyakit Infeksi Vol 47 No 2 (2020): Infeksi Vol 47, No 1 (2020): Bedah Vol 47 No 1 (2020): Bedah Vol 47, No 1 (2020): CME - Continuing Medical Education Vol. 46 No. 7 (2019): Continuing Medical Education - 2 Vol 46 No 12 (2019): Kardiovakular Vol 46, No 12 (2019): Kardiovaskular Vol 46, No 11 (2019): Kesehatan Anak Vol. 46 No. 11 (2019): Pediatri Vol 46, No 10 (2019): Farmasi Vol. 46 No. 10 (2019): Farmakologi - Continuing Professional Development Vol 46 No 9 (2019): Neurologi Vol 46, No 9 (2019): Neuropati Vol 46, No 8 (2019): Kesehatan Anak Vol. 46 No. 8 (2019): Pediatri Vol 46, No 7 (2019): CME - Continuing Medical Education Vol 46, No 6 (2019): Diabetes Mellitus Vol 46 No 6 (2019): Endokrinologi Vol. 46 No. 5 (2019): Pediatri Vol 46, No 5 (2019): Pediatri Vol. 46 No. 4 (2019): Dermatologi Vol 46, No 4 (2019): Dermatologi Vol 46, No 3 (2019): Nutrisi Vol. 46 No. 3 (2019): Nutrisi Vol. 46 No. 2 (2019): Interna Vol 46, No 2 (2019): Penyakit Dalam Vol 46, No 1 (2019): CME - Continuing Medical Education Vol 46, No 1 (2019): Obstetri - Ginekologi Vol 46 No 1 (2019): Obstetri-Ginekologi Vol 45, No 12 (2018): Farmakologi Vol 45 No 12 (2018): Interna Vol. 45 No. 11 (2018): Neurologi Vol 45, No 11 (2018): Neurologi Vol. 45 No. 10 (2018): Muskuloskeletal Vol 45, No 10 (2018): Muskuloskeletal Vol 45 No 9 (2018): Infeksi Vol 45, No 9 (2018): Infeksi Vol. 45 No. 8 (2018): Dermatologi Vol 45, No 8 (2018): Alopesia Vol 45, No 7 (2018): Onkologi Vol 45 No 7 (2018): Onkologi Vol. 45 No. 6 (2018): Interna Vol 45, No 6 (2018): Penyakit Dalam Vol 45, No 5 (2018): Nutrisi Vol. 45 No. 5 (2018): Nutrisi Vol 45, No 4 (2018): Cedera Kepala Vol 45 No 4 (2018): Neurologi Vol 45, No 4 (2018): Cidera Kepala Vol. 45 No. 3 (2018): Muskuloskeletal Vol 45, No 3 (2018): Muskuloskeletal Vol. 45 No. 2 (2018): Urologi Vol 45, No 2 (2018): Urologi Vol 45 No 1 (2018): Dermatologi Vol 45, No 1 (2018): Suplemen Vol 45, No 1 (2018): Dermatologi Vol 44, No 12 (2017): Neurologi Vol 44, No 11 (2017): Kardiovaskuler Vol 44, No 10 (2017): Pediatrik Vol 44, No 9 (2017): Kardiologi Vol 44, No 8 (2017): Obstetri-Ginekologi Vol 44, No 7 (2017): THT Vol 44, No 6 (2017): Dermatologi Vol 44, No 5 (2017): Gastrointestinal Vol 44, No 4 (2017): Optalmologi Vol 44, No 3 (2017): Infeksi Vol 44, No 2 (2017): Neurologi Vol 44, No 1 (2017): Nutrisi Vol 43, No 12 (2016): Kardiovaskular Vol 43, No 11 (2016): Kesehatan Ibu - Anak Vol 43, No 10 (2016): Anti-aging Vol 43, No 9 (2016): Kardiovaskuler Vol 43, No 8 (2016): Infeksi Vol 43, No 7 (2016): Kulit Vol 43, No 6 (2016): Metabolik Vol 43, No 5 (2016): Infeksi Vol 43, No 4 (2016): Adiksi Vol 43, No 3 (2016): Kardiologi Vol 43, No 2 (2016): Diabetes Mellitus Vol 43, No 1 (2016): Neurologi Vol 42, No 12 (2015): Dermatologi Vol 42, No 11 (2015): Kanker Vol 42, No 10 (2015): Neurologi Vol 42, No 9 (2015): Pediatri Vol 42, No 8 (2015): Nutrisi Vol 42, No 7 (2015): Stem Cell Vol 42, No 6 (2015): Malaria Vol 42, No 5 (2015): Kardiologi Vol 42, No 4 (2015): Alergi Vol 42, No 3 (2015): Nyeri Vol 42, No 2 (2015): Bedah Vol 42, No 1 (2015): Neurologi Vol 41, No 12 (2014): Endokrin Vol 41, No 11 (2014): Infeksi Vol 41, No 10 (2014): Hematologi Vol 41, No 9 (2014): Diabetes Mellitus Vol 41, No 8 (2014): Pediatrik Vol 41, No 7 (2014): Kardiologi Vol 41, No 6 (2014): Bedah Vol 41, No 5 (2014): Muskuloskeletal Vol 41, No 4 (2014): Dermatologi Vol 41, No 3 (2014): Farmakologi Vol 41, No 2 (2014): Neurologi Vol 41, No 1 (2014): Neurologi More Issue